Selasa, 31 Agustus 2010

IMAN & KUFUR 1( Syaikh Abdul Qodir Bin Abdul Aziz )

IMAN
DAN
KUFUR

Penulis:
Syaikh ‘Abdul Qoodir Bin ‘Abdul ‘Aziiz


Penerjemah:
Abu Musa Ath Thoyyaar

 


Judul Asli :

Al Iman wal Kufri

Penulis :

Syaikh  Abqul Qodir bin Abdul Aziiz

Edisi Indonesia :

Iman dan Kufur

Penerjemah :

Abu Musa Ath Thoyyar

Publikasi : 

Maktab Al Jaami'


© All Right Reserved


Silahkan memperbanyak tanpa merubah isi, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin






“Demi Kembalinya seluruh Dien hanya milik Allah Ta’ala”








IMAN DAN KUFUR

Tema iman dan kufur merupakan tema yang paling penting dalam aqidah, karena ini merupakan buah dari mempelajarinya, dan ia juga merupakan praktek nyata dari aqidah.
Dan kami akhirkan pembahasan mengenai masalah ini karena pentingnya permasalahan ini.
Meskipun tujuan pokok kami di sini adalah menunjukkan buku-buku yang mudah untuk dijadikan referensi, namun kami akan menyampaikan beberapa permasalahan penting yang dapat membantu thoolibul ‘ilmi (seorang pelajar) untuk memahami tema ini dari buku-buku yang akan kami sarankan untuk dipelajari, insya Alloh.
Atas dasar ini kami akan membagi pembahasan ini dalam 4 masalah, yaitu: Urgensi tema ini, kemudian tema-tema yang terkandung dalam materi iman, kemudian dlowaabithut takfiir (patokan-patokan dalam mengkafirkan orang) kemudian referensi-referensi terpenting dalam tema ini.




MASALAH PERTAMA:

Urgensi Tema Iman dan Kufur


Tidak berlebihan jika kami katakan bahwa tema iman dan kufur itu merupakan tema yang paling penting yang terdapat dalam seluruh diin, karena banyaknya hukum-hukum yang ditimbulkannya baik di dunia maupun di akherat. Alloh Ta’aalaa berfirman:
أم حسب الذين اجترحوا السيئات أن نجعلهم كالذين آمنوا وعملوا الصالحات سواء محياهم ومماتهم ساء ما يحكمون
Apakah orang-orang yang berbuat buruk itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal sholih sama saja baik waktu hidup dan pada waktu mati. Sungguh jelek apa yang mereka tetapkan. (QS. Al Jaatsiyah: 21).
Adapun dampaknya di akherat: sesungguhnya manusia itu masuk jannah (syurga) atau naar (neraka) ditentukan oleh iman dan kufur.
Dan adapun dampaknya di dunia: hukum-hukum yang ditimbulkan banyak sekali diantaranya adalah:
1.      Dalam permasalahan siyaasah syar’iyah, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan para penguasa dan pemerintahan di suatu negeri. Sesungguhnya hukum-hukum iman dan kufur yang berkaitan dengan permasalahan ini sangatlah urgen, karena ia mempunyai dampak kepada seluruh kaum muslimin, dan bukan hanya kepada sebagian umat Islam. Karena sesungguhnya Alloh telah mewajibkan kaum muslimin untuk mentaati dan membela penguasa muslim, sebagaimana Alloh telah mengharamkan mereka mentaati dan membantu penguasa kafir. Dan Alloh memerintahkan untuk memecat penguasa muslim apabila dia melakukan kekafiran. Oleh karena itu para ulama’ mengatakan; wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui keadaan penguasanya. (Lihat Al Mustashfaa, karangan Abu Haamid Al Ghozaaliy II / 390). Urgensi ini dapat kita pahami kalau kita memahami bahwa negara-negara yang diperintah berdasarkan undang-undang buatan manusia –-- sebagaimana keadaan berbagai negeri kaum muslimin pada hari ini –-- mempunyai  dampak hukum yang sangat berbahaya yang harus diketahui oleh setiap muslim, supaya orang yang binasa ia binasa berdasarkan ilmu dan orang yang hidup ia hidup berdasarkan ilmu. Hukum-hukum tersebut diantaranya:
A.    Bahwa sesungguhnya para penguasa negara-negara tersebut kafir, kufur akbar yang berarti telah keluar dari Islam.
B.     Para qoodliy (hakim) di negeri tersebut adalah orang kafir (kufur akbar), yang dengan demikian haram hukumnya bekerja menjadi hakim. Dan dalil atas kafirnya para penguasa dan hakim tersebut adalah firman Alloh Ta’aalaa:
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Alloh, maka mereka adalah orang-orang kafir. (QS. Al Maa-idah: 44).
Dan masalah ini akan kami singgung kembali ketika membahas tentang kesalahan-kesalahan dalam mengkafirkan di akhir pembahasan ini. Juga dalam pasal ini, pembahasan ke 8 tema ke 4, yang khusus membahas tema “memutuskan perkara dengan selain hukum yang diturunkan Alloh”. Di sana kami cantumkan bantahan-bantahan singkat terhadap beberapa syubhat yang muncul mengenai menjadikan ayat ini sebagai dalil dalam masalah ini, insya Alloh, maka kajilah tema tersebut.
C.     Bahwa sesungguhnya tidak boleh berhukum (menyelesaikan perkara) kepada pengadilan-pengadilan di negara-negara tersebut dan tidak boleh juga melaksanakan keputusan-keputusannya, dan barang siapa yang berhukum kepada undang-undang mereka dengan sukarela maka dia juga kafir.
D.    Bahwa sesungguhnya anggota lembaga perundang-undangan (dewan legislatif) di negara-negara tersebut –-- seperti parlemen, dewan perwakilan rakyat dan yang serupa dengan itu --– mereka kafir (kufur akbar). Karena merekalah yang mengijinkan (mengesahkan) berlakunya undang-undang kafir ini. Dan merekalah yang membuat undang-undang yang baru.
E.     Bahwa sesungguhnya orang-orang yang ikut memilih anggota parlemen tersebut, mereka kafir secara (kufur akbar). Karena dengan memilih anggota parlemen tersebut mereka telah menjadikan para anggota parlemen tersebut sebagai Robb-Robb (tuhan-tuhan) yang membuat undang-undang selain Alloh, karena yang dijadikan patokan itu adalah hakekat sesuatu, bukan namanya. Dan semua orang yang mengajak atau memberi motivasi untuk mengikuti pemilihan itu juga kafir.
Dan dalil atas kafirnya para wakil rakyat (parlemen) adalah firman Alloh Ta’aalaa:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين مالم يأذن به الله
Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang membuat syariat diin yang tidak diijinkan oleh Alloh. (QS. Asy Syu’aroo’: 21).
Dan firman Alloh Ta’aalaa:
اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله
Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai robb-robb (tuhan-tuhan) selain Alloh. (QS. At Taubah: 31).
Dan tidak ada perbedaan di kalangan mufassiriin (para ahli tafsir) bahwa rubuubiyah (ketuhanan) yang dimaksud dalam ayat ini adalah tasyrii’ (pembutatan syari’at) selain Alloh. Maka para wakil-wakil rakyat (anggota parlemen) itu adalah robb-robb yang merebut hak tasyrii’ (pembuatan syariat) dari Alloh, sedangkan orang-orang yang memilih mereka sebagai anggota parlemen, mereka telah menjadikan anggota-anggota parlemen itu sebagai robb-robb selain Alloh. Dan telah berlalu pembahasan masalah ini dalam buku ini pada awal bab IV dalam pembahasan niat. Yaitu  dalam bantahan terhadap fatwa Syaikh Bin Baaz. Dan masalah ini akan kami bahas secara detail dalam pembahasan ke-8, tema ke–1 yaitu sebuah pembahasan khusus masalah siyaasah syar’iyyah, insya Alloh ta’aalaa.
F.      Bahwa sesungguhnya haram hukumnya membai’at para penguasa tersebut untuk menjadi penguasa di negeri tersebut atau untuk tetap menjadi penguasa sebagaimana yang terjadi pada polling pendapat yang dilakukan khusus untuk itu. Karena bai’at ini bertujuan untuk melanggengkan kekafiran, dan barang siapa yang bermaksud untuk itu maka dia telah kafir. (Lihat Kitab Al Furuuq, karangan Al Quroofiy IV/118).
G.    Bahwa sesungguhnya para tentara yang menjadi pembela negara kafir tersebut adalah orang-orang kafir (kufur akbar), karena mereka itu berperang di jalan thoghut. Alloh Ta’aalaa berfirman:
والذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت
Dan orang-orang kafir berperang di jalan thoghut. (QS. An Nisaa’: 76).
Dan thoghut yang dia berperang dijalannya di sini adalah thoghut dalam bidang hukum, yaitu yang berupa undang-undang dan hukum buatan manusia, dan berupa pemerintah yang menjalankan undang-undang tersebut. Alloh Ta’aalaa berfirman:
يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت
Mereka hendak berhukum kepada thoghut.
Maka setiap orang yang dijadikan hakim selain Alloh adalah thoghut. Dan juga yang termasuk terkena vonis hukum kafir ini adalah setiap orang yang membela negara kafir ini dengan cara berperang seperti para tentara, atau yang membelanya dengan ucapan seperti yang dilakukan oleh sebagian wartawan, penyiar berita dan ulama’. Oleh karena itu haram hukumnya untuk mengabdi menjadi tentara di negara-negara kafir tersebut. Dan masalah ini akan kami singgung di akhir pembahasan ini insya Alloh, dalam kritikan terhadap buku Ar Risaalah Al Liimaaniyah Fil Muwaalaah.
H.    Bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban bagi seorang muslim untuk mentaati para penguasa tersebut. Dan juga tidak wajib baginya untuk mematuhi undang-undang negara tersebut. Akan tetapi ia bebas untuk melanggarnya semau dia asal memenuhi 2 syarat: pertama, dia tidak melakukan perbuatan yang dilarang secara syar’iy, dan yang kedua dia tidak mengganggu atau mendholimi orang Islam.
Bahwa sesungguhnya negara yang menggunakan undang-undang kafir adalah Daarul Kufrin (negara kafir), dan jika sebelumnya negara tersebut menggunakan hukum syari’ah kemudian berganti dengan undang-undang kafir sedangkan penduduknya masih Islam, maka negara tersebut adalah Daaru Kufrin Thoori’ (negara kafir yang tidak asli). Dan kami akan menyinggung pembahasan ahkaamud diyaar (hukum-hukum negara) pada akhir pembahasaan ini insya Alloh.
Demikianlah, dan saya di sini bukan bermaksud untuk membahas masalah ini secara detail, akan tetapi saya hanya ingin mengingatkan urgensi memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan iman dan kufur bagi setiap muslim. Dan yang saya sebutkan di sini adalah yang berkaitan dengan Siyaasah Syar’iyah.
Kemudain kita lanjutkan pembicaraan tentang hukum-hukum di dunia yang ditimbulkan oleh iman dan kufur.
2.  Dari sisi ahkaamul walaayah (hukum-hukum kekuasaan): kekuasaan orang kafir terhadap orang muslim batal dalam berbagai bentuk: sehingga orang kafir tidak boleh menjadi wali atau penguasa atau hakim bagi kaum muslimin. Dan sholatnya batal sehingga tidak boleh menjadi imam sholat. Dan barang siapa sholat di belakangnya (sebagai makmum) sedangkan dia mengetahui kekafiran orang tersebut maka sholatnya batal. Dan orang kafir juga tidak boleh menjadi wali nikah bagi seorang wanita muslimah, dan juga tidak menjadi mahrom baginya meskipun dia adalah kerabatnya yang asalnya bisa menjadi mahrom secara tetap. Dan orang kafir juga tidak boleh dipercaya untuk mengurus harta orang Islam sehingga dia tidak bisa menjadi penerima wasiyat. Dan orang kafir tidak boleh diberi kesempatan untuk mengambil barang temuan di dalam Daarul Islaam (Negara Islam). Dan juga bentuk-bentuk kekuasaan yang  lainnya yang bermacam-macam.
3.  Dari sisi hukum pernikahan orang kafir, dan termasuk juga orang murtad, seperti  orang yang meninggalkan sholat atau orang yang menghina Islam, haram dinikahkan dengan seorang wanita muslimah. Ia juga tidak bisa dijadikan wali nikah untuk wanita muslimah. Dan apabila ketika menikah dia muslim kemudian murtad maka nikahnya batal. Sehingga apabila dia tetap menggauli istrinya berarti dia berzina. Dan apabila anda perhatikan hal ini, niscaya anda melihat bahwa mayoritas pernikahan yang terjadi sekarang ini batal dan rusak sehingga tidak bisa menimbulkan konsekuensi pernikahan apapun karena si suami atau istri murtad sebelum menikah atau setelah menikah. Maka masalah ini adalah sangat bahaya.
4.  Dari sisi hukum warisan: perbedaan diin merupakan penghalang untuk saling mewarisi. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah tidak sepandapat yang kemudian diikuti oleh Ibnul Qoyyim, menurut mereka berdua orang Islam boleh mewarisi kerabatnya yang kafir. Hal ini sebagaimana yang diuraikan secara panjang lebar untuk mempertahankan pendapat ini oleh Ibnul Qoyyim dalam bukunya yang berjudul Ahkaamu Ahlidz Dzimmah II/462 dan hal. setelahnya, cetakan Daarul ‘Ilmi Lil Malaayiin th. 1983. Dan pendapat mereka berdua ini salah karena bertentangan dengan nash-nash shohih yang jelas-jelas bertentangan dengan pendapat keduanya. Mereka berdua berhujjah dengan perkataan beberapa sahabat namun perkataan siapapun tidak dianggap jika ada perkataan Rosululloh SAW
5.  Dari sisi ahkaamul ‘ishmah (hukum perlindungan): sesungguhnya darah dan harta seseorang itu tidak dilindungi kecuali dengan iman atau aamaan (jaminan keamanan). Yang dimaksud dengan iman adalah: Islam secara hukum dhohir. Adapun amaan ada 2 macam: Pertama: yang bersifat sementara, yaitu jaminan keamanan yang diberikan kepada orang yang meminta jaminan keamanan untuk diperbolehkan masuk ke Daarul Islam (negara Islam) namun tidak untuk menetap di sana. Kedua: jaminan keamanan yang bersifat abadi yaitu jaminan keamanan yang diberikan kepada orang kafir dzimmiy yang tinggal menetap di Daarul Islam dengan syarat dia harus memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan jaminan keamanan.
Kedua macam jaminan keamanan ini diberikan kepada orang kafir yang asli, adapun orang murtad tidak ada jaminan keamanan baginya. Dan orang yang tidak mendapatkan jaminan keamanan, baik orang kafir asli maupun orang murtad, darah dan hartanya boleh dirampas. Sehingga apabila kamu membunuh orang yang tidak diketahui diinnya lalu diyakini setelah itu bahwa orang tersebut adalah orang kafir yang tidak ma’shuum (mendapat jaminan perlindungan) atau orang murtad, maka kamu tidak terkena hukum qishoosh atau diyat dari sisi hukum pengadilan (Al Hukmu Al Qodhoo-iy). Adapun mengenai dosanya masih diperselisihkan, hal ini disebabkan karena membunuh orang yang tidak diketahui statusnya secara sengaja padahal orang yang membunuh tersebut tidak mengetahui status orang yang dibunuhnya, sehingga masih mengandung kemungkinan bahwa yang dibunuhnya adalah orang Islam. Namun jika kamu membunuhnya dengan tidak sengaja maka kamu tidak wajib membayar diyat atau kafaroh.
6.  Dari sisi ahkaamul janaa-iz (hukum-hukum jenazah): orang kafir tidak dimandikan, tidak disholatkan dan tidak dikuburkan di kuburan kaum muslimin. Dan orang Islam tidak boleh berdiri di atas kuburannya ketika ia ditimbun, atau memintakan ampunan kepadanya meskipun dia boleh mengiringi jenazahnya. Ini termasuk kesempurnaan baroo’ terhadap orang-orang kafir ketika mereka masih hidup dan ketika mereka sudah mati. Alloh ta’aalaa berfirman:
ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره إنهم كفروا بالله ورسوله
Janganlah kamu menyolatkan seorangpun dari mereka yang mati dan jangan pula kamu berdiri di atas kuburnya, karena sesungguhnya mereka kafir kepada Alloh dan RosulNya. (QS.At Taubah: 84).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ماكان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى
Tidak sepatutnya seorang Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun untuk orang-orang musyrik walaupun mereka itu kerabat mereka. (QS. At Taubah: 113).
7.  Hukum Al Walaa’ (loyalitas) dan Al Baroo’ (permusuhan): orang yang beriman wajib diberikan walaa’ kepadanya sesuai dengan kadar keimanannya dan haram berwalaa’ kepada orang kafir. Dan wajib baroo’ kepada orang kafir. Dan bagi orang beriman wajib membencinya karena Alloh dan menampakkan permusuhan kepadanya sesuai dengan kemampuannya. Dan tidak boleh membantunya sedikitpun pada hal-hal yang membahayakan orang-orang Islam. Bahkan wajib mempersempit orang kafir dengan tanpa mendholiminya jika dia mu’aahad (orang yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin-pentj.) atau dzimmiy (orang kafir yang diberi jaminan keamanan untuk hidup di negara Islam dengan syarat membayar jizyah dan tunduk dengan hukum Islam-pentj.).
8.  Ahkaamul hijroh: dibangun berdasarkan iman dan kufur. Orang beriman wajib untuk hijroh dari lingkungan orang-orang kafir semampu dia supaya dia selamatkan diin dia dari fitnah mereka dan supaya dia tidak memperbanyak jumlah mereka dan tidak membantu mereka untuk memusuhi orang Islam.
9.  Ahkaamul jihaad: dan hukum-hukum yang menjadi konsekuensinya seperti memperlakukan tawanan, ghoniimah (harta rampasan perang-pentj.), fai’ (harta rampasan yang diperoleh tanpa perang-pentj.), jizyah (pajak orang kafir yang dilindungi di Daarul Islam-pentj.) dan khorooj (pajak tanah yang digarap orang-orang kafir-pentj.). Semua ini dibuktikan berdasarkan iman dan kekafiran.
10.  Ahkaamud Diyaar (Hukum kenegaraan): dibuktikan berdasarkan iman dan kekafiran. Seorang muslim tidak boleh pergi ke Daarul kufri (negara kafir) kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh menetap di sana kecuali ada dloruuroh (kebutuhan yang mendesak). Begitu pula orang kafir tidak boleh masuk Daarul Islam (negara Islam) kecuali dengan perjanjian dan tidak boleh menetap di sana kecuali dengan membayar jizyah. Dan ada beberapa tempat yang mana orang kafir tidak boleh menetap di sana yaitu jazirah Arab. Dan ada beberapa tempat yang mana orang kafir tidak boleh masuk yaitu Al Harom.
11.  Dan dari sisi ahkaamul qodloo’ (hukum pengadilan): kesaksian orang kafir terhadap orang Islam tidak diterima sama sekali. Lebih dari itu orang kafir tidak boleh menjadi qoodliy (hakim) yang memutuskan hukum terhadap kaum muslimin sebagaimana yang telah kami sebutkan pada ahkaamul wilaayah (hukum kekuasaan).
Kalau kita mau meneliti hukum-hukum yang dibuktikan berdasarkan iman dan kekafiran ini dalam buku-buku fiqih yang bermacam-macam tentu kita akan dapatkan banyak sekali. Karena bejana orang-orang kafir ada hukumnya, sembelihan mereka ada hukumnya dan transaksi-transaksi keuangan seperti jual beli dan ijaaroh (memberi upah untuk suatu pekerjaan) dengan orang-orang kafir ada hukumnya. Ini adalah pembahasan yang sangat luas dan kita cukupkan dengan beberapa contoh di atas. Sesungguhnya Alloh menjadikan makhluqnya menjadi 2 golongan; Alloh Ta’aalaa berfirman:
هوالذي خلقكم فمنكم كافر ومنكم مؤمن
Dialah yang menciptakan kalian lalu diantara kalian ada yang kafir dan ada yang mu’min. (QS. At Taghoobun: 2)
Dan Alloh ta’aalaa tidak menyamakan antara dua golongan tersebut, baik di dunia maupun di akherat. Alloh Ta’aalaa berfiman:
أفنجعل المسلمين كالمجرمين مالكم كيف تحكمون
Apakah Kami jadikan orang-orang Islam itu seperti orang-orang jahat, bagaimana kalian membuat ketetapan? (QS. Al Qolam: 35-36).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
أفمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا لايستوون
Apakah orang yang beriman itu seperti orang yang faasiq, mereka tidaklah sama. (QS. As Sajdah: 18).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
لايستوي أصحاب النار وأصحاب الجنة
Tidak sama penghuni naar (neraka) dan penghuni jannah (surga). (QS. Al Hasyr: 20).
Berdasarkan ini, maka menyamakan antara dua golongan tersebut adalah penentangan terhadap syariat Alloh. Dan inilah dosa besar yang dilakukan oleh undang-undang buatan manusia jahiliyah yang mengatakan bahwa semua warga negara itu sama kedudukannya di hadapan hukum, dan bahwa tidak ada perbedaan antara mereka pada hak dan kewajiban meskipun aqidah mereka berbeda, dan ketetapan-ketetapan lain yang serupa. Dan melalaikan perbedaan ini akan mengakibatkan kerusakan besar pada diin dan dunia kaum muslimin. Dan tidak ada yang mendapat untung darinya kecuali orang-orang kafir. Dan inilah yang terjadi di dunia pada hari ini, yaitu berupa rusaknya diin kaum muslimin, hancurnya dunia mereka dan berkuasanya orang-orang kafir. Dan ketika hukum-hukum yang ditentukan berdasarkan iman dan kekafiran ini dipraktekkan akan terjadi pemisahan antara manusia menjadi 2 kelompok. Kelompok orang beriman dan kelompok orang kafir. Dan pemisahan ini merupakan kunci dan permulaan jihad fii sabiilillah. Dan pada jihad terletak kehidupan dan kemuliaan umat Islam sebagaimana juga dengan jihad, orang-orang kafir akan tunduk dan hina. Dan pemisahan manusia seperti ini dicintai oleh Alloh Ta’aalaa sebagaimana Alloh berfirman:
ماكان الله ليذر المؤمنين على ما أنتم عليه حتى يميز الخبيث من الطيب
Sekali-kali Alloh tidak akan membiarkan orang-orang beriman seperti keadaan kalian sekarang sampai Alloh memisahkan yang buruk dari yang baik. (QS. Ali ‘Imroon: 179).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ليميز الله الخبيث من الطيب ويجعل الخبيث بعضه على بعض فيركمه جميعا فيجعله في جهنم أولئك هم الخاسرون
Supaya Alloh memisahkan yang baik dari yang buruk dan menjadikan yang buruk sebagaiannya di atas sebagian yang lain maka Alloh menumpuknya dan memasukkannya semua ke jahannam. Mereka itu adalah orang-orang yang rugi. (QS. Al Anfaal: 37).
Dan begitu pula sesungguhnya sarana untuk pemisahan ini, yaitu mempraktekkan hukum-hukum yang didasarkan iman dan kufur, serta memberi kesaksian kepada manusia, merupakan hal yang dicintai Alloh ta’aalaa, sebagaimana firman Alloh ta’aalaa:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس
Dan begitulah Kami jadikan kalian umat pertengahan (adil dan pilihan) supaya kalian jadi saksi atas perbuatan manusia. (QS. Al Baqoroh: 143).
Dan melalaikan semua ini berarti melalaikan diin Alloh dan melalaikan apa yang dicintai dan diridloiNya. Lalu bagaimana dengan orang yang menghalangi kaum muslimin untuk membicarakan masalah iman dan kufur dengan dalih bahwa kita akan selamat dari ketergelinciran kalau kita menghindari pembicaraan masalah ini? Lalu bagaimana kalau yang ikut-ikutan menghalangi ini adalah dari kalangan aktifis dakwah Islam? Bukankah ini merupakan bentuk kebodohan terhadap diin Alloh dan bentuk kelemahan iman? Sesungguhnya di antara aktifis dakwah Islam dan pemimpin jama’ah-jama’ah Islam pada hari ini, mereka itu adalah sebagaimana yang disabdakan Rosululloh SAW:
اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
Manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh lalu pemimpin-pemimpin itu ditanya sehingga mereka menjawab tanpa dasar ilmu maka mereka sesat dan menyesatkan. (Muttafaqun ‘alaihi).
Orang yang tidak membedakan antara orang beriman dan orang kafir, atau orang yang menghalangi untuk melakukan hal itu, mustahil dia akan membela diin Alloh atau mendakwahkannya berdasarkan kebenaran.
Sesungguhnya membedakan antara orang beriman dan orang kafir, masing-masing sesuai dengan ketentuan syariat, tidak hanya berdampak pada individu-individu saja akan tetapi dampaknya terhadap bangsa dan negara lebih berbahaya lagi. Apakah yang menghalangi kaum muslimin untuk menjalankan syariat islam di negara mereka? Selain para penguasa kafir yang dikatakan oleh antek-antek mereka dari kalangan ulama’-ulama’ sesat, bahwa para penguasa tersebut adalah para penguasa muslim. Dan para penguasa itu dibela oleh tentara-tentara mereka yang kafir yang menyangka bahwa diri mereka dan penguasa mereka adalah orang-orang muslim. Apakah yang menyebabkan ini semua terjadi? selain pembodohan yang disengaja dan penyesatan yang terencana sejak puluhan tahun yang mengakibatkan mayoritas kaum muslimin tidak mau memikirkan masalah ini –-- yaitu masalah iman dan kufur, dan membedakan antara orang beriman dan orang kafir –-- bahkan ini mengakibatkan mereka jaahil murokkab (kebodohan yang berlipat ganda) terhadap masalah ini, yaitu mereka mempunyai keyakinan tentang masalah ini dengan keyakinan yang bertolak belakang dengan yang sebenarnya. Mereka memandang bahwa penguasa mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa dan mereka memandang orang-orang muslim yang berjihad sebagai orang Khowaarij yang sesat. Oleh karena itulah dakwah mengalami kemunduran dan para da’i (juru dakwah) menjadi orang-orang yang asing dan tertindas. Dan inilah kenyataan yang terjadi di berbagai negeri kaum muslimin pada hari ini. Oleh karena itu tidak aneh kalau para ulama’ mengatakan bahwa setiap muslim wajib mengetahui keadaan pemerintahnya karena banyaknya hukum yang ditimbulkannya. (Lihat Al Mustashfaa, karangan Abu Haamid Al Ghozaaliy II/390). Sesungguhnya kelalaian yang disengaja terhadap permasalahan ini –-- yaitu permasalahan membedakan antara orang Islam dan orang kafir –-- dan memalingkan kaum muslimin dari masalah ini, tujuanya adalah supaya kaum muslimin tidak mengerti musuh mereka yang sebenarnya, yaitu para penguasa kafir yang berada di dalam negeri mereka dan kekuatan kafir internasional yang berada di luar negeri mereka, supaya kaum muslimin tidak berjihad melawan musuh-musuh mereka yang berada di dalam dan di luar negeri mereka. Padahal tidak ada kehidupan dan kemuliaan bagi umat Islam kecuali dengan jihad. Maka apabila jihad ditinggalkan akan rusak diin dan dunia kaum muslimin, dan orang-orang kafir akan berkuasa dan menebar kerusakan di muka bumi. Dan inilah yang terjadi sejak lama. Rosululloh SAW bersabda:
إذا تبايعتم بالعينة وتبعتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لاينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم
Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘iinah (salah satu bentuk riba), mengikuti ekor-ekor lembu, senang dengan perkebunan dan meninggalkan jihad, pasti Alloh akan timpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada diin kalian. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad hasan dari Ibnu ‘Umar).
‘Iinah adalah salah satu bentuk riba. Dan mengikuti ekor-ekor lembu dan senang dengan perkebunan adalah menunjukkan kecenderungan kepada dunia yang diantara konsekuensinya adalah meninggalkan jihad. Ini semuanya akan mengakibatkan kehinaan yang tidak akan tercabut kecuali jika hal-hal yang menjadi penyebabnya hilang.
Ini semua adalah penjelasan mengenai urgensi materi iman dan kufur. Dan di dalam menerangkan materi ini Ibnu Taimiyyah rh berkata: “Apabila itu semua sudah jelas, maka ketahuilah bahwa “Masaailut Takfiir Wat Tafsiiq” (masalah mengkafirkan dan menfaasiqkan orang) adalah “Masaailul asmaa’ Wal Ahkaam” (masalah penamaan dan hukum) yang berkaitan dengan al wa’du (pahala) dan al wa’iid (siksa) di akherat, dan berkaitan dengan al muwaalah (loyalitas), al-mu’aadaah (permusuhan), pembunuhan, al-‘ishmah (jaminan keamanan/perlindungan) dan lain-lain di dunia. Sesungguhnya Alloh telah mengharuskan orang-orang beriman untuk masuk jannah (surga) dan mengharamkan orang-orang kafir untuk memasukinya. Ini merupakan hukum-hukum yang bersifat umum yang berlaku di setiap waktu dan tempat.” (Majmuu’ Fataawaa XII/468) Ibnu Taimiyyah juga mengatakan: “Sesungguhnya kesalahan dalam penamaan (penyebutan) iman tidak sebagaimana kesalahan dalam penamaan masalah-masalah baru atau kesalahan dalam penamaan-penamaan lainnya, karena hukum-hukum yang berlaku di dunia dan akherat tergantung pada penamaan iman, islam, kufur dan nifaq (munafiq).” (Majmuu’ Fataawaa  VII/395). Dia juga mengatakan: “Dan di dalam pembicaraan masalah ini tidak ada penamaan yang menentukan kebahagian, kesengsaraan, pujian, celaan, pahala dan siksaan yang lebih besar daripada penamaan iman dan kafir, oleh karena itu kaidah ini disebut dengan Masaailul Asmaa’ Wal Ahkaam (masalah penamaan dan hukum).” (Majmuu’ Fataawaa  XIII/58). Dan Ibnu Rojab Al Hambaliy rh berkata: “Dan permasalahan-permasalah ini: yaitu permasalahan-permasalahan Islam, Iman, Kufur dan Nifaq (munafiq) adalah permasalahan-permasalahan yang sangat besar sekali. Karena sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla menentukan kebahagiaan, kesengsaraan, masuk jannah (surga) dan naar (neraka) tergantung pada nama-nama tersebut. Dan perselisihan yang pertama kali terjadi di kalangan umat ini adalah pada pendefinisian nama-nama tersebut”. (Jaami’ul Uluum Wal Hikam, hal. 27). Dan Ibnul Qoyyim rh berkata –-- ketika membahas adanya Saddudz Dzaro-i’ (mencegah sarana-sarana) kejelekan dan kerusakan dalam syariat Islam, beliau menyebutkan diantara contohnya --- : “Sesungguhnya syarat-syarat yang dibebankan kepada ahludz dzimmah mengandung unsur membedakan antara mereka dengan kaum muslimin pada pakaian, rambut, kendaraan, dll, supaya kemiripan mereka tidak mengakibatkan orang kafir diperlakukan sebagaimana orang Islam. Maka sarana ini dicegah dengan mewajibkan mereka untuk berpenampilan beda dengan kaum muslimin.” (A’laamu Muwaqqi’iin III/157).
Kesimpulan dari permasalahan ini adalah: bahwa buah dari pembahasan ini –-- yaitu pembahasan iman dan kufur –-- adalah membedakan antara orang beriman dan orang kafir supaya masing-masing dapat diperlakukan dengan semestinya sesuai dengan syariat Alloh ta’aalaa, dan ini adalah kewajiban bagi setiap muslim. Kemudian, sesungguhnya keuntungan bagi orang-orang kafir atau murtad jika dia mengetahui bahwa dirinya kafir mungkin dia akan segera bertaubat atau memperbaharui Islamnya. Sehingga hal ini lebih baik baginya di dunia dan di akherat. Namun kalau kita menyembunyikan hukumnya dan tidak memberitahukan kekafirannya atau kemurtadaannya dengan alasan bahwa menjelaskan permasalah ini akibatnya masih mengkhawatirkan. Lebih dari itu hal ini berarti menyembunyikan dan menghancurkan rukun-rukun Islam. Dengan demikian ini adalah kedholiman terhadap orang kafir tersebut dan penipuan terhadapnya dengan cara menghilangkan kesempatan baginya untuk bertaubat apabila dia mengetahuinya. Karena kebanyakan orang-orang kafir itu adalah:
الذين ضل سعيهم في الحياة الدنيا وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا
Orang-orang yang sia-sia perbuatan mereka di dunia sedangkan mereka menyangka bahwa mereka itu berbuat baik. (QS.Al Kahfi: 104).
Dan pada pembahasan tingkatan pertama yang membahas ilmu khusus untuk orang awam, telah saya katakan bahwa saya tidak menyuruh orang-orang awam untuk berfatwa dalam masalah hukum-hukum yang berdasarkan iman dan kufur, bahkan dia tidak boleh melakukannya. Akan tetapi permasalahan ini wajib menjadi pertimbangannya dalam berbagai muamalahnya supaya dia meminta fatwa ketika membutuhkannya, atas dasar wajibnya berilmu sebelum berbicara dan berbuat.
Adapun bagi thoolibu ‘ilmi (pelajar) tingkat ketiga yaitu tingkat spesialisasi dan dalam rangka proses untuk menjadi mujtahid maka hendaknya perhatian dia terhadap permasalahan ini harus lebih banyak lagi dengan cara mempelajarinya secara memadai supaya dirinya menjadi orang yang layak untuk berfatwa dalam masalah ini.




MASALAH KEDUA:

Tema-Tema Yang Terdapat Dalam Materi Iman



Ketahuilah bahwasanya pemahaman terhadap materi-materi kekafiran, kemunafiqan dan kefasikan itu dibangun di atas pemahaman terhadap materi iman, karena materi-materi tersebut merupakan pembatal-pembatal keimanan dari sisi yang bermacam-macam. Adapun kekafiran dan nifaaqul i ‘tiqood (kemunafiqan aqidah) merupakan pembatal ashlul iimaan (pokok keimanan), sedangkan kefasikan dan nifaaqul ‘amal (kemunafiqan amal) membatalkan Al iimaan Al Waajib (keimanan yang wajib). Dan penjelasan tentang masalah ini telah berlalu diawal peringatan penting yang terdapat pada catatanku terhadap Al ‘Aqiidah At Thohaawiyah.
Untuk menguasai materi iman harus mempelajari tema-tema penting yang ada padanya. Yang mana masing-masing buku berbeda dalam mencantumkan tema-tema tersebut dan memperincinya. Dan di sini kami sebutkan tema-temanya supaya setiap thoolib (pelajar) dapat mempelajarinya secara lengkap dari berbagai macam buku. Dan tema-tema  iman yang diperselisihkan oleh berbagai golongan adalah berikut : 
1.      Masalah hakekat iman dari sisi keterkaitannya dengan hati, lisan dan perbuatan anggota badan.
2.      Masalah apakah iman itu terdiri dari berbagai cabang atau iman itu satu saja? Dan apa perbedaan antara rukun-rukun iman dan cabang-cabangnya?
3.      Masalah bertambah dan berkurangnya iman, perbedaan tingkatan-tingkatan ahlul iimaan (orang beriman) dalam keimanan mereka.
4.      Masalah tingkatan-tingkatan dan macam-macam iman. Ini bagi orang yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari berbagai cabang maka ia dibagi menjadi ash-lun (pokok), kamaalu waajib (penyempurnaan wajib) dan kamaalu mustahab (penyempurnaan yang sunnah). Adapun yang berpendapat bahwa iman itu satu maka baginya tidak ada pembagiannya.
5.      Masalah tingkatan-tingkatan cabang iman, bagi yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari berbagai cabang.
6.      Masalah macam-macam cabang iman dan apa saja yang menjadi syarat dalam ashlul iimaan, atau dalam al kamaal al waajib atau dalam al kamaal al mustahab. Ini bagi orang yang berpendapat bahwa iman itu terdiri dari berbagai cabang.
7.      Masalah para pelaku dosa-dosa besar. Apa hukum mereka di dunia dan akibatnya di akherat? Dan dari masalah ini muncul berbagai istilah diantaranya: Al Kabaa-ir (dosa-dosa besar), Ash shogho-ir (dosa-dosa kecil) Al Faasiq Al Milliy (orang faasiq yang masih Islam), Muthlaqul Iimaan (iman yang sempurna), Al Iimaan Al Muthlaq (iman yang terendah), Al Manzilah Bainal Manzilatain (tidak kafir dan tidak beriman), Kufrun duuna kufrin (Kekafiran yang kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam), Syirkun Duuna Syirkin (syirik kecil), Dhulmun Duuna Dhulmin (kedholiman kecil), Fisqun Duuna Fisqin (kefasikan kecil), Nifaaqun Duuna Nifaaqin (kemunafiqan kecil), Jaahiliyyatun Duuna Jahliyyatin (kebodohan kecil) dan istilah-istilah lainnya.
8.      Masalah apakah iman dengan Islam itu sama atau berbeda.
9.      Masalah istitsnaa’ dalam iman dan istitsnaa’ dalam Islam (yaitu mengucapkan saya beriman insya Alloh atau saya Islam insya Alloh-pentj.).
10.  Masalah apakah iman itu makhluq atau bukan.
11.  Perbedaan antara iman dan Islam dalam hukum dhohirnya (atau hukum di dunia atau al hukmul hukmiy/hukum pengadilan) dan antara al hukmu al haqiiqiy (atau hukum di akherat atau al hukmul haddiy).
Inilah tema-tema penting yang terdapat dalam materi iman. Dan ketahuilah masalah-masalah ini semuanya kembali kepada masalah yang pertama di atas yaitu masalah hakekat iman. Dalam hal ini saya beri contoh madzhab (aliran) Murji-ah misalnya:
Hakekat iman menurut mereka adalah At Tashdiiq Bil Qolbiy (percaya dalam hati), (sebagian sekte Murji-ah menambahkannya dengan Al Iqroor Bil Lisaan/ikrar dengan lisan, sebagai syarat untuk permberlakuan hukum di dunia, namun ikrar ini tidak masuk dalam hakekat iman menurut mayoritas Murji-ah). Atas dasar pendapat mereka ini (yaitu bahwa iman itu percaya saja) muncullah berbagai masalah lainnya sebagai berikut:
1.  Iman itu satu dan tidak terdiri dari berbagai cabang, karena percaya itu satu, apabila hilang sebagiannya hilanglah semuanya.
2.  Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang karena percaya itu satu dan kalau berkurang berarti menjadi ragu-ragu dan ini adalah kekafiran.
3.  Ahlul iimaan (orang-orang beriman) itu imannya sama semua, orang yang faajir sama dengan orang yang bertaqwa, iman mereka samua itu sama dengan iman Nabi SAW, bahkan seperti imannya Jibril dan Mikail as, karena iman itu satu. Dan inilah diantara keburukan mereka.
4.  Perbuatan itu tidak masuk kategori iman, karena iman itu kepercayaan hati. Akan tetapi perbuatan itu adalah buah iman, dan apabila perbuatan itu disebut sebagai iman maka hal itu hanya majaaz (kiasan) saja.
5.  Orang faajir yang faasiq itu adalah orang beriman yang sempurna imannya selama dia masih percaya. Dan ini diantara kejelekan mereka.
6.  Ahlul iimaan (orang-orang beriman) itu tidak bertingkat-tingkat keimanannya, akan tetapi iman mereka itu sama –-- sebagaimana telah diterangkan di atas –-- namun yang bertingkat-tingkat itu adalah amal perbuatannya, bukan keimanannya, sedangkan amal perbuatan bukanlah termasuk iman.
7.  Tidak boleh istitsnaa’ dalam iman, yaitu orang mu’min yang mengatakan: “Saya beriman insya Alloh”. Karena itu merupakan keraguan. Sedangkan keraguan dalam iman yang berarti percaya adalah kekafiran. Akan tetapi seharusnya dia mengatakan: “Saya benar-benar beriman”
8.  Tidak ada kekafiran selain at takdziib (mendustakan) atau hal-hal lain yang kembalinya kepada takdziib, seperti al jahdu (mengingkari)  dan al istihlaal (menghalalkan yang harom). Karena kekafiran adalah kebalikan dari keimanan, sedangkan iman adalah pembenaran hati, maka tidak ada kekafiran selain pendustaan hati. Kemudian mereka terpecah-pecah lagi dalam memandang orang yang mengucapkan ucapan atau melakukan perbuatan yang mana ucapan dan perbuatan tersebut dinyatakan dalam nash atas kafirnya orang yang melakukannya:
q  Menurut sekte Asy’ariyyah dan Murji-atul Fuqohaa’, mereka yang melakukannya kafir baik lahir maupun batin, akan tetapi ia kafir bukan karena ucapannya atau perbuatannya akan tetapi karena ucapan dan perbuatannya itu merupakan pertanda bahwa hatinya mendustakannya.
q  Sedangkan menurut sekte Jahmiyyah: orang tersebut kafir secara dhohirnya karena adanya nash yang menyatakan atas kekafirannya, namun bisa jadi dia masih beriman batinnya jika masih ada kepercayaan dalam hatinya. Mereka yang berpendapat seperti ini dikafirkan oleh salaf (ulama-ulama terdahulu) karena menolak nash syar’iy yang menetapkan atas kafirnya orang yang mengucapkan atau melakukan kata-kata dan perbuatan kafir. Karena nash syar’iy adalah pemberitahuan dari Alloh ta’aalaa yang pasti sesuai dengan hakekatnya dan tidak sekedar sesuai dengan dhohirnya saja. Dalam hal ini dari kalangan sekte Jahmiyyah ada yang mempunyai pendapat lain yaitu seperti pendapat sekte Asy’ariyyah dan Murji-atul Fuqohaa’.
q  Sedangkan sekte Ghulaatul Murji-ah (Murji-ah ekstrim) dan mereka ini banyak sekali pada jaman sekarang ini yang menulis buku-buku yang memuat berbagai kesesatan, mereka berpendapat: orang tersebut tidak kafir kecuali jika dia mengingkari (juhuud) atau menganggap halal apa yang haram (istihlaal) dan dia menyatakan hal itu dengan jelas. Mereka yang berpendapat seperti ini dikafirkan oleh salaf karena mereka menolak nash syar’iy yang menetapkan kafirnya orang yang mengeluarkan kata-kata kufur dan perbuatan kufur. Dan perincian masalah ini telah berlalu pada catatanku terhadap Al ‘Aqidah Ath Thohaawiyah.
Inilah sekilas tentang pendapat berbagai sekte Murji-ah. Dan sebagaimana yang anda lihat bahwa pendapat mereka yang bermacam-macam itu bersumber dari satu masalah yaitu pendapat mereka mengenai hakekat iman. Dan pendapat mereka tentang hakekat iman adalah bid’ah tercela yang mengakibatkan banyak bid’ah. Karena hukuman keburukan itu adalah perbuatan buruk setelahnya.
ظلمات بعضها فوق بعض
Berbagai kegelapan yang sebagian di atas sebagian yang lain.
Oleh karena itu perbedaan antara mereka dengan Ahlus Sunnah bukanlah sekedar perbedaan istilah saja sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya pada catatanku terhadap Al ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah.
Dan demikian pula perbedaan antara  Ahlus Sunnah dengan Mu’tazilah dan Khowaarij adalah bersumber dari pendapat mereka masing-masing tentang hakekat iman.
Inilah tema-tema yang berkaitan dengan masalah iman yang harus dipelajari oleh thoolib (pelajar) dalil-dalil kelompok yang bermacam-macam dari referensi-referensi yang akan kami sebutkan nanti insya Alloh.



MASALAH KETIGA:

Dlowaabithut Takfiir (Patokan-patokan dalam Mengkafirkan Orang)



Masalah ini akan kami terangkan dalam empat kajian, yaitu pertama: referensi-referensi kajian takfiir (mengkafirkan orang), kedua: definisi murtad, ketiga: kaidah takfiir (mengkafirkan orang) dan yang keempat: kesalahan dalam masalah ini yang telah menyebar.

Kajian Pertama:
Sumber Kajian Masalah Takfiir (Mengkafirkan Orang)

Pembahasan kita masalah takfiir di sini hanya terbatas pada orang yang telah dibuktikan sebagai orang Islam baik karana dia masuk Islam dengan sendirinya atau dilahirkan di atas fitroh karena kedua orang tuanya Islam, bukan kafir asli. Meskipun kekafiran itu tetap kekafiran tanpa melihat siapa orangnya, akan tetapi pembahasan tentang orang yang kafir asli tidak ada kerumitan dan tempatnya adalah pada bab-bab Jihad.
Maka kami katakan bahwa sesungguhnya permasalahan takfiir (yaitu menjatuhkan vonis kafir terhadap seseorang, yaitu yang dikenal dengan masalah takfiirul mu’ayyan) itu ada dua sisi yang dapat dikaji dari beberapa buku, yaitu:
1.  Sisi I’tiqoodiy (keyakinan): berkaitan dengan hakekat dan macam-macam kekafiran, dan tempat pembahasannya adalah pada bab-bab iman dan pembatal-pembatalnya dalam buku aqidah.
2.  Sisi Qodloo’iy (hukum pengadilan) dan tempat pembahasannya adalah ada dua macam:
A.    Pertama: Al Umuur Al Mukaffiroh –-- yaitu hal-hal yang menjadi penyebab kekafiran –-- dan hukuman bagi orang kafir, dan tempat pembahasannya adalah pada bab-bab riddah (murtad) dalam buku-buku fiqih.
B.     Kedua: cara menetapkan adanya hal-hal yang mukaffir –-- yaitu penyebab kekafiran –-- pada seseorang dan melihat tidak adanya mawaani’ (hal-hal yang menjadi penghalang) untuk menjatuhkan hukum, yang bisa diterima secara syar’iy. Hal ini untuk menjatuhkan hukum apakah dia kafir atau tidak. Dan tempat pembahasannya adalah pada bab-bab al qodloo’ (pengadilan), ad da’aawaat (pengaduan) dan al bayyinaat (pembuktian) dalam buku-buku fiqih.
Tujuan kami di sini adalah mengingatkan bahwasanya tidak boleh berfatwa tentang takfiirul mu’ayyan hanya dengan mengkaji buku-buku aqidah saja tanpa mengkaji proses pengadilan dalam hal ini. Hal ini akan sedikit kami perinci ketika membahas tentang kaidah takfiir


Kajian Kedua:
Definisi Riddah (murtad)

Riddah (murtad) adalah: kembali dari diin Islam kepada kekafiran atau memutuskan Islam dengan kekafiran. Alloh ta’aalaa berfirman:
ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في الدنيا والآخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون
Dan barangsiapa diantara kalian yang murtad dari diinnya lalu dia mati dalam keadaan kafir maka amalan-amalan mereka sia-sia di dunia dan akherat. Dan mereka adalah penghuni naar (neraka) mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqoroh: 217).
Sedangkan al murtad adalah orang yang kafir setelah dia Islam baik dengan ucapan atau dengan perbuatan atau dengan keyakinan atau dengan keraguan.
Dan definisi-definisi dari empat madzhab dan lainnya tentang riddah dan murtad semuanya berkisar pada arti di atas. Hal ini karena kekafiran itu kadang terjadi karena perbuatan lisan (yaitu ucapan) atau karena perbuatan anggota badan (yaitu perbuatan) atau perbuatan hati (yaitu keyakinan atau keraguan). (Lihat Kasysyaaful Qonnaa’, karangan Syaikh Manshuur Al Bahuutiy VI/167-168). Dan Abu Bakar Al Hishniy Asy Syaafi’iy dalam buku Kifaayatul Akhyaar berkata: “Definisi riddah menurut syar’iy adalah kembali dari Islam kepada kekafiran dan memutuskan Islam. Hal itu terjadi kadang dengan lisan kadang dengan perbuatan dan kadang dengan keyakinan.
Dan 3 macam tersebut masing-masing terdapat permasalahan yang hampir-hampir tidak terbatas.” (Kifaayatul Akhyaar II/123). Dan Syaikh Hamad bin ‘Atiiq An Najdiy rh (wafat th. 1301) mengatakan: “Bahwa sesungguhnya para ulama sunnah dan hadits mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Al Murtad itu adalah orang yang kafir setelah dia Islam baik dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan. Mereka menetapkan bahwa orang yang mengucapkan kata-kata kekafiran dia kafir meskipun dia tidak meyakini kata-kata tersebut dan tidak pula melakukannya apabila dia tidak mukroh (dipaksa). Dan begitu pula apabila dia melakukan perbuatan kufur dia kafir meskipun dia tidak meyakininya dan tidak pula mengucapkannya. Dan demikian pula apabila dadanya lapang terhadap kekafiran artinya dia membuka dan melebarkan dadanya, meskipun dia tidak mengucapkannya dan tidak pula melakukannya. Dan ini dikenal secara jelas dari buku-buku mereka. Dan barangsiapa bergelut dengan ilmu pasti dia telah mendengar sebagiannya.“ (Ad Difaa’ ‘An Ahlis Sunnah Wal Ittibaa’ karangan Syaikh Hamad bin ‘Atiiq cet. Daarul Qur-aanul kariim 1400 H hal. 30).
Lalu para ‘ulama membatasi penyebab kekafiran pada 3 hal (ucapan atau perbuatan atau keyakinan) dan sebagian menambahnya (atau keraguan) hal ini untuk membedakan antara keraguan dan keyakinan padahal keduanya termasuk perbuatan hati akan tetapi keyakinan adalah sesuatu yang menancap kuat sedangkan keraguan adalah sesuatu yang tidak menancap dengan kuat. Karena sesuatu yang diragukan itu sama posisinya dengan kebalikannya. Maka barangsiapa kedustaannya terhadap Rosul menancap kuat dalam hatinya berarti kufru i’tiqood (kafir karena keyakinan) dan barangsiapa yang ragu antara mempercayai dan mendustakan Rosul maka ini berarti kufru syakk (kafir karena keraguan). Alloh Ta’aalaa berfirman :
وارتابت قلوبهم فهم في ريبهم يترددون
Dan hati mereka ragu maka mereka terombang-ambing dalam keraguan mereka. (QS. At Taubah: 45).
Dan Di Sini Ada Sebuah Peringatan Penting: yaitu bahwasanya definisi murtad di atas adalah definisi murtad yang sebenarnya. Adapun hukum di dunia yang ditetapikan berdasarkan yang dhohir, seseorang tidak divonis kafir kecuali mengucapkan ucapan kufur atau melakukan perbuatan kufur. Karena ucapan dan perbuatan itulah  yang nampak pada manusia. Adapun keyakinan atau keraguan tempatnya adalah hati sehingga tidak bisa menjatuhkan hukum di dunia berdasarkan keduanya, selama apa yang di dalam hati tersebut tidak dinampakkan dalam ucapan atau perbuatannya. Karena Rosul SAW bersabda – dalam hadits shohih:
إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس
Sesungguhnya aku tidak disuruh untuk membelah hati manusia. (Hadits).
Dan di dalam hadits shohih juga disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada Usaamah:
أفلا شققت عن قلبه
Kenapa tidak kamu belah saja hatinya. (Hadits).
Maka barang siapa melakukan kekafiran dengan hatinya (dengan keyakinan atau keraguan) dan tidak dia nampakkan dengan ucapan atau perbuatannya, maka ia muslim menurut hukum di dunia akan tetapi pada hakekatnya dia kafir di sisi Alloh dan dia adalah orang munafiq dengan nifaq akbar (kemunafiqan besar) yang menyembunyikan kekafirannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Dan hukum-hukum tersebut tidak dibuktikan hanya berdasarkan apa yang berada dalam hati tanpa ada dasar dari perbuatan atau perkataan…” (A’laamul Muwaqqi’iin III/117). Dalam hal ini tidak ada perselisihan tentang hukum di dunia yang dibuktikan berdasarkan yang dhohir.
Dalam hal ini Imam Ath Thohaawiy rh mengatakan dalam Al Aqidah Ath Thohaawiyyah tentang ahlul qiblah (orang Islam): “Kami tidak memberikan kesaksian tentang mereka dengan kekafiran atau kesyirikan atau kemunafiqan selama mereka tidak menampakkannya, dan kami menyerahkan hati mereka kepada Alloh.” Pensyarahnya mengatakan: “Karena kita diperintahkan untuk menetapkan hukum berdasarkan yang dhohir, dan kita dilarang untuk mengikuti prasangka dan apa-apa yang kita tidak mengetahui ilmunya” (Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah hal 427 cetakan Al Maktab Al Islaamiy 1403 H ).
Kesimpulannya : sesungguhnya menetapkan hukum murtad --- di dunia --- itu hanyalah berdasakan ucapan mukaffir (orang yang menyebabkan kafir) atau perbuatan mukaffir.
Ibnu Taimiyyah rh berkata: “Orang murtad itu adalah orang yang membatalkan Islam yang berupa perkataan atau perbuatan yang tidak mungkin berkumpul dengan Islam” (Ash Shoorimul Masluul hal. 459) Ibnu Taimiyyah juga berkata: “Intinya orang yang mengucapkan atau melakukan kekafiran ia telah kafir, meskipun dia tidak bermaksud untuk kafir, karena tak ada yang bermaksud untuk kafir kecuali orang dikehendaki Alloh saja.” (Ash Shoorimul Masluul hal. 177-178).

Peringatan Tentang Kemungkinan Terjadinya Kemurtadan Cepatnya Hal Itu Terjadi

Banyak dari kalangan mu’aashiriin (ulama kontemporer) yang berlebihan dalam memperingatkan takfiir (mengkafirkan) manusia meskipun mereka melakukan apa saja. Dan mereka mengatakan bahwa ini adalah madzhab Khowaarij. Bahkan sebagian berpendapat bahwa kemurtadan itu tidak mungkin terjadi, dan sesungguhnya seorang muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadat itu selamanya tidak akan kafir, dan mereka beralasan dengan sebuah ungkapan yang berbunyi:
لانكفر مسلما بذنب
Kami tidak mengkafirkan orang Islam karena dosa yang dia lakukan.
Dan ini merupakan kebodohan terhadap diinul Islam. Sesungguhnya orang-orang Khowaarij mengkafirkan orang berdasarkan dosa-dosa yang ghoiru mukaffir (tidak menyebabkan kafir). Sedangkan Ahlus Sunnah mengkafirkan berdasarkan dosa-dosa mukaffir. Adapun tentang ungkapan:
لانكفر مسلما بذنب
Kami tidak mengkafirkan orang Islam karena dosa yang dia lakukan,
telah kami jelaskan maksudnya dalam catatanku terhadap Al ‘Aqiidah Ath Thohaawiyah.
Dan beberapa orang telah murtad pada masa hidup Nabi SAW, dan setelah beliau wafat seluruh orang Arab yang Islam telah murtad kecuali penduduk Mekah, Madinah dan Bahroin. Dan Abu Bakar memerangi mereka karena mereka murtad.
Alloh Ta’aalaa berfirman:
لاتعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم
Janganlah kalian beralasan, kalian telah kafir setelah kalian beriman. (QS.At Taubah: 66).
Dan Alloh ta’aalaa berfirman:
ولقد قالوا كلمة الكفر وكفروا بعد إسلامهم وهموا بما لم ينالوا
Dan mereka telah mengucapkan kata-kata kekafiran dan mereka kafir setelah mereka Islam. (QS. At Taubah: 74).
Orang-orang yang diturunkan ayat-ayat ini kepada mereka. Mereka kafir karena kata-kata yang mereka ucapkan pada waktu Nabi SAW masih hidup. Dan Rosululloh SAW bersabda:
بادروا بالأعمال فتنا كقطع الليل المظلم يصبح الرجل مؤمنا ويمسي كافرا أويمسي كافرا ويصبح مؤمنا يبيع دينه بعرض من الدنيا
Bersegeralah beramal sebelum datang fitnah (bencana) seperti malam yang gelap gulita. Seseorang pada waktu pagi beriman dan pada waktu sore kafir, dan pada waktu sore beriman dan pada waktu pagi kafir. Ia menjual diinnya dengan harta dunia. (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).
Seseorang bisa kafir lantaran kata-kata yang diucapkan dengan main-main. Oleh karena itu pensyarah Aqidah Thohaawiyah berkata: “Diin Islam adalah apa yang disyariatkan oleh Alloh SWT kepada hamba-hambaNya melalui lidah para RosulNya. Pokok ajaran diin ini dan cabang-cabangnya adalah apa yang diriwayatkan dari para Rosul. Dan ajaran tersebut sangatlah jelas, dan setiap mumayyiz (orang yang dapat membedakan) --- baik kecil maupun besar, orang Arab fasih maupun orang ‘ajam (orang diluar Arab), orang bodoh maupun orang pandai --- dapat masuk ke dalammnya dalam waktu yang sangat singkat dan dia bisa keluar darinya dengan lebih cepat lagi daripada masuknya.” (Syarhul ‘Aqiidah Ath Thohaawiyah, cet. Al Maktab Al Islaamiy 1403 H, hal 585). Perhatikanlah perkataannya yang berbunyi: “Dia bisa keluar darinya dengan lebih cepat lagi daripada masuknya”. Oleh karena itu para ulama menyebutkan kemurtadan ini termasuk pembatal wudlu, adzan, sholat, shoum, dll. Artinya kadang seseorang berwudlu mau sholat lalu dia melakukan hal-hal mukaffir (yang menyebabkan kafir) --- baik berupa ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan --- maka diapun murtad. Jika dia bertaubat dia wajib mengulang wudlunya yang telah rusak karena dia murtad. Perhatikanlah cepatnya terjadinya kemurtadan niscaya kamu melihat rusaknya pendapat orang-orang yang menganggapnya sebagai permasalahan yang mustahil terjadi.
Diantaranya adalah perkataan Ibnu Qudaamah rh : “Sesungguhnya kemurtadan itu membatalkan wudlu dan tayammum”. Ini adalah pendapat Al Auzaa’iy  dan Abu Tsaur. Dan murtad adalah melakukan hal-hal yang mengeluarkan dari Islam, baik berupa ucapan atau keyakinan atau keraguan yang dapat mengeluarkan dari Islam. Maka jika dia kembali masuk islam lagi dia tidak boleh sholat sampai dia berwudlu meskipun sebelum murtad dia telah berwudlu” (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir I/168) Ibnu Qudaamah juga berkata: “Kemurtadan membatalkan adzan jika dilakukan karena mengumandangkan adzan.” (Ibid I/438). Ia juga mengatakan: “Kami tidak melihat adanya perbedaan di kalangan ahlul ilmi (ulama) bahwa orang yang murtad ketika dia melakukan shoum maka shoumnya batal, dan jika kembali masuk Islam dia harus mengqodlonya baik masuk Islamnya pada hari itu juga atau setelah hari itu berlalu”. (Ibid III/52) Ibnu Qudaamah mengatakan lagi: “Apabila seorang perempuan mengatakan kepada suaminya; talaklah aku dengan satu dinar, lalu suaminya mentalaknya kemudian perempuan itu murtad maka perempuan itu berhak untuk mendapatkan satu dinar tersebut dan jatuh talak baa-in dan kemurtadannya itu tidak berpengaruh karena dia murtad setelah talak baa-in. Namun apabila suaminya mentalaknya setelah ia murtad dan sebelum digauli maka secara otomatis ia tertalak karena kemurtadannya dan talak yang dilakukan suaminya tidak dianggap karena didahului oleh tertalaknya dia secara baa-in.” (Ibid VIII/186). Dan Abul Qoosim Al Khuroqiy berkata: “Seandainya suami istri menikah dalam keadaan muslim, lalu si istri murtad sebelum digauli, maka pernikahannya batal dan perempuan tersebut tidak berhak mendapat mahar. Dan kalau si suami murtad sebelum si istri murtad, dan sebelum menggaulinya maka pernikahannya juga batal, namun si suami harus membayar setengah mahar.” Dia juga mengatakan: “Dan jika si istri murtad setelah digauli maka si istri tersebut tidak berhak mendapat nafkah. Dan jika dia tidak masuk Islam kembali sampai habis masa ‘iddahnya maka batallah pernikahannya. Dan jika yang murtad si suami, dan ia tidak masuk Islam kembali sampai habis masa iddahnya, maka pernikahannya batal sejak keduanya berbeda diin.” (Ibid IX/564-565).
Inilah sekelumit pembahasan yang menerangkan tentang kemungkinannya terjadi kemurtadan bahkan terjadinya sangat cepat, lain halnya dengan apa yang disangka sebagian orang. Sampai orang yang berwudlu bisa murtad antara wudlu dan sholatnya. Dan sampai seorang muadzin bisa murtad ketika mengumandangkan adzan untuk sholat, karena kata-kata mukaffir yang dia ucapkan atau karena keyakinan mukaffir yang menancap dalam hatinya atau mukaffir-mukaffir lainnya.  Maka renungkanlah ini niscaya kamu memahami kebodohan nyata yang ada pada banyak dari kalangan Mu’aashiriin (ulama kontemporer).
Syaikh Muhammad Haamid Al Fiqiy berkata: “Sampai-sampai banyak ulama’ pada jaman sekarang ini yang sangat mengingkari orang yang mengingkari syirik akbar. Sehingga mereka dan para sahabat ra. Masing-masing berada di puncak ekstrim yang berlawanan. Adapun para sahabat mengingkari kesyirikan yang sedikit sedangkan para ulama tersebut mengingkari orang yang mengingkari syirik akbar. Dan mereka menganggap melarang kesyirikan semacam ini merupakan bid’ah dan kesesatan. Dan begitulah keadaan seluruh umat dengan para Nabi dan Rosul yang diutus menyampaikan tauhid kepada Alloh dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh saja serta melarang berbuat syirik (menyekutukan Alloh)”. Al Fiqiy juga berkata: “Banyak orang yang mengaku berilmu yang tidak mengerti “laa ilaaha illallaah”. Mereka menganggap semua orang yang mengucapkannya sebagai orang Islam meskipun ia melakukan kekafiran nyata dengan terang-terangan, seperti beribadah kepada kuburan, orang-orang yang sudah mati, dan berhala, dan menghalalkan hal-hal yang telah nyata-nyata diharamkan, berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Alloh dan menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib sebagai robb selain Alloh.” (Catatan kaki hal. 128 dan 221 dalam buku Fat-hul Majiid Syarh Kitaabut Tauhiid cet. Daarul Fikri 1399 H).

Kajian Ketiga:
Qoo’idatut Takfiir (Kaidah-Kaidah Dalam Mengkafirkan Orang)

Yang dimaksud di sini adalah takfiirul mu’ayyan (Mengkafirkan orang). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebut istilah qo’idatut takfiir (kaidah dalam mengkafirkan) pada lebih dari satu tempat dalam Majmuu’ Fataawaa . Dan sejak lama saya telah berusaha untuk mendapatkan teks kaidah tersebut dalam berbagai tulisan beliau namun sampai sekarang saya belum mendapatkannya padahal telah saya teliti berulang kali. Saya perkirakan bahwa yang beliau maksud dengan kaidah takfiir tersebut adalah apa yang telah dibuktikan oleh para ulama’, yaitu dengan memperhatikan dlowaabithut takfiir (patokan-patokan dalam mengkafirkan) dalam menjatuhkan hukum kafir dalam sidang pengadilan yang dikenal dikalangan mereka. Dan mungkin --- karena alasan itu --- tidak dibutuhkan untuk menulis kaidah tersebut pada masa mereka sebab mereka telah melaksanakannya dalam praktek hukum pada waktu itu. Inti dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah --- yang beliau ulang-ulang dibeberapa tempat --- adalah bahwa takfiir mu’ayyan itu tergantung pada terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapatnya hal-hal yang menjadi penghalang vonis kafir pada seseorang yang melakukan kekafiran tersebut. Sebagai contoh lihat Majmuu’ Fataawaa  XII / 484, 487, 489 dan 498. Namun pada hari ini, bersamaan dengan terputusnya hukum syar’iy disebagian besar negara ditambah lagi dengan langkanya ilmu dan tersebarnya kebodohan, maka (dalam keadaan seperti ini) dibutuhkan untuk menulis kaidah ini.
Oleh karena itu saya membuat sebuah teks kaidah takfiir mu’ayyan, saya berharap dapat mencakup apa yang dimaksudkan, yaitu sebagai berikut :
“Pada hukum di dunia yang berlandaskan dzoohir (yang nampak), seseorang divonis kafir berdasarkan perkataan atau perbuatan mukaffir (yang menyebabkan kekafiran), yang dibuktikan dengan cara pembuktian yang sesai dengan syar’iy, jika telah memenuhi syarat-syarat untuk dikafirkan pada orang tersebut, dan tidak terdapat mawaani’nya (hal-hal yang menghalangi vonis kafir), dan yang memvonis adalah orang yang layak untuk memvonis, lalu dilihat :
Jika dia maqduur ‘alaih di daarul Islam (negara Islam) maka wajib dilakukan istitaabah  sebelum dilaksanakan hukuman oleh penguasa. Dan jika ia mumtani’ (mempertahankan diri) dengan kekuatan atau berlindung kepada daarul harbi (negara musuh), maka diperbolehkan kepada setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa dilakukan istitaabah  terlebih dahulu, dalam keadaan seperti ini dilihat pada kemaslahatan dan kerusakan yang akan ditimbulkan, dan jika kemaslahatan dan kerusakannya bercampur jadi satu maka lebih dikedepankan yang paling kuat”.
Berikut saya jelaskan kaidah ini dengan singkat, maka dengan memohon petunjuk dari Alloh saya katakan :
1.      Perkataanku yang berbunyi [Pada hukum di dunia yang berlandaskan dzoohir] merupakan pendahuluan untuk perkataanku yang berbunyi [berdasarkan perkataan atau perbuatan] karena kedua hal tersebut yang nampak pada manusia dan yang dapat di hukum di dunia, adapun kekafiran yang dilakukan dengan hati (seperti berkeyakinan dengan keyakinan kafir atau ragu-ragu terhadap rukun iman dan cabang-cabangnya) yang demikian ini pelakunya tidak dapat di hukum di dunia akan tetapi urusannya dipasrahkan kepada Alloh (pada hari terungkapanya semua rahasia) dan Alloh tidak akan mengampuni seseorang yang mati dalam keadaan kafir. Dan telah saya jelaskan hal itu dalam catatan yang saya sebutkan setelah pembahasan definisi murtad.
2.      Perkataanku yang berbunyi [berdasarkan perkataan atau perbuatan] ini adalah penyebab seseorang itu divonis kafir di dunia. Dengan demikian maka penyebab kekafiran pada hukum yang berlaku di dunia adalah perkataan atau perbuatan. Contoh perkataan adalah menghina Alloh atau menghina Rosul atau menghina diin. Sedangkan perbuatan contohnya adalah melemparkan mush-haf (al Qur’an) ke dalam kotoran, dan juga masuk dalam kategori perbuatan adalah meninggalkan dan menolak terhadap perintah, seperti meningalkan sholat dan tidak berhukum dengan hukum Alloh. Karena sesungguhnya setelah diteliti meninggalkan perintah itu disebut juga perbuatan, berdasarkan firman Alloh :

كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maa-idah : 79)
Alloh menamakan tidak saling melarang kemungkaran itu sebagai perbuatan, dan dalam hal ini ada dalil-dalil lain yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Al Amiin Asy Syinqiithiy dalam kitab Mudzakkirotu Ushuulil Fiqhi cet. Maktabah Ibni Taimiyyah, th. 1409 H, hal. 460 dan Ibnu Hajar juga mengatakan: ”Meninggalkan perbuatan itu yang benar adalah termasuk perbuatan.” (Fat-hul Baariy XII / 315)
3.  Perkataanku yang berbunyi [Mukaffir (yang menyebabkan kafir)] adalah sifat untuk perkataan dan perbuatan. Dan sifat kekafiran itu terwujud pada keduanya dengan dua syarat :
A. Telah dinyatakan dalam dalil syar’iy bahwa orang yang melakukan atau mengatakannya kafir (dan inilah yang dinamakan dengan takfiirul mutlaq). Yaitu dengan mengatakan : barangsiapa yang berkata begini maka ia kafir dan barangsiapa yang melakukan begini maka ia kafir. Begitulah, menyatakan kufur secara mutlak (lepas) tanpa menjatuhkan hukum kafir kepada orang tertentu. Dengan demikian maka takfiirul mutlaq adalah menghukumi sesuatu sebagai penyebab kekafiran dan bukan menghukumi kafir terhadap orang yang melakukan penyebab tersebut.
Dan syaratnya dalil syar’iy yang dijadikan landasan haruslah dalil yang qhoth’iyyud dalaalah (jelas penunjukannya) bahwa kekafiran yang dimaksud adalah kufur akbar. Karena ada beberapa bentuk kalimat yang muhtamilud dalaalah (penunjukannya mengandung kemungkinan) bahwa kafir yang dimaksud adalah kufur ashghor atau faasiq. Dan untuk mengetahui maksud dari nash yang muhtamilud dalaalah dengan melihat kepada qariinah (keadaan yang menyertainya) yang terdapat dalam kalimat tersebut atau dalam nas-nas yang lain. Contohnya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam Shohiih Al Bukhoory, Kitaabul Iimaan, Bab “Kufur terhadap keluarga dan kufrun duna kufrin”. Pada bab tersebut beliau meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi SAW bersabda :

أريت النار فإذا أكثر أهلها النساء يكفرن

Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, mereka kufur.
Beliau ditanya : “Apakah mereka kafir kepada Alloh?” Beliau menjawab :

يكفرن العشير ويكفرن الإحسان

Mereka kafir terhadap keluarga (suaminya) dan mereka kafir terhadap kebaikan. Hadits no. 29
Dan beliau meriwayatkan dalam Kitaabul Haidl dari Abu Sa’iid bahwa Nabi SAW, melewati beberapa wanita maka beliau bersabda :

يامعشر النساء تصدقن فإنى أريتكن أكثر أهل النار

Wahai kaum wanita bersedakahlah karena sesungguhnya aku melihat kalian yang paling banyak menghuni neraka.
Mereka bertanya :”Kenapa wahai Rosululloh?”,  beliau menjawab :

تكثرن اللعن و تكفرن العشير

Karena kalian sering melaknat dan kufur terhadap keluarga. Hadits no. 3040

Dalam hadits tersebut Rosululloh menyebut wanita yang tidak memberikan hak suaminya (keluarga) dan tidak mensyukuri kebaikan suaminya kepadanya, beliau menyebutnya dengan kekafiran. Namun qariinah yang menyertai hadits menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kufur ashghor, bukan kufur akbar yang menyebabkan keluar dari Islam. Qariinah yang menyertai hadits itu adalah ketika mereka bertanya “Apakah mereka kufur kepada Alloh?”, Beliau mengingkarinya dan beliau menyuruh mereka bersedekah untuk menghapus kemaksiatan-kemaksiatan tersebut, sedangkan sedekah itu hanyalah berguna bagi orang yang beriman berdasarkan sabda Rosululloh:
والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار
Dan sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.  Hadits ini diriwayatkan At Tirmimiidziy dan beliau mengatakan “ Hadits ini hasan shohiih.”
Sedangkan sedekah orang kafir itu tidak diterima dan tidak pula dapat menghapuskan dosanya berdasarkan firman Alloh
إن الله لايغفر أن يشرك به
Sesungguhnya Alloh tidaklah mengampuni dosa orang yang menyekutukannya.
Maka hal itu menunjukan bahwa mereka itu beriman meskipun kemaksiatan mereka disebut sebagai kekufuran, dan penyebutan ini adalah penyebutan kufur ashghor.
Contoh yang lain adalah: Sabda rosululloh SAW,
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran.
Dan juga sabda rosululloh SAW,
لاترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض
Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalanku, yaitu dengan saling membunuh.!
Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al Bukhooriy. Beliau menamakan membunuh orang muslim itu dengan kekafiran dan begitu pula saling berperang. Sedangkan nas-nas yang lain menyatakan bahwa orang yang membunuh dengan sengaja tidaklah kafir berdasarkan firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) . (Al Baqoroh: 178)
Demikianlah Alloh menetapkan persaudaraan iman antara orang yang membunuh dan antara wali orang yang terbunuh. Dan begitu pula saling berperang, sebagaimana firman Alloh:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِن َ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا

Dan jika dua kelompok orang beriman saling membunuh,  (al Hujuroot: 9)
Demikian Alloh menamakan mereka kelompok beriman meskipun saling berperang. Ini semua menunjukan bahwa kekafiran yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas tidaklah menghapuskan keimanan sehingga kekufuran yang di maksud adalah kufur ashghor atau kufrun duna kfurin.
Tujuan saya di sini adalah menunjukan bukan menjelaskan secara terperinci karena permasalahan ini telah saya jelaskan secara detail dalam bukuku yang berjudul Al Hujjah Fii Ahkaamil Millah Al Islaamiyyah. Dan diantara bentuk kalimat yang muhtamilud dalaalah, yang mengandung kemungkinan kufur akabar dan kufur ashghor adalah kata kekafiran yang di ungkapkan dengan bentuk fi’il (kata kerja) maadliy (lampau) atau mudloori’ (sedang, yang akan datang), seperti;
فقد كفر، يكفر
Ia telah kafir, ia kafir.
Dan isim nakiroh (kata benda yang belum jelas) baik bentuk tunggal maupun jama’, seperti;
كافر، كفارا
Orang kafir, orang-orang kafir
Dan shiighutu nafyil iimaan (bentuk penafian keimanan), seperti;
لايؤمن
 tidak beriman
Dan bentuk kalimat yang berbunyi ;
ليس منا
bukan dari golongan kami
Dan bentuk kalimat yang berbunyi;
فهو في النار
 maka ia penghuni naar (neraka)
Dan bentuk kalimat;
حرم الله عليه الجنة
Alloh mengharamkan jannah (syurga) baginya
Dan bentuk kalimat yang berbunyi;
فقد برئت منه الذمة
ia telah lepas dari tanggungan
Atau;
فقد برئ منه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم
Alloh dan Rosulnya berlepas diri darinya
Dan kalimat-kalimat semacam itu. Contoh-contoh dari semua  ini lengkap dengan penjelasan maksud-maksudnya tercantum dalam bukuku yang berjudul Al Hujjah Fii Ahkaamil Millah Al Islaamiyyah. Dan Imam Abu ‘Ubaid Al Qoosim bin Salam menyebutkan beberapa bentuk kalimat muhtamilud dalaalah dalam kitabnya Al Iman.
Adapun dalil-dalil syar’iy yang qoth’iyud dalaalah(menunjukan secara jelas) atas kufur akbar, contohnya dalam firman Alloh:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Alloh, ayat-ayat-Nya dan Rosul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.(QS. 9:65-66)
Nash ini menyatakan kekafiran mereka setelah beriman, dan semacam ini adalah kufur akbar. Contoh yang lainnya adalah firman Alloh:

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ
Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu".Kawannya (yang mu'min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu  (QS.18:35-37).
Nas ini menyatakan bahwa ia kafir kepada Alloh dan yang semacam ini adalah kufur akbar. Contoh yang lain adalah firman Alloh :
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُم
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Alloh Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu. (QS.35:13-14).
Dan juga firman Alloh :
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Hanya bagi Alloh-lah (hak mengabulkan) do`a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do`a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS. 13:14).
Pedoman Umum:
1-Sesungguhnya semua kata kafir yang di ungkapkan dengan isim yang ber lam ta’rif  baik dalam Al Qur’an atau sunnah maka maksudnya adalah akbar, seperti (al kufru,al kaafir, al kuffaar, al kaafiruun, al kawaafir) karena alif dan lam itu menunjukan bahwa kata benda tersebut mengandung arti yang sempurna. Dan semacam ini tidak ada perselisihan antara para ulama’ dan ahli bahasa.
2. semua kata kafir yang diungkapakan dalam Al Qur’an maksudnya adalah kufur akbar, sama saja apakah dalam bentuk isim atau fi’il atau mashdar (kata kerja yang dibendakan). Karena lafadz-lafadz dalam Al Qur’an itu sempurna. Dan hal ini dapat disimpulkan setelah meneliti kosakata dalam Al Qur’an . Sampai kekafiran yang berbicara tentang kufur nikmat, adalah kufur akbar sebagaimana yang tersebut dalam surat Ibrohim: 28 dan an-Nahl: 112. Dan sampai meskipun seolah-olah kufur secara lughowiy (bahasa) sesungguhnya yang dimaksud dalam tafsirnya adalah kufur akbar secara syar’iy sebagaimana dalam surat al-Hadid: 20.
3. Tinggalah lafadz-lafadz kufur yang terdapat dalam sunnah, maka setiap lafadz yang diungkapkan dengan bentuk isim yang ber laam ta’riif, maka ,maksudnya adalah kufur akbar, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة
(Batas) antara seseorang dan antara kekafiran adalah meninggalkan sholat. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.
Namun jika tidak diungkapkan dengan bentuk seperti ini maka pada asalnya pengertiannya adalah kufur akbar sampai  ada qoriinah (keterangan lain) yang memalingkan dari maksud asalnya (kufur akabar) ke kufur ashghor. Dalilnya adalah hadits tentang kufur terhadap keluarga yang tersebut di atas. Bukankah anda melihat bahwa ketika Rosululloh SAW, bersabda (tentang wanita) “…mereka kafir” para sahabat bertanya: ”Apakah mereka kafir kepada Alloh?” pertanyaan ini menunjukan bahwa kekafiran itu jika diungkapkan secara lepas maka yang dimaksud adalah kufur akbar sampai ada qoriinah yang memalingkannya kepada makna kufur ashghor sebagaimana yang terdapat dalam contoh-contoh di atas.          
  Syaikh ‘Abdul Lathiif bin ‘Abdur Rohmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab berkata: ”Dan lafadz kedloliman, maksiat, fusuq, fujur, muwalah (loyalitas), mu’aadah (permusuhan), rukun (kecendrungan), syirik,dan lafadz-lafadz yang semacam dengan itu yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah kadang yang dimaksud adalah hakekatnya secara sempurna dan kadang yang dimaksud adalah mutlaqul haqiiqoh (hakekatnya yang paling minim). Dan menurut para ushuliyyun (ahli ushul fiqih) pengertian  asalnya adalah yang pertama, dan tidak dibawa kepada pengertian yang kedua, kecuali jika ada qoriinah (keterangan yang menyertainya) baik berupa lafadz atau makna.  Dan seperti ini dapat diketahui dari keterangan Nabi dan penafsiran dalam sunnah. Alloh berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

Kami tidak mengutus seorang Rosulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. 14:4)
Ar Rosaa-il Al Mufiidah, tulisan Syaikh ‘Abdul Lathiif yang dikumpulkan oleh Sulaimaan bin Samhaan, hal. 21-22.
Catatan Penting: Tidak disyaratkan untuk menetapkan sesuatu sebagai sebuah kekafiran harus ada nash yang menyatakan secara langsung bahwa sesuatu tersebut merupakan kekafiran. Syaikh Hamad bin Naashir Ma’mar yang wafat pada 1660 H sebagai salah satu imam dakwah Nejd dan salah satu murid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhaab, beliau berkata: ”Dan juga sesungguhnya banyak permasalahan kekafiran dan kemurtadan, yang telah disepakati para ulama’ yang terdapat nash jelas yang menamakannya sebagai kekafiran, akan tetapi disimpulkan para ulama’ dari keumuman nash. Hal ini sebagaimana jika seorang muslim menyembelih untuk mendekatkan diri dan beribadah kepada selaian Alloh. Perbuatan ini adalah kekufuran secara ijma’ sebagaimana yang dinyatakan oleh An Nawawiy dan yang lainnya, begitu juga sujud kepada selain Alloh.” (Ad Duror As Sanniyah Fil Ajwiban An Najdiyah, IX/9) Saya katakan: diantara contoh yang paling jelas terhadap apa yang dikatakan oleh Syaikh Hamad bin Ma’mar adalah kafirnya orang orang yang mengatakan Al Qur’an itu mahkluq. Permasalahan ini termasuk permaslahan yang paling masyhur dalam kitab-kitab salaf, mereka mengatakan:.”Al Qur’an adalah kalamulloh,bukan mahkluq, dan barang siapa mengatakan Al Qur’an itu mahkluq ia telah kafir.” Lihat kitab As Sunnah tulisan ‘Abdulloh bin Ahmad, As Sunnah tulisan Al Kholaal dan bukunya Al Lalika’iy, kitab Al Ghuluw tulisan Adz Dzahabiy dan masih banyak yang lainnya. Dan tidak ada nash dalam Qur’an maupun Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang mengatakan Al Qur’an mahkluq itu kafir sebagaimana nash yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat itu kafir. Selain itu juga tidak ada atsar dari sahabat mengenai permaslahan al Qur’an mahkluq, akan tetapi para ulama’ menyimpulkan hukum kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu mahkluq dari nash-nash yang menunjukan bahwa Al Qur’an itu kalam dan ilmu Alloh. Sedangkan kalam dan ilmu Alloh itu adalah bagian dari sifat-sifat-Nya yang agung dan sifat Alloh itu bukanlah mahkluq dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia kafir, sehingga permaslahan ini menjadi ijma’ Ahlus Sunnah. Diantara yang menjelaskan kepadamu samarnya hukum permaslahan (kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu mahkluq) adalah riwayat Adz Dzahabiy dari Al Qoodliy Abu Yusuf, beliau berkata: “Setelah aku berdiskusi dengan Abu Haniifah selama 6 bulan, kami bersepakat bahwa orang yang mengatakan Al Qur’an itu mahkluq, ia telah kafir.” Mukhtashorul Ghuluw Lil ’Aliyyil Ghoffaar, tulisan Adz Dzahabiy terbitan Al Maktab Al Islamiy th.1401 H. hal100.
Beliau berdiskusi dalam waktu yang lama itu disebabkan karena tidak ada nash yang jelas dari Al Qur’an dan sunnah atau atsar dari sahabat tentang permaslahan ini. Ini semua menunjukan bahwa tidak ada syarat harus ada dalil syar’iy secara jelas yang menyatakan kafirnya sebuah permasalahan, akan tetapi bisa jadi hukumannya disimpulkan dari nash.
Dan pada permasalahan ini --- yaitu menetapkan kafir terhadap sebuah perkataan atau perbuatan dengan dalil qoth’iy --- terjadi perselisihan berbagai firqoh. Adapun Khowaarij mereka menganggap kafir sesuatu yang bukan kekafiran, seperti dosa besar yang tidak sampai tingkatan kekafiran. Adapun Murji-ah, mereka tidak mengkafirkan perbuatan apapun (baik perkataan maupun amalan), mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah atas kafirnya orang yang melakukan perbuatan kufur, akan tetapi (menurut mereka ia kafir) bukan karena perbuatan tersebut namun karena perbuatan yang dinyatakan kafir oleh dalil syar’iy tersebut merupakan pertanda bahwa dia kafir dengan hatinya. Mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah pada hukumnya akan tetapi mereka berselisih dengan Ahlus Sunnah terhadap penapsirannya. Murji-ah yang saya maksudkan dalam pembicaraan saya tersebut adalah Asyaa’iroh dan Fuqohaa-ul Murji-ah.
Adapun para Ghulaatul Murji-ah  (ekstrimis Murji-ah) yang telah jauh tersesat, mereka tidak mengkafirkan seseorang dengan dalil syar’iy yang qoth’iyud dalaalah sekalipun pada kufur akbar, namun mereka mensyaratkan untuk mengkafirkan orang yang melakukan kekafiran, ia harus menyatakan dengan jelas atas takdziib (pendustaan) atau juhuud (penolakan) atau istihlaal (penghalalan), dan inilah yang banyak tersebar di kalangan mu’asirin (orang-orang pada zaman sekarang). Dan telah kusebutkan kepada anda bahwa para salaf mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini.
Inilah pembahasan yang berkaitan dengan syarat pertama, yaitu hendaknya dalil yang di jadikan landasan jelas menunjukan kufur akabar.
B.   Syarat yang kedua untuk menetapkan kekafiran pada perkataan dan perbuatan adalah hendaknya perkataan atau perbuatan itu sendiri jelas menunjukan kekafiran. Artinya di dalamnya memang terdapat unsur sebab yang mengkafirkan sebagaimana yang terdapat dalam nash syar’iy yang di jadikan landasan untuk mengkafirkan perbuatan tersebut. Contohnya adalah orang yang mengatakan; wahai tuanku Al Badawiy! Tolonglah aku! Atau kabulkan kebutuhanku,  atau  lapangkanlah rejekiku, atau selamatkan aku dari musuhku.
Perkataan-perkataan semacam ini adalah kekafiran karena jelas- jelas menunjukkan berdo’a kepada selain Alloh dan karena ada dalil syar’iy yang menunjukan atas kafirnya orang yang berdo’a kepada selain Alloh. Dan diantara perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas menunjukan kekakafiran adalah melemparkan mushaf  ke dalam kotoran. Perbuatan ini tidak mengandung kemungkinan lain  kecuali penghinaan terhadap mushaf dan ada dalil qoth’i yang menunjukan kafirnya orang yang mengolok-olok ayat-ayat Alloh. Adapun melempar mushaf kedalam api, perbuatan ini tidak jelas penunjukannya terhadap kekafiran, sebagaimana akan kami terangkan pada pembahasan tentang hal-hal yang mengandung kemungkinan.
Kebalikan dari perbuatan yang jelas penunjukannya adalah perbuatan yang penunujukannya mengandung kemungkinan. Yaitu perbuatan (baik ucapan maupun kelakuan) yang tidak jelas-jelas menunujukan kekafiran, akan tetapi kadang menunjukan kekafiran dan kadang tidak menunjukan kekafiran. Inilah yang di sebut dengan at takfiir bil muhtamalaat (pengkafiran dengan perbuatan yang mengandung kemungkinan). Dan termasuk katagori ini juga  perkataan yang sebenarnya bukan perkataan kufur akan tetapi mengandung konsekuensi kekufuran. Dan inilah yang disebut dengan at takfiir bil ma-aal (pengkafiran lantaran akibat) atau at takfiir bi laazimil qoul (pengkafiran lantaran konsekuensi perkataan).
Pada perbuatan yang mengandung beberapa kemungkinan ini harus di lihat beberapa hal untuk menentukan maksudnya, apakah menunjukan kufur secara jelas atau tidak dianggap. Dalam masalah ini Al Qoodliy Syihaabud Diin Al Qurofiy berkata: “Segala yang nampak dinilai seperti apa yang nampak kecuali jika ada hal-hal yang menunjukan bahwa yang dimaksud bukanlah sebagai mana yang nampak atau kemungkinan yang lebih kuat bukanlah yang nampak. Dan segala kemungkinannya yang tidak nampak tidak dianggap lebih kuat  kecuali ada penguat syar’iy.”Al Furuuq tulisan Al Qurofiy II/195. terbitan daruul ma’rifah. Penguat syar’iy  yang menentukan maksud dari perbuatan yang muhtamilud dalaalah (mengandung beberapa kemungkinan adalah dengan melihat 3 macam, yaitu tabayyun (minta klarifikasi) terhadap maksud pelaku, memperhatikan kepada qoroo-in (hal-hal) yang menyertai perbuatannya, dan memahami ‘urf  (kebiasaan) pelaku dan penduduk negrinya.
q  Adapun tabayyun terhadap niat pelaku adalah dengan cara bertanya kepadanya tentang maksud dari perkataan atau perbuatannya. Seperti seseorang yang berdo’a di kuburan yang tidak terdengar suaranya dan tidak pula terdengar dia berdo’a kepada siapa dan ia berdo’a untuk apa. Maka ia ditanya, jika dia menjawab; aku berdo’a kepada Alloh untuk mengampuni mayit ini, maka orang tersebut adalah orang baik. Dan jika dia menjawab; aku berdo’a kepada Alloh di kuburan ini supaya Alloh mengabulkan do’aku, maka perbutannya ini adalah bid’ah dan tidak sampai kafir. Dan jika dia menjawab bahwa dia berdo’a kepada penghuni kubur tersebut untuk memenuhi kebutuhannya, maka orang tersebut kafir. Maka dengan tabayyun terhadap maksud pelaku dapat membantu untuk mengetahui maksud dari perbuatan yang mengandung beberapa kemungkinan. Oleh karena itu An Nawawiy menukil perkataan Ash Shoimiriy dan Al Khootib: “Jika seorang mufti ditanya tentang orang yang berkata begini dan begini, yang mengandung beberapa kemungkinan yang sebagian kemungkinannya kekafiran dan sebagian kemungkinan lainnya bukan kekafiran, maka hendaknya mufti itu menjawab; tanyakan tentang maksud perkataannya, jika dia menjawab begini maka jawabannya begini.” Al Majmuu’ tulisan An Nawawiy I/49.
Dan pada masalah ini Imam Asy Syaafi’iy juga mengatakan: ”Pada masalah yang mengandung kemungkinan yang tidak jelas, perkataan yang dijadikan pegangan adalah perkataan pelakunya.” Al Umm tulisan Asy Syaafi’iy VII/297. Di sini ada catatan penting yang keterangannya akan menyusul tentang kesalahan dalam mengkafirkan. Yaitu bahwa yang ditanyatakan dan yang berpengaruh pada hukum adalah maksud  perbuatan pelaku dan bukan maksud untuk kafir dengan perbuatanya itu. Dalam contoh di atas jika dia menjawab; bahwa dia berdoa kepada mayit untuk menyingkirkan  kesusahaannya, maka inilah yang harus di tanyakan dan yang  berdampak pada hukum, dan tidak harus bertanya; apakah kamu bermaksud untuk kafir dengan perbuatanmu itu?, bahkan meskipun dia mengatakan, bahwa dia tidak bermaksud kafir dengan perbuatannya itu, perkataan itu tidak akan berpengaruh untuk menolak hukum. Masalah ini akan di jabarkan nanti Insya Alloh.
q Tentang melihat kepada qoroo-inul ahwaal (keadaan yang menyertai perbuataannya), maka barang siapa yang mengucapkan perkataan yang mengandung kemungkinan kekafiran namun pelakunya mengingkari maksud untuk kafir akan tetapi setelah di teliti ternyata perbuatannya itu mengandung unsur kezindikan dan dia sendiri tertuduh sebagai orang zindiq, maka keadaan yang menyertai perbuatannya ini menunjukan kuat maksud kekafirannya. Contoh yang lainnya adalah; jika ada seseorang melemparkan mushaf ke dalam api. Orang ini ada kemungkinan meremehkan mushaf sehingga dia kafir sebagaimana orang yang melemparkanya kedalam kotoran, dan ada kemungkinan ia ingin memusnahkannya karena mushaf itu sudah lama dengan cara membakarnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Ustman bin Affaan, beliau membakar mushaf yang lebih, maka semacam ini ialah Sunnah Kholifah sehngga dia tidak kafir. Apabila kita bertanya kepadanya lalu dia mengatakan bahwa dia ingin menghilangkannya (karena mushaf itu sudah lama), namun setelah di teliti keadaannya ternyata mushaf yang dia bakar masih baru dan ternyata orang itu tertuduh sebagai orang zindiq. Maka bukti-bukti ini menunjukan bahwa dia dusta, dia bilang ingin menghilangkan mushaf itu namun sebenarnya dia meremehkannya. Ibnu Rojab Al Hambaliy berkata: ”Bukti yang berupa keadaan, berbeda dengan bukti yang berupa perkataan dalam menerima pengakuan yang sesuai dan menolak yang tidak sesuai. Bukti keadaan saja (tanpa bukti yang berupa perkataan) dapat mengakibatkan hukum.” Al Qowaa’id tulisan Ibnu Rojab, Kaidah ke- 151 hal. 322.
q Adapun melihat kepada ‘urf (kebiasaan)  sebagaimana kata Ibnu Qoyyim --- dalam Ahkaamul Muftiy ---: “Dia (mufti) tidak bolah berfatwa pada pengakuan, sumpah, wasyiat dan yang lainnya yang berkaitan dengan lafadz dengan berlandasan yang biasa dia gunakan,  untuk memahami lafad-lafadz  tersebut tanpa mengetahui kebiasaan pemilik dan pengguna lafadz-lafadz tersebut. Sehingga dia memahami lafadz tersebut sebagaimana apa yang mereka pahami dalam kebiasaan mereka meskipun tidak sesuai dengan hakekat asalnya. Namun jika mufti tidak melakukannya ia akan sesat dan menyesatkan.”   A’laamul Muwaqqi’iin   IV/297.
Inilah tiga penguat syar’iy yang membantu untuk menentukan maksud dari hal-hal yang mengandung beberapa kemungkinan. Namun Asy Asy Syaafi’iy tidak menerima kecuali tabayyun terhadap maksudnya saja. Lihat Al Umm VII/297. Untuk pendekatan masalah, kami sebutkan beberapa fatwa ulama’ pada masalah-masalah yang mengandung beberapa kemungkinan menunujukan kekafiran:
Al Qoodliy ’lyaadl berkata: ”.. dan kami menyaksikan Syaikh kami Abu ‘Abdulloh bin ‘Isa ketika beliau memegang jabatan Qoodliy (hakim). Dihadapkan seseorang yang menghina orang lain. Ia mendatangi seekor anjing dan menendang dengan kakinya, lalu ia mengatakan kepada anjing tersebut, ‘berdirilah wahai Muhammad !’ Namun ia mengingkari perbuatan tersebut, akan tetapi banyak orang bersaksi atas perbuatannya itu. Maka ia pun di penjara, dan diteliti tentang keadaannya dan apakah berteman dengan orang yang di ragukan diinnya? Ketika dia tidak dapatkan keraguan terhadap keyakinannya maka ia di cambuk dan di lepas.” Pensyarah buku tersebut mengatakan:  “Sesungguhnya lawan orang tersebut adalah Muhammad.” Dan Al Qoodliy ‘lyaadl juga berkata: “Pernah terjadi juga masalah yang di mintakan fatwa oleh beberapa hakim Andalusia kepada Syaikh kami Al Qoodliy Abu Muhammad bin Manshuur tentang orang yang dihina oleh orang lain dengan sesuatu. Maka beliau mengatakan kepadanya: “Kau hanya ingin kami memutuskan perkara berlandaskan perkataanmu, sedangkan aku adalah manusia dan semua manusia itu mempunyai kekurangan meskipun Nabi Muhammad SAW, sendiri. Maka beliau menfatwakan untuk memenjarakannya dengan waktu yang lama dan menyakitinya, karena ia tidak bermaksud menghina. Dan sebagian ulama’ Andalusia (Spanyol) menfatwakan untuk membunuhnya.” Asy Syifaa tulisan Al Qoodliy ‘lyaadl terbitan Isa Al Halabiy II/984 dan 996.
Dan Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang orang yang mencela orang mulia dari ahlul bait. Orang tersebut mengatakan kepada ahlul bait tersebut: “Semoga Alloh melaknatnya  dan melaknat orang yang memuliakannya.” Maka Ibnu Taimiyyah menjawab: “Perkataannya ini saja bukanlah termasuk penghinaan yang menyebabkan pelakunya dibunuh,  akan tetapi harus ditanyakan siapa yang dimaksud dengan orang yang memuliakannya itu. Jika dari penjelasannya  atau qoriinah (yang menyertainya) baik berupa keadaan atau perkataan menunjukan  ternyata yang dia maksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka dia wajib dibunuh. Dan jika hal itu  tidak   terbukti --- sampai beliau berkata --- maka hal itu tidak mengharuskan dia dibunuh atas kesepakatan ulama’.” Majmuu’ Fataawaa XXX / 197-198, yang semacam itu juga terdapat dalam Majmuu’ Fataawaa  XXIV / 135-136. Ini tentang perkataan-perkataan yang muhtamilud dalaalah.
Adapun perbuatan-perbuatan yang muhtamilud dalaalah (mengandung kemungkinan) misalnya adalah seseorang yang sholat menghadap kiblat sedangkan di depannya ada api atau kuburan. Perbuatan semacam ini mengandung kemungkinan ia sholat untuk Alloh atau ia adalah penyembah api yang menampakan Islam karena takut,atau lainnya yang semacam dengan itu. Al Bukhooriy membuat satu bab tersendiri masalah ini dalam kitab Shohiihnya pada bab “Orang Yang Sholat Sedangkan Di Depannya Ada Tungku Atau Api Atau Sesembahan Lainnya Sedangkan Yang Dia Maksud Adalah Sholat Untuk AllohFat-hul Baariy I / 527.
Inilah yang harus ditempuh untuk menentukan maksud dari perbuatan (perkataan atau amalan) yang mengandung kemungkinan. Perbuatan-perbuatan semacam ini hukumnya sama dengan lafadz-lafadz sindiran dalam talak (perceraian) qodzaf (tuduhan zina), membebaskan budak dan hal-hal lainnya yang tidak bisa dibedakan kecuali dengan mengetahui niat orang yang mengatakannya dan melihat dalam kepada keadaan-keadaan yang menyertainya dan kebiasaan orang yang mengucapkannya. Adapun pada masalah-masalah yang sudah jelas, tidak dibutuhkan lagi melihat kepada niat dan maksud pelakunya. Namun hanya melihat kepada kesengajaan berbuat sebagaimana yang akan kami terangkan pada pembahsan tentang kesalahan-kesalahan dalam mengkafirkan. Insya Alloh.
Dan yang dijadikan  pedoman dalam menentukan maksud dari hal-hal yang mengandung kemungkinan --- pada hukum di dunia --- adalah ijtihad hakim yang melihat kepada tuduhan, sebagaimana contoh-contoh yang di nukil dari Al Qoodliy ‘Iyaadl tadi. Dan seorang hakim boleh menghukum orang yang tertuduh dengan hukuman yang keras meskipun ia tidak dapat membuktikan hal-hal yang mengandung kemungkinan kepada hal yang jelas maksudnya jika tuduhannya kuat.  Dan di sini terdapat perselisihan hukum orang zindiq yang banyak melakukan perbuatan yang mengandung kemungkinan kafir, dan beginilah kebanyakan orang-orang munafiq pada zaman Nabi SAW, sebagaimana yang Alloh firmankan:
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْل
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (QS. Muhammad:30).
Dan diantara orang-orang munafiq itu ada yang mengucapkan kata-kata yang jelas-jelas kekafiran akan tetapi tidak tertetapkan dengan ketetapan syar’iy karena tidak lengkapnya bukti, sebagaimana yang Alloh firmankan:

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ

Mereka (orang-orang munafiq itu) bersumpah dengan (nama) Alloh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam,” (QS. At Taubah: 74).
Adapun orang zindiq, yaitu orang yang murtad berkali-kali atau orang yang banyak melakukan perbuatan yang mengandung kemungkinan kafir dan banyak sindiran-sindirannya yang (mengandung kekafiran), maka dalam madzhab Malik ia tidak diterima taubatnya dan dalam madzhab Asy Syaafi’iy selamanya akan diterima taubatnya. Dan hal ini juga dikembalikan kepada ijtihadnya hakim yang mempertimbangkan perkembangan kejahatan dan pelecehan terhadap din dikalangan manusia. Apabila hal ini terjadi haruslah dipertegas dan lebih di perkuat dengan mengikuti madzhab Malik. Lihat pembahasan taubatnya zindiq dalam Al Mughniy Ma’asyi Syarhil Kabiir X / 170-171, Fat-hul Baariy XXI / 269-273, Al Umm VI / 156-167 dan A’lamul Muwaqqi’iin III / 112-115, 140-145.
Adapun hukumnya diakhirat, orang yang melakukan hal-hal yang mengandung kemungkinan, keputusannya di akherat diserahkan kepada Alloh sesuai dengan niatnya. Alloh maha tahu dengan niatnya dan Alloh akan membalasnya sesuai dengan niatnya, meskipun di dunia dia tidak dibuktikan hukuman apapun. Rosululloh SAW, bersabda :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat, dan seseorang itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. Hadits ini muttafaq ‘alaih.
Dan Alloh berfirman:

يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَلَا نَاصِرٍ

Pada hari dinampakkan segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong. (QS. 86: 9-10).
Untuk penjelasan lebih lanjut masalah ini silahkan kaji:
-      Shohiih Al Bukhooriy, Kitaabu Istitaabatil Murtaddiin --- bab “Jika seorang dzimmi mengucapkan kata-kata kiasan yang menunjukan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW, namun tidak menyatakan terus terang”, Fat-hul Baariy XII / 280.
-      Asy Syifaa tulisan Al Qoodliy ‘Iyaadl pasal “Perkataan-perkataan yang mengandung kemungkinan penghinaan kepada Nabi SAW” II / 978-999 dan pasal “Meneliti perkataan dalam mengkafirkan orang yang mentakwilkan” dan pasal setelahnya II / 1056-1076,terbitan Isa Al-Halabi.
-      Majmuu’ Fataawaa  Ibni Taimiyah, masalah “Apakah konsekuensi dari madzhab itu termasuk madzhab” XX / 217-219, V / 306-307.
-      Perkataan Ibnul Qoyyim pada masalah “Apakah kosekuensi dari madzhab itu termasuk madzhab” dalam syair an-nuniyah beliau beserta penjelasannya oleh Syaikh Muhammad Kholiil Harroos II / 252-25, terbitan maktabah Ibni Taimiyyah 1407 H.
-      Al Asybaah Wan Nadzoo-ir Fii Qowaa’id Wa Furuu’ Fiqhisy Syaafi’iy, tulisan As Suyuuthiy bab “Masalah perkataan yang jelas, kinayah dan sindiran” hal. 488 dan setelahnya cetakan darul kitab al-‘arobi 1407 H.
-      A’laamul Muwaqqi’iin  tulisan Ibnul Qoyyim II / 5, masalah peran bukti keadaan dalam memalingkan kinayah kepada hal yang jelas.
Kesimpulannya: bahwa perbuatan (yang kumaksud di sini adalah perkataan dan amalan) dapat menyebabkan kekafiran dengan dua syarat:
Satu syarat pada dalil syar’iy yaitu hendaknya dalil shoriihud dalaalah (jelas menunjukan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut kafir kufur akbar).
Satu syarat lagi pada perbuatan seorang mukallaf tersebut, yaitu perbuatan yang di lakukan oleh orang tersebut shoriihud dalaalah (jelas menunjukan) kekafiran yang di sebutkan dalam dalil syar’iy tersebut. Dan perbuatan itu bisa dinyatakan shoriihud dalaalah sejak awal atau setelah tabayyun terhadap maksud pelakunya dan melihat kepada keadaan yang menyertainya dan kebiasaan pelakunya jika perbuatan tersebut muhtamilud dalaalah.

Dua syarat ini terdapat dalam kandungan sabda Nabi SAW,
إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, kalian mempunyai dalil dari Alloh. Hadits ini muttafaq ‘alaih.
Maka kalimat: كفرا بواحا (Kekafiran yang nyata) maksudnya adalah jelas menunjukan kekafiran dan ini adalah syarat pada perbuatan, sedangkan kalimat : عندكم من الله فيه برهان (Kalian mempunyai dalil dari Alloh) Maksudnya adalah dalil Syar’iy yang jelas dan ini adalah syarat pada dalil yang mengkafirkan. Asy Syaukaaniy mengatakan; “Sabda beliau yang berbunyi;  عندكم من الله فيه برهان(Kalian mempunyai dalil dari Alloh) maksudnya adalah nash ayat atau hadits yang jelas penunjukannya dan tidak mengandung takwil. Konsekuensinya tidak boleh memberontak mereka (para pemimpin) selama perbuatan mereka masih mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan.”Nailul Authoor VII / 361.
Begitulah, dan sebagian besar perselisihan para ulama’ tentang hal-hal yang menyebabkan seseorang kafir atau tidak, kembali kepada syarat yang kedua di atas yaitu perbuatannya dengan jelas menunjukan kekafiran atau masih mengandung kemungkinan, jika perbuatannya jelas mereka tidak berselisih pendapat dan jika masih mengandung kemungkinan, maka ada perselisihan karena ini masalah ijtihad.
Di antaranya  adalah yang disebutkan Abu Bak-r Al Hishniy Asy Syaafi’iy dalam contoh-contoh murtad dengan ucapan, ia berkata: “Sebagaimana jika seorang mengatakan kepada musuhnya; seandainya dia tuhanku aku tidak akan menyembahnya, ia kafir. Dan begitu pula jika ia mengatakan; seandainya dia Nabi aku tidak akan beriman kepadanya. Atau dia mengatakan mengenai anaknya dan istrinya; ia lebih aku cintai dari pada Alloh atau pada RosulNya. Dan begitu pula jika seseorang yang sakit setelah sembuh mengatakan;aku rasakan sakitku ini yang seandainya aku membunuh Abu Bakar atau ‘Umar, itu belum setara bagiku, ia kafir. Dan sekelompok ulama’ berpendapat bahwa orang semacam ini harus di bunuh karena perkataannya itu terdapat unsur  menuduh Alloh berbuat zdolim. Masalah  penentuan alasan seperti berlaku untuk kasus-kasus yang serupa jika mengandung unsur tuduhan terhadap Alloh berbuat dzolim, semoga Alloh menjauhkan kita dari hal tersebut. Begitu pula jika seseorang mengaku telah mendapatkan wahyu meskipun dia tidak mengaku sebagai Nabi. Atau dia mengaku masuk jannah dan memakan buah-buahannya serta memeluk bidadari, orang ini kafir secara ijma’. Hal semacam ini dan yang lainnya adalah sebagaimana yang dikatakan orang-orang zindiq dari kalangan ahli tasawuf, semoga Alloh memerangi mereka. Alangkah bodohnya mereka, alangkah kafirnya mereka dan alangkah bodohnya orang yang berkeyakinan seperti keyakinan mereka. Dan seandainya ia mencela salah seorang Nabi atau mereka meremehkannya maka ia kafir cara ijma’. Dan diantara bentuk penghinaan adalah apa yang dikatakan orang-orang dzolim ketika mereka memukul orang lalu orang yang dipukul tersebut meminta tolong kepada Nabi Muhammad SAW, lalu orang dzolim tersebut mengatakan; biarkan Rosululloh SAW, membebaskanmu, atau semacam itu. Seandainya seseorang mengatakan; aku adalah Nabi, dan yang lain mengatakan; ia benar, maka keduanya telah kafir. Dan jika ia mengatakan kepada orang muslim; wahai orang kafir, tanpa ada takwilan, maka ia kafir, karena ia telah menamakan Islam sebagai kekafiran. Lafadz-lafadz ini banyak dikatakan oleh orang at Turk, maka renungkan hal itu. Jika ia mengatakan; Apabila anaku mati aku akan masuk yahudi atau nasrani, maka ketika itu juga ia kafir. Jika dia dimintai tolong oleh orang kafir yang ingin masuk Islam, untuk menuntun-nya kalimat tauhid, lalu ia menyarankan agar tetap kafir atau dia tidak mau menuntun-nya mengucapkan kalimat tauhid ia kafir.dan jika ia menyarankan orang Islam untuk tetap kafir maka ia kafir. Dan jika dikatakan kepadanya; potonglah kukumu dan potonglah kumismu karena itu sunnah, lalu ia menjawab; aku tidak mau meskipun sunnah, maka ia kafir. Ini dikatakan oleh Ar Roofi’iy yang di nukil dari sahabat-sahabat Abu Haniifah dan ia mengikuti pendapat mereka. Dan An Nawawiy berkata: pendapat yang terpilih bahwa orang tidak kafir kecuali ia bermaksud mengolok-olok, wallohu a’lam. Seandainya ada dua orang saling bunuh, lalu salah satunya mengucapkan; laa haula wa laa quwwata illaa billaah, lalu yang satunya lagi mengatakan: Ucapan “laa haula walaa quwwata illaa billah” itu tidak bisa menghilangkan lapar, maka ia kafir. Dan jika ia mengatakan; Aku tidak takut pada hari kiyamat, ia kafir.
Dan jika ditimpa musibah lalu ia mengatakan; Ia (Alloh) telah mengambil hartaku, anaku, ini dan itu, lalu apa yang akan IA lakukan   lagi, maka ia akan kafir. Dan jika ada seseorang mengatakan kepadanya; wahai orang yahudi atau wahai orang nasrani, lalu ia menjawab; Ya, maka ia kafir. Ini dinukil oleh Ar Roofi’iy dan ia tidak mengomentarinya. An Nawawiy berkata; Dalam masalah ini tidak benar jika ia tidak berniat apa-apa, wallohu a’lam. dan jika seorang pendidik anak mengatakan; sesungguhnya  yahudi jauh  lebih baik dari pada orang-orang Islam karena mereka  memberikan hak-hak pendidik anak mereka, maka ia kafir, inilah yang dinukil oleh Ar Roofi’iy dari sahabat-sahabat Abu Haniifah rh., dan beliau tidak mengomentarinya begitu pula An Nawawiy. Saya katakan; Kata-kata semacam ini banyak terjadi pada pegawai-pegawai dan buruh-buruh, sedangkan untuk mengkafirkannya tidak dibenarkan karena mengeluarkan seorang muslim dari dinnya lantaran mengucapkan kata-kata yang masih mengandung kemungkinan yang bisa dibenarkan, apa lagi jika terdapat qoriinah yang menyertainya yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah perlakuan  mereka lebih baik dari pada perlakuan orang-orang Islam, terlebih lagi jika ia menyatakan bahwa inilah yang ia maksudkan atau terdapat jelas pada kata-kata seperti kasus di atas. wallohu a’lam.
Inilah contoh-contoh murtad yang disebabkan perkataan, dan sebagaimana kamu lihat pada perkataan-perkataan yang masih mengandung kemungkinan, dan sebagaimana kamu lihat pada perkataan-perkataan yang masih mengandung kemungkinan, diperselisihan oleh para ulama’ begitu pula perselisihan ini terjadi pada perbuatan-perbuatan yang masih muhtamilud dalaalah (mengandung kemungkinan) di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakar Al Hishniy setelah perkataannya di atas.
Beliau mengatakan: “Adapun kekafiran yang dilakukan dengan perbuatan adalah seperti sujud kepada patung, matahari dan bulan, dan melemparkan mushaf pada kotoran dan sihir yang mengandung unsur penyembahan kepada matahari, dan begitu pula menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada patung, menghina salah satu dari nama Alloh atau salah satu perintah-Nya atau ancaman-Nya atau membaca Al Qur’an dengan di iringi duff  (rebana), dan begitu pula minum khomer dan berzina dengan membaca bismillah sebelumnya sebagai penghinaan, sesungguhnya ia kafir.
Ar Roofi’iy menukil dari sahabat-sahabat Abu Haniifah, jika ada seseorang yang memakai sabuk pada tengah badannya ia kafir. Ia berkata: “Dan mereka berselisih pendapat tentang orang yang memakai peci orang majusi di atas kepalanya, namun yang benar ia kafir. Dan jika seseorang mengikatkan tali pada tengah badannya lalu ketika dia ditanya ia menjawab; ini sabuk, maka kebanyakan berpendapat ia kafir dan Ar Roofi’iy tidak mengomentari masalah itu. An Nawawiy berkata yang benar dia tidak kafir jika dia tidak punya niat.dan apa yang dikatakan An Nawawiy dikatakan pula oleh Ar Roofi’iy pada awal kitab Al Jinaayat pada masalah keempat yang intinya ia sepakat dengan pendapat An Nawawiy dan bahwasanya hanya sekedar memakai pakaian orang-orang kafir tidak menyebabkan murtad.
Dan Ar Roofi’iy menukil dari sahabat-sahabat Abu Haniifah bahwa apabila ada orang fasik meminumkan khomer kepada anaknya lalu kerabat-kerabatnya memberikan dirham dan dinar maka mereka kafir, dan Ar Roofi’iy tidak berkomentar dalam masalah ini. Dan An Nawawiy berkata; Yang benar mereka tidak kafir. Dan jika ada seseorang melakukan perbuatan yang disepakati oleh umat Islam bahwa perbuatan itu tidak dilakukan kecuali oleh orang kafir, meskipun orang yang melakukan tersebut menyatakan bahwa dia Islam, seperti sujud kepada salib, atau pergi ke gereja-gereja bersama mereka dan menggunakan pakaian mereka seperti dabuk dan yang lainnya, maka ia kafir.” Kifaayatul Akhyaar II / 123-124.
Jika kamu memperhatikan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan kafir tersebut padahal ini hanyalah contoh dari sekian banyak yang terdapat pada bab-bab murtad dalam buku-buku fikih, kamu akan memahami banyak orang yang menganggap remeh masalah-masalah yang membatalkan Islam, dan ini semua disebabkan oleh tersebarnya kebodohan dan diremehkannya diin. Anas bin Maalik ra, mengatakan:
إنكم لتعملون أعمالا هي أدق في أعينكم من الشعر كنا نعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من الموبقات
“Sesungguhnya kalian menganggap perbuatan-perbuatan itu lebih kecil daripada rambut, sedangkan kami menganggapnya sebagai amalan-amalan yang menghancurkan pada masa Rosululloh SAW” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy.
Inilah yang berkaitan dengan penjelasan mengenai perkataanku --- dalam kaidah takfiir --- yang berbunyi: [berdasarkan  perkataan atau perbuatan mukaffir].



Materi Tambahan:
Seseorang Tidak Masuk Kedalam Keimanan Kecuali Dengan Beberapa Amalan , Akan Tetapi Ia Dapat Keluar Darinya --- Atau Kafir --- Walaupun Hanya Dengan Satu Amalan.

Yang dimaksud di sini adalah keimanan yang hakiki yang bermanfaat bagi seseorang di akhirat, dan bukan keimanan al iimaan al hukmiy yang merupakan sinonim al islaam al hukmiy yang dijadikan landasan hukum di dunia, karena Iman atau Islam yang semacam ini seseorang dapat masuk dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Adapun iman yang hakiki seseorang tidak bisa masuk kedalamnya kecuali dia melakukan unsur-unsur pokoknya dan didepan telah diterangkan bahwa pokok iman itu terdiri dari beberapa amalan hati, lisan dan anggota badan. Kewajiban hati adalah ma’rifah, tashdiq dan beberapa amalan hati seperti patuh, cinta, ridho dan pasrah kepada Alloh. Kewajiban lisan adalah mengikrarkan dua kalimah syahadat, dan kewajiban anggota badan adalah amalan-amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kafir, seperti sholat dan banyak ulama yang memasukan rukun islam yang lainnya dalam katagori ini.
Akan tetapi seorang hamba bisa keluar dari keimanan atau kafir hanya dengan satu perbuatan saja --- tidak harus dengan beberapa perbuatan --- maka apabila ia mengucapkan atau melakukan atau meyakini suatu mukaffir (penyebab kekafiran) maka ia kafir sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka. Dan kekafirannya tidak bersyarat harus hilang semua cabang keimanan yang nampak pada dirinya --- meskipun pada hakekatnya semua amalannya terhapus --- ini menunjukan bahwa sebagian orang yang di vonis kafir kadang memiliki amal sholih pada dhohirnya namun hal ini tidak menghalanginya untuk dikafirkan jika dia melakukan perbuatan yang menuntut pengkafiran.
Hal semacam ini banyak terdapat dalam fiqih:
Misalkan sholat, ia tidak syah kecuali dengan beberapa syarat, beberapa rukun dan beberapa kewajiban seperti wudlu, menutup aurat, menghadap kiblat, niat, berdiri, ruku, sujud dan yang lainnya. Akan tetapi ia bisa batal walaupun hanya dengan satu perbuatan, seperti berhadats atau makan ketika sholat maka batal sholatnya. Begitu pula haji tidak syah kecuali dengan sejumlah rukun dan kewajiban, namun ia bisa rusak dengan satu perbuatan seperti jima.
Apabila seseorang beramal sholih sepanjang hidupnya kemudian dia melakukan kekafiran berupa perkataan atau perbuatan atau keyakinan, dan ia mati dalam keadaan seperti itu maka terhapuslah seluruh amal sholehnya, Alloh berfirman :
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.( Qs. Al Baqoroh (2) : 217)
Dan NAbi SAW bersabda:
إن الرجل ليعمل الزمان الطويل بعمل أهل الجنة ثم يختم له عمله بعمل أهل النار و إن الرجل ليعمل الزمان الطويل بعمل أهل النار ثم يختم له عمله بعمل أهل الحنة
 “Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amal penghuni jannah sepanjang hidupnya lalu ia menutup amalanya dengan amalan penghuni naar (neraka), dan sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penghuni naar sepanjang hidupnya kemudian ia tutup  amalanya dengan amalan penghuni jannah (syurga).”
Hadits ini diriwayatkan Muslim dari Abu Huroiroh dan asalnya adalah terdapat dalam Shohiih Al Bukhooriy dan Shohiih Muslim dari Ibnu Mas’uud ra.

Materi Tambahan Lain:
Perbedaan Antara At Takfiir Al Mutlaq (Kufrun Nau’ ) Dan Takfiiru Mu’ayyan ( Kufrul ‘Ain ).

At takfiirul mutlaq adalah menjatuhkan hukum kepada sebabnya saja (yaitu perkataan atau perbuatan kufur). Maka dikatakan: orang yang mengatakan begini kafir dan orang yang berbuat seperti ini ia kafir. Dengan demikian maka at takfiirul mutlaq adalah mengetahui hukum secara umum tanpa menjatuhkan hukum kepada orang tertentu meskipun ia telah melakukan penyebab kekafiran tersebut. Dan at takfiirul mutlaq adalah yang telah kita bicarakan dalam fakroh-fakroh sebelumnya dalam kaidah takfiir.
Adapun takfiirul mu’ayyan adalah menghukumi (memvonis) kafir kepada orang tertentu yang melakukan penyebab kekafiran (yaitu perkataan atau perbuataan kekafiran), hal ini selain harus berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas --- yaitu meneliti kekafiran pada perkataan atau perbuatan --- ditambah lagi dengan memperhatikan apakah orang tersebut benar-benar benar-benar telah melakukan hal yang menjadi penyebab kekafiran tersebut dan tidak terdapat mawaani’ul ahkaam (penghalang hukum) pada dirinya.
Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa perbedaan antara dua macam di atas adalah :
Bahwa at takfiirul mutlaq adalah menghukumi perbuatan dan dalam hal ini hanya memperhatikan satu perkara saja yaitu penyebab kekafiran yaitu dengan terpenuhinya syarat untuk di anggap sebagai mukaffir dari sisi dalil syar inya dan dari sisi perbuatannya sendiri yang qoth’iyud dalaalah.
Adapun takfiirul mu’ayyan adalah menghukumi pelaku, dalam hal ini yang perlu dilihat adalah dua masalah; yaitu hukum perbuatan itu sendiri sebagaimana di atas dan melihat kepada keadaan pelakunya yang mencakup menetapkan perbuatan itu sendiri dan tidak terdapatnya maani’ul hukmi (penghalang vonis / hukum) pada orang tersebut.
Dan melihat kepada cara pembuktian dan mawaani’ takfiir (penghalang-penghalang vonis kafir) adalah tema pembahasan alinea-alinea berikutnya.
4.      Perkataanku –-- dalam kaidah takfiir --– yang berbunyi [dibuktikan dengan cara pembuktian yang sesuai dengan syar’iy] maksudnya adalah pembuktian perkataan atau perbuatan kafir yang menjadi sebab kafirnya pelakunya. Jelasnya itu masuk kedalam kaidah yang berbunyi “Memberlakukan Hukum Di Dunia Berlandaskan Dhohir”.
Sesungguhnya perkataan dan perbuatan seorang mukallaf di dunia itu tidak divonis dengan hukum yang berlaku di dunia kecuali telah dibuktikan dengan cara yang telah dijelaskan oleh syari’at. Cara itu dinamakan ‘thuruqul itsbaat asy syar’iyyah’ (cara pembuktian secara syar’iy), yang diantara bentuknya adalah pengakuan pelaku dan kesaksian para saksi. Sedangkan nishoob (jumlah) kesaksian satu masalah berbeda dengan masalah lain. Oleh karena itu jika perkataan atau perbuatan itu sebelum dibuktikan dengan pembuktian yang sesuai dengan syar’iy dan secara syah, maka ia tidak terkena hukum tersebut (baca: sebenarnya ia melakukan perbuatan yang mengharuskan untuk mendapatkan vonis hukum, namun ia tidak divonis sebelum melalui tata cara pembuktian syar’iy). Maka barangsiapa berzina akan tetapi menurut tata cara pembuktian syar’iy tidak terbukti, maka secara hukum syar’iy dia tidak divonis berzina meskipun pada hakekatnya dia berzina, dan Alloh akan membalas perbuatanya itu, kecuali jika Alloh mengampuninya karena dia bertaubat atau karena terhapus dengan amal sholihnya atau karena mendapat safa’at. Adapun murtad --- yaitu mengatakan atau melakukan kekafiran --- dapat dibuktikan dengan salah satu dari dua cara, yaitu: pengakuan pelaku atau kesaksian dua orang muslim yang ‘aadil (punya sifat ‘adaalah / bisa dipercaya). Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan tidak ada yang menyelisihkan kecuali Al Hasan, beliau mensyaratkan 4 orang saksi untuk memvonis murtad seseorang, karena hukuman murtad itu adalah dibunuh, hal ini dikiyaskan dengan zina. Namun Ibnu Qudaamah  menyanggahnya karena illah (sebab) jumlah saksi zina itu bukanlah terletak pada hukuman bunuhnya, karena orang yang tidak muhshon (belum kawin) pun jumlahnya saksinya 4 orang (padahal hukumnya bukan dibunuh-pent), dengan demikian jelaslah perbedaanya. Lihat Al Mughniy ma’asy Syarhil Kabiir 10/99.
Dan kesaksian terhadap kemurtadan juga harus detil sebagaimana yang dikatakan Al Qoodliy Burhaanud Diin bin Farhuun Al Maalikiy: ”Kesaksian kemurtadan seseorang secara global tidak diterima, misalnya seseorang mengatakan si fulan telah kafir atau murtad, akan tetapi harus detail apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat dari orang tersebut, karena bentuk-bentuk kekafiran itu diperselisihkan, kadang mereka meyakini kekafiran padahal bukan kekafiran.” Tabshirotul Hukkaam II/244.
Lalu apakah kemurtadan itu dapat dibuktikan berdasarkan kemasyhuran yaitu kesaksian banyak orang tanpa mendengar atau melihat secara langsung dari pelakunya?. Dalam hal ini terjadi perselisihan pendapat. Ibnul Qoyyim berkata: “Menghukumi dengan berlandaskan kemasyhuran, adalah tingkatan antara mutawaatir (orang yang sangat banyak yang tidak mungkin berdusta) dan ahaad (perorangan). Kemasyhuran adalah apa yang banyak yang dibicaraakan orang --- sampai beliau mengatakan --- dan tingkatan ini lebih kuat daripada kesaksian dua orang yang diterima kesaksianya.” Ath Thuruq Al Hukmiyyah tuliasan Ibnul Qoyyim hal. 212 terbitan Al Madaniy. Dan kaji juga Fat-hul Baariy V/254 Majmuu’ Fataawaa  XXXV / 312-314. diantara contoh kesaksian berdasarkan kemasyhuran adalah kejadian yang diceritakan Ibnu Katsiir dalam ceritanya pada tahun 741 H. beliau mengatakan: ”Kemudian pada hari selasa 21 dzul qo’dah dihadapan ‘Utsmaan Ad Dakaakiy Al Madzkuur ke darus sa’adah dan diberdirikan dihadapan para pemimpin dan hakim, dia ditanya tentang kekurangan saksi, maka dia tidak mampu, lalu ditanyakan kepada hakim yang bermadzhab Maalikiy tentang hukumanya, maka dia memuji Alloh dan bersalawat lalu mejatuhkan hukuman mati meskipun bertaubat. Maka Al Madzkuur diambil dan dipenggal lehernya di Damaskus dipasar kuda dan diumumkan; Inilah hukuman yang bermadzhab Ittihaadiyyah. Pada hari itu disaksikan di Darus Sa’aadah yang dihadiri kelompok syaikh, dan juga dihadiri Syaikh kita Jamaalud Diin Al Miziy dan Al Haafidz Syamsud Diin Adz Dzahabiy, keduanya berbicara dan mengobarkan semangat tentang masalah itu keduanya bersaksi atas kezindikan Al Madzkuur karena kemasyhuranya. Dan begitu pula Syaikh Zainud Diin saudara Ibnu Taimiyyah, maka keluarlah tiga hakim seorang bermadzhab Hanafiy, seorang bermadzhab Maalikiy dan seorang bermadzhab Hambaliy, mereka melaksanakan hukuman Al Madzkuur di dalam majlis tersebut dan mereka menyaksikanya, dan aku menyaksikanya secara langsung semua itu dari awal sampai akhir. Al Bidaayah Wan Nihaayah XIV / 19. .
Inilah tata cara menetapkan hukum murtad di dunia, kadang seorang pada hakekatnya ia kafir namun tidak dibuktikan hukum kafir di dunia. Orang semacam ini hisabnya diserahkan kepada Alloh (pada hari tersingkap seluruh rahasia, ia tidak mempunyai kekuatan atau penolong). Jika dia mati di atas kekafiranya dan tidak bertaubat maka dimasukan neraka kekal di dalamnya. Tidak semua orang yang pada hakekatnya kafir dapat dibuktikan dan divonis kafir di dunia, hal ini dapat dijelaskan dengan empat keadaan berikut :
A. Apabila seseorang menyembunyikan keyakinan kafirnya dan tidak menampakannya dalam perkataan maupun amalanya, yaitu kufur dengan keyakinan saja seperti mendustakan hari kebangkiatan, maka ia secara dlohir hukumnya adalah orang Islam namun hakekatnya dia adalah kafir. Orang semacam ini masuk golongan orang-orang munafiq nifaaq akbar. Dan pada macam ini Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan jika mereka menyembunyikan kemunafiqan dan tidak mengatakanya, maka mereka itu adalah orang-orang munafiq. Alloh berfirman :
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ
Orang-orang yang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Alloh dan Rosul-Nya)". Sesungguhnya Alloh akan menyatakan apa yang kamu takuti itu.(Qs. At Taubah: 64).
Majmuu’ fataawaa XIII/57. Ayat ini menunjukan kemunafiqan dalam hati mereka dan tidak ia tampakkan dalam perkataan atau amalan yang nampak.
B. Apabila seseorang menampakan atau perbuatan kafir, akan tetapi tidak seorangpun yang melihatnya, maka secara hukum dlohir dia adalah muslim pada hakekatnya dia kafir. Dan orang semacam ini termasuk golongan orang-orang munafiq nifak akbar. Dan orang semacam ini dan yang sebelumnya masuk kedalam pengertian firman Alloh:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafiq; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafiqannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.(Qs. At Taubah 9: 101)
C. Apabila seseorang menampakan perkataan atau perbuatan kafir dan ada beberapa orang yang melihatnya akan tetapi mereka tidak memberikan kesaksian kecuali salah seorang dari mereka atau seorang anak atau seorang perempuan, maka kekafiranya tidak dapat dibuktikan karena tidak memcapai masa nishob kesaksian terhadap kemurtadan pada orang tersebut. Orang semacam ini secara dlohir muslim pada hakekatnya ia adalah kafir. Orang semacam ini diperbolehkan bagi hakim untuk menghukumnya di bawah hukum had seperti penjara atau cambuk atau yang lain, sesuai dengan kuatnya kesaksian, misalnya yang memberikan kesaksian adalah ulama’ yang adil (dapat dipercaya) lagi sholih namun ia seorang diri. Lihat Tabshirotul Hukkaam tulisan Ibnu Farhun II / 281.
Masuk bagian yang ketiga inilah kebanyakan orang-orang munafiq pada  zaman Nabi SAW, sesungguhnya mereka mengatakan kekafiran di kalangan mereka namun mereka tidak memberikan kesaksian pada yang lain, sebagai mana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah : “Ia munafiq dalam hatinya, dan mungkin menampakan kemurtadan bahkan mengucapkan kemunafiqan terhadap kawan dekatnya.” Majmuu’ Fataawaa XIII/54, dan kadang mereka memperdengarkan seorang dari kaum muslimin lalu ia bersaksi terhadap ia dengar namun kesaksianya tidak cukup untuk menetapkan hukum. Sebagaimana kesaksian Zaid bin Arqom terhadap ‘Abdulloh bin Ubay bahwa ia berkata: ”Jika kita kembali ke madinah pasti orang-orang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari madinah.” Sebagaimana terdapat dalam Shohiih Al Bukhoriy dan meskipun wahyu membenarkan apa yang disaksikan Zaid namun Nabi saw, tidak menghukum berdasarkan wahyu namun dengan cara pembuktian syar’iy dan juga karena perkataan orang-orang munafiq itu muhtamilud dalaalah dan tidak jelas sebagaimana firman Alloh:
 وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (Qs. Muhammad 47: 30)
sedangkan kiasan adalah perkataan yang difahami artinya dan tidak ditanyakan dengan jelas, hal itu disebutkan Al Qurthuubiy.
Dan beginilah para ulama’ menjawab pertanyaan kenapa rosululloh tidak membunuh orang-orang munafiq? Ibnu Taimiyyah berkata: “Pada umumnya mereka tidak mengatakan kekafiran yang perkataannya cukup untuk dijadikan bukti, akan tetapi mereka menampakan keislaman. Sedangkan kemunafiqan mereka kadang diketahui dari kata-kata yang didengar oleh seorang sahabat lalu disampaikan kepada Nabi SAW, lalu orang-orang munafiq itu bersumpah dengan nama Alloh bahwa mereka tidak mengucapkannya atau atau kadang tidak bersumpah. Dan kadang nampak dari keterlambatan mereka dari sholat dan jihad dan keberatan mereka untuk mengeluarkan zakat dan juga nampak dari ketidak senangan mereka pada banyak hukum Alloh, dan umumnya mereka dapat diketahui dari sindiran-sindiran mereka --- sampai beliau berkata --- kemudian semua orang munafiq itu menampakan keislaman dan mereka bersumpah bahwa mereka itu Islam, mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai. Maka jika mereka keadaannya seperti ini Nabi SAW, tidak menegakan hukum had kepada mereka hanya berdasarkan pengetahuan beliau atau pemberitahuan seorang atau berdasarkan wahyu  atau petunjuk atau penguat sampai dibuktikan dengan sebuah pembuktian yang dapat mengharuskan untuk ditegakan had, dengan bukti atau pengakuan  --- sampai beliau berkata --- maka beliau tidak membunuh mereka --- meskipun mereka kafir --- karena kekafiran merka tidak nampak dengan alasan yang dibenarkan secara syar’iy. Dan yang menunujukan hal ini adalah bahwa beliau tidak menyuruh mereka, bertaubat secara perorngan padahal sudah maklum bahwa minimal orang yang telah dinyatakan murtad dan zindiq ia disuruh bertaubat sebagai mana orang murtad, jika ia tidak mau bertaubat ia di bunuh. Dan kami belum pernah mendengar bahwa beliau menyuruh mereka bertaubat secara perorangan. Dengan demikian maka sesungguhnya kekafiran dan kemurtadan mereka belum bisa di tetapkan atas mereka dengan sebuah ketetapan yang mengharuskan pembunuhan sebagaimana orang murtad. Oleh karena itu keadaan lahiriyah mereka diterima dan kita serahkan hati mereka kepada Alloh. Jika begini keadaan orang yang telah nampak kemunafiqannya namun belum bisa dibuktikan dengan berdasarkan pembuktian yang sesuai dengan syar’iy, maka terlebih lagi orang yang belum tampak kemunafiqannya?.” Ash Shoorimul Masluul hal 355-357. dan Al Qoodliy ‘Iyaadl berkata:” hati orang-orang munafiq itu tersembunyi, sedangkan Nabi SAW, menghukumi secara dlohir. Sedangkan kata-kata (kekafiran) itu kebanyakan  mereka ucapkan secara sembunyi-sembunyi dan bersama orang-orang munafiq seperti mereka, dan jika ketahuan maka mereka mengingkarinya dan bersumpah atas nama Alloh bahwa mereka tidak mengatakanya padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kafir tersebut --- sampai beliau berkata --- dan beginilah para imam kami dalam menjawab persoalan ini.” Dan beliau berkata: “mungkin belum nyata bagi beliau SAW, perkataan mereka yang disampaikan, akan tetapi hanya disampaikan  oleh seseorang yang tidak sampai bisa diterima kesaksiannya dalam permasalahan semacam ini, seperti kesaksian seorang yang masih anak-anak atau budak atau perempauan sedangkan darah tidak bisa ditumpahkan kecuali dengan kesaksian dua orang yang ‘aadil (mempunyai sifat ‘adaalah / bisa diterima kesaksiannya). --- sampai beliau berkata --- dan begitu pula sahabat-sahabat kami dari Baghdad mengatakan: ‘Sesungguhnya Nabi SAW, tidak membunuh orang-orang munafiq hanya berdasarkan pengetahuan beliau atas kemunafiqan mereka namun tidak ada bukti atas kemunafiqan mereka , oleh karena itu beliau membiarkan mereka.’ Asy Syifaa II/ 961-963, terbitan Al Halabiy.
Dan begini pulalah Ibnu Taimiyyah menjawab  pertanyaan tentang sabda rosululloh SAW,
دعه لا يتحدث الناس أن محمدا يقتل أصحابه
Biarkanlah dia (orang munafiq) supaya orang tidak mengatakan; Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.
Dan ketika ‘Umar ingin membunuh ‘Abdulloh bin Ubay atas kesaksian Zaid bin Arqom. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al Bukhooriy  (4905), Ibnu Taimiyyah berkata: “Yang menghalangi Rosululloh untuk membunuhnya adalah sebagai mana yang beliau katakan yaitu supaya orang tidak mengatakan bahwa beliau membunuh sahabat-sahabatnya, karena kemunafiqannya tidak ada buktinya, dan dia telah bersumpah bahwa dia tidak mengatakannya, akan tetapi kemunafiqannya beliau diketahui dari wahyu dan dari pemberitahuan Zaid bin Arqom.” Ash Shoorimul Masluul hal. 354. dan Al Qoodliy ‘lyaadl mengatakan: ”Jika Nabi membunuh mereka lantaran kemunafiqan dan apa yang keluar dari mereka serta pengetahuan beliau terhadap apa yang mereka sembunyikan dalam jiwa mereka, pasti orang-orang yang menghalangi mendapatkan bahan pembicaraan, orang yang enggan jadi ragu dan orang yang ngeyel akan  melemahkan keyakinan dan tidak mau bersahabat dengan Nabi SAW, enggan masuk Islam, orang akan berprasangka yang macam-macam dan musuh yang dzolim akan menyangka bahwa pembunuhan itu disebabkan oleh permusuhan --- sampai beliau mengataka --- hal ini beda jika yang diberlakukan terhadap mereka adalah hukum secara dhzohir seperti membunuh mereka karena berzina, karena mereka membunuhorang dan hal yang semacam itu karena hal-hal semacam itu adalah nampak dan manusia sama-sama mengetahuinya. Asy Syifaa II / 964, terbitan al Halabi.
D.                Apabila seorang menampakan perkataan atau perbuatan kafir, dan dia mengakuinya dan ada dua orang ‘adil (dapat dipercaya) yang bersaksi atas dirinya atau yang lebih kuat dari padaitu atau kekufurannya itu telah tersebar di kalangan manusia, maka perbuatannya itu telah terbukti secara syar’iy  dan syah, namun hal ini belum cukup untuk menghukuminya kafir sampai dilihat mawaani’ul hukmi (penghalang-penghalang vonis / hukum) padanya.
Inilah empat keadaan orang yang pada hakekatnya kafir, namun tidak bisa dibuktikan telah berbuat kafir di dunia kecuali dalam satu keadaan saja. Dan inilah yang berkaitan dengan pembuktian secara syar’iy.
Di sini ada satu tambahan yaitu apakah orang yang mengetahuai kekafiran seseorang boleh menganggapnya kafir --- sebagaimana pada point C di atas --- namun ia tidak memungkinkan untuk membuktikannya secara syar’iy kepada orang tersebut.
Jawabannya adalah; justru dia wajib untuk menghukumi (memvonis) nya sebagai orang kafir akan tetapi dengan dua syarat:
Pertama: ia adalah orang yang layak untuk menghukuminya baik karena ia sendiri seorang mufti atau karena ia telah minta fatwa kepada orang lain, untuk membedakan antara kekafiran dan yang bukan, dan untuk melihat kepada penghalang-penghalang kekafirannya.
Kedua: ia tidak boleh menghukumnya dengan hukuman yang menjadi hak Alloh seperti menghalalkan harta dan darahnya karena kemurtadannya tidak dapat dibuktikan dengan cara pembuktian syar’iy  secara sempurna karena kalau hal ini diperbolehkan pasti akan menimbulkan kekacauan dalam menghalalkan darah dan harta hanya berlandaskan tuduhan, akan tetapi hendaknya dia menghukum orang tersebut dengan selain itu seperti menjauhinya (hajr) tidak menikah dengannya dan tidak menikahkan orang dengannya, tidak menyolatkannya  dan yang lainnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Fataawaa  XXIV / 285-287. dan Ibnu Taimiyyah berkata tentang orang-orang munafiq: ”Dan Nabi SAW, pada awalnya menyolatkan dan memintakan ampun mereka sampai Alloh melarang beliau. Alloh berfirman:
ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره
dan jangan menyolatkan seorangpun dari mereka jika mati dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya.
Dan juga Alloh berfirman:
استغفر لهم أو لا تستغفر لهم لن يغفر الله لهم إن تستغفر لهم سبعين مرة فلن يغفر الله لهم
mintakanlah ampun mereka atau jangan kau mintakan ampun, jika kau mintakan ampun mereka 70 kali Alloh tidak akan mengampuni mereka.
Maka beliau tidak menyolatkan mereka dan tidak pula memintakan ampun akan tetapi darah dan harta mereka tetap terjaga dan tidak halal sebagaimana halalnya orang kafir yang tidak menampakan keimanan, akan tetapi mereka menampakan kekafiran.” Majmuu’ Fataawaa  VII / 212-213. Dalil yang menunjukan seseorang bisa menghukumi orang lain kafir, jika ia mengetahuinya adalah firman Alloh:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا .كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ ءَاتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا.وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا.وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا.وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا. قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا.
Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu'min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat".Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu".Kawannya (yang mu'min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna” ( QS. Al Kahfi: 32-37).
Orang yang pertama kafir karena ragu terhadap hari kebangkitan dan yang lainnya mengkafirkan lantaran keraguannya tersebut. Dan mereka hanya berdua saja sebagaimana Alloh katakan. Dan contoh semacam ini di kalangan salaf banyak, di antaranya adalah Imam Asy Syaafi’iy yang mengkafirkan Hafsh sendirian di dalam sebuah majelis perdebatan. Lihat Asy Syarii’ah tulisan Al Ajurriy hal. 81, Syarhu I’tiqoodu Ahlis Sunnah tulisan Abdul Qoosim Al Laalikaa-iy I / 252-253, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa Asy Syaafi’iy tidak mengkafirkan Haf-sh akan tetapi mengatakan kafir terhadap perkataannya, namun yang benar jika dilihat dari pembicaraan keduanya tidak sebagaiman yang di katakan Ibnu Taimiyyah. Lihat perkataan beliau dalam Majmuu’ Fataawaa XXIII / 349.
Dan orang yang mengkafirkan orang lain ini tidak boleh mengharuskan orang Islam lainnya, mengkafirkannya selama mereka belum bisa menetapkan sebagaiman dia dan selama orang yang kafir tersebut kekafirannya belum dibuktikan secara syar’iy dan syah.
Akan tetapi orang yang mengkafirkan orang lain ini diperbolehkan  orang lain untuk taqlid kepadanya jika ia faqiih dan tsiqqoh (terpercaya) dan contohnya adalah taqlidnya ‘Umar bin Khothoob kepada Hudzaifah bin yaman dalam tidak menyolatkan orang yang diketahui oleh Hudzaifah atas kemunafiqan mereka berdasarkan pemberitahuan dari Nabi SAW, kepadanya. Lihat Majmuu’ Fataawaa  VII / 213 dan Al Umm tulisan Asy Syaafi’iy VI / 166.
Dan bolehkah orang yang mengetahui kekafiran seseorang untuknya mengumumkannya di kalangan manusia meskipun orang yang kafir itu menutupi kekafirannya? Jawabannya adalah; Ya, bahkan wajib karena dikhawatirkan bahayanya, khususnya jika orang kafir tersebut termasuk penyeru bid’ah atau orang yang di ambil ilmunya atau dia hendak menikahi seorang muslimah atau yang semacam itu karena din itu nasehat. Dalam masalah ini Al Qoodliy  ‘lyaadl mengatakan: ”Jika orang yang mengatakan perkataan itu orang yang diambil ilmunya atau periwayatan haditsnya atau dipegangi keputusannya atau kesaksiannya atau fatwanya dalam kepemilikan, maka wajib bagi orang yang mendengar perkataannya untuk menyebarluaskan apa yang ia dengar dan menjauhkan manusia darinya dan bersksi terhadap apa yang ia dengar, dan para pemimpin muslimah yang mendengarkan kesaksian tersebut wajib untuk mengingkarinya, menerangkan kekafirannya dan kerusakan perkataannya, untuk memutuskan bahayanya dari muslimin dan juga untuk melaksanakan hak sayyidul muslimin (Nabi Muhammad). Dan begitu pula jika orang yang melakukan kekafiran tersebut orang yang suka memberi nasehat kepada manusia atau mendidik anak-anak, karena sesungguhnya orang yang seperti ini tidak bisa di percaya untuk menanmkannya pada hati mereka. Maka pada orang-orang  semancam mereka lebih wajib demi  hak Nabi saw, dan hak syariatNya.” Asy Syifaa II / 997-998. Inilah yang berkaitan dengan pembuktian secara syar’iy yaitu menetapakan penyebab kekafiran pada pelakunya secara syah.
5.      Perkataanku --- dalam kaidah takfiir --- yang berbunyi [jika telah terpenuhi syarat-syarat untuk di vonis kafir]. Melihat kepada syarat-syarat ini harus dilakukan sebelum menghukumi. Karena kaidah menghukumi secara umum di dalam syariat adalah:
“Sebab itu akan mengakibatkan sebuah hukum jika terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak terdapat penghalang-penghalangnya.”
Hukum adalah menyatakan adanya atau tidak adanya sesuatu pada diri orang lain. Dalam hal ini adalah menyatakan kekafiran (murtad) pada diri seseorang.
Sababul hukmi (penyebab hukum) adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan oleh Syaari’ (pembuat syariat) sebagai tanda akan adanya hukum, dan ketidakadaannya sebagai tanda akan tidak tidak adanya hukum.
Syarthul hukmi (syarat hukum) adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum itu tergantung pada keberdaannya, namun keberadaannya tidak mesti menunjukkan adanya hukum tersebut akan tetapi ketidakadaannya mengakibatkan tidak adanya hukum.
Dan syarat-syarat vonis kafir itu ada tiga macam:
A.        Syarat-syarat pada pelaku: yaitu dia harus mukallaf (berakal dan baligh) tahu bahwa perbuatannya itu kafir, sengaja melakukannya dan ia melakukannya denagan kemauannya sendiri.
B.         Syarat-syarat pada perbuatan (yang menjadi sebab hukum); yaitu perbutan tersebut merupakan kekafiran tanpa syubhat, dan telah di jelaskan di atas syaratnya yaitu; perbuatan orang mukallaf itu shoriihud dalaalah, dan dalil syar’iynya juga shoriihud dalaalah.
C.         Syarat-syarat dalam menetapkan perbuatan mukalaf tersebut; yaitu dengan cara yang syar’iy dan benar.
6.      Perkataanku --- dalam kaidah takfiir --- yang berbunyi [dan tidak terdapat mawaani’ut takfiir (penghalang-penghalang untuk di vonis kafir) pada orang tersebut] maksudnya adalah penghalang-penghalang untuk dihukumi kafir.
Sedangkan yang dimaksud dengan maani’ (penghalang); adalah sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum dan ketidakadaannya tidak mesti adanya hukum.
Dan ketahuilah bahwasanya dalam kaidah takfiir diperbolehkan hanya menyebutkan syarat-syaratnya saja, karena keduanya saling berkebalikan, sehingga salah satunya mewakili yang lainnya. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim: “Dan diantara yang memperjelas masalah adalah bahwa manusia bersepakat bahwa syarat itu terbagi menjadi syarat yang harus ada dan syarat yang harus tidak ada. Dengan kata lain bahwa ada sesuatu yang keberadaannya menjadi syarat sebuah adanya hukum dan ada sesuatu yang tidakadanya menjadi syarat sebuah hukum. Dan ini disepakati oleh para ulama’ ahli ushul fikih, mutakallimiin dan semua kelompok. Oleh karena itu apa saja yang ketidakadaannya itu menjadi syarat maka keberadaannya menjadi penghalang (maani’). Dan apa saja yang keberadaannya merupakan syarat maka ketidakadaannya adalah penghalang (maani’). Dengan demikian maka tidak adanya syarat merupakan penghalang sebuah hukum dan tidak adanya penghalang merupakan syarat adanya sebuah hukum. wabillaahit taufiiq.”Badaa-i’ul Fawaa-id IV /12, terbitan Daarul Kitaab Al ‘Arobiy.
Penghalang-penghalang yang menjadi syarat itu ada tiga macam:
A.        Penghalang-penghalang yang terdapat pada pelaku yaitu keadaannya yang menjadikan seseorang tidak bisa dihukumi perkataan dan perbuatannya secara syar’iy, dan penghalang penghalang ini di sebut sebagai ’awaaridlul ahliyyah (hal-hal yang menjadi penghalang kelayakan).
B.         Penghalang-penghalang yang terdapat pada perbuatan (yaitu hal-hal yang menjadi penyebab kekafiran) seperti perbuatannya itu tidak shoriihud dalaalah (jelas maksudnya) terhadap kekafiran atau dalilnya tidak qoth’iyyud dalaalah terhadap kekafiran.
C.         Penghalang-penghalang yang terdapat pada proses pembuktian hukum; seperti salah satu dari saksinya tidak bisa di terima kesaksiannya karena masih kecil atau tidak ‘aadil (tidak bisa di percaya)

‘ Awaridl Ahliyyah
(Hal-Hal Yang Menjadi Penghalang Ahliyyah)

Yang dimaksud di sini adalah ahliyatul aadaa’, karena ahliyyah itu menurut ulama’ ushul fikih ada dua macam:
Ahliyatul aadaa’; yaitu kelayakan seseorang untuk dianggap perkataan dan perbuatannya secara syar’iy, dan syarat-syarat syah ahliyatul aadaa’ ini adalah berakal, baligh dan ikhtiyaar (bebas, tidak terpaksa).
Dan aliyatul wujuub; yaitu kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban. Dan dasar ahliyatul wujuub ini adalah hidup, maka baik orang tua maupun anak kecil bahkan sampai janin sekalipun, juga orang yang berakal maupun gila, secara syah ia memiliki ahliyatul wujuub.
Sedangkan ‘awaaridlu ahliyyah (hal-hal yang menjadi penghalang kelayakan) berkaitan dengan ahliyatul aadaa’ (kelayakan melaksakan), yaitu hal-hal yang terjadi pada seorang mukallaf yang mengakibatkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatannya tidak diperhitungkan secara syar’iy, ia tidak dihukum dan perbuatannya   tidak berdampak apapun terhadap hak Alloh namun pada hak-hak manusia tetap berdampak. Dan ‘awaaridlu ahliyyah itu ada dua macam:
Bagian pertama adalah ‘awaaridl samawiyah (penghalang-penghalang dari langit); yaitu karena ditakdirkan Alloh dan tidak ada peran manusia dalam mewujudkannya, seperti masalah kecil, gila, dungu, tidur dan lupa. Maka jika orang yang terdapat padanya salah satu dari penghalang-penghalang tersebut melakukan kejahatan maka ia tidak berdosa dan tidak dijatuhi hukuman karena ia tidak terkena kewajiban, akan tetapi ia dihukum dengan hak-hak manusia seperti harga kerugian, denda dan yang semacam itu, karena ini adalah khitoobul wadl’i (hukum penyebab). Penghalang-penghalang samawiyyah ini adalah kebalikan dari syarat-syarat hukum seperti masih kecil kebalikan dari baligh, gila dan dungu kebalikan dari berakal. Dengan demikan, maka di antara syarat-syarat takfiirul mu’ayyan adalah berakal dan baligh. Sedangkan syah tidaknya kemurtadan anak mumayyiz ada perselisihan. Dan orang-orang yang berpendapat syah seperti madzhab Hambaliy mereka mengatakan: ia tidak dihukum sampai ia baligh dan di suruh bertaubat. Lihat Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X / 91-92.
Bagian kedua adalah penghalang-penghalang muktasabah; yaitu penghalang yang kemauan dan usaha manusia, baik dia sendiri maupun orang lain, memiliki peran dalam mewujudkannya, meskipun semua itu adalah taqdir Alloh:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Seungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ketentuan. (QS. Al Qomar: 49)
Dan diantar penghalang-penghalang mukatasabah yang dianggap sebagai penghalang takfiir mua’ ayyan adalah:
A.                Al Khotho’ (tidak sengaja), yang mengakibatkan keterlanjutan berbicara sehingga ia mengucapkan kata-kata kafir padahal ia tidak bermaksud mengucapkannya. Pengahalang ini membatalkan syarat al ‘amdu (sengaja). Yaitu hendaknya mukallaf itu melakukan kekafiran dengan sengaja. Dan dalil yang menunjukkan bahwa tidak sengaja itu secara umum merupakan penghalang adalah firman Alloh:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) oleh hatimu.” (QS. Al Ahzaab: 5)
Sedangkan dalil yang menunjukkan sebagai penghalang kekafiran adalah hadits tentang seseorang yang kehilangan kendaraannya kemudian ketika mendapatkannya ia berkata:
اللهم أنت عبدي وأنا ربك
Ya Alloh Engkau hambaku dan aku adalah robbMu.
Dan dalam hadits tersebut rosululloh mengatakan:
أخطأ من شدة الفرح
Ia salah karena sangat senangnya.
Hadits ini muttafaq ’alaih. Dan keadaan yang menyertainya termasuk sesuatu yang menjadi pertimbangan dianggap atau tidaknya penghalang ini.
B.                 Al Khotho’ Fit Ta’wiil (salah mentakwilkan): Takwil adalah meletakan dalil tidak pada tempatnya berdasarkan ijtihad atau syubhat yang muncul dari ketidak fahaman terhadap maksud nash. Lalu ia melakukan perbuatan kafir sedangkan dia tidak menganggapnya kafir dan beralasan dengan dalil yang ia salah dalam memahahmi maknanya. Maka Al Khotho’ (salah, tidak sengaja) seperti ini menjadikan tidak terpenuhinya syarat “sengaja.” Sehingga kesalahan dalam mentakwilkan menjadi penghalang untuk mengkafirkan dirinya. Namun jika telah disampaikan hujjah dan diterangkan kepadanya dan ia tetap dalam perbuatannya maka ia ketika itu kafir. Dan dalilnya adalah kejadian Qudaamah bin Madz’uun –-- dan telah kusebutkan pada peringatan penting dalam catatanku terhadap aqidah Thohaawiyah –-- di dalamnya disebutkan bahwa Qudaamah menghalalkan khomer –-- sedangkan mengahalalkan khomer adalah kafir --– ia berdalil dengan firman Alloh:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
 Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan. (QS.Al Maa-idah:93)
ia berhujjah dihadapan ‘Umar dengan menggunakan dalil ini ketika ia mau melaksanakan hukum had. Pada maslah ini Ibnu Taimiyyah mengatakan:  “.. atau ia salah, ia mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dikecualikan dari pengharaman khomer, sebagaimana keslahan orang-orang yang dilakukan istitaabah  (disuruh taubat) oleh ‘Umar, dan orang-orang semacam mereka. Mereka dilakukan istitaabah (disuruh taubat) dan disampaikan hujjah kepada mereka lalu, jika mereka tetap dalam pendapat mereka, ketika itu mereka kafir. Dan mereka tidak divonis kafir sebelum dilakukan itu semua, sebagaiman para sahabat tidak mengkafirkan Qudaamah bin Madz’uun dan sahabat-sahabatnya karena mereka salah dalam mentakwilkan.” Majmuu’ Fataawaa VII / 610. Peristiwa ini menunjukan bahwa kesalahan dalam mentakwilakan adalah, penghalang kekafiran atas ijma’ para sahabat. Sebagaimana hal itu juga masuk dalam keumuman ayat;
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS.Al Ahzaab: 5)
Namun demikian tidak semua kesalahan dalam mentakwilkan dianggap sebagai ‘udz-r secar syar’iy  dari pengkafiran;
Kesalahan dalam mentakawilkan yang diterima sebagai ‘udz-r adalah takwil yang timbul dari melihat dalil syar’iy namun dia salah dalam memahaminya .
Sedangkan kesalahan takwil yang tidak dianggap sebagai ‘udz-r adalah yang timbul dari pemikiran belaka dan hawa nafsu tanpa menyandarkannya kepada dalil syar’iy.
Sebagaimana penolakan iblis untuk sujud kepada Adam dan berhujjah bahwa dia;
أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين
Aku lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan Adam dari tanah.
Ini hanyalah pemikiran. Dan sebagaimana pentakwila-pentakwilan   Al Baathiniyyah yang menggugurkan kewajiban-kewajiban syar’iy, sesungguhnya ini hanyalah hawa nafsu.
Dan dalam semua keadaan, kesalahan dalam mentakwilkan sebagai penghalang-penghalang kekafiran akan menjadi gugur setelah disampaikannya hujjah kepadanya.
C.                 Penghalang yang berupa Al Jahlu (kebodohan); seperti seorang mukallaf  melakukan kekafiran sedangkan dia tidak tahu kalau itu adalah kekafiran, maka kebodohannya –-- jika syah --– menghalanginya untuk dikafirkan, dan dalilnya adalah firman Alloh:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dan Kami tidak akan meng`azab sampai Kami mengutus seorang Rosul. (QS. Al Isroo’:15).
Maka tidak ada adzab baik di dunia maupun di akherat kecuali setelah sampainya ilmu. Dan pembahasan ini sudah berlalu pada bab VI dalam buku ini, di sana saya terangkan  bahwa kebodohan yang syah dianggap sebagai ‘udz-r dan penghalang vonis kafir adalah kebodohan yang tidak memungkinkan bagi seorang mukallaf untuk untuk menghilangkanya baik disebabkan oleh sebab-sebab yang ada pada dirinya atau sebab-sebab yang ada pada sumber ilmu sendiri. Jika ia mampu untuk belajar dan menhilangkan kebodohan pada dirinya namun ia meremehkannya maka dia tidak diterima ‘udz-r kebodohannya dan dia secara hukum dianggap orang yang tahu --- sebagaiman hukumnya orang yang tahu --- meskipun pada hakekatnya tidak tahu.
D.                Penghalang yang berupa al ikrooh (dipaksa): kebalikannya adalah sebagai syarat hendaknya seorang mukallaf itu suka rela dalam mengerjakan perbuatannya. Dan dalil yang menunjukan bahwa ikrooh itu merupakan penghalang vonis kafir adalah firman Alloh:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
Barangsiapa yang kafir kepada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), (QS.An Nah-l: 106)
dan disyaratkan untuk syahnya keterpaksaan berbuat kafur, sebagai penghalang vonis kafir hendaknya ada ancaman untuk dibunuh atau dipotong anggota tubuhnya atau akan disiksa dengan siksaan yang keras terhadap mukallaf tersebut, ini adalah pendapat mayoritas ulama’ dan inilah pendapat yang kuat. Dan akan dibahas tentang ikrooh dengan agak terperinci pada akhir pembahasan insya Alloh.
-      Mabuk yang mengakibatkan hilangnya akal; diterimanya sebagai penghalang di perselisihkan Ibnul Qoyyim menganggapnya sebagai penghalang dan ini adalah pendapat madzhab Hanafiy yang bartentangan dengan pendapat yang roojih (kuat) menurut madzhab Hambaliy dan Asy Syaafi’iy yaitu syahnya kemurtadan yang dilakukan oleh orang yang mabuk. A’laamul Muwaqqi’iin III/ 25, lihat Kasy-syaaful Qonaa’ tulisan Al Bahuutiy VI / 176 dan Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir X /109.
-      Mengucapkan kata-kata kafir karena menyampaikan perkataan orang lain: seperti orang yang membacakan perkataan orang-orang kafir yang Alloh ceritakan kepada kita dalam Al  Qur’an padahal Alloh telah memerintahkan kita untuk membacanya, dan seperti cerita yang disampaikan oleh orang yang menyampaikan kesaksiannya kepada hakim atas perkataan kafir yang ia dengar, dan seperti menceritakan pendapat orang-orang kafir untuk menerangkan kerusakannya dan membantahnya. Ini semua diperbolehkan atau di wajibkan, dan orang yang mengucapkan nya tidaklah kafit. Lihat Al Fishol tulisan Ibnu Hazm III / 25. oleh karena itu orang yang menceritakan kekafiran tidak dikatakan kafir. Dan di sini ada perincian penting; barang siapa yang bercerita tentang kekafiran dengan alasan yang syar’iy  sebagimana dalam contoh di atas maka dia tidak apa-apa. Namun barang siapa bercerita dengan menganggapnya baik dan rela terhadap apa yang ia ceritakan tersebut maka dia kafir. Dan keadaannya yang menyertainya akan berperan dalam membedakan keadaan-keadaan tersebut. Dan dalam menerangkan perincian ini Al Qoodliy ‘Iyaadl mengatakan: “Orang tersebut menceritakan orang lain, maka orang semacam ini dilihat cara dia menceritakannya dan keadaan pembicaraan yang menyertainya, dan hal itu berbeda-beda sesuai dengan keadaannya menjadi empat macam hukum, yaitu wajib, sunnah, makruh dan haram.” Kemudian contoh masing-masing hukum tersebut, kajilah dalam Asy Syifaa II/997-1003. dan perincian ini juga di sebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrohim dalam Majmuu’ Fataawaa nya XII/196-197, yang di kumpulkan  oleh Muhammad bin ‘Abdur Rohmaan bin Qoosim.
Dan bermain-main; Meskipun (bermain-main) ini terhitung sebagai penghalang muktasabah (yang diusahakan) namun ia bukanlah termasuk penghalang kekafiran berdasarkan kesepakatan para ulama’.
Dan jika kami telah menyebutkan syarat-syarat takfiir yang berkaitan dengan mukallaf yaitu; baligh, berakal, tahu, sengaja dan sukarela, maka sesusungguhnya penghalang penghalang yang tersebut tadi masing masing menggugurkan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat takfiir tersebut :
-          Baligh sebagai syarat yang menggugurkan masih kecil sebagai penghalang.
-          Dan akal sebagai syarat yang menggugurkan gila, dungu dan mabuk sempurna sebagai penghalang.
-          Dan ilmu sebagai syarat yang menggugurkan kebodohan yang di terima sebagai penghalang.
-           Dan kesengajaan yaitu niat sebagai syarat yang menggugurkan ketidak sengajaan (kesalahan) dalam berbicara atau dalam mentakwilkan dan bercerita tentang kekafiran sebagai penghalang.
-          Dan sukarela sebagai syarat yang menggugurkan keterpaksaan sebagai penghalang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar