Minggu, 05 September 2010

Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid

Syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi


Alih Bahasa:
Syahida Man

Publikasi:
Maktab Nidaa-ul Jihad
Judul Asli :

Idhoo'aat Ala Darbil Jihaad

Penulis :

Syaikh Yusuf bin Sholih Al 'Uyairi

Edisi Indonesia :

Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid

Penerjemah :

Syahida Man

Publikasi : 

Maktab Nidaa-ul Jihad

© All Right Reserved
Silahkan memperbanyak tanpa merubah isi, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin !
“Demi Kembalinya seluruh Dien hanya milik Allah Ta’ala”

Daftar Isi
Peran Kita Dalam Membela Islam……
4
Pokok-pokok pintu jihad melawan musuh……………………………………
7
Pintu jihad pertama:……………..……….
7
Pintu jihad kedua:………………………..
9
Pintu jihad ketiga:………………………..
14
Pintu jihad keempat:……………………..
16
Jalan Menuju Medan Jihad ……….….
22
Wahai Orang Tua, Tidak Ada Kewajiban Ijin Kepada Kalian Pada Hal-Hal Yang Hukumnya Fardlu 'Ain .
43
بسم الله الرحمن الرحيم
 ( 1 )
Peran Kita Dalam Membela Islam.
Segala puji bagi Alloh yang menguasai para diktator, dan yang memuliakan serta menolong orang-orang beriman. Dan sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada sebaik-baik mujahidin, dan komandan al ghurrul muhajjalin, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, yaitu Muhammad bin Abdillah, juga kepada seluruh keluarga dan sahabat beliau. Wa ba'du:
Pada hari-hari ini, terutama setelah dimulainya perang salib babak baru yang dilancarkan kepada Islam dan kaum muslimin, banyak orang Islam yang bertanya-tanya: Apa peran yang bisa kita perankan dan yang bisa kita lakukan untuk membela Islam dan kaum muslimin?
Dan saya yakin, bahwa pertanyaan ini sangat mendesak untuk dijawab karena pertanyaan semacam ini sudah sangat banyak dan sering terlontar, terlebih lagi pada saat sekarang. Pertanyaan ini terus bermunculan mengiringi setiap luka baru yang muncul pada umat ini. Namun saya tidak mengerti apa yang menyebabkan orang-orang itu tidak memahami apa peran mereka di dalam peperangan Islam pada hari ini?!
Meskipun setiap orang yang membaca Al Qur'an dan Sunnah, hanya dengan sekedar membaca ayat-ayat dan hadits-hadits tentang jihad, pasti akan memahami apa peran yang bisa ia kerjakan dalam peperangan ini. Dan saya tidak akan memaparkan secara panjang lebar nash-nash yang sangat banyak dari Al Qur'an maupun dari Sunnah yang menjelaskan peran setiap muslim dalam peperangan. Akan tetapi, saya akan membawakan satu nash hadits saja yang di sana Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjelaskan peran setiap muslim dalam peperangan dengan ungkapan perintah yang wajib dilaksanakan, dan kewajiban tersebut tidak akan pernah gugur dari tanggung jawab setiap mukallaf.
Telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya, Al Hakim dalam Mustadrok-nya, dan juga yang lainnya, dari Anas rodliyallohu 'anhu, ia berkata: Bersabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:
جَاهِدُوا اْلمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
Perangilang orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa kalian dan lisan kalian.
Sedangkan dalam riwayat An Nasa-i kalimat [أنفسكم ] dengan jiwa kalian, diganti dengan kalimat [وأيديكم ] dan dengan tangan kalian. Al Hakim mengatakan: Hadits ini shohih, sesuai dengan syarat Muslim, namun Al Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya.
Dalam Nailul Author VIII/29 Asy Syaukani mengatakan: "Sabda Rosul yang berbunyi:
جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ .. إلخ
Perangilah orang-orang musyrik …dst.
… merupakan dalil atas wajibnya memerangi orang-orang kafir dengan harta, tangan dan lisan. Sedangkan perintah jihad dengan jiwa dan harta itu telah disebutkan di beberapa tempat dalam Al Qur'an dalam, sedangkan secara dhohir perintah itu menunjukkan kewajiban."
Namun saya di sini bukan mau menerangkan hukumnya, kapan hukumnya menjadi fardlu 'ain dan kapan hukumnya tidak fardlu 'ain. Akan tetapi saya di sini hendak menerangkan tugas dan peran setiap muslim dalam jihad melawan musuh ini. Karena Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits di atas:
… pokok-pokok pintu jihad melawan musuh yang kafir, di dalam hadits tersebut beliau menyebutkan tiga dari empat sarana pokok dalam jihad:
Pintu jihad pertama: Jihad dengan jiwa (secara fisik) atau dengan tangan. Dan ini merupakan tingkatan jihad yang paling tinggi dan paling sempurna. Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: "Sesungguhnya nash-nash Al Qur'an dan Sunnah itu apabila menyebutkan kalimat jihad secara lepas, dan tidak mengkhususkannya dengan sesuatu, atau tidak menggabungkannya dengan harta atau lisan, maka yang dimaksud adalah jihad dengan pedang berdasarkan kesepakatan para salaf." Dan jihad dengan jiwa (secara fisik) itu merupakan tingkatan jihad yang paling tinggi, oleh karena itu Alloh memberikan pahala yang paling sempurna kepadanya dan menetapkan transaksi jual-beli dengan syurga sebagai imbalannya atas jiwa untuk yang pertama, sebagaimana yang disebutkan di dalam surat At Taubah:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّة
Sesungguhnya Alloh telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan memberikan syurga kepada mereka.
Ini adalah satu-satunya ayat tentang jihad yang menyebutkan jiwa terlebih dahulu daripada harta, hal itu karena nilai perniagaannya sangat mahal sehingga haraganyapun biasanya sangat mahal juga.
Dan di antara cabang jihad dengan jiwa (secara fisik) adalah; setiap orang yang beriman mempunyai kewajiban untuk ribath (tinggal di perbatasan), tadrib (melatih) mujahidin, menyiapkan mereka, memantau mereka di medan-medan jihad, dan amalan-amalan fisik lainnya yang menurut kesepakatan para ulama' hukumnya pada saat sekarang ini fardlu 'ain bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan. Karena apabila musuh menyerang negeri kaum muslimin maka jihad hukumnya fardlu 'ain bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan.
Pintu jihad kedua: Di antara sarana jihad yang disebutkan oleh Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits di muka adalah jihad dengan harta. Jihad dengan harta ini sering disebutkan di dalam ayat-ayat jihad dalam Al Qur'an. Dan seringkali harta ini disebutkan lebih duluan daripada jiwa, akan tetapi bukan berarti jihad dengan harta itu lebih tinggi derajatnya daripada jihad dengan jiwa (secara fisik), sekali-kali tidak. Akan tetapi hal itu karena yang diwajibkan untuk berjihad dengan harta itu umat Islam secara keseluruhan, karena jihad secara fisik itu cukup dilaksanakan oleh kaum laki-laki jika sejumlah orang dari mereka berangkat berjihad. Akan tetapi harta, tidak dapat mencukupi mujahidin kecuali jika umat Islam secara keseluruhan bahu-membahu mengeluarkan hartanya untuk mujahidin, yang mana harta ini terhitung sebagai bahan bakar jihad. Maka kalangan yang diwajibakan untuk berjihad dengan harta ini lebih banyak daripada kalangan yang diwajibkan untuk berjihad secara fisik. Oleh karena itu didahulukannya penyebutan jihad dengan harta itu dalam ayat-ayat jihad itu dikarenakan luasnya kalangan yang diwajibkan untuk melaksanakannya, yang mencakup kaum laki-laki, perempuan, pemuda, orang tua, anak kecil dan orang dewasa, wallohu a'lam.
Dan seorang mukmin tidak mesti mengeluarkan harta yang sangat banyak untuk dapat melaksanakan jihad dengan harta ini, akan tetapi hendaknya ia melaksanakannya sesuai dengan kadar yang dapat menggugurkan kewajibannya di hadapan Alloh ta'ala. Karena yang dimaksud dalam jihad dengan harta ini, ketika hukumnya fardlu 'ain, adalah hendaknya engkau melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadamu dan hendaknya engkau mengeluarkan hartamu sebanyak yang menurut keyakinanmu engkau telah melaksanakan kewajiban yang Alloh bebankan kepadamu, meskipun hanya sedikit. Hal itu sebagaimana sabda Rosululloh shollallou 'alaihi wa sallam, yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An Nasa-i dari Abu Huroiroh rodliyallohu 'anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفٍ
Satu dirham dapat mengalahkan seratus ribu dirham.
Para sahabat bertanya: Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rosululloh? Beliau menjawab:
رَجُلٌ لَهُ دِرْهَمَانِ فَأَخَذَ أَحَدَهُمَا فَتَصَدَّقَ بِهِ وَرَجُلٌ لَهٌ مَالٌ كَثِيْرٌ فَأَخَذَ مِنْ عَرَضِ مَالِهِ مِائَةَ أَلْفٍ فَتَصَدَّقَ بِهَا
Seseorang memiliki dua dirham lalu ia sedekahkan sati dirham, dan ada lagi seseorang yang mempunyai harta banyak sekali lalu ia sedekahkan seratus ribu dirham.
Alloh itu tidak menerima sedekah berdasarkan banyaknya, akan tetapi Alloh menerimanya berdasarkan kualitasnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, ketika Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam ditanya tentang sedekah apa yang paling utama, beliau menjawab:
جُهْدُ الْمُقِلِّ
Sedekah orang yang sedang kesusahan.
Artinya adalah sedekah yang dikeluarkan oleh orang yang membutuhkan harta sedangkan dia tidak memiliki harta kecuali sedikit. Maka bertaqwalah anda kepada Alloh, dan bersedekahlah sesuai dengan kelapangan hatimu, bukan hanya untuk sekali saja akan tetapi hendaknya engkau sisihkan secara rutin dari penghasilanmu untuk jihad selama jihad itu masih ada dan mujahidin membutuhkan harta.
Dan diantara cabang jihad dengan harta juga, bagi orang yang tidak memiliki penghasilan dan juga tidak memiliki harta untuk dia infakkan, adalah mengumpulkan dana jihad dari orang-orang kaya, baik dari kaum wanita, anak-anak, orang-orang khusus dan orang-orang awam. Dan bagi orang yang tidak dapat mengumpulkan dana, ia dapat memberikan motifasi kepada orang lain untuk berjihad dengan hartanya, dan menghimbau kaum muslimin agar tidak pelit jika mereka dimintai dana.
Dan di antara cabang jihad dengan harta juga adalah bagi orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola harta hendaknya mengumpukan modal (saham) lalu membuat sebuah proyek usaha yang keuntungannya diberikan kepada mujahidin secara berkala.
Dan di sana masih banyak lagi cabang jihad dengan harta, namun dari contoh-contoh di atas sudah cukup untuk menjelaskan yang dimaksud jihad dengan harta.
Pintu jihad ketiga: Di anatara sarana jihad yang pokok, yang disebutkan dalam sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam di depan adalah jihad dengan lisan. Jihad dengan lisan ini mempunyai peran yang sangat besar, bahkan terkadang memiliki perang lebih besar daripada jihad secara fisik, saya katakan terkadang dan bukan selamanya. Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim:
أُهْجُوْا قُرَيْشاً فَإِنَّهُ أَشَدُّ عَلَيْهِمْ مِنْ رشقٍ بِالنَّبْلِ
Makilah orang-orang Quraisy, karena makian itu lebih menyakitkan mereka daripada tusukan tombak.
Maka, jihad dengan lisan itu mempunyai peran yang sangat besar, dan ini merupakan tahapan yang pertama sebelum dilakukan jihad secara fisik dan jihad dengan harta. Orang itu tidak dapat dimotifasi untuk berjihad secara fisik kecuali dengan lisan, dan tidak dapat diberi motifasi untuk berjihad dengan harta kecuali dengan lisan. Dengan demikian jihad dengan lisan itu memiliki peran yang sangat besar, dan ini adalah satu-satunya jihad yang dapat dilakukan oleh semua kalangan mukallaf, karena semua mukallaf dapat berjihad dengan lisannya dengan cara apapun.
Dan di antara cabang dari jihad dengan lisan adalah memberikan penjelasan tetang hakekat serangan kaum salib yang dilancarkan terhadap Islam, membela mujahidin dan mempertahankan kehormatan mereka. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah keluarganya, di kalangan orang-orang awam di forum-forum, di masjid-masjid, di tempat-tempat kerja dan di sekolahan-sekolahan. Setiap muslim wajib untuk berjihad dengan lisannya sesuai dengan kemampuannya, dan jihad dengan lisan itu tidak ada syarat apapun untuk melakukannya. Bahkan setiap kata-kata yang diketahui oleh seorang mukallaf dapat menyingkap kedok orang-orang salib, atau dapat membantu mujahidin maka wajib baginya mengucapkannya dan menjelaskannya kepada orang lain, wallohu a'lam.
Dan di antara cabang jihad dengan lisan adalah menulis dan menyebarkan produk yang mengandung materi yang dapat memotifasi jihad dalam semua bentuknya, baik buku, kaset, bulletin dan lainya. Dan bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan menulis buku hendaknya menyebarkannya baik dengan tangan, dengan faks atau dengan email. Dan di antara jihad dengan lisan juga adalah menulis makalah di majalah-majalah, bulletin-bulletin, tabloid-tabloid, menulis di internet, surat-menyurat melalui email kepada ribuan manusia, membela Islam di setiap kesempatan. Sarana jihad dengan lisan ini banyak sekali dan saya telah memberikan contoh-contohnya yang dapat menjelaskannya, wallohu a'lam.
Pintu jihad keempat: Di antara sarana jihad yang pokok adalah memerangi musuh dengan hati. Dan secara urutan dan urgensi jihad ini adalah yang paling pertama dan yang paling utama. Akan tetapi di sini saya letakkan pada urutan keempat karena Nabi shollallohu 'alaihi wa saalam tidak menyebutkannya di dalam hadits yang sedang kita bahas ini. Namun, jihad dalam bentuk ini merupakan salah satu rukun Islam dan Alloh tidak akan menerima Islam seseorang melainkan dengannya. Dan nash-nash yang menerangkan apa yang dimaksud dengan memerangi musuh dengan hati ini banyak sekali. Pertama kali yang dimaksud dengan jihad hati adalah membenci orang-orang kafir beserta ajaran-ajaran mereka, membenci orang-orang yang berwala' (loyal) kepada mereka, tidak mencintai mereka, mengkufuri mereka dan mengkufuri peribadahan-peribadahan mereka. Apabila jihad hati ini hilang dari seseorang terhadap musuhnya maka ia kafir terhadap Alloh yang Maha Agung. Alloh ta'ala berfirman:
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Mujadilah: 22)
Dan Alloh berfirman mengenai millah Ibrohim:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrohim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Alloh, kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja. (Al Mumtahanah: 4)

Dan Alloh ta'ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقُى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Barangsiapa mengingkari thoghut dan beriman kepada Alloh maka ia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat yang tidak akan terputus, dan Alloh Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dan ayat-ayat yang menunjukkan bahwasanya jihad hati terhadap musuh itu merupakan salah satu rukun dalam agama Islam ini banyak sekali dan di sini tidak mencukupi tempatnya untuk kami sebutkan seluruhnya.
Inilah penjelasan singkat tentang tugas-tugas yang menjadi tanggungan setiap muslim yang mukallaf pada saat-saat sekarang ini dalam melawan serangan kaum salib yang telah dimulai sejak satu abad yang lalu, dan telah berkecamuk serta menyeringaikan taringnya pada hari Ahad, 19-7-1422 H, yaitu ketika mereka membombardir pemerintahan Islam Afghanistan. Kami memohon kepada Alloh agar membendung makar orang-orang dholim, dan memenangkan agama-Nya dan para wali-Nya, serta meninggikan kaliamat-Nya.
Saya akhiri penjelasan ini dengan peringatan singkat, yaitu hendaknnya kita tidak melihat kepada hadits di atas dan kepada urutan jihad yang Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam sebutkan, dengan harta, dan dengan jiwa, dan dengan lisan, lalu kita menyangka bahwa urutan ini berarti menunjukkan urutan prioritas. Karena, huruf wawu yang diletakkan di antara macam-macam jihad dalam hadits tersebut tidak menunjukkan urutan akan tetapi hanya menunjukkan 'athof semata. Sehingga didahulukan atau diakhirkannya jenis jihad di dalam penyebutannya pada hadits tersebut tidak menunjukkan prioritas. Karena secara urutan jihad hati adalah yang paling besar, kemudian setelah itu adalah jihad dengan jiwa (secara fisik), kemudian setelah itu adalah jihad dengan harta, kemudian dengan lisan. Namun terkadang bagi orang-orang tertentu jihad dengan lisan itu lebih didahulukan daripada jihad dengan jiwa (secara fisik), atau jihad dengan harta didahulukan daripada jihad secara fisik, demikianlah. Akan tetapi hukumnya secara umum urutan yang saya sebutkan ini adalah urutan yang berdasarkan pemahaman dari nash-nash Al Qur'an dan Sunnah, wallohu a'lam.
Maka, hendaknya setiap hamba takut kepada Alloh, dan hendaknya ia mengetahui bahwasanya Alloh ta'ala akan menanyainya tetantang jihadnya. Jika ia melalaikannya dan melaksanakan jihad yang paling rendah, yaitu jihad dengan lisan, dan meninggalkan jihad yang paling tinggi, yaitu jihad secara fisik, maka semacam ini tidak dapat menggugurkan kewajiban yang ada di atas pundaknya. Dan ketahuilah bahwasanya sesuatu yang paling rendah itu sama sekali tidak dapat menggugurkan yang paling tinggi.

*****************************************


( 2 )
Jalan Menuju Medan Jihad.
Segala puji bagi Alloh, Robb seluruh alam, yang telah berfirman di dalam kitab-Nya:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti akan kami tunjukkan mereka kepada jalan-jalan Kami.
Dan sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rosul-Nya yang terpercaya, Muhammad bin Abdillah, pemuka manusia pada generasi awal maupun generasi akhir, komandan al ghurrul muhajjalin, juga kepada seluruh keluarga dan sahabatnya, wa ba'du:
Sesungguhnya banyak kaum muslimin pada hari ini yang telah dapat menerima sepenuhnya bahwasanya jihad itu hukumnya adalah fardlu 'ain karena musuh telah menyerang bumi kaum muslimin. Mereka juga dapat menerima sepenuhnya bahwasanya para mujahidin dan umat Islam sangat membutuhkan kepada rijal yang mau membela agama ini, dan membela darah serta kehormatan kaum muslimin.
Akan tetapi kelapangan dada mereka untuk menerima kenyataan ini belum ditindaklanjuti dalam praktek nyata oleh sebagian besar kaum muslimin, untuk bergabung ke bumi jihad? Akan tetapi kelapangan dada mereka untuk menerima kenyataan ini akan sirna dan hilang ketika dihadapkan dengan pertanyaan: Mana jalan menuju bumi jihad? Bagaimana caranya kita agar sampai ke bumi jihad? Namun sebagai jawaban atas pertanyaan ini, kebanyakan kaum muslimin tidak dengan terus-menerus mencari jalan akan tetapi justru mereka malah berpangku tangan, tidak mencarinya dan menipu diri sendiri dengan menganggap bahwasanya ini adalah udzur di hadapan Alloh.
Di sini saya akan membicarakan masalah jalan menuju medan jihad dan bagaimana caranya agar umat ini bisa sampai medan jihad, dan apa yang dimaksud dengan jalan menuju medan jihad.
Sesungguhnya jihad itu pada hari ini dianggap sebagai kekuatan menakutkan yang menggoncang singgasana kaum Yahudi dan kaum Salib. Dan ia adalah hantu yang mengancam dunia, beserta kebudayaan dan keamanannya. Demikianlah sebutan jihad yang tengah ditawarkan oleh kaum Salib. Oleh karena dunia menggambarkan jihad dengan gambaran semacam ini, maka jangan sekali-kali ada seorang muslim yang menyangka bahwa ia akan dapat sampai ke bumi jihad dengan mudah dan gampang, sekali-kali tidak. Akan tetapi ia akan menghadapi berbagai ancaman yang harus ia lalui supaya dia dapat sampai ke bumi jihad. Dan jangan sampai ada seorang muslimpun yang mempunyai anggapan bahwa musuhnya pada hari ini akan menaburi jalannya menuju jihad dengan bunga dan wewangian, lalu mengatakan kepadanya: Silahkan, silahkan, supaya kamu mendapatkan ridlo Alloh dan syurga. Sesungguhnya orang yang mengira bahwa musuhnya akan memperlakukannya seperti ini, dia adalah orang yang bodoh yang tidak memahami tabiat musuhnya yang Alloh ta'ala terangkan dalam Al Qur'an, Alloh berfirman:
وَلاَ يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوْا
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai memurtadkan kalian dari agama kalian jika mereka sanggup.
Mereka berusaha siang dan malam untuk menghalangi orang-orang beriman dari agama mereka dan dari jihad mereka.
Ini semua bukan untuk melemahkan semangat para rijal yang telah merindukan jihad, sama sekali tidak. Akan tetapi saya ingin mendekatkan gambaran jihad yang hendaknya diletakkan oleh setiap muslim dalam benaknya sebelum ia menempuh jalan menuju medan jihad. Dan hendaknya setiap orang yang ingin pergi ke medan jihad bahwasanya keinginan saja tidak cukup untuk dijadikan udzur di hadapan Alloh. Memang dengan mempunyai keinginan engkau akan terbebas dari sifat munafik, akan tetapi untuk mendapatkan udzur tidak berjihad dihadapan Alloh dibutuhkan usaha-usaha selain keinginan semata. Dan hendaknya semua pemuda Islam juga mengetahui bahwasanya orang-orang yang mempunyai keinginan tulus sebelum mereka telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka sehingga mereka dapat masuk ke bumi jihad akan tetapi setelah apa? Yaitu setelah mereka merasakan kelelahan, ketakutan dan perburuan. Mereka mempunyai keinginan yang tulus sehingga Alloh mengabulkan keinginan mereka untuk sampai ke medan jihad.
Oleh karena itu Alloh menghitung menempuh jalan menuju medan jihad itu sendiri sebagai jihad tersendiri. Sehingga Alloh memberikan pahala dan balasan yang sangat besar. Alloh menganggap orang yang keluar ke bumi jihad itu sebagai mujahid dan jika ia mati maka ia mati syahid. Semua keutamaan dan balasan itu diberikan untuk memberikan motifasi kepada umat Islam agar memiliki semangat jihad. Karena mujahid itu apa yang ia inginkan dari jihadnya? Sesungguhnya ia ingin mendapatkan salah satu dari dua hal yang sangat baik, menang atau mati syahid. Maka apabila ia mendapatkan salah satu dari keduanya berarti dia telah mendapatkan kemenangan. Oleh karena itu Alloh ta'ala dan Rosul shollallohu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwasanya barangsiapa keluar rumah untuk berjihad, maka ia pasti akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan …
Alloh ta'ala berfirman:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Alloh dan Rosul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisa': 100)
Di dalam ayat ini Alloh menerangkan bahwasanya barangsiapa keluar rumah menuju bumi jihad ia akan mendapatkan tempat untuk berlindung dan rizki yang banyak, dan jika ia mati maka ia telah tetap pahalanya di sisi Alloh yang Maha Mulia, yang tidak akan memberikan balasan selain syurga abadi. Alloh juga berfirman:
وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ثُمَّ قُتِلُوْا أَوْ مَاتُوْا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ
Dan orang-orang yang berhijroh di jalan Alloh kemudian mereka terbunuh atau mati niscaya Alloh akan memberikan rizki yang baik kepada mereka. Dan sesungguhnya Alloh benar-benar sebaik-baik pemberi rizki.
Dan dalam ayat ini Alloh menerangkan bahwasanya orang yang keluar untuk berjihad itu, baik ia terbunuh atau mati, maka ia dijanjikan Alloh akan diberi rizki yang baik …

Dan Alloh ta'ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا فِي اللهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَة وَلَأَجْرُ اْلآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
Dan orang-orang yang berhijroh di jalan Alloh setelah mereka di aniaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang baik kepada mereka di dunia, dan sungguh pahala yang akan ia dapatkan di akherat lebih besar lagi jika mereka mengetahui.
Di dalam ayat ini Alloh ta'ala juga menerangkan bahwasanya Alloh akan memberikan rizki yang baik kepada mujahid dan bukan hanya pahala saja, dan sungguh pahala di akherat itu lebih besar lagi meskipun di dunia ia belum sempat mendapatkan rizki yang baik lantara suatu hikmah yang hanya Alloh saja yang mengetahuinya.
Dan di dalam hadits, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjelaskan permasalahan ini dengan ungkapan yang lebin indah, dan dapat mendekatkan gambaran kepada kita dengan memaparkan kemungkinan-kemungkinan bencana yang akan menimpa kita, dengan tujuan supaya membangkitkan semangat kita untuk keluar berjihad. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dari Abu Malik Al Asy'ari rodliyallohu 'anhu, ia mengatakan: Saya pernah mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ فَصلَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَمَاتَ أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيْدٌ أَوْ وَقَصَهُ فَرَسُهُ أَوْ بَعِيْرُهُ أَوْ لَدغَتْهُ هَامَةٌ أَوْ مَاتَ عَلىَ فِرَاشِهِ أَوْ بِأَيِّ حَتْفٍ شَاءَ اللهُ فَإِنَّهُ شَهِيْدٌ وَإِنَّ لَهُ الْجَنَّةَ
Barangsiapa keluar di jalan Alloh lalu ia mati atau terbunuh maka ia syahid, atau terpelanting oleh kudanya atau untanya atau disengat binatang berbisa atau mati di atas kasurnya atau dengan cara apapun yang Alloh kehendaki maka sesungguhnya ia syahid dan ia mendapatkan syurga.
Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Furu': Di dalam sanad hadits ini ada Baqiyah yang masih diperselisihkan statusnya akan tetapi hadits ini hasan insya Alloh. Ibnu Abi 'Ashim juga mengatakan; Isnad hadits ini hasan lighoirihi. Sedangkan Al Hakim mengatakan; Hadits ini sesuai dengan syarat Muslim. Di dalam sanad hadits ini terdapat Baqiyah dan 'Abdur Rohman bin Tsauban yang mana keduanya adalah dlo'if. Akan tetapi hadits ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi di dalam Sunannya. Di sana ia mengatakan: Diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy'ari, ia mengatakan: Saya pernah mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ مَنِ انْتَدَبَ خَارِجًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ابْتِغَاءَ وَجْهِهِ وَتَصْدِيْقَ وَعْدِهِ وَإِيْمَانًا بِرِسَالاَتِهِ عَلَى اللهِ ضَامِنٌ فَإِمَّا يَتَوَفَّاهُ اللهُ فِي الْجَيْشِ بِأَيِّ حَتْفٍ شَاءَ فَيُدْخِلُهُ اْلجَنَّةَ ، وَإِمَّا يَسِيْحُ فِيْ ضِمَانِ اللهِ وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ ثُمَّ يَرُدُّهُ إِلَى أَهْلِهِ سَالِمًا مَعَ مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَ غَنِيْمَةٍ قَالَ وَمَن فَصَلَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَمَاتَ أَوْ قُتِلَ يَعْنِي فَهُوَ شَهِيْدٌ أَوْ وَقَصَهُ فَرَسُهُ أَو بَعِيْرُهُ أَوْ لَدغَتْهُ هَامَةٌ أَوْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ بِأَيِّ حَتْفٍ شَاءَ اللهُ فَإِنَّهُ شَهِيْدٌ وَلَهُ الْجَنَّةُ
Sesungguhnya Alloh 'azza wa jalla berfirman: Barangsiapa keluar di jalan Alloh untuk mencari wajah-Nya, karena membenarkan janji-Nya dan karena beriman kepada risalah-Nya, maka Alloh menjamin akan mematikannya dalam sebuah pasukan dengan cara mati yang bagaimanapun yang Alloh kehendaki sehingga Alloh memasukkannya ke dalam syurga. Atau ia akan terus berjalan dalam jaminan Alloh meskipun lama kepergiannya, kemudian Alloh mengembalikannya kepada keluarganya dalam keadaan selamat dengan membawa pahala dan ghonimah. Beliau bersabda: Dan barangsiapa keluar di jalan Alloh kemudian mati atau terbunuh maka dia syahid, atau ia terpelanting oleh kudanya atau untanya, atau disengat binatang berbisa atau ia mati di atas kasurnya dengan cara mati yang bagaimanapun yang Alloh kehendaki, maka sesungguhnya ia syahid dan ia mendapatkan syurga.
Hadits tersebut juga diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdulloh bin 'Atiq rodliyallohu 'anhu, ia berkata: Saya pernah mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُجَاهِدًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَالَ بِأَصَابِعِهِ هَؤُلاَءِ الثَّلاَثُ الْوُسْطَى وَالسَّبَابَةُ وَاْلإِبْهَامُ فَجَمَعَهُنَّ وَقَالَ وَأَيْنَ الْمُجَاهِدُوْنَ فَخَرَّ عَنْ دَابَّتِهِ فَمَاتَ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ تَعَالى أَوْ لَدغَتْهُ دَابَّةٌ فَمَاتَ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ أَوْ مَاتَ حتف أَنْفِهِ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Barangsiapa keluar rumah untuk berjihad fi sabilillah .. kemudian beliau menunjukkan tiga jarinya, yakni jari tengah, telunjuk dan ibu jari, lalu beliau mengumpulkannya, dan beliau bersabda … dan manakah mujahidin, lalu ia tersungkur dari binatang tunggangannya lalu mati, maka ia pahalanya telah ditetapkan di sisi Alloh, atau dia disengat binatang kemudian ia mati maka pahalanya telah ditetapkan di sisi Alloh, atau dia mati dengan cara apapun maka pahalanya telah ditetapkan disisi Alloh 'azza wa jalla.
Dalam sanad hadits ini juga terdapat Muhammad bin Is-haq, akan tetapi ayat-ayat di atas memperkuat hadits-hadits ini dan tidak bertentangan dengannya. Hal ini telah difahami Al Bukhori dan beliau membuat satu bab tersendiri dalam Shohih nya tentang masalah ini, yakni Bab Keutamaan orang yang terpelanting di jalan Alloh lalu ia mati maka di termasuk dalam golongan mereka, dan firman Alloh ta'ala:
وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ اْلمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Dan barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijroh kepada Alloh dan Rosul-Nya kemudian ia mati maka pahalanya telah ditetapkan di sisi Alloh.
وقع artinya adalah وجب. Ibnu Hajar berkata: Yang dimaksud dengan kaliamat [maka dia termasuk golongan mereka] adalah termasuk golongan mujahidin. Sedangkan yang dimaksud dengan firman Alloh [kemudian ia mati] itu lebih bersifat umum daripada hanya sekedar terbunuh atau terjatuh dari binatang tunggangan atau yang lainnya, maka ayat ini cocok dengan judul babnya. Dan Ath Thobari telah meriwayatkan dari jalur Sa'id bin Jubair, As Suddi dan yang lainnya, bahwasanya ayat ini turun berkenaan dengan seorang muslim yang tinggal di Mekkah, lalu tatkala ia mendengar firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا
Bukankah bumi Alloh itu luas sehingga kalian dapat berhijrah ke sana.
Ketika mendengar ayat ini ia mengatakan kepada keluarganya, sedangkan dia dalam keadaan sakit: Keluarkanlah aku ke arah Madinah! Maka keluarganya pun mengeluarkannya ke jalan arah Madinah kemudian ia mati di tengah jalan, maka turunlah ayat tersebut di atas. Dan yang benar nama orang tersebut adalah Dlomroh. Hal ini telah saya terangkan dalam kitabku yang membahas tentang sahabat. Sedangkan firman Alloh yang berbunyi [waqo'a: wajaba]. Ia mengatakan: Firman-Nya yang berbunyi:
وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ
Artinya adalah pahalanya telah ditetapkan." Sampai di sini perkataan Ibnu Hajar secara ringkas.
Jika pahala bagi orang yang menempuh perjalanan untuk berjihad saja seperti ini, lalu bagaimana dengan pahala jihad itu sendiri. Alloh tidak menjadikan pahala menempuh jalan menuju jihad dengan memberikan derajat dan jaminan seperti ini kecuali karena Alloh mengetahui bahwasanya perjalanan menuju jihad itu sangat berat. Hal itu karena dua hal: Pertama: Karena ini adalah awal dari kesusahan yang dihadapi oleh seorang mujahid ketika ia meninggalkan keluarga dan hartanya sedangkan jiwanya belum terbiasa dengan kesusahan, Kedua: Karena memotong jalan kaum muslimin menuju medan jihad itu lebih mudah bagi musuh daripada membunuh mujahidin setelah ia waspada dan memanggul senjata.
Dan dalam rangka membakar semangat serta memompa tekad, Alloh memberikan pahala yang sangat besar kepada orang yang menempuh perjalanan menuju jihad, dan Alloh juga menjamin akan memberikan pahala kepada mujahid, jaminan yang tidak meragukan sedikitpun. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Shohih Al Bukhori dan Shohih Muslim, sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh, ia mengatakan: Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَضَمَّنَ اللهُ لِمَنْ خَرَجَ فِيْ سَبِيْلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ جِهَادًا فِيْ سَبِيْلِيْ وَإِيْمَانًا بِيْ وَتَصْدِيْقًا بِرُسُلِيْ فَهُوَ عَلَيَّ ضَامِنٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ أُرْجِعُهُ إِلَى مَسْكَنِهِ الَّذِيْ خَرَجَ مِنْهُ نَائِلاً مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيْمَةٍ
Alloh menjamin orang yang keluar di jalan-Nya tidak ada tujuan lain selain untuk berjihad di jalan-Ku dan karena iman kepada-Ku serta percaya kepada para Rosul-Ku, orang tersebut Aku jamin untuk Aku masukkan ke syurga atau Aku kembalikan dia ke rumahnya yang dia keluar darinya dengan memperoleh pahala dan ghonimah … (Al Hadits)
Jaminan kuat yang Alloh berikan kepada orang yang keluar untuk berjihad di jalan-Nya ini merupakan bukti yang nyata atas beratnya perjalanan menuju jihad bagi jiwa, yang dipenuhi dengan berbagai ancaman. Oleh karena itu Alloh ringankan kesulitan ini dengan pahala yang sangat besar.
Atas dasar ini, jika engakau benar-benar mempunyai keinginan untuk berjihad, maka jangan sekali-kali engkau berhenti dengan keinginan saja, karena ini tidak cukup untuk engkau jadikan alasan dihadapan Alloh untuk tidak berjihad, selama engkau mampu untuk keluar atau mampu untuk hanya sekedar melakukan usaha yang ada peluang berhasilnya. Maka berusahalah dan tempuhlah jalan menuju jihad. Dan ketahuilah, sesungguhnya orang-orang yang telah sampai ke bumi jihad itu bukanlah orang-orang yang mempunyai keajaiban, akan tetapi mereka mereka telah berusaha kemudian Alloh memberikan kemudahan kepada mereka sehingga Alloh palingkan pendengaran dan penglihatan orang dari mereka sehingga mereka dapat sampai ke medan jihad.
Dan sungguh jalan menuju medan jihad itu banyak sekali. Misalnya Afghanistan, engkau bisa melalui Pakistan, Iran, Uzbekistan, Tajikistan, Turkmanistan dan Cina. Begitu pula Chechnya, engkau dapat melalui Gorgia, Daghestan, Ingusetia dan Rusia. Kemudian Palestina, engkau dapat melalui Mesir, Yordan, Lebanon dan Suria. Kemudian Kasymir, engkau bisa melalui Pakistan dan India. Kemudian Indonesia, engkau dapatkan Indonesia dikelilingi oleh lautan dari semua arah. Kemudian Eriteria, engkau dapat melalui Sudan, Atsyubia dan laut merah. Dan lihatlah pula Philipina, Macedonia dan bumi-bumi jihad lainnya, juga memiliki jalan yang sangat banyak sehingga mustahil semua jalan itu tertutup bagi orang yang mempunyai tekad untuk berangkat ke medan jihad. Maka berfikirlah, atas ijin Alloh ta'ala engkau akan sampai ke medan jihad.
Dan umat Islam ini jumlahnya adalah satu milyar, sehingga seandainya ada satu juta saja dari kaum muslimin yang mau berusaha pergi ke medan jihad tentu dapat dipastikan seratus ribu orang di antara mereka yang sampai ke tujuan. Dangan jumlah itu insya Alloh seluruh medan jihad akan tercukupi.
Akan tetapi umat Islam seluruhnya berpaling dari jihad dan beralasan bahwasanya jalan menuju medan jihad telah tertutup. Padahal Alloh telah menolak alasan-alasan kita dan telah menjadikan pahala orang yang mati atau terbunuh dalam perjalanan jihad maka ia syahid. Namun kita ini masih saja mencari-cari alasan-alasan lain untuk mengulur-ulur waktu dan untuk tidak berjihad, semoga Alloh tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang Alloh firmankan dalam ayat yang berbunyi:
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِن كَرِهَ اللهُ انبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ
Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:"Tinggallah kamu bersama orang-oang yang tinggal itu". (At Taubah: 46)
Selain itu kita juga berharap supaya Alloh tidak jadikan termasuk orang-orang yang Alloh sebutkan dalam firman-Nya:
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لاتَّبَعُوكَ وَلَكِن بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنفُسَهُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah:"Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu". Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (At Taubah: 42)
Akan tetapi yakinlah wahai saudaraku, demi Alloh jika engkau jujur terhadap dalam mencari jalan jihad niscaya Alloh akan mengabulkan ketulusanmu, dan Dia telah menjamin akan menyampaikan dirimu ke medan jihad, karena Dia telah berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Kami niscaya Kami tunjuki dia kepada jalan Kami. Dan sesungguhnya Alloh benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.

*************************

( 3 )
Wahai Para Orang Tua, Tidak Ada Lagi Kewajiban Untuk Ijin Pada Hal-Hal Yang Hukumnya Fardlu 'Ain.
Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Muhammad bin Abdillah, yang diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam, juga kepada keluarga dan sahabatnya yang suci dan bersih, serta kepada seluruh ahli bait nya. Amma ba'du:
Di dalam kitab Al Kafi IV/256 Ibnu Qudamah mengatakan: "Dan amalan tathowwu' yang paling utama adalah jihad fi sabilillah, hal itu dinyatakan oleh Ahmad. Pernah juga disampaikan kepadanya permasalahan tentang peperangan kemudian ia menangis dan mengatakan: Tidak ada amalan baik yang lebih baik daripadanya. Apa coba amalan yang lebih baik daripadanya, sedangkan orang-orang yang berperang di jalan Alloh itu adalah orang-orang yang mempertahankan Islam dan mempertahankan kehormatan mereka, dan mereka telah mengorbankan nyawanya. Semua orang dalam keadaan aman sedangkan mereka dalam ketakutan. Dan Abu Sa'id Al Khudzri telah meriwayatkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Rosululloh: Wahai Rosululloh, siapakah manusia yang paling baik itu? Beliau menjawab:
مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ
Orang beriman yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya. (muttafaq 'alaih)
…" Sampai di sini perkataan Ibnu Qudamah rohimahulloh mengenai jihad ketika hukumnya fardlu kifayah. Lalu apa kiranya yang beliau katakan jika jihad itu fardlu 'ain?
Dan di antara yang menjadi penghalang jihad pada zaman sekarang ini dan yang pada hari ini senantiasa ditanyakan oleh mayoritas pemuda yang senantiasa merindukan medan-medan jihad adalah ijin kepada kedua orang tua. Berikut ini kami akan membahas secara detail tentang hukum ijin kepada kedua orang tua untuk berjihad. Namun sebelum saya bahas secara terperinci, saya katakan secara umum bahwasanya apabila jihad itu hukumnya fardlu 'ain, dan inilah hukum jihad pada zaman kita sekarang ini karena musuh telah menyerang bumi kaum muslimin, maka dalam kondisi semacam ini telah gugur kewajiban meminta ijin kepada kedua orang tua untuk berjihad, sehingga seorang anak tidak perlu lagi meminta ijin kedua orang tuanya untuk berjihad, dan insya Alloh dia tidak berdosa.
Dalam lembaran-lembaran ini saya akan mengajak bicara dan memberikan penjelasan kepada kedua orang tua tentang hukum taat kepada keduanya untuk tidak berjihad, dan saya akan terangkan kepada keduanya tentang hukum jihad pada hari ini …
Bagi setiap orang tua yang hendak melarang anak-anaknya untuk berjihad pada jaman sekarang ini, hendaknya dia memahami bahwasanya mereka berdosa kepada Alloh karena mereka telah menghalangi jalan Alloh, padahal Alloh telah berfirman:
الَّذِيْنَ يَسْتَحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى اْلآخِرَةِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ وَيَبْغُوْنَهَا عِوَجًا أُوْلَئِكَ فِيْ ضَلاَلٍ بَعِيْدٍ
Orang-orang yang lebih mencintai kehidupan dunia daripada akherat dan menghalang-halangi jalan Alloh, dan mereka mengharapkan jalan itu bengkok, mereka itu dalam kesesatan yang jauh.
Dan hendaknya mereka memahami bahwasanya tidak boleh taat kepada mereka dalam rangka bermaksiat kepada Alloh. Kami akan memaparkan kaedah yang umum ini secara terperinci, serta dalil-dalilnya dari perkataan para ulama', hanya Alloh sajalah yang dapat memberi petunjuk.
Wahai para orang tua: Sesungguhnya Islam di seluruh dunia pada hari ini tengah menghadapi serangan kaum Salib yang bersekutu dengan kaum Yahudi. Dan serangan ini ditujukan kepada Islam dan para penganutnya, berupa pembunuhan, pengusiran dan pelecehan terhadap harga diri. Sedangkan umat ini tidak mungkin dapat keluar dari keadaan yang menyedihkan ini, dan keluar dari kehinaan ini kecuali melalui tangan-tangan para pemuda dan rijalnya, tatkala mereka mengangkat bendera jihad dan mengerahkan jiwa mereka dan segala apa yang mereka miliki untuk mempertahankan agama ini. Jika ini terjadi maka kita akan menguasai kembali seluruh dunia ini sebagaimana dahulu para pendahulu kita telah menguasainya. Oleh karena itu hendaknya setiap bapak dan ibu mengetahui bahwasanya tanggung jawab mereka untuk membela agama ini sangatlah besar. Sehingga mereka wajib untuk berjihad dengan anak mereka, harta mereka dan lisan mereka supaya Islam menang dan umat ini jaya. Akan tetapi sangat disayangkan, kami telah tunggu-tunggu kalian supaya menjadi orang yang pertama kali mempersembahkan anaknya untuk agama ini, namun ternyata kalian malah orang yang pertama kali menghalangi anak-anaknya untuk berjihad mempertahankan agama ini. Ketahuilah wahai para orang tua, bahwasanya Alloh ta'ala tidaklah memberikan nilai sedikitpun pada perintah kalian jika perintah itu menyelisihi perintah-Nya. Karena taat kepada kalian itu hukumnya wajib dalam hal kebaikan dan ketaatan kepada Alloh, adapun jika dalam bermaksiat kepada Alloh maka tidak ada kata taat untuk kalian. Dan ketaatan kepada kalian itu lebih diutamakan jika itu berseberangan dengan ketaatan kepada Alloh, sehingga apabila ketaatan kepada kalian berseberangan dengan ketaatan kepada Alloh maka ketaatan kepada kalian tidak perlu lagi dihiraukan dan tidak perlu lagi diikuti. Di sini saya akan sampaikan kepada kalian secara detail tentang hukum taat kepada kalian supaya kalian tahu bahwa kalian itu berada di antara dua hal:
Pertama: Kalian relakan anak-anak kalian untuk berjihad, dan kalian berikan dorongan serta motifasi kepada mereka untuk berjihad niscaya kalian akan mendapatkan pahala mereka. Kedua: Kalian halangi mereka untuk berjihad di jalan Alloh maka kalian akan mendapatkan dosa dan kalian tidak berhak lagi untuk ditaati. Dan yang paling baik bagi kalian adalah hendaknya kalian menjadi golongan yang pertama, sehingga kalian menyerahkan anak-anak kalian kepada jihad dengan lapang dada dalam rangka taat kepada Alloh. Karena sesungguhnya kalian akan bertemu dengan suatu hari di mana pada saat itu tidak ada lagi gunanya harta dan anak, kecuali orang yang datang kepada Alloh dengan hati yang bersih.
Mungkin kalian akan mengingkari dan marah mendengar kata-kataku ini, akan tetapi saya yakin dengan apa yang saya katakan dan saya yakin dengan apa yang saya fahami, meskipun kalian menentangku dan pasti kalian akan mengatakan kata-kata sebagai berikut:
Sesungguhnya taat kepada kedua orang tua itu hukumnya wajib dan fardlu 'ain. Bahkan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan yang lainnya dari Abdulloh bin Amr rodliyallohu 'anhu, ia mengatakan: Ada seseorang yang datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam lalu meminta ijin kepada beliau agar diijinkan untuk ikut berjihad. Maka Rosululloh bertanya kepadanya:
أَحَيٌّ وَالِدَاكَ ؟
Apakah kedua orang tuamu masih hidup?
Orang itu menjawab: Ya. Maka beliau bersabda:
فَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ
Berjihadlah pada keduanya!
Dan dalam Sunan Abu Dawud lebih jelas lagi daripada hadits tersebut, yang diriwayatkan dari Abu Sa'id rodliyallohu dengan lafadh:
ارْجِعْ فَاسْتَأْذِنْهِمَا فَإِنْ أَذِنَا لَكَ فَجَاهِدْ ، وَإِلاَّ فَبرَّهُمَا
Kembalilah, dan mintalah ijin kepada kedua orang tuamu, lalu jika keduanya mengijinkanmu maka berjihadlah, namun jika tidak maka berbaktilah kepada keduanya.
Kalian mungkin akan mengatakan bahwa dua hadits ini dan hadits-hadits lainnya, adalah nash yang memutuskan perkara ini dan juga merupakan bantahan atas anggapanmu bahwa tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam jihad!! Namun saya tidak akan membantah kalian akan tetapi biarlah para ulama' di sepanjang zaman yang akan membantah kalian, yang akan menjelaskan kesalahan kalian dalam menjadikan hukum yang terkandung dalam hadits tersebut berlaku pada sepanjang zaman, dan bahwasanya pendapat kalian ini bertentangan dengan dalil-dalil lainnya. Di antara dalil yang bertentangan dengan pendapat kalian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban V/8, dari Abdulloh bin Amr rodliyallohu 'anhu bahwasanya ada seseorang datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam lalu bertanya kepadanya tentang amalan yang paling utama, maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjawab: Sholat. Kemudian orang itu bertanya: Kemudian apa? Beliau menjawab: Kemudian sholat. Orang itu bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: Kemudian sholat. Lalu orang itu bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: Kemudian sholat. Tiga kali. Orang itu bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: Kemudian jihad di jalan Alloh. Orang itu berkata: Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: Aku memerintahkan kepadamu agar berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Maka orang itu mengatakan: Demi (Alloh) yang telah mengutusmu sebagai Nabi, saya benar-benar akan berjihad dan akan kutinggalkan keduanya. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: Engkau lebih tahu.
Berdasarkan hadits di atas Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari VI/140 mengatakan: "Mayoritas ulama' mengharamkan bagi seseorang untuk jihad jika kedua orang tuanya atau salah satunya melarang, syaratnya kedua orang tua tersebut orang Islam. Karena taat kepada keduanya itu hukumnya fardlu 'ain baginya sedangkan jihad itu fardlu kifayah. Namun ketika jihad itu hukumnya fardlu 'ain maka tidak ada ijin lagi dan hal ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban … kemudian beliau menyebutkan hadits di atas lalu mengatakan … hadits ini dibawa kepada pemahaman ketika jihad hukumnya fardlu 'ain, untuk mengkompromikan antara dua hadits tersebut. Lalu apakah kakek dan nenek hukumnya juga sama dengan kedua orang tua (dalam masalah ijin jihad)? Pendapat yang paling benar menurut madzhab Syafi'i adalah ya. (kakek dan nenek hukumnya sama dalam ijin jihad)."
Di dalam kitab Syarhuz Zarqoni 'Ala Muwatho' Malik III/20, Muhammad Az Zarqoni mengatakan: "Mengenai sabda beliau [maka berbaktilah kepada keduanya] mayoritas ulama' mengatakan haram seseorang berjihad jika kedua orang tuanya atau salah satunya melarangnya, dengan syarat keduanya adalah orang muslim karena berbakti kepada keduanya hukumnya adalah fardlu 'ain sedangkan jihad hukumnya fardlu kifayah. Namun ketika jihad hukumnya fardlu 'ain maka tidak ada ijin lagi, karena Ibnu Hibban meriwayatkan hadits … kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Di dalam kitab Ad Darori Al Mudliyah I/481 Asy Syaukani mengatakan: "Adapun keharusan ijin kepada kedua orang tua itu berlaku berdasarkan hadits Abdulloh bin Umar, ia mengatakan: Ada seseorang datang kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk meminta injin ikut berjihad. Maka Rosululloh bertanya kepadanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Beliau menjawab: Ya. Maka Rosululloh bersabda: Berjihadlah pada keduanya. Dan di dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah disebutkan bahwasanya orang itu mengatakan: Wahai Rosululloh, sesungguhnya aku datang karena aku ingin berjihad bersamamu. Aku datang ke sini sedangkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis. Maka beliau bersabda: Kembalilah dan bikinlah keduanya tertawa sebagaimana engkau bikin keduanya menangis.
Dan Muslim telah meriwayatkan hadits ini dari jalur lain. Sedangkan Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abu Sa'id bahwasanya ada seseorang yang berhijroh kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dari Yaman. Maka Rosululloh bertanya kepadanya: Apakah ada orang yang engkau tinggalkan di Yaman? Orang itu menjawab: Ada, kedua orang tuaku. Maka Rosululloh bertanya: Apakah mereka berdua mengijinkanmu? Orang itu menjawab: Tidak. Maka beliau bersabda: Kembalilah kepada keduanya lalu mintalah ijin kepada keduanya. Jika keduanya mengijinkanmu maka berjihadlah, namun jika tidak maka jangan.
Hadits ini juga dishohihkan oleh Ibnu Hibban. Sedangkan Ahmad dan An Nasa-i dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Mu'awiyah bin Jahimah As Sulami bahwasanya Jahimah datang kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau: Wahai Rosululloh, aku ingin berjihad lalu aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu? Maka beliau bertanya: Apakah engkau memiliki ibu? Orang itu menjawab: Ya. Lalu beliau bersabda: Tetaplah bersama keduanya karena sesungguhnya syurga itu berada di kaki keduanya. Hadits ini isnadnya banyak diperselisihkan. Sedangkan mayoritas ulama' berpendapat bahwasanya meminta ijin kepada kedua orang tua untuk berjihad itu hukumnya wajib dan haram hukumnya hukumnya berjihad jika keduanya atau salah satunya tidak mengijinkan, karena berbakti kepada keduanya itu hukumnya fardlu 'ain sedangkan jihad itu hukumnya fardlu kifayah, dan mereka (mayoritas ulama') mengatakan bahwasanya ketika jihad itu fardlu 'ain tidak ada lagi ijin. Hal ini dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abdulloh bin Umar. Ia mengatakan bahwasanya ada seseorang datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam lalu bertanya: Amalan apakah yang paling baik? Beliau menjawab:
الصَّلاَةُ قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ اَلْجِهَادُ قَالَ فَإْنَّ لِيْ وَالِدَيْنِ قَالَ آمُرُكَ بِوَالِدَيْكَ خَيْرًا قَالَ وَالَّذِيْ بَعَثَكَ نَبِيًّا َلأُجَاهِدَنَّ وَلَأَتْرُكَنَّهُمَا قَالَ فَأَنْتَ أَعْلَمُ
Sholat. Kemudian orang itu bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab: Kemudian jihad. Orang itu mengatkan: Sesungguhnya aku memiliki dua orang tua. Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: Aku perintahkan engkau untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Orang itu berkata: Demi (Alloh) yang telah mengutusmu sebagai Nabi, aku benar-benar akan berjihad dan aku akan tinggalkan keduanya. Rosululloh bersabda: Engkau lebih tahu.
Para ulama' mengatakan bahwasanya hadits ini adalah ketika jihad itu fardlu 'ain, yakni ketika jihad itu hukumnya fardlu 'ain bagi orang yang memiliki dua orang tua atau salah satunya, untuk mengkompromikan antara dua hadits tersebut."
Di dalam Al Mughni IX/171, Ibnu Qudamah: "Jika jihad itu menjadi kewajibanmu maka tidak berlaku lagi ijin kepada kedua orang tua karena jihad hukumnya menjadi fardlu 'ain sehingga meninggalkannya adalah maksiat dan tidak ada ketaatan kepada siapapun dalam bermaksiat kepada Alloh. Begitu pula setiap orang yang memiliki kewajiban seperti haji, sholat berjama'ah, sholat jum'at dan bersafar untuk menuntut ilmu yang wajib diketahui. Al Auza'i mengatakan: Tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam meninggalkan kewajiban, sholat jum'at, haji dan perang, karena kewajiban-kewajiban tersebut hukumnya fardlu 'ain baginya sehingga tidak berlaku lagi ijin kepada kedua orang tua dalam perkara-perkara tersebut seperti sholat, dan karena Alloh ta'ala berfirman:
وَ للهَ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
Dan manusia itu memiliki kawajiban kepada Alloh untuk melaksanakan haji ke baitulloh bagi siapa saja yang mampu menempuh perjalanan ke sana.
… dan di sini Alloh tidak mensyaratkan harus ijin kepada kedua orang tua."
Sedangkan Al Khurofi mengatakan di dalam Mukhtashornya I/128, bahwasanya Ahmad mengatakan: "Dan apabila kedua orang tuanya muslim makan ia tidak boleh berjihad yang tathowwu' (suka relawan) kecuali atas ijin dari keduanya, akan tetapi apabila ia diperintahkan untuk berjihad maka tidak ada lagi ijin kepada kedua orang tua. Dan begitu pula semua kewajiban yang lain, tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua untuk meninggalkannya."
'Ali bin Hasan Al Mardawi Al Hanbali mengatakan di dalam kitab Al Inshor II/109: "Dan yang dhohir dari perkataan pada sahabat kita dalam masalah jihad --- yakni jika hukumnya fardlu 'ain --- mereka mengatakan bahwasanya tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua untuk meninggalkan suatu kewajiban, dan begitu pula hukum puasa jika kedua orang tua atau salah satu dari keduanya menyuruh untuk tidak berpuasa."
Ibnu Qudamah mengatakan di dalam Al Kafi IV/253: "Jihad itu hukumnya fardlu 'ain dalam dua keadaan:
Pertama: Apabila dua pasukan (pasukan Islam dengan pasukan kafir) saling berhadapan maka jihad hukumnya fardlu 'ain bagi orang yang hadir di situ, berdasarkan firman Alloh ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا لَقِيْتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوْا
Wahai orang-orang beriman apabila kalian bertemu dengan kelompok (kafir) maka bertahanlah…
… dan juga berdasarkan firman Alloh ta'ala:
إِذَا لَقِيْتُمْ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوْهُمُ اْلأَدْباَر
Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir dalam peperangan maka janganlah kalian mundur ke belakang. (Al Anfal)
Kedua: Apabila orang-orang kafir memasuki negari kaum muslimin maka fardlu 'ain hukumnya bagi penduduk negeri tersebut untuk memerangi mereka dan barangkat semua untuk memerangi mereka, dan tidak diperkenankan bagi seorangpun untuk absen dari jihad kecuali orang yang diperlukan untu menjaga keluarga, tempat dan harta, dan juga orang yang dilarang oleh pemimpin untuk ikut berangkat, hal itu berdasarkan firman Alloh ta'ala:
انْفِرُوْا خِفَافًا وَثِقَالاً
Berangkatlah kalian berperang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat.
Dan juga karena mereka masuk dalam kategori orang yang hadir di medan perang sehingga jihad hukumnya fardlu 'ain bagi mereka. Dan barangsiapa yang salah satu dari kedua orang tuanya muslim maka dia tidak boleh berjihad kecuali atas ijinnya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwasanya adalah seseorang yang datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rosululloh, bolehkah aku berjihad? Beliau ganti bertanya: Apakah engkau memiliki orang tua? Orang itu menjawab: Ya. Maka Rosululloh bersabda: Berjihadlah pada keduanya. At Tirmidzi mengatakan: Hadits ini hasan shohih. Dan juga karena jihad itu fardlu kifayah sedangkan berbakti kepada kedua orang tua itu hukumnya fardlu 'ain, maka yang fardlu 'ain itu harus didahulukan daripada yang fardlu kifayah. Namun jika kedua orang tuanya kafir maka tidak perlu ijin lagi kepada keduanya, karena Abu Bakar, Abu Hudzaifah bin 'Utbah dan yang lainnya dahulu berjihad tanpa ijin kepada orang tua mereka, karena orang tua mereka cacat dari sisi agama … kemudian beliau mengatakan … dan jika jihad itu fardlu 'ain maka tidak perlu lagi ijin kepada kepada kedua orang tua karena jihad menjadi fardlu 'ain sehingga tidak berlaku lagi ijin kepada kedua orang tua dalam masalah ini sebagaimana haji yang wajib, demikian pula semua kewajiban yang lain tidak ada ketaatan kepada keduanya untuk meninggalkannya karena meninggalkannya adalah maksiat padahal tidak ada ketaatan kepada manusia untuk bermaksiat kepada Alloh, seperti bersafar untuk menuntut ilmu yang wajib diketahui jika ilmu tersebut tidak bisa didapatkan di negerinya atau yang lainnya."
Ibnu Muflih mengatakan di dalam Al Mubdi' III/316, setelah beliau menyebutkan bahwasanya mayoritas ulama' melarang seorang anak pergi berjihad tanpa seijin kedua orang tua ketika jihad itu hukumnya fardlu kifayah. Kemudian beliau berkata: "Kecuali ketika jihad hukumnya fardlu 'ain, karena tidak ada ketaatan kepada kedua orang tua untuk meninggalkan kewajiban." Asy Syaukani juga mengatakan di dalam Fat-hul Qodir IV/193: "Alloh berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا
Dan jika keduanya berusaha supaya kamu menyekutukan-Ku dengan apa-apa yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah engkau taati keduanya.
Yakni, jika keduanya meminta dan memaksa kepadamu agar engkau menyekutukan-Ku dengan sesembahan lain yang mana tidak engkau ketahui bahwa ia adalah sesembahan maka jangan engkau taati keduanya, karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam bermaksiat kepada kholiq. Dan Alloh mengungkapkannya dengan penafian ilmu tentang penafian sesembahan, karena sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya tidak boleh diikuti, terlebih lagi dengan sesuatu yang telah diketahui kebatilannya? Dan apabila kedua orang tua itu meminta dengan sungguh-sungguh saja tidak boleh ditaati apalagi jika keduanya hanya sekedar meminta tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh. Dan seluruh kemaksiatan kepada Alloh hukumnya disamakan juga pemintaan untuk berbuat syirik ini, karena kedua orang tua itu tidak boleh ditaati dalam kemaksiatan kepada Alloh sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam.
Asy Syaukani di dalam Nailul Author VIII/40 mengatakan: "Sabda Rosul yang berbunyi:
فَإِنْ أَذِنَا لَكَ فَجَاهِدْ
Jika keduanya mengijinkanmu maka berjihadlah.
Ini adalah dalil atas wajibnya meminta ijin kepada kedua orang tua dalam urusan jihad, dan inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama', bahkan mereka menegaskan atas haramnya jihad jika kedua orang tua atau salah satunya melarang karena berbakti kepada keduanya itu hukumnya fardlu 'ain sedangkan jihad itu fardlu kifayah. Namun ketika jihad fardlu 'ain maka tidak ada lagi kewajiban untuk ijin."
Bahkan Asy Syafi'i berpendapat bahwasanya tidak wajib taat kepada kedua orang tua dalam masalah jihad ketika jihad hukumnya fardlu kifayah, hal itu ketika diketahui bahwa kedua orang tuanya atau salah satunya manafik atau kafir atau membenci jihad dan tidak menyukai para pelaku jihad. Asy Syafi'i mengatakan di dalam Al Umm IV/163: "Apabila dia diperintahkan untuk mentaati kedua orang tuanya atau salah satunya untuk tidak berperang maka harus dijelaskan kepada orang itu bahwasanya ia tidak diperintahkan untuk mentaati salah satunya kecuali orang yang ditaati itu adalah orang mukmin … kemudian beliau berkata … lalu apabila keduanya masih berada di dalam agamanya maka hak keduanya (untuk ditaati) tidak hilang sama sekali, dan ia tidak boleh bersikap baro' (berlepas diri) kepadanya, dan hendaknya dia tidak berjihad kecuali atas ijin dari keduanya. Namun jika keduanya tidak berada di dalam agamanya, maka sesungguhnya yang diperangi itu agamanya sama dengan keduanya sehingga tidak boleh taat kepada keduanya untuk meninggalkan jihad --- ketika jihad fardlu kifayah --- dan dia boleh berjihad meskipun kedua orang tuanya tidak setuju, dan biasanya kedua orang tua itu melarang karena ia membenci agamanya dan lebih senang dengan agama yang dianut keduanya, bukan murni karena sayang dengannya, selain itu telah terputus perwalian antara dirinya dengan kedua orang tuanya berdasarkan agama. Jika ada yang mengatakan; Apakah yang saya katakan ini ada dalilnya. Jawabnnya adalah; Ibnu Utbah bin Robi'ah telah berjihad bersama Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan beliau memerintahkannya untuk berjihad,sedangkan bapaknya adalh orang yang memerangi Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, maka saya tidak meragukan lagi bahwasanya bapaknya itu tidak suka jika Ibnu Utbah berjihad bersama Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. Abdulloh bin Abdulloh bin Ubay dahulu juga berjihad bersama Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam sedangkan bapaknya tidak ikut perang bersama Nabi pada waktu perang Uhud bahkan dia melemahkan semangat jihad orang-orang yang masih taat kepadanya dan juga yang lainnya, sehingga insya Alloh tidak diragukan lagi mereka itu adalah orang-orang yang tidak suka jika anak-anak mereka berjihad bersama Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam jika mereka sendiri bertentangan dengan Nabi dan memerangi beliau atau melemahkan semangat jihad. Asy Syafi'i rohimahulloh mengatakan: "Jika kedua orang tua itu masuk Islam, siapapun mereka, maka wajib bagi seorang anak untuk tidak berperang kecuali atas ijin darinya, kecuali jika anak itu mengetahui bahwasanya orang tuanya itu munafiq, maka ia tidak wajib taat kepada orang tuanya untuk berperang."
Jika kami katakan tidak wajib taat kepada kedua orang tua untuk berangkat jihad itu bukan maksud kami untuk menggugurkan hak keduanya secara total. Akan tetapi kami katakan jika dia adalah anak satu-satunya yang menanggung kehidupan kedua orang tuanya, kemudian keberangkatannya untuk berjihad akan menyebabkan keduanya binasa atau menyebabkan keduanya murtad dari agamanya, maka ketika itu ia termasuk orang-orang yang memiliki udzur sehingga ia boleh untuk tidak berjihad secara fisik, sebagaimana orang-orang yang memiliki udzur yang lainnya, namun ia harus tetap berusaha untuk berjihad dengan harta dan lisannya, serta memberikan nasehat (kesetiaan) kepada Alloh dan Rosul-Nya serta kepada orang-orang beriman, sebagaimana yang Alloh perintahkan kepada orang-orang yang mempunyai udzur dalam firman-Nya:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوْا للهِ وَرَسُوْلِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٍ
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang lemah atau sakit atau yang tidak memiliki perbekalan jika mereka memberikan nasehat (kesetiaan) untuk Alloh dan Rosul-Nya. Tidaklah berdosa bagi orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh itu maha pengampun lagi maha penyayang.
Perlu diketahui, bahwasanya jika kerusakan itu berbenturan dengan suatu kerusakan yang lebih besar lagi, maka yang menentukan mana yang lebih diutamakan begi setiap orang haruslah para ulama'. Tentang hal ini Ibnu Hazm mengatakan dalam Al Muhalla VII/292: "Kami telah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas rodliyallohu 'anhuma, ia berkata: Telah bersabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا
Tidak ada hijroh setelah penaklukan (kota Mekah) akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat, dan apabila kalian diperintahkan berangkat jihad berangkatlah.
... bersama sekelompok kaum muslimin. Maka jihad hukumnya wajib bagi orang yang memungkinkan untuk bergabung dengan mereka untuk menolong mereka, baik diijinkan oleh kedua orang tua atau tidak. Kecuali jika keduanya atau salah satunya akan terlantar sepeninggalnya, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan orang tuanya yang akan terlantar itu."
Inilah hukum taat kepada kalian berdua wahai orang tua, jika ketaatan kepada kalian itu berseberangan dengan kataatan kepada Alloh, dan ketaatan kepada kalian dalam melaksanakan perintah Alloh, tidak ada ketaatan untuk kalian berdua dan tidak perlu meminta pertimbangan kepada kalian berdua dalam perkara-perkara yang hukumnya fardlu 'ain. Persetujuan atau penolakan kalian berdua tidak dapat mengajukan atau mengundurkan pengamalannya. Akan tetapi persetujuan kalian itu lebih baik dan merupakan kemuliaan bagi kalian di sisi Alloh sedangkan penolakan kalian itu akan membuahkan murka dan siksa dari Alloh, wal 'iyadzu billah
Atau mungkin kalian ragu-ragu, apakah jihad pada hari ini hukumnya fardlu 'ain atau fardlu kifayah. Maka untuk mngusir keraguan dengan keyakinan, saya akan menyampaikan secara ringkas pendapat para ulama' dan juga akan saya sampaikan ijma' para ulma' dan kesepakatan empat madzhab Ahlus Sunnah atas fardlu 'ainnya jihad ketika dalam keadaan seperti apa yang kita alami pada hari ini. Sebelum saya sampaikan ijma' tersebut, saya ingin menjelaskan kepada kalian berdua manakah negeri Islam yang diserang oleh musuh. Saya katakan: Sesungguhnya negara manapun yang pernah berkibar di sana bendera Islam, dan tentara Islam pernah menaklukkannya lalu menjalankan hukum Islam di sana dalam suatu hari atau suatu tahun atau suatu abad maka negara tersebut terhitung sebagai Darul Islam (Negara Islam), oleh karena itu apabila musuh menyerangnya dan merubah hukum-hukumnya lalu mengaturnya dengan hukum kafir, sehingga negara tersebut berubah dari Darul Islam (negara Islam) menjadi Darul Kufri (negara kafir), ketika itulah negara tersebut kita hitung sebagai wilayah Islam yang diserang musuh dan kewajiban kaum muslimin adalah berjihad untuk melawan musuh untuk mengambil kembali negara tersebut dari tangan musuh. Dan di sini saya sebutkan kepada kalian berdua negara-negara yang keadaannya sesuai dengan apa yang saya katakan tersebut. Pertama adalah Andalusia, kemudian Palestina, negara-negara Balkan, negara-negara Kaukasus, negara-negara di seberang sungai (dahulu adalah negara-negara Republik Soviet), sejumlah negara di Asia Timur, Eriteria, Somalia, Iran, Lebanon, Suriah, bagian barat Cina dan masih banyak lagi negara lainnya yang akan sangat panjang jika kita sebutkan semua, yang semua itu bisa tetap jika dikatakan musuh telah menguasainya dan merubahnya dari negara Islam menjadi negara Kafir. Dan di sini saya akan menyampaikan hukum jihad pada hari ini berdasarkan kondisi ini.
Para ulama telah berijma' bahwasanya salah satu keadaan yang menjadikan jihad fardlu 'ain adalah apabila musuh memasuki negara Islam, ketika itu jihad hukumnya menjadi fardlu 'ain sehingga tidak boleh seorangpun absen dari jihad, yang mana sebelumnya hukumnya adalah fardlu kifayah. ijma' tentang ini telah dinukil oleh semua fuqoha' dari berbagai madzhab. Padahal musuh telah memasuki negeri-negeri Islam sejak berabad-abad yang lalu sehingga jihad hukumnya fardlu 'ain, dan tidak ada lagi kewajiban ijin kepada kedua orang tua dalam masalah ini.
Dari madzhab Hanafi: Al Kasani di dalam Bada-i'ush Shona-i' VII/97 mengatakan: "Adapun jika an nafir (kewajiban berangkat jihad) itu berlaku secara menyeluruh lantaran musuh menyerang sebuah negara, ini hukumnya fardlu 'ain bagi setiap indifidu kaum muslimin yang mempunyai kemampuan, berdasarkan firman Alloh ta'ala:
انفروا خفافاً وثقالاً
Berangkatlah kalian (berperang)baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat.
Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai an nafir (mobilisasi umum). Dan juga berdasarkan firman Alloh ta'ala:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ اْلأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوْا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وِلاَ يَرْغَبُوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang yang berada di sekitarnya dari kalangan orang-orang Badui untuk tidak menyertai Rosululloh dan lebih mencintai diri mereka sendiri daripada dirinya.
Dan karena jihad itu pada awalnya telah menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin sebelum ia ditetapkan an nafir (mobilisasi umum), karena kewajiban jihad itu akan gugur dari sebagian kaum muslimin jika telah ada sebagian dari mereka yang melaksanakannya. Namun apabila an nafir itu berlaku secara umum maka kewajiban itu tidak akan gugur kecuali jika semuanya melaksanakannya. Maka hukumnya menjadi fardlu 'ain bagi semua orang sebagaimana puasa dan sholat. Sehingga seorang budak harus berangkat berjihad tanpa harus ijin kepada majikannya dan seorang wanita harus berangkat berjihad tanpa harus ijin kepada suaminya, karena hal-hal yang dimiliki oleh budak dan wanita yang berkaitan dengan ibadah-ibadah yang hukumnya fardlu 'ain itu tidak termasuk dalam kepemilikan majikan dan suami berdasarkan syareat, sebagaimana puasa dan sholat. Begitu pula seorang anak, ia boleh berangkat berjihad tanpa ijin kepada kedua orang tuanya karena hak kedua orang tuanya tidak berlaku pada hal-hal yang hukumnya fardlu 'ain seperti puasa dan sholat. Wallohu a'lam."
Dari madzhab Maliki: Ibnu Abdil Barr di dalam kitabnhya Al Kafi I/205: "Jihad hukumnya adalah fardlu 'ain bagi setiap orang yang bisa melakukan perlawanan, berperang dan memanggul senjata dari kalangan orang-orang yang telah baligh dan merdeka. Hal itu ketika musuh menyerang dan memerangi Darul Islam (negara Islam). Jika hal itu terjadi maka wajib hukumnya bagi seluruh penduduk negeri tersebut untuk berangkat berperang baik dalam keadaan ringan maupun dalam keadaan berat, baik yang masih muda maupun yang sudah tua, dan tidak diperkenankan seorangpun untuk tidak berangkat bagi orang yang mampu untuk berangkat baik dia muqill (miskin) atau muktsir (kaya). Dan jika penduduk negeri tersebut tidak mampu melawan musuh mereka maka orang-orang yang tinggal di sekitar mereka wajib untuk berangkat --- baik jumlah mereka sedikit atau banyak --- sama dengan kewajiban orang yang tinggal di negeri tersebut sampai mereka tahu bahwasanya mereka telah memiliki kekuatan yang mencukupi untuk melawan musuh. Begitu pula bagi setiap orang yang mengetahui ketidak mampuan mereka untuk melawan musuh mereka dan ia mengetahui bahwasanya dirinya mampu untuk bergabung dengan mereka dan menolong mereka, maka ia juga wajib untuk berangkan jihad ke sana. Karena kaum muslimin itu semuanya adalah penopang bagi yang lainnya. Sampai apabila penduduk negeri yang diserang dan dijajah oleh musuh itu telah mampu melawannya maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya. Dan apabila musuh mendekati Darul Islam (negara Islam) dan belum memasukinya, hukumnya wajib juga untuk keluar menyongsong mereka."
Dari Madzhab Asy Syafi'i: An Nawawi di dalam Syarah Muslimnya VIII/63 mengatakan: "Sahabat-sahabat kita mengatakan: Jihad itu pada hari ini hukumnya fardlu kifayah, kecuali jika musuh menduduki sebuah negeri kaum muslimin, maka ketika itu jihad hukumnya fardlu 'ain bagi mereka. Jika penduduk negeri tersebut tidak mencukupi maka orang-orang yang berada di sekitar mereka wajib berjihad bersama mereka sampai jumlah mereka mencukupi."
Dari madzhab Hanbali: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Al Fatawa Al Kubro (Al Ikhtiyarot) IV/520 mengatakan: "Dan adapun qitalud daf'i (perang defensif), ini adalah bentuk peperangan yang paling besar dalam melawan agresor yang menyerang kehormatan dan agama sehingga hukumnya wajib berdasarkan ijma'. Karena apabila ada musuh menyerang, yang merusak agama dan dunia, tidak ada sesuatu yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya, dan tidak ada lagi satu syaratpun untuk melakukannya, akan tetapi musuh dilawan sesuai dengan kemampuan. Hal ini telah dinyatakan oleh sahabat-sahabat kita dan yang lainnya." Beliau juga mengatakan: "Apabila musuh memasuki negeri Islam maka tidak diragukan lagi atas wajibnya untuk melawannya bagi orang yang berada paling dekat dengan mereka lalu orang yang terdekat selanjutnya, karena seluruh negeri Islam itu ibarat satu negeri. Dan bahwasanya wajib hukumnya untuk berangkat ke sana tanpa ijin kepada orang tua, atau orang yang menghutangi. Perkataan Ahmad tentang masalah ini sangatlah jelas."
Terakhir kami simpulkan, wahai para orang tua yang mulia, bahwasanya jihad itu hukumnya fardlu 'ain dan tidak ada lagi kewajiban untuk ijin kepada kalian, karena haram hukumnya mentaati kalian dalam bermaksiat kepada Alloh. Wahai para orang tua, mengapakah kalian tidak jawab pertanyaanku: Lihatlah Palestina, telah dikuasai musuh dan tidak ada seorangpun yang dapat melawan mereka baik orang yang berada di dekatnya atau yang jauh darinya, lalu apakah jihad hari ini hukumnya fardlu kifayah? begitu pula Andalusia (Spanyol) telah dikuasai oleh musuh sejak berabad-abad yang lalu, denikian pula Chechnya, Kasymir, Pilipina, Birma, Eriteria dan masih banyak lagi tanah kaum muslimin lainnya, seluruhnya dikuasai oleh musuh lalu ajaran Islam dihilangkan dari sana, kaum muslimin dihinakan, ditindas dan disiksa dengan berbagai macam siksaan. Sampai akhirnya kita menerima serangan kaum Salibis yang terbaru dilancarkan terhadap Afghanistan. Apakah setelah itu tetap akan kita katakan bahwa jihad hukumnya adalah fardlu kifayah dan taat kepada kalian untuk tetap tidak berangkat berjihad itu lebih wajib daripada berjihad itu sendiri? Sungguh kami telah berbicara secara maksimal sampai akhirnya kami merasakan kehinaan yang maksimal. Semoga sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Rosululloh, juga kepada seluruh keluarganya dan sahabatnya.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar