Minggu, 05 September 2010

Hukum Mata-Mata



Definisi

Secara bahasa الجسُوس   atau  الجسِيس   atau الجَسَّاس   berasal dari kata  جسَّ - يجُسُّ   yang artinya menyelidiki atau memata-matai. (Kamus al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir hal. 207)
Sedang di dalam “al-Munjid” disebutkan bahwa الجسُوسُ  adalah الّذِي يتَجَسَّسُ  yaitu orang yang menyelidiki atau memata-matai berita kemudian menyebarkannya. (al-Munjid fil Lughah hal. 90)
Imam Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur menyebutkan di dalam “Lisanul ‘Arab” bahwa makna jasus adalah  صاحبُ سَرِّ الشرِّ   yaitu penyimpan atau pemilik rahasia jelek, dan jasus adalah العينُ يتَجَسّسُ الأَخبارَ ثُمّ يَأتِي بها  yaitu spionase yang memata-matai berita lalu mengabarkannya.Dan dikatakan juga الجسُوسُ  adalah الّذِي يتجسَّسُ الأَخبارَ   yaitu orang yang menyelidiki berita. (Lisanul ‘Arab, Jamaluddin bin Murim bin Mandzur jilid 6 hal. 38)
Di dalam “Tartib al-Qamus al-Muhith” Thahir Ahmad az-Zawy menyebutkan bahwaالجسُوس   atau  الجسِيسadalah صاحبُ سَرِّ الشرِّ   yaitu pemilik rahasia jelek. (Tartib al-Qamus al-Muhith, Thahir Ahmad az-Zawy jilid 1 hal. 492)
            Sedangkan di dalam “al-Mu’jam al-Wasith” disebutkan bahwa الجسُوس  adalah مَن يتحسَّسُ  yaitu orang yang memata-matai berita untuk mengabarkannya. (al-Mu’jam al-Wasith hal. 122)

Dalil-dalil masyru’iyah membunuh mata-mata (jasus)

 

قال الله تعالى :" يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءتُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ َ ... ".

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;….”  (QS. Al-Mumtahanah: 1)

حدثنا عليّ بن عبد الله حدثنا سفيان حدثنا عمرو بن دينار سمعت منه مرّتين قال : أخبرني حسن بن محمّد قال : أخبرني عبيد الله بن أبي رافع قال : سمعت عليّا رضي الله تعالى عنه يقول : بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا و الزبير و المقداد بن الأسواد و قال :" انطلقوا حتّى تأتوا روضة خاخ فإنّ بها طعينة و معها كتاب فخذوه منها. فانطلقنا تعادي بنا خيلنا حتّى انتهينا إلى الرّوضة فإذا نحن بالظّعينة فقلنا :" أخرجي الكتاب " فقالت :" ما معي من كتاب " فقلنا :" لتخرجنّ أو لنلقينّ الثّياب " فأخرجته من عقاصها. فأتينا به رسول الله  صلى الله عليه وسلم فإذا فيه :" من حاطب بن أبي بلتعة إلى أناس من أهل مكّة يخبرهم ببعض آمر رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال رسول اله صلى الله عليه وسلم :" ما هذا يا حاطب ؟ " قال :" يا رسول الله لا تعجّل عليّ إنّي كنت آمرا ملصقا في قريش و لم أكن من أنفسها و كان من معك من المهاجرين لهم قرابات بمكّة يحمون بها أهليهم و أموالهم فأحببت إذ فاتني ذاك من النّسب فيهم أن أتّخذ عندهم يدا يحمون بها قرابتي و ما فعلت كفرا و لا إرتدادا و لا رضا بالكفر بعد الإسلام "  فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" صدقكم " فقال عمر رضي الله تعالى عنه :" يا رسول الله دعني أضرب عنق هذا المنافق ". قال :" إنّه قد شهد بدرا و ما يدريك لعلّ الله أن يكون قد اطّلع على أهل بدر فقال :" اعملوا ما شئتم فقد غفرت لكم ".

Artinya: Dari Ali bin Abdullah telah mengabari kami Sufyan, telah mengabari kami Amru bin Dinar, saya telah mendengar darinya dua kali, dia berkata: “telah mengabari saya Hasan bin Muhammad, ia berkata: “telah mengabari saya Ubaidullah bin Abu Rafi’, ia berkata: “saya mendengar Ali Radhiallahu'anhu berkata: “Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam telah mengutusku bersama Zubair dan Miqdad bin Aswad, maka beliau bersabda: “Pergilah kalian sampai Raudlah Khakhin, di sana ada seorang perempuan dan dia membawa surat, maka ambillah surat itu darinya.” Lalu kami pergi berangkat dan kami menyusulnya, maka sampailah kami pada Raudlah Khakhin dan kami menemukan sekedup yang di dalamnya ada seorang wanita, kami katakan padanya: “Keluarkan surat itu!” maka ia berkata: “Saya tidak membawa surat apapun”, lalu kami berkata: “Keluarkanlah suratnya atau kami akan melepaskan pakaianmu”, maka ia mengeluarkannya dari sanggulnya. Setelah itu kami bawa surat itu kepada Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam, dan di dalam surat itu tertulis: “Dari Hathib bin Abu Balta’ah kepada orang-orang Makkah, yang menyebarkan mereka sebagian urusan Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam.” Kemudian Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: “Wahai Hathib apa ini ?” maka ia berkata: “Wahai Rasulullah jangan salahkan saya, sesungguhnya saya adalah seorang yang dekat dengan suku Quraisy, dan saya tidak termasuk darinya, sedangkan orang-orang yang bersamamu dari kaum Muhajir mereka mempunyai sanak saudara di Makkah yang memelihara para keluarga dan harta-harta mereka, maka saya ingin meluputkanku dari nasab, agar saya mengambil seseorang yang akan memelihara dengannya kerabatku, dan saya tidak melakukannya karena kekafiran, kemurtadan, dan bukan karena ridla kepada kekafiran setelah Islam. Maka Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam  bersabda: “Sesungguhnya ia telah berbuat jujur kepada kalian”, lalu Umar Radhiallahu'anhu berkata: “Wahai Rasulullah izinkan saya untuk memenggal lehernya orang munafiq ini”, maka Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya ia telah ikut menyaksikan perang Badar, dan apakah tidak engkau ketahui bahwa Allah Ta'ala mengetahui Ahli Badar dan berfirman: “Lakukanlah apa saja yang ingin kalian lakukan karena Aku telah mengampuni seluruh dosa-dosa kalian.”  (Fathul Baary bab. Jasus nomor hadits 3007 juz 6 halaman 176 cetakan pertama tahun 1410 H/1989 M)

حدثنا أبو نعيم حدثنا أبو العميس عن إياس بن سلمة بن الأكوا عن أبيه قال :" أتى النّبيّ صلى الله عليه وسلم عين من المشركين و هو في سفر فجلس عند أصحابه يتحدّث ثمّ انتقل  فقال النّبيّ صلى الله عليه وسلم :" اطلبوه و اقتلوه " فقتلته فنفله سلبه ".
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim, telah mengabarkan kepada kami Abdul Umais dari Iyas bin Salamah bin al-Akwa’ dari bapaknya dia berkata: “Seorang mata-mata dari kaum musyrik datang kepada Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam ketika beliau dalam keadaan bersafar(bersama pasa Shahabatnya) maka ia pun duduk bersama para Shahabatnya dan berbincang-bincang kemudian ia pergi, maka Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: “Cari dan bunuhlah ia”, lalu saya membunuhnya dan merampas hartanya.” (Fathul Baary bab 173 nomor hadits 3051 kitab Jihad juz 6 halaman 206)

حدثنا محمّد بن بشّار حدثني محمّد بن محبب أبو همام الدّلال حدثنا سفيان بن سعيد عن أبي إسحاق عن حارثة بن مضرب عن فرات بن حيان  أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم آمر بقتله و كان عينا لأبي سفيان و (كان) خليفا لرجل من الأنصار فمرّ بحلقة من الأنصار فقال :" إنّي مسلم " فقال رجل من الأنصار :" يا رسول الله إنّه يقول إنّني مسلم " فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إنّ منكم رجلا نكلهم إلى إيمانهم منهم فرات بن حيان ".
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah mengabarkan kepada saya Muhammad bin Muhabbib Abu Hamam ad-Dalal, telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Sa’id dari Abu Ishaq dari Haritsah bin Mudlrib dari Farat bin Hayan, sesungguhnya Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam menyuruh untuk membunuhnya, karena dia adalah mata-matanya Abu Sufyan, ia juga sekutu bagi seorang Anshar. Ketika ia melewati sebuah halaqah kaum Anshar maka ia berkata: “Sesungguhnya saya adalah seorang muslim”, maka seorang dari kaum Anshar berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ia menyatakan dirinya seorang muslim”, lalu Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya diantara kalian yang kembali kepada keimanan mereka, salah satunya adalah Farat bin Hayan.” (Sunan Abu Dawud, kitabul Jihad bab 109 nomor hadits 2652 halamam 408 dan ‘Aunul Ma’bud syarkh Sunan Abu Dawud, jilid 7 bab 109-110 nomor hadits 1635 halaman 213)

حدثنا الحسين بن عليّ حدثنا أبو نعيم حدثنا أبو عميس عن ابن سلمة بن الأكواع عن أبيه قال :" أتى النّبيّ صلى الله عليه وسلم عين من المشركين و هو في سفر فجلس عن أصحابه ثمّ انسلّ فقال النّبيّ صلى الله عليه وسلم :" اطلبوه و اقتلوه " قال :" فسبقتهم إليه فقتلته و أخذت سلبه فنفلني إيّاه ".

Artinya: Telah mengabari kami al-Hasan bin Ali, telah mengabari kami Abu Nua’im, telah mengabari kami Abu Umais dari Ibnu Salamah bin al-Akwa’ dari bapaknya ia berkata: “Seorang mata-mata telah mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dari kaum musyrik sedang beliau dalam keadaan bersafar maka mata-mata itu duduk bersama para Shahabatnya kemudian berlalu/pergi, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Cari dan bunuhlah ia”, dia berkata: “Maka saya bergegas untuk mencarinya dan membunuhya, lalu saya mengambil hartanya (merampasnya) dan ia pun memberikannya padaku.” (Sunan Abu Dawud, kitabul Jihad bab 110 nomor hadits 2653 halaman 408)

Pembahasan


            Ketahuilah barangsiapa memata-matai rahasia seorang muslim dan dalam keadaan mereka, khususnya keadaan para mujahid untuk dibicarakan pada musuh-musuhnya dari kalangan orang-orang kafir, baik kafir tulen atau murtad maka ia telah kafir sebagaimana mereka. Loyalitasnya pada mereka merupakan loyalitas yang besar dan sudah keluar dari batasan ajaran dienul Islam. Maka ia harus dibunuh karena kekafirannya. Allah Ta'ala berfirman

قال الله تعالى :"  وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ - يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ ".

Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan:"Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian", padahal  mereka itu  sesungguhnya bukan  orang-orang  yang  beriman.”   (QS. al-Baqarah: 8-9)
            Yang merupakan penipuan mereka terhadap kaum muslimin  adalah menampakkan keislaman dan menyatakan di sisi mereka adalah sebagai mukmin, kemudian memata-matai keadaan kaum muslimin untuk kepentingan musuh-musuh mereka dari kalangan thaghut, orang kafir dan lain-lain. Allah Ta'ala berfirman

قال الله تعالى :"  يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ ".  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hujurat: 12)

            Dari segi motifnya, mata-mata ada 2 macam:
1.      Khusus, yang menjadi pendorong hal ini adalah adanya keutamaan-keutamaan dan senang mengetahui rahasia orang lain, untuk mempermudah mata-mata menyebarkannya dalam pembicaraan. Tentang menyebarkan rahasia orang lain dan dengan menyombongkan diri ia mengakui mengetahui bukti(dalil) dan penjelasan untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Dengan begitu maka adanya hukuman terhadap larangan untuk saling memata-matai dan menceritakan kejelekan orang lain(ghibah). Karena ghibah merupakan hasil yang pasti dari memata-matai, dan orang yang melakukan hal ini sudah tentu mengetahui aib orang lain.
2.      Umum, yang terjadi dengan memberikan berita penting dan keputusan-keputusan kepada para thaghut yang dhalim dari kalangan orang kafir dan musyrik. Ini termasuk loyalitas dan ini merupakan perbuatan memata-matai yang paling jelek dan berbahaya, dan perbuatan ini termasuk kekafiran dan mengeluarkan pelakunya dari millah(ajaran) islam.

Larangan berbuat tajasus(memata-matai) yang tertera dalam ayat mencakup dua macam motif memata-matai, yaitu khusus dan umum. Yang umum itu lebih dilarang dari yang khusus, adapun dalilnya adalah hadits Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam yang berbunyi

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إيّاكم و الظّنّ فإنّ الظّنّ أكذب الحديث  و لا تجسّسوا  و لا تحسّسوا  ولا تباغضوا  و كونوا إخواناً ".

Artinya: “… jauhilah olehmu berprasangka buruk, karena ia adalah perkataan yang paling dusta, janganlah saling memata-matai, saling mencari informasi, saling marah, dan jadilah yang saling bersaudara ….” (HR. al-Bukhary)

قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" من أكل بمسلم أكلة فإنّ الله يطعمه مثلها من جهنّم و من كسي ثوباً برجل مسلمٍ فإنّ الله تعالى يكسوه من جهنّم و من قار برجل مسلمٍ معار رياء سمعة فإنّ الله يقوم مقام رياء و سمعة يوم القيامة ".
Artinya: “Barangsiapa makan makanan orang muslim sekali saja, maka Allah Ta'ala akan memberi ia makanan dari jahannam. Barangsiapa memakai pakaian orang muslim maka Allah Ta'ala akan memakaikan ia pakaian dari jahannam. Dan barangsiapa menuduh orang muslim berbuat riya’ maka Allah Ta'ala akan menjadikan ia dengan orang yang riya’ dan sum’ah di hari Kiamat.”  (HR. Abu Dawud no. 4084)
            Di dalam nash di atas terdapat peringatan dan ancaman bagi orang yang menulis ketetapan/keputusan orang muslim untuk dilaporkan kepada para thaghut yang dhalim dan bersembunyi pada mereka, pemukiman mereka dan pergerakan mereka.
            Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم :" من استمع إلى حديث قومٍ و هم يفرّون منه صبّ في أذنيه الآنك".
Artinya: ”Barangsiapa mendengarkan perkataan suatu kaum atau perkumpulan lalu ia berpaling dari mereka, maka akan dituangkan timah yang mencair pada kedua telinganya.”  (Shahih Adabul Mufrad no.883)
Ini merupakan balasan bagi orang yang mendengarkan perkataan orang lain hanya untuk mencari keutamaan dan menjadi parasit(menyusahkan orang lain). Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda

قال رسول الله  صلّى الله عليه و سلّم  :" يا معشر من آمن بلسانه و لم سدخل الإيمان قلبه  لا تغتابوا عوراتنهم فإنّه من اتبع عوراتهم يتّبع الله عواته يفضحه في بيته ".

Artinya: “Wahai orang-orang yang masih mau menjaga lisannya dan hatinya belum dipenuhi oleh keimanan, janganlah kalian menceritakan kejelekan kaum muslimin, jangan pula menyebarkan aib mereka, karena barangsiapa menyebarkan aib mereka maka Allah Ta'ala akan menyebarkan/mencemarkan semua aib yang ada di dalam rumahnya.”  (HR. Abu Dawud no. 4083)
            Barangsiapa menyebarkan rahasia kaum muslimin dan memata-matai untuk kepentingan thaghut yang kafir maka ia adalah setinggi-tinggi kenifakan dan hilanglah iman yang ada di dalam hatiya.
            Memata-matai terhadap rahasia kaum musimin dan hal-hal yang mendatangkan maslahat/kebaikan bagi musuh-musuh islam dari kalangan kaum musyrik yang jahat maka tidak ada yang mau melaksanakannya kecuali orang munafiq yang hina dan telah menampakkan sifat kemunafikan dan penghianatan dari dalam dirinya. Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda

قال رسول الله  صلّى الله عليه و سلّم :" من حمى مؤمناَ من منافقٍ بعث الله ملكاً يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنّم  و من رمى مسلماً بشيءٍ يُريد شَينَه به حسب الله على جسر جهنّم حتّى يخرج ممّا قال ".

Artinya: “Barangsiapa melindungi seorang mukmin dari kejahatan orang-orang munafiq maka Allah Ta'ala akan mengirimkan padanya Malaikat yang akan menjaga dirinya dari api jahannam pada hari Kiamat, dan barangsiapa mencela seorang muslim dengan sesuatu, maka Allah Ta'ala akan mengurung/memenjarakannya di atas jembatan jahannam sampai keluar apa yang ia katakan (dosanya).”  (HR. Abu Dawud no. 4086)
            Hadits di atas merupakan ancaman bagi orang yang mencela seorang muslim guna memberi aib baginya. Dan ancaman bagi orang yang menuduh seorang muslim supaya dibunuh, atau dipenjara di dalam sel/penjara orang thaghut yang dhalim.

Hukuman bagi jasus(mata-mata) dari kalangan Ahli Harb (orang kafir yang harus diperangi)
           
Ï Dalil tentang hukum mata-mata dari kalangan Ahli Harb, yaitu:
Para Fuqaha’(ahli fiqh) bersandar dengan hadits dari kitab sunan, diantaranya shahih al-Bukhary dan Muslim dalam menghukumi mata-mata kafir dari ahli Harb.
Di dalam shahih al-Bukhary disebutkan, dari Salamah bin al-Akwa’ Radhiallahu 'anhu dia berkata: “Seorang mata-mata dari kalangan kaum musyrik telah mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam  ketika beliau  bersafar, maka ia duduk diantara para Shahabat beliau sambil berbincang-bincang kemudian berlalu/pergi, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Cari dan bunuhlah ia, maka saya membunuhnya dan merampas hartanya.” (Shahih al-Bukhary nomor 3051 dan Fathul Baary jilid 6 halamam 168)
Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata di dalam “syarh Shahih Muslim”: “Di dalam hadits ini menjelaskan tentang membunuh jasus(mata-mata) kafir ahli Harb dan pendapat ini juga disepakati oleh Ijma’ kaum muslimin.” (Shahih Muslim syarh an-Nawawy juz 7 halaman 247)
Doktor Muhammad Kharu Haikal berkata di dalam “al-Jihad wal Qital fie Siyasah asy-Syar’iyah”: “Mata-mata yang sudah disepakati untuk dibunuh adalah dari kalangan orang kafir yang tidak mendapatkan perlindungan dari Daulah Mu’ahadah atau tidak termasuk orang yang dijamin keamanannya.”

Ï Di dalam masalah mata-mata dari kalangan ahli Harb ini ada dua point yang penting, yaitu:
1.      Membunuh mata-mata dari kalangan orang kafir Harb yang tidak memiliki ikatan perjanjian atau tidak mendapatkan perlindungan, apakah membunuhnya wajib jika mampu untuk membunuhnya ? atau hanya sekadar boleh ?  Maka jawabannya adalah Ijma’ memutuskan bahwa membunuh jasus/mata-mata itu boleh dilakukan, akan tetapi tidak membunuhnya juga boleh jika hal itu mendatangkan maslahat/kebaikan.
2.      Jika mata-mata kafir Harb memasuki wilayah Islam dengan jaminan keamanan atau terikat dengan perjanjian di negaranya, maksudnya adalah masuk ke negara Islam dengan resmi namun kemudian dia memata-matai keadaan kaum muslimin maka apa hukum baginya ? Maka jawabannya menurut para Ulama’ adalah:
Menurut madzhab Hanafi, yaitu: Telah kami sebutkan bahwa pendapat Imam Abu Yusuf Rahimahullah yaitu bahwa orang kafir Harbi yang menjadi mata-mata maka dibunuh. Dan istilah kafir Harb secara mutlaq mencakup Musta’min/yang mendapat perlindungan dan mu’ahid/yang terikat perjanjian, sebagaimana mencakup jasus yang tidak mendapatkan jaminan dan tidak ada ikatan perjanjian maka semuanya sama saja yaitu kafir Harb. Jadi Imam Abu Yusuf Rahimahullah memutuskan hukuman bagi jasus/mata-mata tersebut dengan dibunuh.
            Imam Muhammad bin Hasan Rahimahullah berpendapat bahwa tidak boleh membunuh jasus Musta’min atau Mu’ahid, akan tetapi ia dihukum dengan ta’zir yang menyakitkan, kecuali jika masuknya ia ke negeri/wilayah Islam semata-mata hanya untuk tajasus/memata-matai dan permintaannya hanya untuk mempermudah kepentingannya yang akan dilakukan. Maka jika demikian ia boleh dibunuh akan tetapi tidak wajib walaupun membunuhnya itu lebih utama sebagai pelajaran bagi yang lainnya.
            Menurut madzhab Syafi’ie di dalam “al-Uum” disebutkan: “Saya berkata pada Imam asy-Syafi’ie Rahimahullah: “Apakah engkau tahu hukuman bagi orang yang menulis aurat kaum muslimin dari kalangan Musta’min dan Mu’ahid ?” maka beliau menjawab: “Mereka dita’zir, tidak dihukum dan tidak merusak perjanjian serta dihalalkan mencela harta dan nyawa mereka.”
            Imam an-Nawawy Rahimahullah dalam “syarh Shahih Muslim” ia berkata: “Adapun jasus Mu’ahid dzimmy(yang dilindungi) jumhur Ulama’ berpendapat bahwa perjanjiannya tidak batal karena hal itu hanya memata-matai saja.”
            Di dalam “Minhaj wa syarh al-Mughy al-Muhtaj” terdapat nash bahwa tidak boleh, tidak sah keamanan yang diberikan kepada orang yang membahayakan kaum muslimin, seperti jasus dan pasukan pelopor/perintis berdasarkan hadits Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam

لا ضرر و لا ضرار
Artinya: “Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan pada orang lain.” Maka yang layak baginya adalah sebagaimana perkataan Imam asy-Syafi’ie Rahimahullah yaitu ia tidak berhak mendapatkan keamanan, dan harus dibunuh karena termasuk di dalam pembahasan ini adalah penghianatannya. (al-Mughny al-Muhtaj jilid 4 halaman 238)
            Menurut madzhab Maliki bahwa membunuh jasus yang dilindungi dan ada ikatan perjanjian adalah boleh, maksudnya tidak wajib, boleh dibunuh dan tidak.” (al-Jihad wa al-Qital fie as-Siyasah asy-Syar’iyah jilid 2 halaman 1284)

Hukuman bagi jasus(mata-mata) dari kalangan orang muslim
           
            Ketika Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu'anhu mengirim berita tentang Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam dan para Shahabatnya kepada orang kafir Quraisy maka Umar bin Khaththab Radhiallahu'anhu meminta izin kepada beliau untuk memenggal kepalanya, namun beliau tidak mengizinkannya seraya bersabda: “Apakah kamu tidak tahu, bahwa Allah Ta'ala telah mengetahui Ahli Badar dan berfirman kepada mereka: “Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku talah mengampuni dosa-dosa kalian.”
            Para Fuqaha’ dalam mengomentari hadits di atas saling berbeda pendapat, yaitu:
1.      Pendapat Sahnun Rahimahullah: “Jika ada seorang muslim menulis sesuatu untuk ahli Har maka ia dibunuh, tidak perlu diminta untuk bertaubat lebih dahulu dan hartanya diberikan kepada ahli warisnya.”
2.      Pendapat Fuqaha’ dari pengikut Maliki Rahimahumullah: “Hukum bagi jasus muslim dijilid dengan sangat keras dan menyakitkan, ditambah lagi dengan masa kurungannya dan dijauhkan dari tempat yang dapat yang menghubungkan ia dengan orang kafir.”
3.      Pendapat Ibnu Qasim Rahimahullah: “Hukumannya adalah dibunuh dan tidak diminta untuk bertaubat terlebih dahulu serta dihukum sebagaimana orang zindiq.”
4.      Pendapat Imam asy-Syafi’ie, Abu Hanifah, dan Ahmad Rahimahumullah: “Seorang jasus tidak boleh dibunuh.” Adapun Imam Ahmad dan asy-Syafi’ie Rahimahumallah berhujjah dengan hadits Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu'anhu yang telah disebutkan di atas. Sedangkan Ibnu Ukail Rahimahullah, seorang pengikut Imam Ahmad Rahimahullah sependapat dengan pendapat Imam Malik Rahimahullah dan pengikutnya. (Zaadul Ma’aad fie Hadyi Khairil ‘Ibad jilid 5 halaman 59)

Kesimpulan dari hadits di atas adalah:
1.      Kesimpulan dari hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiallahu'anhu, yaitu:
Ï Ahli Harb yang masuk ke dalam Darul Islam tanpa izin maka halal untuk  dibunuh.
Ï Ahli Dzimmah yang menjadi mata-mata kaum kafir maka ikatan perjanjiannya dengan islam menjadi batal.
Ï Orang muslim yang menjadi mata-mata tidak boleh dibunuh, akan tetapi ia dita’zir jika ia mengaku berbuat demikian karena tidak tahu hukumnya, dan ia tidak menjadi terdakwa dan namanya dibersihkan darinya (perbuatan jasus). Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi’ie Rahimahullah. Sedangkan Imam al-Auza’ie Rahimahullah berpendapat: “Yang memberikan hukuman untuk mata-mata adalah Imam dengan hukuman yang menjadi peringatan bagi orang lain dan diasingkan di daerah jajahan.”
Ï Pendapat Ashabur Ra’yi: “Seorang mata-mata harus dihukum dan diperpanjang masa hukumannya.”
Ï Pendapat Imam Malik Rahimahullah: “Hukuman bagi seorang mata-mata tergantung dengan ijtihad seorang Imam.”
2.      Kesimpulan dari hadits tentang kisah Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu'anhu, yaitu:
Ï Imam al-Baghawy Rahimahullah berkata: “Di dalam hadits tersebut terdapat dalil tentang diperbolehkannya melihat tulisan orang lain tanpa seizin pemiliknya (walaupun berupa rahasia), hal ini diperbolehkan jika isi tulisan itu mengundang kecurigaan dan berbahaya bagi kaum muslimin. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiallahu'anhuma bahwa Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam berabda

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" من نظر في كتاب أخيه بغير إذنه فإنّما ينظر في النّار ".
Artinya: “Barangsiapa melihat tulisan saudaranya tanpa seizin darinya maka sesungguhnya ia akan melihat Naar (tempat kembalinya).” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini berkenaan dengan tulisan(surat) yang di dalamnya terdapat amanah, atau rahasia pribadi antara orang yang menulis dengan orang yang dikirimi surat, yang isi rahasia tersebut tidak mengundang kecemasan atau bahaya bagi kaum muslimin. Adapun sabda Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam yang berbunyi فإنّما ينظر في النّار   ada yang berpendapat bahwa maksud dari melihat ke Naar adalah dekat darinya atau mendekatinya, dan membakar diri dengan Naar karena melihat sesuatu itu pasti apa yang dilihat itu berada di sisinya.
Ï Dari hadits Hathib bin Abi Balta’ah Radhiallahu'anhu terdapat dalil bahwa orang yang menta’wil tentang menganggap boleh suatu yang dilarang itu berbeda dengan orang yang disengaja menghalalkannya tanpa ta’wil. Barangsiapa selalu mengerjakan perbuatan yang diharamkan kemudian mengaku bahwa perbuatannya itu adalah suatu penta’wilan belaka maka pengakuannya itu ditolak. Dan barang siapa mencari berita untuk disampaikan kepada orang kafir kemudian ia mengaku bahwa apa yang ia lakukan itu merupakan hasil dari ta’wil dan tidak tahu akan perbuatan yang ia lakukan maka ia dihindarkan darinya.
Ï Didalam hadits tersebut juga terdapat dalil bolehnya menyingkap pakaian wanita untuk menegakkan hukum atau menegakkan persaksian dalam menegakkan kebenaran atau hal-hal yang semisalnya.
Dan juga terdapat dalil bahwa barangsiapa dari ahli Ijtihad yang menghukumi kafir atau nifaq pada seseorang dikarenakan melakukan ta’wil maka ahlu Ijtihad tidak dihukum. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mencela Shahabat Umar Radhiallahu 'anhu yang mengatakan دعني أضرب عنق هذا المنافق (artinya) “Biarkan aku memenggal leher orang munafiq ini”, setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam membenarkan perkataannya. Karena Shahabat Umar Radhiallahu 'anhu mengatakan hal itu bukan karena permusuhan. Walaupun perbuatan Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu serupa dengan perbuatan orang munafiq, akan tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala mengampuni dan memaafkan perbuatan itu. Maka hilanglah darinya sifat munafiq. (Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawy jilid 6 hal. 337-339)

Syubhat-syubhat dan Bantahannya

Jika ada yang mengatakan: “Sesungguhnya Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu telah menulis berita rahasia kepada penduduk kafir Quraisy dan telah mengabarkan pada mereka perjalanan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan pasukan yang bersamanya untuk mengadakan Futuh Makkah. Hal ini sudah termasuk ke dalam perbuatan tajasus dan memberika loyalitas, maka dari itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengkafirkannya dan tidak pula menyuruh untuk membunuhnya.” Bagaimana mendudukkan masalah ini dengan masalah sebelumnya ?
Syaikh Abdul Mun’im Mushtafa Halimah Abu Basyir berkata: “Memang apa yang dilakukan oleh Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu termasuk kekafiran, akan tetapi beliau itu tidak kafir dengan adanya pernyataan-pernyataan tersebut, dan adanya beberapa larangan/penghalang yang tidak mengkafirkannya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu adalah perbuatan kafir dan nifaq akbar, ini merupakan pernyataan Umar bin Khattab Radhiallahu 'anhu tentang dirinya didepan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana tercantum dalam Shahihain dan lainnya, yaitu: “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafiq ini.” Dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya ia telah kafir, ia juga telah menjadi orang munafiq, ia telah berpaling darimu dan menjadi musuhmu serta telah membocorkan rahasia pada mereka.”
Adapun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika mendengarkan pernyataan itu Beliau tidak mengingkarinya bahwa apa yang telah dilakukan oleh Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu adalah termasuk loyalitas terhadap orang-orang musyrik, sedangkan kekafiran dan  kenifakan adalah penyebabnya terpenggal leher pelakunya, akan tetapi yang diingkari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah pernyataan Shahabat Umar Radhiallahu 'anhu bahwa Hathib Radhiallahu 'anhu dihukumi sebagai orang kafir dan munafiq, dan ini merupakan pernyataan yang dilarang untuk diberikan kepada Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu.
Berikut ini adalah penyebab-penyebab yang menjadikan Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu tidak menjadi kafir dan munafiq,  yaitu:
1.      Sesungguhnya ia berta’wil dalam melakukannya, sungguh ia benar-benar tidak mengetahui sama sekali tentang hal ini, ia hanya mengira saja, sesungguhnya apa yang ia kerjakan mengantarkan ia kepada kekafiran dan keluar dari islam, dan apa yang dilakukan itu dapat merusak keimanannya, dan tidak bermaksud berbuat  khiyanat pada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, maka dari itu kita mendapatkannya menjawab dengan segera terhadap apa-apa yang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tanyakan padanya tentang sebab ia menulis surat kepada orang kafir Quraisy, ia berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah tergesah-gesah memfonis diriku, sesungguhnya aku memiliki kerabat di kaum Quraisy, dan aku tidak termasuk dengan mereka.”
Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Udzur Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu sesungguhnya ia berbuat seperti itu karena ta’wil saja, yang tidak menginginkan adanya bahaya di dalamnya.” (Fathul Baary jilid 8 hal. 50)
Abu Basyar berkata: “Ta’wil adalah salah satu penghalang dari penghalang-penghalang yang menjadikan orang mendapatkan gelar kafir.”
2.      Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah mengetahui (dari wahyu Ilahy) tentang maksud baik hati Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu, maka dari itu Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya ia telah berbuat jujur kepada kalian, dan kita tidak akan mendapatkan orangseperti itu.” Maka kita dapati Shahabat Umar Radhiallahu 'anhu bermuamalah dengan Hathib Radhiallahu 'anhu bahwa ia secara dhahirnya berpaling dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, berloyalitas kepada kaum kafir, berbuat kekafiran dan kenifaqan sebagaimana yang telah dijelaskan.
Jika ada yang berkata: “Hukum itu dilaksanakan karena dhahir perbuatan seseorang…”, sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak bermuamalah dengan hati/batin.”
Maka jawaban dari syubhat ini adalah: Perlakuan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ini suatu kekhususan dalam menegakkan hudud untuk meringankan ta’dzir dan hukuman terhadap orang yang menyelisihi islam, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berbuat hal itu kecuali ada sesuatu hal yang menunjukkan bukti suatu keadaan dengan jelas yang dapat menyebabkan adanya had dan hukuman. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui suatu urusan dengan batinnya dan apa yang tersembunyi di sebalik itu, maka hal ini menyalahi dhahir. Sebagaimana muamalah beliau dengan orang munafiq sesuai dengan dhahirnya, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam membenci mereka dengan pengetahuannya terhadap sifat nifaq dan kufur mereka di batinnya.
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak akan menegakkan hudud sesuai dengan pengetahuannya, tidak pula dengan sebuah berita, tidak pula karena wahyu semata, dan tidak pula dengan bukti-bukti dan saksi-saksi, sampai betul-betul ditetapkannya keterangan untuk dilaksanakannya had. Adapun tentang pemaafan kesalahan yang terjadi diantara sebagian para Shahabatnya. Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sangat mempertimbangkan kesalahan batin dan maksud yang diperlihatkan oleh wahyu dan menghasilkan jalan keluar, karena beliau senang dengan udzur, dan memaafkan kesalahan yang muncul dari Shahabatnya yang mulia yang telah mendapatkan siksaan  dan mengalamai berjihad fie sabilillah.
Ibnu ‘Araby berkata: “Barangsiapa mencela Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam ketika memutuskan hukum maka ia telah kafir.”
Jika ada orang yang berkata: “Apakah ada orang setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang memaafkan kesalahan yang sudah sampai pada derajat kekafiran karena keselamatan maksud dan batin para Shahabatnya ?”
Jawabannya adalah:  Tidak ada karena terputusnya wahyu, inilah yang dimaksudkan Umar Radhiallahu 'anhu dalam perkataannya

إنّ أناساً كانوا يؤخذون بالوحي في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم والآن الوحي قد انقطع
و إنّما نأخذكم الآن بما ظهر لنا من أعمالكم  غمن أظهر لنا خيراً أمّناه و قرّبناه و ليس لنا من سريرته
شيء  الله يحاسبه في سريرته  و من أظهر لنا سوءاً لم نأمنه و لم نصدّقه و إن قال إنّ سريرته حسنة ".

 “Sesungguhnya orang-orang di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menghukumi sesuatu dengan turunnya wahyu, sekarang wahyu telah terputus, dan kami sekarangakan menghukumi kalian dengan dhahir perbuatan kalian, barangsiapa yang menampakkan kepada kami suatu kebaikan maka ia akan kami jaga keamanannya, dan kami jadikan ia shahabat dekat, serta kami tidak berhak terhadap sesuatu yang ia sembunyikan, hanya Allah Ta'ala yang dapat menghisab apa-apa yang disembunyikannya. Barangsiapa yang menampakkan kepada kami suatu keburukan maka kami tidak akan membiarkannya begitu saja (tidak memberikan jaminan keamanan) dan tidak mempercayai perkataannya walaupun ia berkata bahwa apa yang ia sembunyikan itu berupa suatu kebaikan.”
3.      Tanda bahwa Shahabat Hathib bin Abi Balta’ah Radhiallahu 'anhu benar adalah ia berlaku jujur ketika menjawab pertanyaan yang dilontarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya, ia tidak menyembunyikan segala perbuatannya, hal ini yang menunjukkan kebenaran batin dan maksudnya, lain lagi dengan wanita yang telah mengaku dengan berbohong, ketika ditanya tentang surat yang berisi berita rahasia yang ia  bawa, ia berkata: “Saya tidak membawa apa-apa…”, maka hal itu menambah keburukan dan kekufurannya.
Jika sekiranya Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu seorang munafiq maka ia akan berbohong, karena salah satu ciri orang munafiq jika ia berkata maka ia dusta, akan tetapi ia telah berkata jujur, hal ini benar-benar menunjukkan kebenaran iman dan batinnya, sehingga ia bukan seorang munafiq, sebagaimana di hadits shahih yang diriwayatkan oleh at-Tarmidzy

قال رسول الله  صلّى الله عليه و سلّم :" فإنّ الصّدق  طمأنينة و الكذب ريبة ".

 Artinya: “Kejujuran adalah ketentraman sedangkan kebohongan adalah keragu-raguan.”
Dari hadits ka’ab bin Malik Radhiallahu 'anhu pada kisah yang ia tidak mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika terjadi perang Tabuk, ia berkata: “Ya Rasulullah, Sesungguhnya Allah Ta'ala membebaskan saya karena kejujuran, dan sesungguhnya do’a yang tetap aku ucapkan adalah agar aku tidak berbicara kecuali hanya perkataan yang jujur saja. Demi Allah Ta'ala, tidak ada kenikmatan yang aku senangi dari nikmat Allah Ta'ala setelah hidayah islam selain berbuat jujur kepada Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam, agar aku tidak berdusta kepada-Nya sehingga aku tidak binasa sebagaimana orang-orang yang telah mendustainya ketika turunnya wahyu.
Diantara tiga orang yang Allah Ta'ala wahyukan tentang kejujuran mereka dalam berbicara adalah kisah Ka’ab bin Malik Radhiallahu 'anhu, sebagaimana firman Allah Ta'ala

قال الله تعالى :"  لَّقَد تَّابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ
 مِن بَعْدِ مَاكَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ - وَعَلَى الثَّلاَثَةِ
الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ اْلأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لاَّمَلْجَأَ
 مِنَ اللهِ إِلآَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ - يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ".

            Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, - dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka [1], hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. - Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar   (QS. at-Taubah:117-119)
4.      Diantara kekhususan mengapa ia dimaafkan kesalahannya adalah karena ia termasuk ahli Badar, dan lembah Badar itu adalah suatu kebaikan yang besar yang dapat menghapus segala kejahatan.
Maka dari itu kita dapatkan nash Beliau (Shallallahu 'alaihi wasallam) yang telah mengingatkan kebaikan ahli Badar, sehingga beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengetahui ahli Badar, lalu berfirman: “Berbuatlah sesuka kalian, karena Allah Ta'ala telah mengampuni dosa-dosa kalian.” Di dalam shahih muslim beliau bersabda: “Sesungguhnya aku berharap tidak ada diantara mereka yang asuk neraka, insya Allah bagi siapa saja yang ikut dalam peristiwa besar perang  Badar dan Hudaibiyah tidak akan masuk Naar.”
Dan Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu memiliki kedua kebaikan itu, ia telah ikut dalam peristiwa perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwa jika seseorang telah besar dan banyak melakukan kebaikan, yang pertama kali di uji keimanannya oleh Allah Ta'ala, maka ia berhaq berta’wil dan dimaafkan kesalahannya.
5.      Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu bukanlah suatu perbuatan yang selalu dilakukan (profesi), sungguh ia tidak melakukan perbuatan itu kecuali hanya sekali dalam hidupnya. Ini berbeda dengan seorang mata-mata yang selalu terjadi di setiap waktu, ia tidak memiliki tujuan apa-apa selain bagaimana caranya untuk mendapatkan berita-berita rahasia dan disampaikan pada orang atau lembaga yang mengutusnya atau siapa saja yang bermuamalah dengan dirinya.
Disinilah letak perbedaan antara kesalahan yang dilakukan sekali dengan orang yang melakukan kesalahan berkali-kali, yang menunjukkan sifat dan kebenaran pelakunya. Maka dari itu merupakan kesalahan yang sangat fatal mencap atau memvonis Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu dengan hukum jasus dan sifat jasus yang telah disebutkan tadi.
Dari sebab-sebab yang dikumpulkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa perbuatan Shahabat Hatib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu menunjukkan kekafiran dan loyalitas yang besar kepada kaum kafir dengan perbuatan itu dan tidak boleh menghukuminya  dengan hukum kafir.
Dan bagi mata-mata yang berkembang sekarang, yang tidak memiliki alasan-alasan yang ada pada diri Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu, maka hukumnya berbeda walaupun ia seorang yang mengaku muslim atau bahkan mukmin.

Dr. Shalah ash-Shawy di dalam kitab “ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat” (Yang Baku dan Yang Nisbi) berkata: ”Berwali kepada orang kafir karena Diennya adalah kekufuran tanpa ada selisih pendapat. Bahwasanya hukum ini tergolong perkara yang muhkam dan pasti secara mutlaq, karena bertalian pokok dengan amalan hati, yang ikatan iman tidak akan kukuh kecuali dengan memenuhinya. Adapun wala’ yang tendensinya bukan karena Dien, namun karena tendesi kepemimpinan, atau hawa nafsu, atau maslahat duniawi, maka tingkatan hukumnya berbeda-beda. Sebagian ada yang menjadikan pelakunya kafir, dan sebagian yang lain tidak. Mengikutkan satu dari bentuk-bentuk wala’ pada bentuk wala’ yang menjadikan pelakunya kafir, dan mengikutkan yang lain pada bentuk wala’ yang tidak membuat kafir termasuk dalam ruang lingkup ijtihad, yang pandangan ahli Ilmu kadang-kadang dapat berselisih di dalamnya. Contohnya adalah ikhtilaf fuqaha’ (para ahli Fiqh) dalam menentukan hukum seorang mata-mata (muslim), antara “Hukuman mati”, “Ta’dzir” dan diserahkan hukumnya kepada kebijaksanaan Imam berdasarkan ijtihadnya. Keterlibatan seorang mata-mata dalam unsur penyerahan wala’ terhadap musuh-musuh Allah Ta'ala merupakan suatu perkara yang sangat jelas, tidak ada dua orang yang berselisih di dalamnya.
Imam asy-Syafi’ie Rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang melakukan tindakan seperti yang pernah dilakukan oleh Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radhiallahu 'anhu, apakah orang tersebut dihukum atau dilepaskan ?, maka beliau menjawab: “Sesungguhnya hukumannya adalah bukan hukum hudud. Adapun hukum hudud tidak diberhentikan ketika itu juga. Menyangkut hukuman bagi seorang mata-mata, maka Imam boleh melepasannya bebas dengan landasan ijtihad. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau pernah bersabda:

تجافوا لذوي الهيئات
“Jauhilah oleh kalian (kekhilafan) orang-orang yang memiliki jasa besar.”

Dan dikatakan dalam hadits tersebut:
“Sepanjang kekhilafan itu tidak menyangkut hukum had.”

Apabila kekhilafan itu, yang melakukannya adalah seorang yang memiliki jasa besar karena kebodohannya semata, sebagaimana yang pernah dilakukan Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu, sedangkan Diennya tidak diragukan lagi, maka saya lebih senang kalau kekhilafannya itu dikesampingkan darinya. Adapun jika seorang tersebut bukan termasuk yang memiliki jasa besar, maka Imam berhak menta’dzir , wallahu a’lam.”
            Abu Bakar al-Jashshash menegaskan bahwa apa yang terjadi pada Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu bukanlah kekufuran, niscaya keikut-sertaannya dalam perang Badar tidak akan bisa terjadi pencegah terhadap kemutlaqan vonis kafir atas dirinya dalam kepatutannya masuk Naar jika memang ia telah kafir. Katanya: “Jika ada yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam  telah memberitahukan bahwa ia mencegah Shahabat Umar Radhiallahu 'anhu yang bermaksud membunuhnya adalah karena Shahabat Hathib Radhiallahu 'anhu turut dalam perang Badar. Beliau bersabda: “Tidakkah engkau tahu, bahwa Allah Ta'ala telah mengetahui ahli Badar, lalu berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian.” Maka jawabannya adalah: Tidak seperti yang menjadi sangkaanmu, oleh karena kedudukannya sebagai ahli Badar tidak dapat mencegah dirinya menjadi kafir dan berhak masuk Naar apabila memang ia kafir. Sesungguhya makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tersebut adalah: Tidakkah engkau tahu, bahwa Allah Ta'ala telah mengetahui ahli Badar itu, apabila mereka berbuat dosa, maka mereka tidak akan menjumpai kematian kecuali telah bertaubat terlebih dahulu. Dan termasuk diantara ilmu Allah Ta'ala atasnya adalah adanya taubat apabila Allah Ta'ala memberikan tangguh waktu padanya. Jadi tidak boleh memerintah supaya ia dibunuh, atau melakukan tindakan yang membuat ia tidak berkesempatan melakukan taubat.
            Dapat juga maknanya adalah: Sesungguhnya ahli Badar itu, apabila berbuat dosa, maka perjalanan kembalinya adalah kearah taubat kepada Allah Ta'ala.
            Dalam kitab Zaadul Ma’aad dalam pembicaraan mengenai ibrah-ibrah yang dapat diambil dari peristiwa ghazwah Futuh Makkah, Ibnu Qayyim Rahimahullah mengatakan: “Di dalamnya ada ibrah mengenai bolehnya membunuh seorang mata-mata meskipun ia adalah seorang muslim. Oleh karena itu ketika Shahabat Umar Radliyallahu 'anhu meminta izin kepada Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam untuk membunuh Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radliyallahu 'anhu karena ia mengirim berita rahasia kepada penduduk makkah, maka Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam tidak mengatakan: “Tidak halal dibunuh, karena dia adalah seorang muslim”, akan tetapi beliau mengatakan: “Tidakkah engkau tahu, bahwa Allah Ta'ala telah mengetahui ahli Badar, lalu berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, sungguh akau telah mengampuni dosa-dosa kalian.” Jadi beliau menjawab bahwa pada diri Hathib Radliyallahu 'anhu ada sesuatu pencegah terhadap kehalalan darahnya, yaitu keikut sertaannya dalam perang Badar. Jawaban Beliau itu seperti suatu pemberitahuan atas bolehnya membunuh mata-mata yang tidak memiliki pencegah seperti pada diri Shahabat Hathib Radliyallahu 'anhu. Ini adalah madzhab Malik, dan salah satu versi dalam madzhab Ahmad. Sedangkan madzhab asy-Syafi’ie dan Abu Hanifah berpendapat: “Tidak dibunuh.” Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang dhahir dari madzhab Ahmad. Kedua golongan sama-sama berhujjah dengan kisah shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radliyallahu 'anhu. Adapun yang benar (menurut penulis kitab ini) adalah: Dibunuh atau tidaknya mata-mata itu kembali kepada ijtihad Imam. Jika ia memandang bahwa dengan dibunuhnya mata-mata tadi mendatangkan suatu kemashlahatan  bagi kaum muslimin, maka ia berhak membunuhnya. Dan jika dengan dibiarkannya bebasa mata-mata tadi lebih bermaslahat, maka ia berhak membiarkannya bebas. Wallahu a’lam.” (Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim III/422-423)
            Ibnul ‘Araby berkata: “Barangsiapa yang banyak mengetahui rahasia kaum muslimin dan memperhatikan keadaan mereka, lalu ia memberitahukan kabar rahasia kaum muslimin kepada musuh mereka, maka ia tidak menjadi kafir karena sepanjang perbuatannya itu tendensinya adalah dunia dan keyakinannya akan dienul Islam masih benar, seperti yang pernah dilakukan oleh Shahabat Hathib bin Abu Balta’ah Radliyallahu 'anhu, ketika ia meniatkan perbuatannya itu untuk menjadi alat penolong baginya bukan berniat murtad dari dienul Islam.” (Ahkaam al-Qur’an, Ibnu ‘Araby IV/1783)
            Mengenai hukum terhadap tindakan mata-mata ini, menjadi bercabang-cabang ahli ilmu, sesungguhnya barangsiapa membuka aurat kaum muslimin karena didorong oleh rasa benci terhadap Islam, atau mengikuti orang-orang kafir karena Dien mereka, maka sesungguhnya ia telah murtad dari dienul Islam. Dan jika ia melakukannya karena hubungan kekerabatan atau karena kepentingan dunia, sementara ia tetap berpegang pada dienul Islam, maka sesungguhnya ia telah fasiq dan wajib dita’dzir, yang tingkatan ta’dzirnya boleh jadi sampai tingkatan mati. Ini tergantung oleh ijtihad Imam, atau dimaafkan kesalahannya karena menimbang keutamaannya sebelum itu atau menimbang jasa-jasa besarnya terhadap Islam. (YANG BAKU DAN YANG NISBI dalam Perjalanan Gerakan Islam Kontemporer, Dr. Shallah ash-Shawy hal. 294-298)

Penutup
 
            Demikianlah kiranya usaha yang dapat kami curahkan dalam mengumpulkan data dalam rangka membuat makalah ini. Sungguh segala kesempurnaan dan kebenaran itu hanya milik Allah Ta'ala yang mutlaq untuk diimani, dan kami merasa masih banyak kekurangan yang ada pada  makalah yang kami buat ini, sehingga kami sangat membutuhkan saran dan kritik pembaca, dan pendengar sekalian.
Mudah-mudahan ini bermanfaat untuk kehidupan kita di dunia dan akhirat, dan menjadi amal shalih bagi kami selaku penyusunnya, dan para pembaca dan pendengar sekalian. Jika ada kesalahan dan kekhilafan kami mohon maaf kepada pembaca dan pendengar semua dan kami memohon ampun kepada Allah Ta'ala. Wallahu A’lam.


Daftar Pustaka

Al-Qur’anul Karim


Terjamahan al-Qur’anul karim DEPAG


Syarhus Sunnah, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawy, cet. II th. 1403 H/1983 M

Zaadul Ma’aad fie Hadyi Khairil ‘Ibaad, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, cet. III th. 1419 H/1998 M

Al-Jihaad wal Qitaal fie siyaasatisy Syar’iyah, Dr. Muhammad Khair Haikal, cet. I th. 1414 H/1993 M

Al-Mughny, Ibnu Qudamah, cet. II th. 1412 H/1992 M, Hijr, Kairo-Mesir

As-Sharimul Masluul ‘alasy Syatimir Rasuul, Ibnu Taimiyah, cet I th. 1416 H/1996 M.

Yang Baku Dan Yang Nisbi dalam Perjalanan Gerakan Islam Kontemporer, Dr. Shallah ash-Shawy, cet.    th.      Pustaka Arafah, Surakarta-Indonesia.             
                                                   
Kamus al-Munawwir, Ahmad Warson Munawwir

al-Munjiid fil Lughah, Luis Ma’luf, ----

Lisaanul ‘Arab, Jamaluddin bin Murim bin Mandzur, Darul Fikr, ---

Tartiib al-Qaamus al-Muhiith, Thahir Ahmad az-Zawy, cet. IV th. 1418 H/1996 M, Darul ‘Alimil Kutub, Riyadl

Al-Mu’jam al-Waasith, Ibrahim Mushthafa – Ahmaf Han az-Ziyad – Hamad Abdul Qadir – Muhammad ‘Ali an-Najar, al-Maktabah al-Islamiyah, Istambul-Turki

Fathul Baary bisyarh Shahiihil Bukhaary, Ibnu Hajar al-Asqalany, cet. I th. 1410 H/1989 M, Darul Fikr, Beirut-Libanon

Sunan Abu Dawud,  Imam Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats, cet. I th. 1419 H/1998 M, Dar Ibnu Hazm, Beirut-Libanon.
Sunan an-Nasaa’i, Imam Ahmad Syu’aib bin Ali bin Sinan an-Nasa’i, cet. I th. 1420 H/1999 M, Darus Salam, Riyadl

Shahiih al-Bukhary, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary, cet. I th. 1417 H/2000 M, Darus salam, Riyadl

Shahiih Muslim bisyarh an-Nawawy, Imam an-Nawawy, cet. I th. 1420 H/1999 M, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut-Libanon


[1]  Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, Mararah bin Rabi’.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar