Selasa, 31 Agustus 2010

SYIRIK DEMOKRASI MENGHANTAM ISLAM ( Bab I )

                           
                            AGAMA SYIRIK DEMOKRASI
                       DEMOKRASI MENGHANTAM ISLAM 


                   Alih bahasa: Abu Sulaiman & Abu Zaky

 

KATA  PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah subhaanahu wa ta'aala, Hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Kepada-Nya pula kita bertaubat, dan berlindung dari kejahatan diri dan keburukan perbuatan.  Barangsiapa yang diberi perunjuk oleh Allah, maka tiada seorangpun dapat menyesatkannya.  Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya; Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam adalah hamba dan Rasul-Nya.  Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau, keluarga, dan para sahabatnya.
Sungguh, sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah [Al-Qur’an] dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Sedang seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang baru yang diada-adakan, dan setiap hal baru yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
Amma ba’du :
Sesungguhnya, Syariat bagi makhluk adalah hak mutlak ciptaan Allah semata yang tidak sah Tauhid seseorang kecuali dengan menTauhidkan-Nya dalam ciptaan-Nya, maka barangsiapa yang membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan [sekutu]  bagi Allah di dalam ketuhanan-Nya dan peribadahan-Nya, dan juga berarti telah menjadikan dan mengangkat dirinya sebagia Tuhan bagi menusia selain Allah, maka dia telah kafir dengan perbuatannya itu. Sifat-sifat yang demikian Allah tegaskan sebagaimana ditunjukan dalam ayat-ayat-Nya, antara lain sebagai berikut :

1.      Berfirman Allah SWT. : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ?  [QS. Asy-Syura’: 21]. Ayat ini menegaskan dan menetapkan bahwa barangsiapa membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah [tidak diizinkan Allah], maka sungguh dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam kerubbubiyahan-Nya [keTuhanan-Nya] dan barangsiapa yang mentaati orang dengan syariat yang dibuatnya dan mengikuti syariat yang bertentangan dengan syariat Allah, maka dia telah musyrik dan kafir kepada Allah.  Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam kitabnya Iqtidlaish-Shiratil Mustaqiem hal. 267, sehubungan dengan ayat : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”   beliau mengatakan “maka barang siapa yang membiasakan melakukan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mewajibkannya dengan ucapan atau perbuatan yang tidak disyariatkan Allah, maka dia telah membuat syariat [agama] yang tidak diizinkan Allah, dan barang siapa mengikutinya dengan syariat yang dibuatnya maka dia telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah”.  Demikian pula Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, di dalam Tafsirnya jilid 4/111, berkaitan dengan ayat di atas : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ?  beliau mengatakan  : “Bahwa mereka tidak mengikuti apa yang disyariatkan Allah kepadamu [Muhammad] berupa agama yang lurus, akan tetapi mereka justru mengikuti apa yang disyariatkan kepada mereka oleh syaithan-syaithan mereka dari golongan jin dan manusia, yaitu mengharamkan apa yang mereka haramkan atas mereka [pengikut-pengikutnya], seperti bahiirah, saaibah, washiilah, haam, menghalalkan makan bangkai, darah, judi dan lain sebagainya dari segala macam bentuk kesesatan dan kebodohan yang batil, di mana mereka dengan kesesatan dan kebodohannya telah mengada-ada hukum dalam menghalalkan, mengharamkan, beribadah dan makan harta dengan cara-cara yang batil”.

2.      Di dalam Al-Qur’an Allah SWT. berfirman : “Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”  [QS. Al-Kahfi: 26].  Dalam ayat ini ditegaskan sebagaimana telah dikatakan pada ayat diatas, barangsiapa yang membuat syariat selain dari syariat Allah [tidak diizinkan Allah] maka dia telah menyekutukan Allah di dalam menetapkan syariat hukum bagi makhluk, dan telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah, Maha Tinggi Allah yang setinggi-tinggi-Nya dari apa yang mereka sekutukan.  Dan Allah SWT. telah memerintahkan suatu perintah yang syar’i agar seseorang tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk-Nya dalam hukum [memutuskan suatu perkara] dan syariat-Nya yang hanya diri-Nya saja yang berhak menciptakan hukum dan syariat, seperti ditegaskan-Nya dalam ayat berikut ini : “ Membuat Hukum  itu hanyalah kepunyaan Allah.”   [QS. Yusuf: 40].

3.      Allah SWT. berfirman : “ Mereka menjadikan orang-orang alim-nya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan [juga mereka mempersekutukan] Al-Masih putra Maryam.”  [QS. At-Taubah: 31].  Di dalam tafsir Ibnu Katsir Rahimahullah dijelaskan: Pada suatu ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘Anhu datang menemui Nabi SAW. dengan memakai kalung salib di lehernya yang terbuat dari perak melihat hal tersebut Nabi SAW. membaca ayat tersebut di atas [mereka menjadikan orang-orang alim-nya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah], lalu Adi bin Hatim menjawab “mereka [orang-orang kristen] tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka”, Nabi SAW. menjawab: “Betul ! mereka tidak menyembah orang -orang alim dan rahib-rahib mereka, tapi mereka [orang-orang alim dan rahib-rahib mereka] mengharamkan atas mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan bagi mereka sesuatu yang haram dan mereka mengikutinya dan itulah sesungguhnya ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka”.  [ HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Jarir dari Adi bin Hatim R.A.]  Kesimpulannya bahwa orang yang menghalalkan dan mengharamkan dan membuat syariat yang bertentangan dengan syariat Allah maka dia telah mengangkat dirinya sebagai tuhan selain Allah dan barangsiapa mentaatinya dengan mengikuti syariatnya yang bertentangan [dengan syariat Allah], sebagaimana yang dilakukan oleh para hakim [para thoghut] yang berhukum dengan tidak menurut apa yang diturunkan Allah, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan dan dia musyrik kepada Allah, sebagaiamana ditunjukan di akhir ayat, yaitu firman Allah :  “ Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.”   Dan dia menjadi kafir sebagaimana ditunjukan firman Allah SWT. : “ Dan [tidak wajar pula baginya] menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah [patut] dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah [menganut agama[ Islam?”  [QS.Al-Imran: 80].   Kalau menjadikan para malaikat dan para nabi saja sebagai tuhan adalah kafir, maka tentu tidak diragukan lagi kekafiran  orang yang menjadikan orang-orang yang bersyariat dengan syariat kafir [Al-Qawanun Al-Wadl’iyyah] sebagai tuhan dan mengikuti syariatnya.
Salah satu yang termasuk bagian dari Ashul Iman [Dasar Keimanannya] adalah bersyariat dengan syariat Allah SWT. di mana seorang muslim  dianggap hilang Ashul Imannya [Dasar Keimanannya] bila bersyariat dengan syariat yang tidak menurut apa yang turunkan Allah SWT.  Oleh karena itu, setiap perbuatan yang kalau ditinggalkan kafir pelakunya, maka pengamalannya, baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah termasuk dari ashlul iman [dasar-dasar keimanan], dan setiap perbuatan yang kalau diamalkan kafir pelakunya, maka meninggalkannya   termasuk dari ashul iman.  Karena ashul iman [dasar-dasar keimanan] adalah lawan dari kekafiran, maka setiap dosa yang dapat mengkafirkan, baik dosa yang dilakukannya  adalah berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan  sesuatu yang haram, maka orang itu telah hilang ashul imannya, dan setiap orang yang tidak membawa atau hilang ashul imannya maka dia adalah kafir, kekal di neraka dan tidak akan keluar  dari padanya untuk selama-lamanya, sebagaimana firman Allah SWT. : ” Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu [pula] untuk menebus diri mereka dari adzab hari kiamat, niscaya [tebusan itu ] tidak akan diterima dari mereka, dan mereka mendapat adzab yang pedih.  Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya, dan mereka mendapat adzab yang kekal.”  [QS. Al-Maidah: 36-37].
Maka setiap orang [muslim] yang melakukan dosa yang dapat mengkafirkannya, baik dosa yang dilakukannya  itu adalah berupa meninggalkan kewajiban, yaitu kewajiban yang termasuk dari Ashlul Iman [Dasar Keimanan], seperti  tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah SWT., meninggalkan  shalat yang wajib dengan sengaja hingga habis waktunya dan perbuatan lainnya  yang termasuk bagian dari Ashlul Iman, atau melakukan  sesuatu yang haram, yakni haram yang termasuk dari Ashlul Iman, seperti berhukum dengan hukum yang tidak menurut apa yang diturunkan Allah SWT. [Hukum Thoghut], maka orang yang melakukan dosa-dosa tersebut di atas telah kafir [keluar dari Islam] walaupun hanya sekedar meninggalkan  atau melakukannya,  dan tidak boleh dalam pengkafirannya itu disyaratkan orang itu harus mengingkari kewajiban yang ditinggalkannya atau menghalalkan  keharaman yang dilakukannya.  Karena Allah SWT. telah menamakan orang yang berbuat dosa itu adalah kafir tanpa mengikatnya dengan pengingkaran atau penghalalan, maka barangsiapa yang mensyaratkan hal itu [pengingkaran atau penghalalan] dalam mengkafirkan orang yang telah meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman yang termasuk dari dasar-dasar keimanan [ashul iman], maka dia telah menganggap dirinya lebih tahu dari Allah SWT. dan sungguh dia telah berdusta dengan ayat-ayat Allah yang menunjukan bahwa telah kafir orang yang melakukan dosa yang termasuk dari ashlul iman. Dan barangsiapa mendustakan ayat-ayat Allah, maka dia berarti telah kafir. Oleh sebab itu, para Salafush-Shalih  mengkafirkan para ghulatul murjiah yang menganggap untuk mengkafirkan orang yang berbuat dosa yang dapat mengkafirkannya  disyaratkan harus dengan pengingkaran terhadap dosa yang dilakukannya atau menghalalkannya.
Dalil-dalil dari nash dan ijma’ yang menunujukan bahwa orang yang berbuat dosa yang mengkafirkan adalah kafir walaupun hanya sekedar melakukan atau meninggalkannya  tanpa harus mengikatnya terlebih dahulu dengan pengingkaran atau penghalalan terhadap dosa itu, di antaranya adalah sebagai berikut :

1.Allah SWT. Berfirman : ”Mereka [orang-orang munafik itu] bersumpah dengan [nama] Allah, bahwa mereka tidak mengatakan [sesuatu yang menyakitimu]. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, telah menjadi kafir sesudah Islam.”  [QS. At-Taubah: 74]. Dalam ayat ini Allah SWT. menghukumi kekafiran mereka walau hanya sekedar mengucapkan suatu ucapan yang mereka katakan. Dan sebagaimana dikatakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa ”Allah SWT menyebutkan kalimat-kalimat kekafiran di dalam Al-Qur’an dan menghukumi kafir mereka yang mengatakannya dan mereka berhak memperoleh ancaman karena perkataannya itu”.

2.    Allah SWT. berfirman : ”Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu  surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati  mereka. Katakanlah kepada mereka : ”teruskanlah ejekan-ejekanmu [terhadap Allah dan Rasul-Nya]”  Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.  Dan jika kamu tanyakan kepada mereka [tentang apa yang mereka lakukan itu], tentulah mereka akan menjawab : ”Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah : ” Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”   Tidak usah minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” [QS. At-Taubah:   64-66],  Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ”sesungguhnya mereka telah kafir sesudah beriman karena ucapan mereka : Sesungguhnya kami telah berbicara dengan kekafiran [mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya] tanpa menyakini bahwa ucapan itu adalah telah mengkafirkan, karena kami hanya berseda gurau dan bermain-main. Namun jelas bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah adalah kafir”. Masih dalam ayat yang sama beliau mengatakan : ”sesungguhnya mereka tidak menyakini dalam diri mereka apa yang mereka lakukan itu telah membawa kepada suatu kekafiran dan mereka menduga perbuatannya itu bukanlah suatu  kekafiran, tapi jelas bahwa mengejek-ejek Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah kafir, kafir yang melakukannya sesudah beriman”.

3.    Rasul SAW. bersabda ”perbedaan antara seseorang dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”  [HR. Muslim]. Kata  kafir dengan alif dan laam seperti tersebut dalam hadits di atas adalah yang dimaksud kafir besar [yang telah mengeluarkan pelakunya dari agama] Rasul SAW. menetapkan hukum kafir hanya sebatas meninggalkan shalat, demikian juga para sahabat sepakat mengkafirkan  orang yang meninggalkan satu shalat wajib  dengan sengaja hingga habis waktunya.

4.    Para Sahabat Rasul SAW. [pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.ra] sepakat atas pengkafiran orang-orang yang menolak membayar zakat dengan sekedar penolakan tanpa harus melihat terlebih dahulu kepada keyakinan mereka, apakah mereka masih menyakini  bahwa zakat itu wajib atau mengingkarinya. Mereka [Para sahabat Rasul SAW.] langsung memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan menganggap  mereka adalah orang-orang  yang sudah murtad [kafir karena menolak membayar zakat].  Kalau menolak pembayaran zakat [hanya satu hukum] saja sudah ditetapkan kafir, bagaimana dengan orang-orang yang tidak bersyariat dengan syariat Allah secara keseluruhan,  yang dampak kehancuran dan kebinasaannya lebih luas, lebih dahsyat  dan mencakup semua aspek kehidupan dari pada dibandingkan hanya meninggalkan zakat. Maka tentu kekafirannya lebih kafir dari pada Yahudi dan Nashrani

Allah SWT. menyipati apa yang dibuat oleh sesembahan-sesembahan manusia [Syuraka] berupa aturan yang diikuti adalah syariat, karena syariat adalah peraturan [ath-thariqah] yang diikuti, baik itu peraturan yang benar ataupun yang batil. Begitu juga agama adalah peraturan [an-nidham] bagi kehidupan manusia, ada yang hak dan ada juga  yang batil. Maka semua kekafiran yang dilakukan orang-orang kafir [yang berupa  aturan-aturan, syariat dan hukum yang mereka buat] adalah agama, seperti yang ditunjukan Allah dalam firman-firman-Nya, antara lain  : ”Untukmulah  agamamu dan untukulah agamaku.”   [QS. Al-Kafirun: 6], Allah SWT. berfirman mengenai ketakutan Firaun yang menunjukan bahwa syariat, aturan-aturan dan hukum orang-orang kafir adalah agama : ”Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama mu.”  [QS. Al-Mu’min: 26], ”Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah  akan diterima [agama itu] dari padanya.”  [QS. Ali’Imran: 85]. Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Allah SWT. menerangkan bahwa aturan atau syariat selain Islam juga disebut agama, tapi agama yang batil.  
Syariat, aturan dan hukum yang dibuat oleh manusia yang tidak sesuai menurut apa yang diturunkan Allah SWT. adalah thaghut dan Allah memerintah kita untuk beriman kepada-Nya dan kafir kepada thaghut, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya : ”Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”  [QS. Al-Baqarah: 257],  dan juga berfirman : ”Dan orang-orang yang menjauhi thaghut[yaitu] tidak menyembahnya.”   [QS. Az-Zumar:17], dan lain-lain. Thaghut artinya : Setiap yang memalingkan dan menghalang-halangi manusia [dari] beribadah kepada Allah secara ikhlas, taat dan tunduk kepada-Nya dan Rasul-Nya, baik yang memalingkannya itu adalah syaithan dari golongan jin ataupun  manusia, tumbuh-tumbuhan ataupun  bebatuan dan lain sebagainya. Dan tidak diragukan lagi bahwa yang termasuk thaghut adalah  berhukum dengan undang-undang di luar Islam dan syariatnya dari setiap yang dibuat oleh manusia dalam memutuskan halal haramnya darah, kehormatan dan harta benda seseorang. Disamping itu juga dalam rangka untuk membatalkan syariat Allah, seperti penegakan hudud, haramnya riba, zina, arak [miras] dan yang lain-lainya semuanya itu dihalalkan  dan terus tetap dipelihara kehalalannya berdasarkan undang-undang itu. Undang-undang itu sendiri dinamakan thaghut disamping orang-orang yang membuat dan yang melaksanakannya juga di namakan Thaghut. Dan setiap kitab yang dibuat dan ditulis akal manusia dalam rangka untuk memalingkan  dari kebenaran yang dibawa oleh Rasul SAW., secara sengaja atau tidak disengaja dari orang yang membuatnya maka dia adalah thaghut.  Thaghut terbesar di abad  ini adalah demokrasi, karena tidak ada satupun negara di dunia ini, termasuk negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim  terlepas dari aturan, hukum dan syariat demokrasi.
Berdasarkan realita di atas,  banyak kaum muslimin sadar atau tidak sadar sengaja ataupun karena dibohongi dan dibodohi mengikuti kesesatan tersebut, bahkan hampir keseluruhannya terjerumus jatuh kedalam jurang kemusyrikan dan kekafiran demokrasi tanpa mampu menyelamatkan diri dari kebinasaan itu, khususnya para penyelenggara pemerintahan negara, seperti para pemimpin negara [ presiden dan wakilnya ] yang memerintahkan dan mengizinkan melaksanakan hukum kepada para bawahan dan pembantunya, para hakim dan qadli [Kejaksaan, Kehakiman, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Pengacara dan lain-lain] yang menjalankan aturan dan ketentuan hukum, para anggota parlemen seperti DPR dan MPR yang membuat undang-undang dan membuat suatu kebijakan politik negara secara umum`, begitu juga para pembela dan pendukungnya [pendukung thaghut], seperti polisi, tentara yang dengan dukungan mereka keberadaan dan kelanggengan thaghut tetap utuh dan terjaga, para ulama suu’ [iblis] yang selalu mendukung dan membenarkan semua apa yang menjadi kebijakan thaghut walaupun menyimpang jauh dari kebenaran dan mendukung langkah-langkah mereka dalam memerangi para mujahidin yang berada di luar barisan mereka dan menuduhnya sebagai kelompok sesat dengan berlindung di balik dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diselewengkan  tujuannya [kalimatul  hak yurodu bihal batil : Dalil-dalilnya benar tapi maksudnya yang di belokan] sehingga tampak seakan-akan apa yang dilakukan thaghut dan dukungan terhadap mereka dibenarkan, para pimpinan partai politik dan para kadernya juga para pendukung serta  simpatisannya, media massa baik cetak maupun elektronik yang ikut menjadi media dan kepanjangan tangan serta corong dalam menyuarakan kepentingan thaghut  dan yang sejenisnya MEREKA SEMUA adalah KAFIR ! [keluar dari Islam],  karena mereka telah melakukan dosa-dosa yang mengkafirkan, yaitu tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah SWT Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa berhukum dengan hukum Allah SWT adalah bagian dari Ashlul Iman, maka  walaupun mereka tetap mengaku dirinya adalah muslim dan melaksanakan segala apa yang menjadi kewajibannya sebagai muslim, seperti  menunaikan  shalat, membayar zakat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya dari segala jenis perbuatan baik yang mereka lakukan, tetapi dalam bersyariat tidak seperti menurut apa yang diturunkan Allah SWT melainkan bersyariat dengan demokrasi  [thaghut], seperti yang saat ini berlaku hampir di seluruh negara-negara yang mengaku Islam. Maka sungguh mereka telah kafir, walaupun mereka sangat mengetahui dan menyadari bahwa berhukum dengan selain hukum Allah SWT adalah diharamkan dan bathil.  
Kemusyrikan dan kekafiran demokrasi telah lama bersemi dan hidup subur di hati para penyelenggara pemerintahan negara ini beserta pendukungnya, dari dahulu hingga kini dan bahkan sudah menjadi darah daging yang menyatu menjadi suatu keyakinan [agama] yang tidak mungkin akan beranjak apalagi keluar dari diri dan kehidupan mereka, walau hingga ajal mereka datang menjemput sekalipun [itu tidak mungkin dan mustahil]. Kecuali hanya dengan satu cara yaitu ber-Jihad melawan mereka dan sistem mereka, hingga mereka benar-benar bertaubat dengan mau meninggalkan sistem kafir itu dan beralih kepada Syari’at Islam.
 Untuk memberi ilmu kepada mereka yang sudah bertaubat, juga demi menjaga serta menyelamatkan generasi penerus dari kemungkinan tergoda kembali mengikuti jejak-jejak sesat dan kafir para pendahulunya, maka dengan izin Allah SWT dan memohon ampunan-Nya, kami menghadirkan buku AGAMA SYIRIK DEMOKRASI   karya tulis Asy-Syaikh Al-Fadhil Abu Muhammad ’Ashim Al-Maqdisi, yang di alih bahasakan oleh Al-Akh Al-Habib Abu Sulaiman Aman ’Abdul Rahman. Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan manfaat dan  petunjuk serta menyelamatkan kita semua dari kemusyrikan dan kekafiran demokrasi yang sudah membinasakan banyak manusia di muka bumi ini, Amiin.



Abu Zaky Halawi Makmun





PENGANTAR PENERJEMAH

Segala puji hanya milik Allah subhaanahu wa ta'aala, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul-Nya yang mulia Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam, para keluarganya dan sahabatnya serta orang-orang yang berada di atas jalannya hingga hari kiamat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab An Nubuwwat hal 127: "Islam adalah berserah diri kepada Allah saja tidak kepada yang lainnya, dia beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dia tawakkal hanya kepada-Nya saja, dia hanya takut dan mengharap kepada-Nya, dan dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, dia tidak mencintai makhluk seperti kecintaan dia kepada Allah… siapa yang enggan beribadah kepada-Nya maka dia bukan muslim dan siapa yang disamping beribadah kepada Allah dia beribadah kepada yang lain maka dia bukan orang muslim".
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya Thariqul Hijratain hal 542 dalam thabaqah yang ke tujuh belas: ”Islam adalah mentauhidkan Allah, beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, serta mengikuti apa yang dibawanya, maka bila seorang hamba tidak membawa ini berarti dia bukan orang muslim, bila dia bukan orang kafir mu'aanid maka dia adalah orang kafir yang jahil, dan status orang-orang ini adalah sebagai orang-orang kafir yang jahil tidak mu'aanid (membangkang), dan ketidak membangkangan mereka itu tidak mengeluarkan mereka dari status sebagai orang-orang kafir".
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar Assaniyyah 1/113: “Bila amalan kamu seluruhnya adalah bagi Allah maka kamu muwahhid, dan bila ada sebagian yang dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah musyrik".
Beliau rahimahullah juga berkata dalam Ad Durar 1/323 dan Minhajut Ta'siis hal 61: “Sekedar mengucapkan kaliamat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya maka itu tidak membuat mukallaf tersebut menjadi muslim, dan justeru itu menjadi hujjah atas dia…………… Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan dia itu beribadah kepada yang selain Allah (pula) maka kesaksiannya itu tidak dianggap meskipun dia itu shalat, zakat, shaum dan melaksanakan sebagian ajaran Islam".
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata dalam Al Qaul Al Fashl An Nafiis hal 31: ”Sesungguhnya syirik itu menafikan Islam, menghancurkannya, dan mengurai tali-talinya satu demi satu, ini berdasarkan apa yang telah dijelaskan bahwa Islam itu adalah penyerahan wajah, hati, lisan dan seluruh anggota badan hanya kepada Allah tidak kepada yang lainnya, orang muslim itu bukanlah orang yang taqlid kepada nenek moyangnya, guru-gurunya yang bodoh dan berjalan di belakang mereka tanpa petunjuk dan tanpa bashirah".
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Taisiir Al 'Aziz Al Hamid hal 58: Siapa yang mengucapkan kalimat ini (Laa ilaaha Illallaah) dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntutannya berupa menafikan syirik dan menetapkan wahdaniyyah hanya bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan kandungan maknanya dan mengamalkannya maka dia itu adalah orang muslim yang sebenarnya. Bila dia mengamalkannya secara dhahir tanpa meyakininya maka dia munafiq, dan bila dia mengamalkan apa yang menyalahinya berupa syirik maka dia itu kafir meskipun mengucapkannya (Laa ilaaha Illallaah)".
Beliau rahimahullah mengatakan juga dalam kitab yang sama: “Sesungguhnya mengucapkan Laa ilaaha Illallaah tanpa disertai pengetahuan akan maknanya dan tidak mengamalkan tuntutannya berupa iltizaam dengan tauhid dan meninggalkan syirik serta kufur kepada thaghut maka sesungguhnya pengucapan itu tidak bermanfaat dengan ijma para ulama".
Syaikh Hamd Ibnu 'Atieq rahimahullah berkata dalam kitab Ibthalit Tandiid hal 76: “Para ulama telah ijma bahwa sesungguhnya memalingkan satu dari dua macam doa kepada selain Allah, maka dia itu adalah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha Illallaah Muhammadun Rasulullah, dia shalat, shaum dan dia mengaku muslim".
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Mishbahudh dhalaam hal 37: “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, dan menjadikan tandingan bagi Tuhan-nya, serta menyamakan antara Dia dengan yang lainnya maka dia itu adalah musyrik yang sesat bukan muslim meskipun dia memakmurkan lembaga-lembaga pendidikan, mengangkat para qadli, membangun mesjid, dan adzan, karena dia tidak komitmen dengan (tauhid)nya, sedangkan mengeluarkan harta yang banyak serta berlomba-lomba dalam menampakkan syi'ar-syi'ar amalan, maka itu tidak menyebabkan dia memiliki predikat sebagai muslim bila dia meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid)".
Dan beliau rahimahullah berkata lagi hal 328: “Islam adalah komitmen dengan tauhid berlepas diri dari syirik, bersaksi akan kerasulan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dan mendatangkan rukun Islam yang empat lagi".
Inilah sebagian perkataan ulama tentang Islam dan syirik. Sebelumnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan dua macam syirik yang akan melanda umat ini secara besar-besaran yaitu syirik ibadatil autsaan (syirkul qubuur/syirik kuburan) dan syirkulluhuuq bil musyrikiin (syirkul qushuur wad dustuur/syirik aturan). Dan kedua macam ini telah merambah di tengah-tengah umat. Syirik yang pertama adalah syirik mutadayyiniin (syirik orang-orang yang masih rajin beribadah), ini bisa dilihat saat berjubelnya mereka di tempat-tempat dan kuburan-kuburan keramat. Dan syirik yang kedua adalah syirik 'ilmaaniyyiin (orang-orang sekuler) dan Islamiyyin (orang-orang yang mengaku dari jama'ah-jama'ah dakwah Islamiyyah yang dengan dalih maslahat dakwah mereka masuk atau menggunakan sistem syirik yang ada).
Dan di antara kemusyrikan yang nyata lagi terang yang sudah merambah dan mengakar adalah demokrasi, di mana intinya adalah yang berhak menentukan hukum dan perundang-undangan itu adalah rakyat atau mayoritas mereka yang diwakili oleh para wakilnya, sedangkan di dalam Islam di antara hak khusus Allah adalah hukum dan tasyri' yang bila dipalingkan kepada selain-Nya maka itu adalah syirik.
Silahkan telaahlah buku ini mudah-mudahan syubhat yang masih ada di benak anda bisa hilang dengan penjelasan dan bayaan, akan tetapi bila ini tidak bisa memuaskan dan anda malah terus mempertahankannya maka yang bisa memuaskan anda adalah 'adzaabunniiraan. Wallaahul musta'aan.




Abu Sulaiman Aman ‘Abdurrahman













MUQQODIMAH PENULIS

بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده  و  نستعينه  و نستغفره و نعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهد الله فهو المهتد و من يضلل فلن تجد له وليا ورشدا .. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له هو حسبنا ونعم الوكيل....و أشهد أن محمدا عبده ورسوله  هو  قائدنا  و أسوتنا صلى الله و سلم عليه وعلى آله و أصحابه و أتباعه إلى يوم الدين...وبعد:

Ini adalah lembaran-lembaran yang telah saya tulis dengan singkat menjelang tibanya masa pemilihan para anggota parlemen (majlis/dewan perwakilan rakyat) yang syirik itu. Dan parlemen (dewan/majlis) itu ada setelah manusia terfitnah (terpedaya) dengan fitnah demokrasi dan adanya pembelaan secara mati-matian yang dilakukan oleh para penghusungnya dari kalangan thaghut-thaghut yang di mana mereka itu sudah lepas dari ikatan Islam, atau bahkan dibela oleh sebagian kalangan yang katanya ahli agama dan sebagai juru dakwah[1]…,mereka kaburkan kebatilan dengan kebenaran, terkadang mereka menamakan demokrasi ini sebagai kebebasan, terkadang juga mereka menamakannya sebagai syuraa (musyawarah),[2] terkadang mereka berdalih dengan jabatan Yusuf 'alaihissalam  di sisi rajanya, terkadang mereka berdalih juga dengan kekuasaan Najasyi… dan terkadang berdalih  dengan dalih maslahat[3] dan istihsan (anggapan baik)…dengan dalih-dalih itu mereka mengaburkan kebenaran dengan kebatilan di hadapan orang-orang bodoh (awam), dan mencampur adukan cahaya dengan kegelapan, syirik dengan Tauhid dan Islam.[4]
            Syubhat-syubhat itu dengan taufiq Allah akan kami bantah, dan kami juga akan menjelaskan bahwa demokrasi itu adalah agama baru di luar agama Allah dan ajaran yang bersebrangan dengan tauhid, dan kami juga akan menegaskan bahwa majlis-majlis perwakilannya itu tidak lain kecuali adalah lembaga kemusyrikan dan sarang bagi paganisme yang wajib dijauhi demi merealisasikan tauhid yang merupakan kewajiban hamba terhadap Allah, bahkan wajib berusaha untuk menghancurkan (sarang dan lembaga kemusyrikan) itu, memusuhi orang-orangnya, membencinya, dan memeranginya. Dan hal ini semua bukanlah masalah ijtihadiyyah sebagaimana yang sering didengungkan oleh sebagian orang yang suka mengkaburkan kebenaran[5]… akan tetapi ini adalah kemusyrikan yang jelas lagi terang dan kekafiran yang nampak lagi tidak diragukan yang telah Allah subhaanahu wa ta'aala hati-hatikan darinya di dalam Al Qur'an, dan telah diperangi oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam  selama hidupnya.
            Wahai Muwahhid berusahalah engkau untuk menjadi bagian dari para pengikut Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para penolong (agama)nya yang selalu memerangi kemusyrikan dan para pemeluknya. Bersegeralah engkau pada saat keterasingan ini untuk bergabung dengan rombongan kelompok yang selalu menegakan Dienullah subhaanahu wa ta'aala yang telah bersabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang kelompok itu:

(لا تزال طائفةٌ من أُمتي قائمةً بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله)
Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku ini mereka menegakan perintah Allah, orang-orang yang mengucilkan dan menyelisihi mereka tidak membuat mereka gentar hingga datang ketentuan Allah" semoga Allah menjadikan saya dan engkau termasuk kolompok itu. Dan segala puji hanyalah bagi Allah di awal dan di akhir.



Ditulis oleh:

Abu Muhammad 'Ashim Al-Maqdisi


PASAL
PENJELASAN TENTANG INTI POKOK DAN TUJUAN UTAMA PENCIPTAAN, PENURUNAN KITAB-KITAB, DAKWAH PARA RASUL, MILLAH IBRAHIM, DAN AL 'URWATIL WUTSQA YANG MERUPAKAN JALAN SELAMAT

            Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah ta'alaa merahmatimu- sesungguhnya kepala segala urusan, intinya, dan tiangnya, serta sesuatu yang paling pertama kali Allah fardlukan atas anak Adam untuk mempelajarinya dan mengamalkannya sebelum shalat, zakat, serta ibadah-ibadah lainnya adalah kafir kepada thaghut dan menjauhinya, serta memurnikan Tauhid hanya kepada Allah subhaanahu wa ta'aala saja. Karena untuk tujuan inilah maka Allah menciptakan makhluk-Nya, mengutus Para Rasul, menurunkan Kitab-kitab, serta mensyari'atkan Jihad dan Mati Syahid (istisyhad)…… dan karenanya terjadilah pertikaian antara auliyaaurrahman dengan auliyaausysyaithan, serta untuk mencapai hal itu berdirilah  Daulah Islamiyyah dan Khilafah Rasyidah… Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
و ما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzriyaat: 56)
Yaitu untuk supaya kalian beribadah kepada-Ku saja. Dan firman-Nya subhaanahu wa ta'aala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)

Dan hal ini adalah ikatan paling agung dari ikatan-ikatan Islam. Dakwah, Jihad, Shalat, Shaum, Zakat, dan Haji tidak mungkin diterima tanpa hal di atas itu. Orang tidak mungkin selamat dari api neraka tanpa berpegang erat terhadap hal itu, karena hal itu (kufur kepada thaghut dan Iman kepada Allah) adalah satu-satunya ikatan yang telah dijamin oleh Allah Ta’ala bahwa ia tidak mungkin lepas…… adapun selain itu, berupa ikatan-ikatan agama dan syari'atnya, itu tidaklah cukup untuk bisa menyelamatkan dengan sendirinya tanpa adanya al 'urwatul wutsqa…… Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
قد تبين الرشد من الغي فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Telah jelas rusydu dari ghayy, karena itu barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah :  256)
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta'aala:
والذين اجتنبوا الطاغوت أن يعبدوها و أنابوا إلى الله  لهم البشرى فبشر عباد
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikan berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” (QS. Az-Zumar: 17)
Perhatikanlah dalam ayat-ayat itu, bagaimana Allah mendahulukan penyebutan kufur terhadap thaghut dan menjauhinya atas Iman kepada Allah dan inabah kepada-Nya subhaanahu wa ta'aala…… ini sama persis dengan pengedepanan nafyu atas itsbat dalam kalimah tauhid Laa ilaaha Illallaah…… dan ini dilakukan tidak lain kecuali untuk mengingatkan terhadap rukun yang sangat agung dari al 'urwatul wutsqa, sehingga tidak sah keimanan kepada Allah dan tidak bermanfaat kecuali bila didahului dengan kufur kepada thaghut.
            Thaghut yang wajib engkau kafir kepadanya dan menjauhi dari mengibadatinya supaya engkau bisa berpegang kepada tali penyelamat yang sangat kokoh bukan hanya terbatas kepada batu, patung, pohon, kuburan yang disembah dengan sujud, rukuk, permohonan, nadzar, atau thawaf saja……akan tetapi lebih luas cakupannya dari itu semua… sehingga mencakup: (Segala sesuatu yang disembah selain Allah subhaanahu wa ta'aala dengan bentuk ibadah apa saja sedang dia tidak mengingkarinya).[6]
            Thaghut itu diambil dari kosa kata Ath-Thughyaan yang maknanya adalah melampaui batas makhluk yang telah Allah batasi tujuan penciptaannya. Sedangkan ibadah itu adalah bermacam-macam, sebagaimana sujud, rukuk, doa, nadzar, dan penyembelihan adalah ibadah, maka begitu juga taat dalam tasyri' (pembuatan hukum/aturan/undang-undang) adalah ibadah juga…… Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman tentang orang-orang nasrani:  
اتخذوا أحبارهم  و رهبانهم أربابا من دون الله
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.[7](QS. At-Taubah: 31)
Sedangkan orang-orang nasrani itu tidak pernah sujud atau rukuk terhadap para ulama mereka…… akan tetapi mereka mentaati para ulama itu dalam penghalalan yang haram dan dalam pengharaman yang halal, serta sepakat dengan mereka atas hal itu, maka Allah memvonis perlakuan mereka itu sebagai bentuk menjadikan para ulama dan pendeta sebagai arbaab (tuhan)…… karena taat dalam tasyri' itu adalah ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah…… sehingga bila seseorang memalingkannya kepada selain Allah subhaanahu wa ta'aala meskipun dalam satu hukum saja maka dia itu menjadi orang musyrik…
            Dan hal ini dibuktikan secara gamblang dengan munaadharah (perdebatan) yang pernah terjadi pada zaman Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam antara auliyaaurrahman dengan auliyaausysyaithan tentang masalah bangkai dan pengharamannya, dimana orang-orang musyrik berusaha meyakinkan kaum muslimin bahwa tidak ada perbedaan antara kambing yang disembelih oleh kaum muslimin dengan kambing yang mati sendiri dengan dalih dan syubhat bahwa bangkai itu tidak lain adalah sembelihan Allah subhaanahu wa ta'aala, maka Allah menurunkan keputusan-Nya tentang kejadian ini dari atas langit yang ketujuh, Dia berfirman:
وإن أطعتموهم إنكم لمشركون
“Dan bila kalian mentaati mereka maka sungguh kalian adalah orang-orang musyrik.”[8] (QS. Al-An’am: 121)
            Termasuk kategori thaghut adalah setiap orang yang memposisikan dirinya sebagai musyarri' (pembuat hukum dan perundang-undangan) bersama Allah, baik dia itu sebagai pemimpin atau rakyat, baik dia itu sebagai wakil rakyat dalam lembaga legislatif atau orang yang diwakilinya dari kalangan orang-orang yang memilihnya (ikut pemilu)…… karena dengan perbuatan itu dia telah melampaui batas yang telah Allah subhaanahu wa ta'aala ciptakan baginya, sebab dia itu diciptakan sebagai hamba Allah, dan Tuhannya memerintahkan dia untuk tunduk berserah diri kepada syari'at-Nya, namun dia enggan, malah menyombongkan diri dan melampaui batas-batas Allah subhaanahu wa ta'aala, dia justru ingin menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dan menyekutui-Nya dalam wewenang tasyri' (penetapan hukum dan perundang-undangan) yang padahal hal itu tidak boleh dipalingkan selain kepada Allah subhaanahu wa ta'aala……… dan barangsiapa melakukan hal itu maka dia telah menjadikan dirinya sebagai ilaah musyarri' (tuhan yang membuat hukum), sedangkan orang seperti ini tidak diragukan lagi merupakan bagian dari  ru'uusuth thawaghiit (pentolan-pentolan thaghut) yang di mana Tauhid dan Islam seseorang tidak sah sehingga dia kafir kepada thaghut itu, menjauhinya, serta bara'ah (berlepas diri) dari para penyembahnya dan para bala tentaranya….
            Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu." (QS. An-Nisa':  60)
Imam Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut adalah setan berbentuk manusia yang di mana manusia merujuk hukum kepadanya, sedangkan dia adalah yang memegang kendali mereka”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Oleh sebab itu orang yang memutuskan hukum dengan selain Kitabullah yang dimana dia itu menjadi rujukan hukum dia itu dinamakan thaghut”.[9]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Thaghut adalah segala sesuatu yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik dia itu yang disembah, atau yang diikuti, atau yang ditaati, sehingga thaghut setiap kaum adalah orang yang mereka jadikan sebagai rujukan hukum selain Allah dan Rasul-Nya, atau yang mereka sembah selain Allah, atau yang mereka ikuti tanpa ada landasan dalil dari Allah, atau orang yang mereka taati dalam hal yang tidak mereka ketahui bahwa itu adalah bentuk ketaatan kepada Allah”.
Beliau berkata lagi: “Siapa yang merujuk hukum atau mengadukan perkara hukum kepada selain apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam maka berarti dia itu telah merujuk hukum dan mengadukan perkara hukum kepada thaghut”.[10]
Dan di antara macam thaghut yang disembah selain Allah subhaanahu wa ta'aala pada zaman sekarang, dan yang menjadi kewajiban atas setiap Muwahhid untuk kafir kepadanya dan berlepas diri darinya serta dari para pengikutnya supaya dia bisa berpegang kepada al 'urwatul wutsqa dan selamat dari api neraka ialah tuhan-tuhan palsu dan arbaab-arbaab maz’um yang telah dijadikan oleh banyak manusia sebagai syurakaa musyarri'iin (sekutu-sekutu yang membuat hukum dan perundang-undangan) selain Allah subhaanahu wa ta'aala
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ولولا كلمة الفصل لقضي بينهم
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. " (QS. Asy-Syuura: 21)
Ini karena mengikuti mereka dalam rangka menjadikan tasyri' (membuat hukum dan undang-undang) sebagai wewenang dan tugas mereka dan juga parlemennya, dan lembaga-lembaga hukum mereka, baik yang bersifat internasional, regional, ataupun yang nasional (lokal)…dan mereka secara tegas- menuangkan hak wewenang itu dalam undang-undang dan peraturan mereka, dan hal itu adalah sesuatu yang sudah dikenal lagi masyhur di kalangan mereka[11] sehingga dengan sebab itu mereka menjadi arbaab (tuhan) bagi orang-orang yang mentaatinya, mengikutinya, dan yang sepakat bersama mereka atas kekafiran dan kemusyrikan yang terang ini, sebagaimana yang telah Allah voniskan terhadap orang-orang nasrani tatkala mereka mengikuti para ulama dan para pendeta mereka dalam hal seperti itu… bahkan keadaan mereka (para anggota parlemen dan yang sejalan dengannya) lebih jahat dan lebih busuk, karena sesungguhnya para ulama nasrani melakukannya dan bersekongkol di atas hal itu tanpa menjadikannya sebagai qanuun (undang-undang dasar), tanpa menyusunnya sedemikian rupa, dan tanpa membukukannya menjadi kitab undang-undang hukum, yang apabila ada yang menyalahinya atau mencelanya dikenakan hukuman, serta menjadikannya sebagai tandingan Kitab Allah, bahkan menjadikannya lebih tinggi dari Kitabullah, sebagaimana halnya keadaan mereka (para anggota parlemen/ majelis/dewan perwakilan rakyat dan para penghusungnya).
            Bila engkau telah paham ini, maka ketahuilah sesungguhnya derajat teragung dalam berpegang teguh kepada al 'urwatul wutsqa serta tingkatan tertinggi dalam kafir terhadap thaghut adalah Jihad (yang merupakan puncak Islam) memerangi sistem ini dan memerangi para penghusungnya dan para pengikutnya, berupaya untuk menghancurkannya, serta berusaha mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadapnya kepada penghambaan terhadap Allah subhaanahu wa ta'aala saja. Dan di antara bentuk Jihad ini adalah menyebarkan dengan gencar kebenaran ini secara terang-terangan dan meneriakannya sebagaimana yang telah dilakoni dan dijalani oleh para Nabi ‘Alaihis Salam, jalan yang telah Allah subhaanahu wa ta'aala jelaskan kepada kita dengan penjelasan yang sangat gamblang tatkala Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Millah Ibrahim  dan dakwahnya, Dia berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهَ إِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَحْدَه
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia[12]; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja,” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Firman-Nya: Badaa artinya adalah nampak dan jelas…
            Perhatikan ungkapan permusuhan yang didahulukan terhadap kebencian, karena sesungguhnya permusuhan adalah yang paling penting, sebab terkadang ada orang yang membenci para auliyaa (penghusung) thaghut, namun dia tidak memusuhi mereka, maka dengan demikian orang itu tidak merealisasikan kewajibannya sampai dia melakukan permusuhan dan kebencian terhadap mereka.
            Dan coba perhatikan, bagaimana Allah menyebutkan terlebih dahulu bara'ah (berlepas diri) mereka dari kaum musyrikin itu sebelum penyebutan bara'ah mereka dari apa yang mereka sembah, ini dikarenakan yang pertama lebih utama daripada yang kedua, dan ini disebabkan karena sesungguhnya banyak sekali manusia yang bara'ah (berlepas diri) dari berhala, thaghut-thaghut, dasaatiir (peraturan-peraturan), qawaaniin (undang-undang), dan agama-agama yang bathil, namun mereka tidak berlepas diri dari para penyembahnya, para penghusungnya, serta bala tentaranya, maka berarti dia itu tidak merealisasikan kewajiban[13]. Akan tetapi bila dia berlepas diri dari para penyembahnya yang musyrik itu maka secara otomatis mengharuskan dia untuk bara'ah dari hal-hal yang disembahnya dan dari ajarannya yang batil.[14]
            Adapun tingkatan kewajiban yang paling rendah yang harus direalisasikan oleh setiap mukallaf, dan dia tidak mungkin selamat (dari siksa kekal api neraka) kecuali dengannya, hal itu adalah menjauhi thaghut dan tidak menyembahnya, atau (tidak) mengikutinya di atas kemusyrikan dan kebatilannya. Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,” (QS. An-Nahl : 36)
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta'aala:
واجتنبوا الرجس من الأوثان
Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu."  (QS. Al- Hajj: 30)
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta'aala:
واجنبني وبني أن نعبد الأصنام
Dan jauhkanlah aku berserta anak-cucuku dari menyembah berhala-berhala." (QS. Ibrahim: 35)
Dan hal ini bila tidak direalisasikan oleh seseorang di dunia ini yaitu dia menjauhi thaghut, dan menjauhi ibadah kepadanya atau mengikutinya sekarang di dunia, maka di akhirat dia pasti berada dalam jajaran golongan yang merugi…saat itu amalan-amalan agama yang dia amalkan tidak bermanfaat dan tidak berguna sedikitpun bila dia di dunia menyepelekan pokok yang paling mendasar tersebut. Dia akan menyesal saat penyesalan sudah tidak berguna lagi, dia akan berangan-angan untuk bisa dikembalikan ke dunia ini supaya bisa merealisasikan rukun yang maha agung ini dan agar bisa memegang teguh al 'urwatul wutsqa, serta mengikuti millah yang maha agung ini. Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
إذ تبرأ الذين اتبعوا من الذين اتبعوا و رأوا العذاب  وتقطعت بهم الأسباب . وقال الذين اتبعوا لو أن لنا كرة فنتبرأ منهم كما تبرءوا منا كذلك يريهم الله أعمالهم حسرات عليهم  وما هم بخارجبن من النار
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti" Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami". Demikian Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. Al-Baqarah: 166-167)
Akan tetapi mana mungkin itu bisa terjadi, kesempatan telah tiada, dan tidak mungkin bisa kembali ke dunia. Bila engkau hai hamba Allah ingin selamat dan mengharap rahmat Tuhan-mu yang telah Dia tetapkan bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, maka jauhilah thaghut-thaghut itu semuanya, dan hindari kemusyrikan mereka itu sekarang juga, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menjauhi mereka di hari kiamat dan tidak bisa selamat dari tempat kembali mereka di akhirat kecuali orang yang meninggalkan dan menjauhi mereka di dunia ini. Adapun orang yang ridla dengan dien mereka yang bathil dan mengikutinya di atas kebatilannya maka sesungguhnya di hari kiamat ada penyeru yang menyerukan: (Siapa yang menyembah sesuatu maka hendaklah dia mengikutinya," maka yang dahulunya menyembah matahari diapun mengikuti matahari, orang yang dahulunya menyembah bulan diapun mengikuti bulan, dan orang yang dahulunya menyembah thaghut maka diapun mengikuti thaghut…) hingga perkataannya dalam hadits tentang orang-orang mukmin saat dikatakan kepada mereka: “(Apa yang membuat kalian tertahan sedangkan orang-orang sudah pergi? Maka mereka mengatakan: Faaraqnaahum wa nahnu ahwaju minnaa ilaihi al yaum, dan sesungguhnya kami mendengar penyeru yang menyerukan: Hendaklah setiap kaum bergabung dengan apa yang pernah mereka sembah, sedangkan kami hanyalah menunggu Rabb kami."[15]
            Perhatikan ungkapan kaum mukminin: (Faraqnaahum wa nahnu ahwaju minnaa ilaihi)     yaitu kami telah meninggalkan mereka di dunia… sedangkan kami sangat membutuhkan kepada dirham, dan dinar serta kedudukan mereka di dunia…maka bagaimana kami tidak meninggalkan mereka itu di hari yang sangat agung ini. Di dalam hadits ini ada penjelasan sebagian rambu-rambu perjalanan…. Dan di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta'aala:
احشروا الذين ظلموا وأزواجهم وما كانوا يعبدون
“(Kepada malaikat diperintahkan):"Kumpulkanlah orang-orang yang dhalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah”.                             (QS. Ash Shaffat: 22)
Ajwaajahum adalah sejawat mereka, teman-teman mereka, kelompok mereka, dan para pendukung mereka di atas kebathilannya, kemudian Allah subhaanahu wa ta'aala mengatakan:
فإنهم يومئذ في العذاب مشتركون إنا كذلك نفعل بالمجرمين إنهم كانوا إذا قيل لهم لا إله إلا الله يستكبرون
“Maka sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam adzab. Sesungguhnya demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berbuat jahat. Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka" Laa ilaaha Illallaah" mereka menyombongkan diri." (QS. Ash Shaffat: 33-35)
            Janganlah kamu wahai hamba Allah sekali-kali berpaling dari kalimah Tauhid, dan menyepelekan dalam menetapkan apa yang ditetapkan oleh kalimat itu serta (menyepelekan) dalam menafikan apa yang dinafikan oleh kalimat itu. Janganlah kamu sekali-kali menyombongkan diri dari mengikuti kebenaran, serta janganlah kamu bersikeras untuk tetap membela thaghut, karena kamu pasti bakal binasa bersama orang-orang yang binasa dan kamu ikut serta ke dalam tempat kembali mereka.
            Kemudian ketahuilah sesungguhnya Allah telah menjamin Tauhid yang murni ini serta pokok yang paling inti, yaitu Dienul Islam. Allah telah memilihnya bagi hamba-hamba-Nya yang bertauhid, siapa orang yang datang membawa Tauhid maka diterimalah semua amalannya, dan barangsiapa membawa ajaran selainnya maka Allah menolaknya dan dia tergolong orang yang rugi…Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
ووصى بها إبراهيم بنيه ويعقوب يا بني إن الله اصطفى لكم الدين فلا تموتن إلا و أنتم مسلمون
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata)"Hai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kami mati kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. Al Baqarah: 132)
Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
إن الدين عند الله الإسلام
“Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali Imran: 19)
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta'aala:
ومن يبتغ غبر  الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”(QS. Ali Imran 85)

Janganlah kamu membatasi kata agama itu hanya pada kristen, yahudi dan yang lainnya… sehingga kamu justeru mengikuti agama-agama lain yang sesat, maka kamu pun tersesat. (Ketahuilah) sesungguhnya kata agama (Dien) itu mencakup  segala paham (millah), jalan hidup (manhaj), atau aturan hukum, atau undang-undang yang dijadikan rujukan oleh umat manusia dan mereka merujuk kepadanya. Sesungguhnya semua itu adalah agama-agama yang kamu wajib bara'ah darinya, menjauhinya, serta kafir terhadapnya, dan menjauhi orang-orangnya….kecuali Millah Tauhid dan Dienul Islam. Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman seraya memerintahkan kita untuk mengatakan kepada seluruh orang-orang kafir dengan berbagai macam ajaran dan agamanya:
قل يا أيها الكافرون . لا أعبد ما تعبدون . ولا أنتم عابدون ما أعبد . ولا أنا عابد ما عبدتم . ولا أنتم عابدون ما أعبد . لكم دينكم ولي دين .
“Katakan:"Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan Yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”                 (QS. Al Kafirun: 1-6)
            Setiap agama/ajaran dari agama-agama kekufuran telah menghimpun aturan dan jalan hidup yang berseberangan lagi bertentangan dengan Dienul Islam. Aturan itu adalah agama yang mereka ridhai, sehingga mencakup di dalamnya: Komunis, Sosialis, Sekuler, Bath dan aliran dan paham baru lainnya yang diada-adakan oleh manusia dengan pemikirannya yang rendah serta mereka rela untuk dijadikannya sebagai jalan hidup mereka, dan di antara paham itu ada yang dinamakan Demokrasi. Sesungguhnya demokrasi adalah satu agama di luar agama Allah subhaanahu wa ta'aala. Berikutnya silahkan engkau baca penjelasan singkat tentang kesesatan agama baru ini yang telah membuat banyak manusia tertipu dengannya, bahkan banyak dari kalangan yang mengaku Islam, supaya engkau mengetahui bahwa agama baru ini bukanlah Millah Tauhid dan justru merupakan salah satu jalan dari sekian jalan yang menyimpang, dimana di setiap persimpangan jalan itu ada setan yang mengajak untuk masuk ke neraka, maka seharusnya engkau menjauhinya dan mengajak orang lain untuk menjauhinya.
Hal ini merupakan:
Peringatan bagi kaum mukminin, Pengingat bagi orang-orang yang lalai, Sebagai penegakan hujjah atas orang-orang yang mu'aanid (membangkang), Serta sebagai alasanmu di hadapan Rabbul 'Alamiin.


PASAL
Demokrasi adalah agama kafir buatan, dan pemeluknya ada yang berstatus sebagai tuhan yang membuat hukum serta ada yang berstatus sebagai pengikut yang menyembah tuhan-tuhannya itu.

            Ketahuilah sesungguhnya kata demokrasi yang busuk ini di ambil dari bahasa Yunani bukan dari bahasa Arab. Kata ini merupakan ringkasan dari gabungan dua kata: (Demos) yang berarti rakyat dan (kratos) yang berarti hukum atau kekuasaan atau wewenang membuat aturan (tasyrii'). Jadi terjemahan harfiyyah dari kata demokrasi adalah: Hukum rakyat, atau kekuasaan rakyat atau tasyri' rakyat.
            Dan makna itu merupakan makna demokrasi yang paling esensial menurut para penghusungnya. Karena makna inilah mereka selalu bangga dengan memujinya, padahal makna ini (hukum, tasyri' dan kekuasaan rakyat) wahai saudaraku Muwahhid pada waktu yang bersamaan merupakan salah satu dari sekian ciri khusus kekafiran, kemusyrikan serta kebatilan yang sangat bertentangan dan berseberangan dengan Dienul Islam dan Millah Tauhid, karena engkau telah mengetahui dari uraian sebelumnya bahwa inti dari segala inti yang karenanya Allah menciptakan makhluk-Nya, dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya serta mengutus Rasul-Rasul-Nya, dan yang merupakan ikatan yang paling agung di dalam Islam ini, yaitu adalah Tauhidul Ibadah kepada Allah subhaanahu wa ta'aala saja dan menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Dan karena sesungguhnya taat dalam tasyri' merupakan bagian dari ibadah yang wajib hanya ditujukan kepada Allah semata, dan kalau seandainya orang tidak merealisasikannya maka dia itu menjadi orang musyrik yang digiring bersama orang-orang yang binasa.
            Ciri khusus ini sama saja baik diterapkan dalam demokrasi sesuai dengan ajaran demokrasi itu yang sebenarnya, sehingga keputusan (hukum) yang dirujuk itu adalah diserahkan kepada seluruh rakyat atau mayoritas mereka,[16] sebagaimana yang menjadi impian tertinggi para demokrat dari kalangan orang-orang sekuler atau orang-orang yang mengaku Islam….atau hal itu (ciri khusus demokrasi) diterapkan seperti yang ada pada kenyataannya sekarang, di mana demokrasi itu (pada prakteknya) adalah keputusan (hukum) segolongan para penguasa dan kroni-kroninya dari kalangan keluarga dekatnya, atau para pengusaha besar dan konglomerat yang di mana mereka menguasai modal-modal usaha dan sarana-sarana informasi yang dengan perantaraannya mereka bisa mendapatkan kursi atau memberikan kursi parlemen (yang merupakan sarang kemusyrikan) kepada orang-orang yang mereka sukai, sebagaimana tuhan mereka (sang raja atau amir (presiden) bisa kapan saja dan bagaimana saja alasannya membubarkan dan memberlangsungkan majelis (syirik) itu.   
            Jadi demokrasi dengan sisi mana saja dari kedua sisi (praktek) itu merupakan kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan dengan Millatut Tauhid dan Dien para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya:
1.    Sesungguhnya demokrasi adalah tasyrii'ul jamaahiir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat/atau mayoritasnya) atau hukum thaghut, dan bukan hukum Allah subhaanahu wa ta'aala, sedangkan Allah subhaanahu wa ta'aala memerintahkan Nabi-Nya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan Nabi-Nya agar jangan sampai mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. Al-Maaidah :49)
Ini dalam ajaran Tauhid dan Dienul Islam.
            Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para penyembahnya berkata: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka inginkan dan mereka tetapkan hukumnya." Begitulah mereka katakan dan inilah yang diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan kekafiran yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya,[17] namun demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktek mereka tentu dia pasti mengatakan: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan oleh para thaghut dan kroni-kroninya, dan janganlah satu hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan persetujuannya…!!!
Sungguh ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata, bahkan penyekutuan (Khalik) dengan hamba secara aniaya.
2.    Karena sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau thaghut yang sesuai dengan undang-undang dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah subhaanahu wa ta'aala. Begitulah yang ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku panduan[18] mereka yang mereka sakralkan dan mereka sucikan lebih dari pensucian mereka terhadap Al Qur'an dengan bukti bahwa hukum undang-undang itu lebih didahulukan terhadap hukum dan syari'at Al Qur'an lagi mendiktenya. Rakyat dalam agama demokrasi, hukum dan perundang-undangan yang mereka buat tidak bisa diterima – bila memang mereka memutuskan – kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash undang-undang dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena undang-undang itu adalah bapak segala peraturan dan perundang-undangan serta kitab hukumnya yang mereka jungjung tinggi……[19]. Dalam agama demokrasi ini ayat-ayat Al Qur'an atau hadits-hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin suatu hukum atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal itu sejalan dengan nash-nash undang-undang dasar yang mereka jungjung tinggi… silahkan engkau tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan perundang-undangan bila engkau masih ragu tentangnya!! Sedangkan Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisaa': 59)
Padahal agama demokrasi mengatakan: Bila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada rakyat, majlis perwakilannya, dan rajanya sesuai dengan undang-undang dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini."
Enyahlah kalian dan enyah pula apa yang kalian sembah selain Allah, kenapa kalian tidak berpikir.[20]
            Oleh sebab itu bila mayoritas rakyat menghendaki penerapan hukum syari'at lewat jalur agama demokrasi ini dan lewat lembaga legislatif yang syirik ini, maka itu tidak bisa terealisasi – ini bila thaghut mempersilahkannya – kecuali lewat jalur undang-undang serta dari arah pasal-pasal dan penegasan undang-undang tersebut, karena itu adalah kitab suci agama demokrasi,[21] atau silahkan katakan itu adalah Tauratnya dan Injilnya yang sudah dirubah sesuai dengan keinginan hawa nafsu dan selera mereka.
3.    Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat busuk, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum.
Sedangkan demokrasi adalah hukum rakyat[22]atau hukum thaghut… Namun bagaimanapun keadaannya, sesungguhnya demokrasi bukanlah hukum Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Demokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan hukum Allah yang muhkam kecuali bila sesuai dan sejalan dengan undang-undang yang berlaku, dan kedua sesuai dengan keinginan rakyat, serta sebelum itu semua harus sesuai dengan selera para thaghut dan kroni-kroninya.
Oleh sebab itu bila rakyat seluruhnya mengatakan kepada thaghut atau kepada arbaab (tuhan-tuhan) dalam demokrasi: “Kami ingin penerapan hukum Allah, dan tidak seorangpun memiliki hak tasyrii' selama-lamanya baik itu rakyat atau para wakilnya atau penguasa….kami ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad, pezina, pencuri, peminum khamr,,,, dan,,,, kami juga ingin para wanita diwajibkan berhijab dan 'afaaf, kami melarang tabarruj, buka-bukaan, porno, cabul, zina, liwath (homo), dan perbuatan keji lainnya" maka dengan sepontan para thaghut dan para penghusung demokrasi itu akan mengatakan kepada mereka: “Ini bertentangan dengan paham demokrasi dan kebebasannya !!!”
Jadi inilah kebebasan agama demokrasi: Melepaskan diri dari agama Allah, syari'at-Nya, dan melanggar batasan-batasannya… Adapun hukum undang-undang bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan (disakralkan) serta dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan merasakan sangsinya…
Enyahlah kalian, enyahlah kalian, enyahlah kalian
Enyahlah kalian, hingga lisan ini merasa kelelahan.

Jadi demokrasi –wahai saudara setauhid- adalah agama baru di luar agama Allah subhaanahu wa ta'aala. Sesungguhnya dia adalah hukum thaghut dan bukan hukum Allah subhaanahu wa ta'aala. Sesungguhnya dia adalah syari'at para tuhan yang banyak lagi bertolak belakang, bukan syari'at Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan siapa orang yang menerima (demokrasi ini), serta bersekongkol di atasnya maka orang itu pada hakikatnya  telah menerima bahwa dia memiliki hak tasyri' (wewenang membuat hukum) sesuai dengan materi-materi undang-undang yang berlaku, dan berarti dia telah menerima (kesepakatan) bahwa hukum yang dia buat itu lebih didahulukan atas syari'at Allah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa.
Sama saja setelah itu apakah dia membuat hukum atau tidak, sama saja apakah dia (partainya) menang dalam pemilu (pesta syirik) atau tidak, karena kesepakatan dia bersama kaum musyrikin terhadap paham demokrasi, dan penerimaannya terhadap paham ini agar menjadi putusan dan hukum yang dirujuk serta kekuasaannya di atas kekuasaan Allah, Kitab-Nya dan Syari'at-Nya merupakan al-kufru bi 'ainihi (kekafiran dengan sendirinya), ini adalah kesesatan yang nyata lagi terang, bahkan itu adalah kemusyrikan (penyekutuan) terhadap Allah secara membabi buta.
Rakyat dalam agama demokrasi diwakili oleh para wakilnya (para anggota Dewan), setiap kelompok (organisasi), atau partai, atau suku memilih rabb (tuhan buatan) dari arbaab yang beragam asal usulnya untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka…namun ini sebagaimana yang sudah diketahui sesuai dengan rambu-rambu dan batasan undang-undang yang berlaku. Di antara mereka ada yang mengangkat (memilih) sembahan dan pembuat hukumnya sesuai dengan asas dan ideologi…baik itu rabb (tuhan) dari partai fulan, atau tuhan dari partai itu. Dan di antara mereka ada yang memilih tuhannya sesuai dengan ras dan kesukuan, sehingga ada tuhan dari kabilah ini dan ada tuhan berhala dari kabilah itu. Di antara mereka ada yang memilih tuhannya yang salafi (menurut klaim mereka), pihak yang lain ada yang memilih tuhannya yang ikhwani.[23] Ada sembahan yang berjenggot, ada tuhan yang jenggotnya dicukur habis, dan seterusnya…
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ولولا كلمة الفصل لقضي بينهم و إن الظالمين لهم عذاب أليم
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu bagi mereka adzab yang sangat pedih " (QS. Asy-Syuura: 21)
            Para wakil rakyat itu pada hakikatnya mereka adalah autsaan (berhala-berhala) yang dipajang dan patung-patung yang disembah, serta tuhan-tuhan jadi-jadian yang diangkat di tempat-tempat ibadah dan sarang-sarang paganisme mereka (parlemen), mereka dan para pengikutnya beragama demokrasi dan patuh kepada hukum undang-undangnya, kepada undang-undang itu mereka merujuk hukum, serta sesuai dengan materi dan point-point undang-undang itu mereka membuat hukum dan perundang-undangan…….dan sebelum itu semua mereka dikendalikan oleh tuhan mereka, sembahan mereka atau berhala agung mereka yang merestui dan menyetujui undang-undang mereka atau menolaknya…. Itu tidak lain dan tidak bukan adalah amir atau raja, atau presiden..
            Inilah –wahai saudara setauhid- adalah hakikat demokrasi dan ajarannya…agama thaghut….bukan agama Allah…Millatul musyrikin…bukan Millatun Nabiyyiin… syari'at banyak tuhan yang selalu saling bersebrangan dan berbantah-bantahan…bukan syari'at Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
أرباب متفرقون خير أم الله الواحد القهار ما تعبدون من دونه إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.” (QS. Yusuf: 39-40)
أإله مع الله تعالى الله عما يشركون
“Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” (QS. An-Naml: 63)
            Hendaklah engkau memilih wahai hamba Allah… kepada Agama Allah, syari'at-Nya yang suci, dan cahaya-Nya yang menerangi, serta jalan-Nya yang lurus !…atau agama demokrasi, kemusyrikannya, kekufurannya dan jalannya yang bengkok lagi tertutup. ?
Pilihlah !!! hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa atau hukum thaghut !!!

قد تبين الرشد من الغي فمن بكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها
“Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia sesungguhnya telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan terputus…”
(QS. Al-Baqarah: 256)
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا
“Dan katakanlah "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya telah Kami sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka… “
(QS. Al-Kahfi: 29)
أفغير دين الله يبغون وله أسلم من في السموات والأرض طوعا وكرها وإليه يرجعون . قل آمنا بالله وما أنزل علينا وما أنزل على إبراهيم وإسماعيل وإسحاق ويعقوب والأسباط وما أوتي موسى وعيسى والنبيون من ربهم لا نفرق بين أحد منهم  ونحن له مسلمون ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين.
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. Kataklanlah:"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka, kami tidak membeda-bedakan seseorangpun di antara mereka, dan hanya kepada-nya lah kami menyerahkan diri. Barangsiapa  mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
 (QS. Ali Imran: 83-85)



PASAL
Bantahan terhadap syubhat dan kebatilan yang membolehkan agama demokrasi

Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه  ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله  وما يعلم تأويله إلا الله  والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألباب . ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك  رحمة إنك أنت الوهاب .
“Dia-lah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :" Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa):"Ya Tuhan kami janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi karunia." ( QS. Ali-Imran: 7-8)

Allah subhaanahu wa ta'aala menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa manusia dalam mensikapi syari'at-Nya ada dua kelompok:
1.    Ahli ilmu dan yang mendalam ilmunya: Mereka mengambil dan  beriman kepadanya secara menyeluruh, mereka menghubungkan dalil yang umum dengan dalil yang mengkhususkannya, yang muthlaq dengan yang membatasinya (muqayyad), yang masih global dengan yang terperinci dan setiap hal yang mereka anggap sukar memahaminya mereka kembalikan  kepada landasan pokoknya berupa ushul-ushul yang muhkam lagi terang dan kaidah-kaidah yang baku lagi pasti yang ditunjukan oleh dalil-dalil syari'at yang sangat banyak.
2.    Orang-orang yang sesat dan di dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan: Mereka mengikuti hal-hal yang samar, mereka mengambilnya dan girang dengannya saja dalam rangka mencari fitnah seraya berpaling dari yang muhkam, mubayyan, serta yang mufassar.
Bergitu juga di sini dalam masalah demokrasi dan majelis perwakilannya yang syirik serta majelis-majelis lainnya, ada orang-orang yang menempuh jalan orang-orang sesat lagi cenderung kepada kesesatan, mereka sengaja mencari-cari kejadian-kejadian tertentu serta syubuhat-syubuhat dan mengambil itu saja tanpa menghubungkannya dengan pokok-pokok yang menjelaskannya atau memberikan batasannya atau menafsirkannya berupa kaidah-kaidah agama ini dan landasan-landasannya yang sangat kokoh. Mereka lakukan itu dalam rangka mengkaburkan yang haq dengan kebatilan dan cahaya dengan kegelapan.
Oleh sebab itu kami di sini akan mengetengahkan syubuhat-syubuhat mereka kemudian kami bantah dan mematahkannya dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa Yang Menjalankan awan dan Yang Menghancurkan musuh.


[1] Seperti yang dilakukan oleh sebagian tokoh ikhwanul muslimin pada masa sekarang dan partai-partai yang menisbatkan diri kepada Islam, sedangkan Islam itu sendiri berlepas diri dari mereka dan perbuatannya. pent
[2] Sebagian ulama kaum musyrikin itu sengaja mendalili majlis syirik demokrasi itu dengan ayat-ayat  dan atsar-atsar yang menganjurkan syuraa, layaknya Dawud Ibnu Jirjis yang mendalili perbuatan syirik kubur dengan ayat-ayat tentang perintah  mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta'aala dengan perantaraan amal shaleh, tak jauh berbeda antara ulama kaum musyrikin itu dengan Dawud Ibnu Jirjis yang sudah divonis kafir mulhid murtad oleh Aimmatuddakwah, hanya yang menjadi perbedaan adalah bahwa Dawud Ibnu Jirjis mendalili syirkul qubur (syirik kuburan) sedangkan mereka adalah mendalili syirkul qushur wad dustuur (syirik dewan dan aturan). pent
[3] Maslahat pada masa sekarang telah menjadi thaghut yang disembah oleh sebagian kelompok yang katanya ingin memperjuangkan hukum Islam, dengan dalih maslahat mereka ikut berkecimpung melebur dalam dunia syirik demokrasi dan parlemen, qaatalahumullah illaa an yahtaduu. Pent.
[4] Shalat, shaum, zakat, haji, qiyamullail, tilawatul qur'an dan amalan ibadah lainnya bila dilakukan oleh orang yang jatuh kedalam satu macam syirik akbar, maka itu semua tidak ada artinya, Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar Assaniyyah 1/113: Bila amalan kamu seluruhnya hanya bagi Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila ada sesuatu dari amalan itu dipalingkan kepada makhluk maka kamu adalah orang musyrik". Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Syarah Ashli Dinil Islam (lihat dalam Majmu'atut Tauhid, atau Aqidatul Muwahhidin, atau Al Jami'ul Fariid, atau dalam Ad Durar 2/131): Sesungguhnya orang yang melakukan syirik itu maka berarti dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang saling bertentangan yang tidak bisa bersatu". Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata dalam Mishbahudhdhallam 37: Siapa orangnya menyembah selain Allah, menjadikan tandingan Tuhan-nya, dan menyamakan Allah dengan yang lainnya dalam hak khusus Allah maka dia itu layak dinamakan orang musyrik yang sesat bukan orang muslim, meskipun dia itu banyak mengelola madrasah (pendidikan agama), mengangkat para qadli, banyak membangun mesjid, dan mengumandangkan seruan (adzan atau dakwah), karena dia tidak konsisten dengan Islam itu, sedangkan banyaknya berderma harta dan berlomba dalam menampakkan amalan kalau dia itu meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid) maka itu tidak menjadikan dia berstatus sebagai orang Islam". Sedangkan rela, atau ikut gabung dalam majelis syirik, atau mendukung demokrasi yang intinya penyandaran hukum kepada selain Allah (padahal hukum/tasyri' itu adalah hak khusus Rububiyyah atau Uluuhiyyah Allah), atau memperindahnya di hadapan manusia, atau menegakkan syubhat untuk membolehkannya, atau bahkan melindunginya, maka itu adalah kekufuran dan kemusyrikan, Syaikh Muhammad rahimahullah berkata dalam suratnya kepada Hamd At Tuwaijiriy (Mishbahudhdhalam 104): Dan kami hanya mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah dalam uluuhiyyah-Nya setelah jelas bagi dia hujjah akan batilnya syirik, dan begitu juga kami mengkafirkan orang yang memperindah syirik itu di hadapan manusia, atau menegakkan syubhat-syubhat yang batil untuk memperbolehkannya, dan begitu juga (kami mengkafirkan) orang yang menggunakan pedangnya (senjata/ dan kekuatannya) untuk melindungi tempat-tempat kemusyrikan yang di sana Allah disekutukan dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berusaha untuk menghancurkannya". Lihat empat macam orang dalam hal itu: Pelakunya (pemainnya), para juru dakwahnya, para tokoh intelektualnya dan para pelindungnya dari kalangan aparat keamanan (tentara/polisi), barisan, dan laskar yang merupakan tameng para thaghut. Pent.
[5] Dari kalangan ulama suu' yang mengobok-obok masalah tauhid, di antara contoh ulama suu' ini adalah Doktor Yusuf Al Qardlawiy - semoga Allah memberikan hidayah kepadanya - dia telah memfatwakan saat terjadi gempuran pasukan salib dan kaum murtaddin yang bersekongkol dengan mereka terhadap kaum muslimin di Afganistan dan pemerintahan Islam Thaliban, dia memfatwakan bahwa tentara muslim Amerika !!! boleh bergabung dengan pasukan salib Amerika untuk memerangi kaum muslimin di Afghanistan dengan dalih bahwa loyalitas nasionalisme dan kebangsaan harus di dahulukan atas loyalitas agama dan aqidah. Al Qardlawi dengan fatwa ini telah terjatuh dalam dua pembatal keislaman (murtad): Pertama dia membolehkan dan menghalalkan sesuatu yang sudah jelas lagi pasti keharamannya (bahkan kekufurannya), yaitu mendukung orang-orang musyrik untuk menindas kaum muslimin. Kedua dia telah mendahulukan loyalitas nasionalisme dan kebangsaan atas agama dan aqidah Islamiyyah. Di samping dia itu bersama-sama dengan pasukan salib memikul setiap tetes darah kaum muslimin yang tertumpah di Afghanistan. Inikah aqidah orang yang menjadi rujukan segala hukum di kalangan islamiyyin yang menghusung parlemen. Lihat Al Hijrah Masaail wa Ahkam 50-51. pent.
[6] Dengan taqyid ini keluar dari status thaghut para malaikat, para nabi dan orang-orang shalih yang disembah sedangkan mereka itu tidak ridla, mereka itu tidak dinamakan thaghut dan tidak boleh berlepas diri dari mereka, namun harus berlepas diri dari peribadatan kepadanya dan dari orang-orang yang menyembahnya, seperti Isa Ibnu Maryam 'alaihissalam.
[7] Surat At taubah : 31.
[8]  Surat Al An'am: 121, dan lihat sebab turun ayat ini,  ini telah diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya dari Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih.

[9] Majmu Al fatawaa 28/201.
[10] A'laamul Muwaqqi'iin 'An Rabbil'aalamiin 1/50.
[11] Dalam undang-undang Kuwait pasal 51 dikatakan: Wewenang/kekuasaan legislatif (tasyrii') berada di tangan emir dan majlis rakyat sesuai dengan patokan undang-undang".
Dan dalam undang-undang Yordania no: 25: Wewenang/kekuasaan legislatif dikembalikan kepada raja dan majlis rakyat".
Dan hal serupa dalam undang-undang Mesir pasal: 86: Majlis rakyat memegang kendali tasyri'".
(Dan begitu juga dalam UUD 45 di Indonesia bab I pasal I  ayat 2  amandemen ketiga UUD 1945 (10-10- 2001): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undag Dasar." bab II pasal 3 ayat 1: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Pent)
[12] Sebagian ahli tafsir berkata (Orang-orang yang bersama dia): adalah para pengikutnya atau para nabi yang berada di atas jalannya.
[13] Sehingga jelaslah batilnya pernyataan yang mengatakan bahwa kita hanya mengkafirkan perbuatannya, namun tidak mengkafirkan pelakunya, atau pernyataan sesat bahwa kita hanya mengkafirkan nau' tidak mu'ayyannya, atau pernyataan bahwa takfir mu'ayyan itu secara muthlaq adalah hak para ulama saja termasuk masalah yang dhahirah ini, atau pernyataan bahwa takfir thaghut-thaghut itu tidak ada faidahnya, atau ungkapan lain yang secara sadar atau tidak sadar dari yang mengatakannya bahwa ungkapan-ungkapan itu telah menguntungkan para thaghut dan barisannya. Subhaanallah bagaimana mereka itu bisa merealisasikan kufur kepada thaghut secara sempurna bila thaghut-thaghut itu masih dia anggap sebagai orang muslim, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalah fi makna thaghut silahkan lihat dalam Majmu'atuttauhid dan dalam Ad Durar jilid kedua serta dalam Al Jami'ul fariid : Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah engkau meyakini batilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, engkau membencinya, engkau mengkafirkan para pelakunya dan memusuhi mereka". Siapa yang akan engkau musuhi bila orang mu'ayyannya tidak ada yang dikafirkan ?...beliau juga mengatakan dalam Ad Durar 2/78: Takutlah engkau kepada Allah, takutlah engkau kepada Allah wahai saudaraku, pegang teguhlah ashlu dien kalian, yang paliang awal dan paling akhir darinya, induknya dan kepalanya, yaitu syahadat Laa ilaaha Illallaah, ketahuilah maknanya, cintailah orang-orangnya, dan jadikanlah mereka sebagai saudara-saudara kalian meskipun mereka itu jauh. Dan kafirlah kalian terhadap thaghut-thaghut, musuhilah mereka, bencilah orang yang mencintai mereka atau membela mereka atau orang yang tidak mengkafirkan mereka atau orang yang mengatakan saya tidak ada urusan dengan mereka atau orang yang mengatakan bahwa Allah tidak memajibkan saya untuk mengomentari mereka, sungguh dia (orang yang mengatakan itu) telah dusta terhadap Allah dan mengada-ada, justeru Allah telah mewajibkan dia untuk mengomentari mereka, Dia telah memfardlukan dia untuk kafir terhadap mereka dan berlepas diri darinya meskipun mereka itu adalah saudara-saudaranya dan anak-anaknya." Dan beliau juga berkata dalam kitab itu 2/79: Dan makna kafir terhadap thaghut adalah engkau berlepas diri dari segala sesuatu yang dipertuhankan selain Allah, baik itu jin, manusia, batu, pohon atau yang lainnya, memvonisnya dengan vonis kafir dan sesat, serta membencinya meskipun dia itu adalah ayahmu atau saudaramu. Adapun orang yang mengatakan: Saya tidak beribadah kecuali kepada Allah, akan tetapi saya tidak akan mengomentari para saadah (syaikh-syaikh yang dipertuhankan), kubah-kubah yang ada di atas kuburan, serta yang lainnya, maka dia itu adalah dusta dalam ucapan Laa ilaaha Illallaah, dia tidak iman kepada Allah dan tidak kafir terhadap thaghut."  Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad mengatakan dalam syarah Ashli Dienil Islam: Maka orang itu tidak dikatakan muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya serta mengkafirkan pelakuanya."  Syaikh Abdillathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Mishbahudhdhalaam hal: 28: Dan sebagian ulama memandang bahwa ini (takfir) serta jihad di atasnya merupakan satu dari rukun-rukun Islam yang di mana keislaman seseorang tidak sah tanpanya". Dan pada halaman berikutnya 29 beliau mengatakan: Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan tandingan bagi Allah serta orang yang mengangkat andaad dan aalihah (tuhan) bersama Allah, ini (tindakan) hanyalah dilalui oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak mengagungkan perintah-Nya, tidak  mengikuti jalan-Nya, dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-nya dengan pengagungan yang seharusnya, bahkan dia itu tidak mengagungkan para imam dan ulama umat ini dengan pengagungan yang seharusnya".
Al Imam Al Barbahari rahimahullah berkata dalam Syarhusunnah nomor 49: Seorangpun dari ahli kiblat tidak boleh dikeluarkan dari Islam sehingga dia menolak satu ayat dari Kitabullah, atau menolak sesuatu dari atsar-atsar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam atau shalat terhadap selain Allah, atau menyembelih untuk selain Allah (tumbal/sesajen), dan bila dia melakukan satu dari hal-hal itu maka wajib atasmu untuk mengeluarkan dia dari Islam."
Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Abdillathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil  Wahhab rahimahullah dalam Majmu' Al Fatawaa 1/84 dinukil dalam Aqidatul Muwahhidiin beliau berkata saat mengingkari orang yang tidak mau mentakfir mu'ayyan: Sesungguhnya nash-nash itu tidak datang dengan menta'yin setiap orang, dia itu (orang yang tidak mau takfir mu'ayyan) belajar bab hukum orang murtad, akan tetapi dia tidak mempraktekannya kepada seorangpun, maka ini adalah kesesatan yang buta dan kejahilan yang maha besar."
Takfir orang yang melakukan syirik akbar adalah suatu keharusan bukan fitnah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian juhhaal yang intisab ke salaf, dan kalau seandainya mereka berdalih bahwa mereka itu mengucapkan syahadat, mengamalkan rukun Islam dan yang lainnya sehingga saya tidak bisa mengkafirkannya meskipun mereka itu melakukan kekafiran yang nyata atau syirik akbar,  ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang berkeyakinan seperti ini adalah al malaa'iin almulhidiin al jahiliin adh dhaalimiin, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid (lihat Aqidatul Muwahhidiin 70, juga Tarikh Najd 381) setelah menjelaskan bukti ijma-ijma salaf dan pengikut akan takfir mu'ayyan orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallaah dan melaksanakan amalan-amalan Islam saat menampakkan kekafiran yang nyata dan syirik akbar, beliau berkata: Seorangpun dari kalangan orang-orang terdahulu dan al aakhiriin tidak pernah mendengar bahwa ada seorang (ulama) yang  mengingkari sedikitpun dari hal itu, atau mempertanyakannya karena alasan mereka (yang dikafirkan) itu mengaku Islam atau karena alasan mereka mengucapkan Laa ilaaha Illallaah atau karena mereka menampakkan hal-hal dari rukun-rukun Islam, kecuali apa yang kami dengar dari orang-orang terlaknat itu (al malaa'iin) pada masa-masa sekarang, padahal mereka mengakui bahwa itu adalah syirik, akan tetapi orang yang melakukannya atau memperindahnya atau dia telah bergabung dengan para pelakunya atau dia mencela tauhid atau memerangi muwahhidin karena tauhidnya atau membenci mereka karenanya, bahwa orang seperti ini tidak bisa dikafirkan karena dia mengucapkan Laa ilaaha Illallaah  atau karena dia itu selalu menunaikan rukun Islam yang lima. Dan mereka berdalih bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menamakan rukun-rukun itu sebagai Islam. Sungguh pernyataan ini (tidak bolehnya mengkafirkan orang-orang seperti tadi karena alasan tersebut) tidak pernah didengar sama sekali kecuali dari mereka orang-orang al mulhidiin al jahiliin adh dhalimiin itu. Dan bila mereka mendapatkan sepatah kata dari kalangan ulama atau salah seorang dari mereka untuk dijadikan dalil atas pendapat mereka yang busuk lagi dungu itu silahkan sebutkan."pent.
[14] Diambil dari Sabilunnajah wal Fikaak min Muwaalatil Murtaddin wa Ahlil Isyraak karya Syaikh Hamd Ibnu 'Atiq, dan lihatlah risalah kami Milah Ibrahim wa dakwatul Anbiyaa wal Mursaliin wa Asaalibuththughaah fi Tamyii'ihaa wa Sharfiddu'aah  'anhaa cetakan An Nur lil I'lam Al Islamiy.
[15] Muttafaq 'Alaih, potongan dari hadits ru'yatul mukminin lirabbihim yaumal qiyamah.
[16] Di dalam UUD 45 Bab II pasal 3 ayat 3:  Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak."pent.
[17] Namun demikian para ulama kaum musyrikin tetap mengatakan demokrasi adalah syuraa yang di mana kita harus ikut andil  di dalamnya dan untuk merealisasikannya, mereka mengutip ayat-ayat dan hadits untuk mengelabui masyarakat dan para pemuda yang memiliki semangat namun tak memiliki tauhid, thaghut-thaghut pun rela dan ridla dan menghargai mereka dan mengatakan mereka adalah orang-orang Islam yang demokrat. Sesungguhnya mereka – Demi Allah – adalah ulama kaum musyrikin, mereka ulama karena tahu banyak tentang fiqh, hadits dan tafsir, serta aliran-aliran sesat, namun mereka tak memiliki tauhid. Namun ketahuilah sesungguhnya satu orang awam dari kalangan muwahhidin yang memiliki silaah (senjata) mampu menaklukan seribu dari kalangan ulama kaum musyrikin, begitulah Al Imam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab mengatakan dalam Kasyfusysyubuhatnya. Pent.
[18] Dalam undang-undang dasar Kuwait pasal VI ditegaskan: Rakyat adalah sumber kekuasaan seluruhnya".
Dan dalam pasal 51: Kekuasaan legislatif berada di tangan amir dan majlis rakyat sesuai dengan undang-undang dasar".
Dan di dalam undang-undang dasar  Yordania pasal ke 24: Rakyat adalah sumber segala kekuasaan (hukum)". Dan : Rakyat menjalankan kekuasaan legislatifnya sesuai dengan cara yang telah tertera undang-undang dasar".
[19] Kalau di kita sekarang adalah seperti Pancasila dan UUD 45.pent.
[20] Allah subhaanahu wa ta'aala telah mengabarkan kepada kita bahwa perkataan ini adalah yang dilontarkan oleh Ibrahim kepada kaumnya setelah dia menjelaskan kepada mereka keburukan tuhan-tuhan mereka dan para thaghutnya.
[21] Di kala hukum Allah hendak ditetapkan sebagai hukum Negara yang beragama demokrasi, maka hukum Allah itu harus disodorkan terlebih dahulu kepada para arbaab (tuhan-tuhan buatan) yang duduk di atas kursi yang empuk itu, bila mayoritas mereka menyetujuinya, baru bisa diterapkan, dan bila tidak maka tidak bisa diberlakukan. Subhaanallah, siapa yang lebih tinggi, Allah atau mereka, sehingga hukum Allah memerlukan persetujuan dan pengesahan mereka terlebih dahulu. Orang-orang yang katanya ingin memperjuangkan Islam lewat parlemen mereka adalah arbaab juga, apakah Islam bisa tegak lewat jalur syirik, ingatlah ketika hukum-hukum Islam digolkan lewat lembaga syirik itu, maka yang disahkan itu bukanlah hukum Allah tapi itu adalah hukum parlemen. Kita bertanya kepada  orang-orang yang sesat lagi menyesatkan itu, bagaimana bila para thaghut itu menawarkan kepada kalian hukum Islam namun dengan syarat kalian harus berzina terlebih dahulu, apakah kalian mau menerimanya? Kalau kalian jawab tidak, maka kenapa kalian menerima bergabung dengan kemusyrikan mereka, padahal zina itu lebih ringan dari syirik ? Binasalah kalian, kecuali bila Allah memberi hidayah kepada kalian sehingga kalian masuk Islam kembali. Pent. 
[22] Atau dalam istilah kita dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pent.
[23] Semua ini sangat disayangkan sekali terjadi dan ada di Kuwait….. dan di banyak Negara….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar