Senin, 30 Agustus 2010

Lanjutan Serial Thaifah Al-Manshuroh ( III )

Bab III
Kesalahpahaman Seputar Definisi Tha'ifah Manshurah


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulillahi wassholatu wa salaamu ‘ala rosulillah wa’ala alihi washohbihi waman tabi’ahum bil ikhsan ila yaumil qiyamah amma ba’du.
Pada taushiyah kita tentang At-Tha'ifah Al-Manshurah I, kita telah mendapatkan penjelasan dan keterangan secara jelas dan gamblang, bahwa diantara sifat utama, bagi At-Tha'ifah Al-Manshurah adalah qital, hal ini berdasarkan puluhan hadits antara lain :
KHOT ARAB
Artinya:  “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang membela kebenaran dengan mendapat pertolongan Allah, hingga hari kiamat...” (H.R. Imam Muslim).
Marilah kita dengan Bismillah Tawakkalna ‘Alallah kita sambung lagi pembahasan kita mengenai siapakah At-Tha'ifah Al Manshurah dan apa saja sifat-sifat dan ciri-cirinya yang lain.

1.                  At-Tha'ifah Al Manshurah adalah Ahlul Hadits.
Kalau kita rujuk kepada pendapat Al-A’Immatul Hudaat (para imam yang mendapatkan petunjuk), seperti Imam Abdullah bin Al-Mubarak, Imam Ali bin Al Madinii, Imam Yahya bin Mu’in, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Imam Muslim bin Al-Hajjaj rodhiyalloohu anhum wa rahimahullahu ajma’iin. Tatkala mereka ditanya tentang siapakah At-Tha'ifah  Al-Manshurah, maka dengan tegas mereka menjawab, bahwa At-Tha'ifah Al Manshurah, adalah Ahlul Hadits.
Sekarang yang perlu kita tanyakan, benar atau salahkah pendapat para imam tersebut? Sebab manusia biasa tidak ma’shum, bisa benar bisa juga salah pendapatnya. Tetapi meskipun para imam itu manusia biasa, mereka adalah sebagai pelita-pelita petunjuk, selama tidak ada dalil yang sharih atau jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang bisa kita rujuk kepadanya, atau selama pendapat mereka tidak bertentangan dengan sunnah, maka pendapat merekalah yang paling berhak kita ikuti, karena mereka adalah Ahlus-Sunnah  dan Ahlul Haq bukan Ahlul Bid’ah, Ahlul Ahwa’ dan Ahludh-Dholal.
Oleh karena itu kita tidak mendapatkan keterangan secara jelas baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kelompok manakah yang disebut At-Tha'ifah  Al-Manshurah itu, maka sudah seharusnya dan seyogyanya bagi kita mengikuti pendapat para Imam-Imam yang besar itu dan kita meyakini seyakin-yakinnya bahwa pendapat mereka adalah benar dalam masalah ini.
Mereka telah menunjukkan kepada kita kandungan dan maksud hadits-hadits diatas, dan jelas bahwa ahlul hadits adalah merupakan penduduk bumi yang terbaik sepanjang zaman, merekalah manusia yang paling selamat, melalui  merekalah Allah Ta’ala memelihara dan menjaga dien-Nya, manhaj merekalah yang paling mendapat petunjuk dan paling mengikuti sebaik-baik abad (kurun waktu) yang disaksikan oleh Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, akan kebaikannya dalam sabdanya (Khot arab, Khoironnaasi qornin).
Artinya : “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup-ed), pada abadku” (H.R Muslim).
Seterusnya yang penting sekali diketahui, siapakah atau kelompok yang bagaimana? Yang diistilahkan oleh para Imam-Imam yang mulia sebagai Ahlul Hadits itu? Jangan sampai salah terka dan keliru, saya ingatkan sekali lagi maksud bait syair Arab itu,
Semua mengaku kekasih Laila.
Sementara si Laila tidak menaruh cinta sedikitpun pada mereka.
Semuanya menyebut dirinya Ahlul Hadits, sedangkan Ahlul Hadits berlepas diri dari mereka.
Nah siapakah Ahlul Hadits itu?
Pada masa kini banyak orang yang salah dalam memahami istilah “Ahlul Hadits” –Kecuali yang dirahmati Allah- mereka menyangka bahwa Ahlul Hadits adalah seseorang atau sekelompok atau golongan yang memiliki keahlian dalam ilmu hadits (pakar hadits), yang kesibukannya menghafal hadits, mengumpulkan hadits, mentahqiq hadits, mentakhrij hadits, dan sebagainya.
Jika seandainya setiap orang yang ahli dan pakar dalam ilmu hadits, menghimpun, mempelajari, mentahqiq dan mentakhrij hadits, termasuk “Ahlul Hadits”, niscaya istilah yang mulia ini akan tercoreng wibawa dan kehormatannya, sebab tidak sedikit orang-orang yang mempunyai kepakaran dan keahlian dalam bidang ilmu ini, tetapi melakukan syirik, kufur, menganggap baik terhadap amalan-amalan ibadah kepada selain Allah, seperti ibadah kepada kuburan, jin, istighotsah, (meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati), menganggap baik menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan dikatakannya merupakan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah, dan masih banyak lagi amalan-amalan syirik, bid’ah, takhayul, khurafat dan sebagainya, yang dilakukannya. Adapula yang menjadi pegawai, thaghut, menjadi hakim diatas hukum jahiliyah (Al-Yasiq modern), masuk dalam partai sekuler kafir, berwala’ kepada murtaddin dan musuh-musuh Islam, dan sebagainya. Dan ada juga yang menggeluti dalam bidang ini, tapi dalam waktu yang sama menobatkan dirinya sebagai imam sufi yang dengan terang-terangan melakukan berbagai bid’ah dan kemungkaran.
Agar supaya lebih yakin, kita ambil contoh, misalnya :
Asy-Syaikh Yusuf An-Nabhani, ia salah seorang yang masyhur, pakar dalam bidang ilmu hadits, karyanya bisa dilihat di perpustakaan-perpustakaan bahasa Arab. Ia telah menghimpun, mentertibkan, dan membuat kode-kode, catatan-catatan terhadap buku hadits karya Imam As-Suyuthi "Ziyadatul Jami’ Ash-Shoghir ilal Jami’ Ash-Shoghir”, yang sangat memuaskan bagi para pembaca.  buku tersebut ia namakan “Al Fathul Kabir fie Dhammi Az-Ziyadatul Jami Ash-Shoghir”, sungguh merupakan amal yang sangat terpuj dalam bidang ini, akan tetapi malangnya, syaikh ini dalam masa yang sama juga menulis buku-buku yang isinya bertentangan dengan As-Sunnah, misalnya memandang baik beribadah kepada selain Allah, beribadah  kepada kubur, istighotsah kepada orang mati dan sebagainya.
Salah satu bukunya yang berjudul Al-Jami’ Karomatil Auliya’ (Hmpunan Karomah-Karomah Para Wali), isinya penuh dengan bid’ah takhayul dan khurafat, dan syaikh ini bekerja di instansi kehakiman Al-Yasiq di Lebanon. Disamping itu ia tidak henti-hentinya mencela para muwahiddin (orang-orang yang tauhidnya benar) dan berlepas diri dari mereka, Nah apakah orang  yang seperti ini layak sebagai Ahlul Hadits, atau sebagai At-Tha'ifah  Al Manshurah???
Ada contoh lain yang lebih hebat dan lebih masyhur dari Yusuf Nabhani, yaitu, Al Ghimariyyun (keluarga Al-Ghimary) kakak beradiknya hampir semuanya pakar dalam bidang hadits (mereka adalah, Ahmad Shidiq Al-Ghimari, Abdullah Al-Ghimari, dan Abdul Aziz Al-Ghimari). Mereka sangat luar biasa kesungguhan dan khidmatnya dalam bidang ini, karya-karya Ahmad Shidiq Al-Ghimari antara lain Hidayatu Rusydi fi Takhriji Ahadits Ibnu Rusyd, dua jilid, Mustakhraj ‘ala Musnad Syihab, Mustakhraj ‘ala Syamail Al Muhammadiyah, akan tetapi Ahmad Shiddiq termasuk golongan Ghullatus Sufi (Sufi yang melampaui batas), meyakini Wihdatul Wujud (Manunggalnya hamba dengan Allah), dan mengeluarkan tulisan dalam masalah ini. Ia juga termasuk seorang Rafidhi yang buruk, yang menjuluki Ahlus-Sunnah dengan julukan-julukan yang jelek, Adapun Abdullah bin Shiddiq Al Ghimari, (sudah wafat), kehebatannya terletak dalam ilmu Rijalul Hadits, banyak karya-karyanya, bahkan konon ada hal-hal baru dalam bidang ini yang belum ditemukan sebelumnya terungkap olehnya. Namun demikian, ia menganggap baik membangun masjid diatas kubur, serta memandangnya sebagai bentuk ibadah dan qurbah.
Dan ada juga seorang syaikh yang kepakaran dan keahliannya tidak kurang daripada mereka, dalam bidang ini bernama Muhammad Zahid Al Kautsari, tetapi tidak jauh perbuatannya daripada yang telah disebutkan sebelumnya bahkan yang satu ini, lisannya tidak terhindar dari penghinaan dan celaan terhadap Imam-Imam yang tsiqqah seperti : Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan anak beliau Abdullah bin Ahmad, Imam Al Bukhari, dan lain-lain  rahimahumullahu ajma’in, termasuk juga Imam Malik rahimahullahu ajma’in, tidak terhindar dari celaan bahkan sebagian sahabat radhiyallohu anhum , pun terkena sasaran celaannya, semua ini ia lakukan, disebabkan karena ta’ashubnya kepada madzhab dan dengkinya terhadap Ahlus-Sunnah dan Ahlut-Tauhid.
Sebagian contoh tersebut dan masih banyak lagi contoh-contoh lain, menunjukkan kepada kita, bahwa yang dimaksudkan oleh Imam-Imam yang besar, lagi mulia bahwasanya At-Tha'ifah Al-Manshurah adalah ahlul hadits, berarti bukan orang yang ahli atau pakar dalam bidang ilmu hadits, akan tetapi mempunyai maksud lain.
Dengan demikian maka seseorang atau jama’ah atau golongan atau kelompok tidak bisa disebut sebagai ahul hadits, dan tidak juga sebagai At-Tha'ifah  Al-Manshurah, jika mereka menjadi pekerja dan kaki tangan Thaghut, yang diantara tugasnya memutar balikkan syari’at Allah demi kepentingan pimpinannya, tidak pula orang-orang yang memperdagangkan hadits-hadits Nabi sholalloohu alaihi wa sallam, demi maslahat perutnya dan tidak pula para umala’ (sindiran penulis pada ulama’ yang bekerja untuk uang) yang menjadi mata-mata yang kerjanya memata-matai, para dai dan mujahidin untuk kepentingan musuh-musuh Islam.
Ahlul Hadits bukan mereka, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al Bukhari, Imam Muslim dan Imam-Imam Ahlus-Sunnah yang lain bara’ dan berlepas diri dari mereka. dan demi Allah, sesungguhnya, termasuk kedzaliman jika kita menjadikan orang-orang mujrim (pendosa) sebagai Ahlul Hadits. Kalau begitu siapakah mereka ahlul hadits itu?
Pada zaman sekarang ini, zaman dimana cara dan metodologi dalam memahami, Islam sangat beragam, ada yang memahami Islam melalui prinsip ajaran sufi, yang diimpor dari India dan Yunani Kuno, ada yang melalui aliran filsafat Aristotelian, ada yang berangkat dari sosialisme hasil pemikiran Karl Marx, Lenin dan Stalin, ada juga yang bertitik tolak dari faham Sekuler dan Demokrasi ala barat, dan ada juga yang tidak sedikit memahami yang Islam tetapi demi maslahat dan kepentingan duniawinya, sehingga Islam hanya, dijadikan sebagai platform, dan kuda tunggangannya, untuk memuaskan hawa nafsunya dan sebagainya.
Ketika seseorang membaca buku-buku dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh akal dan hawa nafsu manusia, maka seorang muslim yang mengikuti sunnah akan merasakan besar dan tingginya nilai manhaj Ahlul Hadits, serta cara dan metodologi mereka dalam memahami dienullah.
Setelah orang-orang ajam, (asing non arab), banyak yang masuk Islam, yang mana diantara mereka ada orang-orang yang tidak menghayati hakikat dienul Islam, yang masih membawa kejahiliyahan yang diwarisi dari kaumnya, lalu mereka dengan pesepsi jahiliyahnya, dan fikiran sesatnya mulai berbicara, tentang Islam, tentang konsepsi ketuhanan, dan hubungan manusia dengannya. Berbicara tentang risalah, Nabi Muhammad sholalloohu alaihi wa sallam dan aqidah-aqidahnya, dan tidak ketinggalan juga berbicara dalam masalah fiqh dan tasyri’ (pembuatan undang-undang).
Maka dengan demikian akhirnya dalam hal yang berhubungan dengan tauhid, masalah tashawwur (pemahaman, pemikiran, dan ide) dan tentang ketuhanan manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu Al Mu’tazilah Al Mutakallimin [1] dalam fiqih dan tasyri’ terbagi dalam Al Zhahiriyah dan Ahlul Ra’yi[2], dan dalam hal suluk (etika dan perilaku) dan tarbiyah, terbagi kepada Sufi dan Zanadiqoh[3]
Dan beragamnya madzhab-madzhab seperti syiah dan khawarij, membuat campur baurnya pemahaman aqidah dengan persepsi dan konsepsi politik, yang mana percampuran yang bermacam-macam yang saling berlawanan, dan berbenturan antara satu dengan yang lain menjadikan masyarakat Islam terombang-ambing tidak mengenali yang haq sesuai dengan sunnah, akhirnya  mereka menjadi santapan lahap bagi golongan-golongan yang mengaku dari mereka paling benar dari segi pemahaman diennya dan jalan yang ditempuhnya.
Tetapi dalam keadaan yang kacau balau dan penuh dengan kerancuan dalam memahami ad-dien ini, tetap tersisa Ahlul haq, yang berada diatas kebenaran, mempunyai persepsi, konsepsi dan pemahaman yang jelas, manhajnya selamat, dan terhindar dari segala bentuk bid’ah dan ahwa’ mereka mengikuti petunjuk pertama yang pernah dipegangi dan dipraktekan oleh para sahabat radhiyallohu anhum  ajma’in mereka itulah orang-orang yang memenuhi haknya, mereka berbeda daripada yang lain, mereka pasrah sepenuhnya kepada nash-nash yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan tidak menentang maupun menyelisihi nash-nash itu sedikitpun, baik dengan akal dan fikirannya, maupun dengan qoidah-qoidah dan ketentuan yang mereka ciptakan, jika mereka hendak mengetahui sesuatu yang hukumnya tidak mereka ketahui, mereka kembali kepada nash sehingga mendapatkannya, dengan demikian mereka tetap diatas kebenaran, mereka inilah yang disebut ahlul hadits.
Ahlul hadits dalam masalah fiqih tidak sama atau bertentangan dengan ahlul ra’yi dan Zhahiriyah, Ahlul ra’yi bertingkat-tingkat ditinjau dari segi sikap mereka terhadap hadits, demikian pula zhahiriyah, ahul ra’yi mempergunakan sebagian nash-nash yang mereka anggap shahih, atau kepada sebagian qoidah-qoidah yang dibentuk dari beberapa nash yang mereka anggap sesuai dengan maksud mereka, lalu qoidah-qoidah itu mereka jadikansebagai ushul dan manhaj yang mana nash-nash yang lain dikembalikan kepadanya, ada beberapa contoh dibawah ini yang mewakili mereka dari yang terdahulu maupun yang sekarang.
Contoh yang terdahulu,  Telah menjadi pegangan yang kuat bagi Ahlul Ra’yi, bahwa Islam datang untuk mengagungkan dan meninggikan derajat manusia diatas makhluk yang lain. dengan demikian berarti manusia lebih agung dan lebih mulia dari binatang. Dalam hadits mengenai pembagian ghanimah, dinyatakan bahwa satu orang dari pasukan infantri  (jalan kaki), mendapatkan satu saham, sedang yang kavaleri, (penunggang kuda), mendapatkan tiga saham, pembagian ini secara lahir yang dua saham adalah untuk kudanya.
Ahlul ra’yi menolak hadits ini karena menurut pikirannya bertentangan dengan qoidah syari’at, yaitu manusia lebih mulia daripada binatang, maka tidak betul pembagian tersebut, kuda mendapat dua saham, sedangkan manusia hanya mendapatkan satu saham, maka menurut mereka pembagian yang paling patut adalah, penunggang kuda dua saham, dan pejalan kaki satu saham, dengan demikian masing-masing mendapat satu saham, manusia mendapat satu, binatang pun mendapat satu, sehingga tidak menyalahi qoidah. Beginilah pemikiran ahlul ra’yi.
Sebenarnya contoh-contoh dalam masalah ini banyak sekali yaitu tentang sikap Ahlul Ra’yi terhadap hadits dan sunnah, kemudian yang perlu diketahui bahwa ketika, kita membicarakan ahlul ra’yi, tidak kita tujukan kepada kelompok tertentu, ada mungkin yang beranggapan bahwa yang kita maksud ahlul ra’yi itu berarti Madzhab Hanafi, anggapan ini salah, sebab pengikut-pengikut Imam Abu Hanifah rahimahullahu ajma’in, dengan manhaj mereka telah menjadikan istilah tersebut sebagai sesuatu yang positif , tidak sebagaimana yang kita maksudkan secara persis, dan mereka pun berhak demikian, akan tetapi selain merekapun ada bagian dalam hal ini misalnya sebagian orang-orang yang bermadzhab Maliki menolak hadits karena, bertentangan dengan Madzhab penduduk Madinah, semua ini berarti menggunakan dan mengikuti ra’yu tentang nash.
Tetapi dalam hal ini, ada juga bentuk lain, orang yang menolak syari’at karena zindiq (kufur), bukan karena takwil yang ma’dzur, misalnya seperti Ibnu Ar-Rawandi, seorang zindiq yang masyhur. Oleh karena itu, golongan Ahlul Ra’yi , tidak bisa disamakan kedudukannya dalam satu martabat, sebab ada yang melakukannya karena takwil dan kesalahan atau kekeliruan yang bisa dimaafkan, dan ada yang karena zindiq dan kufur sehingga menolak syari’at Allah Ta’ala.
Contoh pada masa kini : Banyak orang pada masa kini yang dibilang sebagai ulama’ atau cendekiawan, muslim dalam masalah khilaf, (perselisihan) dan tarjih (mengutamakan pendapat yang lebih disukai dianggap kuat), mempunyai prinsip sebagai berikut, misalnya : Kami memilih pendapat yang ini, karena pendapat ini sesuai dengan kondisi dan situasi atau kami mengikuti yang itu saja karena lebih sesuai dengan ushul syari’at, atau pendapat ini yang paling dekat dengan ruh syari’at. Sikap mentarjih seperti ini menurut pengikut sunnah jelas-jelas bertentangan dengan nash yang shahih, yang khas yang membicarakan masalah-masalah yang diperselisihkan tersebut, maka seorang faqih yang mengatakan bahwa qoul (pendapat), yang memandang bahwasanya zakat sayur-mayur adalah betul karena sesuai dengan situasi dan kondisi atau karena lebih bermanfaat bagi yang lain, menurut bahasa mereka, dan ia mengetahui bahwa zakat sayur-mayur telah disebutkan dalam hadits shahih. Akan tetapi ia tidak melihat adanya nash yang ada dan tidak menekankan dalam mentarjih pendapat lain, ia mengaku atau menyangka bahwa masalah-masalah yang telah diperselisihkan oleh ulama’ yang terdahulu berarti bebas bagi seorang muslim atau seorang faqih untuk memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut tanpa merasa salah dan berdosa dalam menyelisihi nash yang shahih, contoh yang paling jelas dalam masalah ini adalah kitab yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhammad Al-Ghozali di Mesir, sekarang masih hidup, (Ingat bukan Hamid Al-Ghozali (Imam al-Ghazali) penulis kitab Ihya’ Ulumuddin), judul kitabnya “As-Sunnah An-Nabawiyah baina Ahlil Fiqih wa Ahlil Hadits” buku ini disamping penuh dengan muatan contoh tersebut terkandung juga di dalamnya tuduhan terhadap ahlul hadits bahwa mereka sempit pikirannya dan picik pandangannya dibandingkan dengan ahlul ra’yi masa kini. -Astaghfirullah-.
Seribu satu contoh pendapat ahlur ra’yi masa kini yang bertentangan dengan nash, tetapi karena yang kita bicarakan sekarang adalah manhajnya yaitu manhaj pemahaman dan analisa masalah (minhajul fahmi wa ta’dil), bukan hasil dari manhaj tersebut maka kurang tepat  kalau kita paparkan seluruh contoh-ontoh pendapat tersebut tetapi tidak apalah disini diberikan beberapa contoh agar kita lebih waspada.
1)                                          Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, sebagian orang memberikan gelar Asy-Syaikh Al Faqih Al Mujaddid, Al Imam Al Hujjah, Khotimul Muhaqqiqin, Ayatullah fi Kholqihi dan sebagainya, ia salah satu diantara ulama’ istana Syiria, ia memberikan gelar kepada Hafidz Asad (Presiden Syiria) dengan gelaran : Ar-Ro’isul Mu’min Amirul Ummah fi Haadzaz-Zaman. Diantara pendapatnya yang bertentangan dengan nash bahwa orang yang murtad tidak terkena hukum had, jika tidak melawan pemerintah dan seterusnya.
2)                                          Muhammad Al-Ghozali, banyak pendapatnya yang sesat lagi menyesatkan, misalnya ia sinis dengan hadits Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, : Khot Arab “Tidak akan mencapai kebahagiaan atau kemenangan suatu kaum yang memperwalikan urusan mereka kepada perempuan/menjadikan seorang perempuan menjadi pemimpinnya”. Ia mengatakan  : “Bagaimana kita bisa mengedepankan Islam kepada orang-orang Inggris, sedang dalam Islam ada hadits seperti ini, padahal kenyataannya orang Inggris bisa mencapai sebagian keinginan-keinginan mereka dibawah pimpinan Margaret Tatcher”. Dan lain-lainnya.
3)                                          Yusuf Al Qordhowy, menurut yang saya ketahui lebih banyak lagi nyelenehnya, sebenarnya saya pernah menulis buku / risalah yang berjudul “Syubuhat-Syubuhat dan Kesesatan Al-Qordhowy”. Data-datanya kami ambil dari majalah At-Tauhid yang terbit di Pakistan dari buku-bukunya, ceramah-ceramahnya dan tulisan-tulisannya yang banyak terdapat di internet. Diantara pendapatnya bahwa orang Nasrani  adalah ikhwan kita, Ahludz-Dzimmah tidak berlaku lagi (khususnya di Mesir), sebab ahlul kitab ikut serta mempertahankan negara, ia juga mengatakan bahwa Islam mengandung, memahami dan mengambil demokrasi dengan segala penjelmaan dan penampilannya dan lain-lain.
4)                                          Dan lain sebagainya berserakan di mana-mana.
 Penolakan nash seperti ini, kira-kira termasuk ta’wil ma’dzur sebagaiman yang terjadi pada madzhab Hanafi dan Maliki dan sebagainya, ataukah lebih dekat dengan zindiq seperti Ar-Rawandhi..???
Saya tidak tahu seandainya orang-orang seperti ini dan banyak lagi yang lebih melampaui batas, berdiri di depan Umar bin Al Khattab radhiyallohu anhum , atau berdiri di depan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ajma’in, atau Imam-Imam Ahlus-Sunnah yang lain, kira-kira akan dihukum apa?
Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu ajma’in pernah menyatakan, (yang dicatat oleh Imam As-Suyuthi dalam bukunya “Shaunul Manthiq wal Kalam”), kata beliau : “Hukumku terhadap ahlul kalam ialah mereka dipukul dengan pelepah kurma, dan dibawa diatas unta, lalu dikelilingkan dan diarak di kampung-kampung, di kabilah-kabilah dan penduduk diseru agar keluar untuk menyaksikan dan dikatakan kepada mereka, “Inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dengan mengikuti kalam (logika)[4]
Imam Al –Bukhari telah meriwayatkan dalam risalahnya “Sanggahan Terhadap Jahmiyah” Dari Habib bin Abi Habib berkata, “Bahwa aku telah menyaksikan Kholid bin Abdullah Al-Qusari di Wasith pada hari raya Idul Adha berkhutbah dan berkata : “(Wahai sekalian kaum muslim) pulanglah kalian dan berkorbanlah, semoga Allah menerima amal kalian, maka sesungguhnya aku akan menyembelih Al Ja’ad bin Dirham, ia mengaku bahwa Allah tidak menjadikan Nabi Ibrahim sebagai Kholil-Nya dan tidak berbicara dengan Nabi-Nya dan tidak berbicara dengan Nabi Musa a.s Maha Tinggi Allah dari apa yang diperkatakan oleh Al Ja’ad bin Dirham”, Lalu  kemudian beliau turun dan menyembelihnya”.
Seluruh Imam-Imam Ahlus-Sunnah memuji perbuatan Asy-Syaikh Al-Qusary (menyembelih Al-Ja’ad). Ibnul Qoyyim rahimahullahu ajma’in dalam kumpulan syairnya yang disebut Nuniyah, karena semuanya diakhiri dengan huruf  Nun (Huruf Nun arab) dalam salah satu bait syairnya mengatakan sebagai berikut :
Khot Arab”.
Maksudnya kurang lebih adalah sebagai berikut :
Seluruh Ahlus-Sunnah berterimakasih dengan penyembelihan itu.
Pengorbanan dari akhi akan senantiasa mendapat cucuran pahala dari Allah.
Saudaraku ! Al-Ja’ad bin Dirham disembelih karenah bid’ahnya yaitu menafikkan sifat Khullah dan Kalam Allah, demikian juga Jahm bin Sofyan dibunuh karena menafikan sifat Allah diantaranya juga Khullah, ia tidak maknakan Khullah sebagai khullah (cinta, kasih), akan tetapi ia maksudkan hajat seseorang kepada Tuhan-Nya. Kalau demikian apa bedanya muslim dengan kafir, semua orang berhajat (mengharapkan kebutuhannya terpenuhi-ed) kepada Tuhan-Nya, tetapi Khullah hanya untuk mukmin saja. Inilah yang disebut aqidah ta’thil yang juga diwarisi oleh Asya’irah, hanya bedanya Asya’irah menisbatkan sifat-sifat itu kepada Allah, akan tetapi membebaskan atau melepaskan dari hakekatnya dengan mentakwil, misalnya mereka menisbahkan sifat Al-Mahabbah kepada Allah, tetapi tidak dimaksudkan cinta atau kasih, mereka tafsirkan dengan kehendak baik dari Allah untuk manusia.
Jika kita bandingkan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ja’ad bin Dirham dengan bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh ahlul bid’ah pada masa kini tidak ada seperseribunya. Ahlul bid’ah sekarang mengatakan antara lain, Islam yang dipraktekkan Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, di Madinah tidak sesuai untuk zaman sekarang. Kaum muslimin tidak perlu melaksanakan syariat Islam, warisan penjajah dan nenek moyang sudah cukup, pancasila adalah final, hukum hudud tidak sesuai, semua agama sama, semua pemeluk bersaudara, dan lain sebagainya. Ahlul bid’ah sekarang kebanyakannya menjilat thaghut bahkan bersahabat dan komproi serta bekerja sama dengan musuh-musuh Islam. Ahlul bid’ah dulu misalnya Jahm bin Sofwan tegar dan berani menyatakan kebenaran di hadapan thaghut, dan tida sedikit yang ikut pergi berperang melawan musuh-musuh Islam seperti Salibis dan sebagainya.
Kembali kepada masalah yang kita bicarakan yaitu, Ahlur ra’yi pada masa kini, kita soroti sejenak Jama’ah Al Ikhwan Al Muslimin, kita tidak perlu membicarakan Ahlur Ra’yi, dari kalangan sekuler yang sudah jelas-jelas kufur. Kebanyakan orang-orang yang dikatakan ahli fiqih dalam jama’ah Ikhwanil Muslimin mereka adalah Al-Ara’iyyun (Ahlur Ra’yi), maksudnya mereka tidak mencari petunjuk hadits dan sunnah dalam setiap masalah, kebanyakan anggota jama’ah ini tidak ambil berat (menekankan-ed), terhadap hadits-hadits dan nash-nash, mereka ditarbiyah diatas pemahaman Islam secara syumul, maknanya antara lain adalah menyikapi qoidah secara umum bukan hukum khususu dalam setiap masalah. Sehingga terbentuk pada pikiran mereka hukum secara umum dalam setiap kejadian.
Misalnya Ahli fiqih dari kalangan mereka (Al-Ara’iyyun), ditanya tentang hukum seorang muslim yang membunuh orang kafir apakah ada qishash? Maka dengan serta merta mereka akan menjawab, hukumnya wajib di qishash, adapun dalilnya menurut mereka adalah yang telah Allah putuskan dalam Al-Qur’an (lihat Surat Al-Ma’idah (5) : 45), bahwa jiwa mesti dibalas dengan jiwa, sedangkan orang kafir adalah jiwa, maka pembunuhnya mesti di qishash, kemudian ada fiqih lain yang berpendapat tidak ada qishash berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa (4) ayat 141, bahwa Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Dalil yang digunakan oleh faqih yang pertama dan yang kedua sama-sama umumnya dan hasil hukumnya bertolak belakang, tetapi bisa disimpulkan bahwa hujjah kedua faqih tersebut dengan dalil yang masih bersifat umum bukan manhaj Ahul Hadits. Jadi manhaj yang betul seharusnya faqih tersebut mencari dulu dalil-dalil yang membicarakan tentang masalah khusus tersebut (seorang muslim membunuh orang kafir), untuk menentukan hukumnya. Sehingga jika ia tidak mendapatkan nash yang khusus baru kembali kepada yang bersifat umum.
Maka Ahlul Hadits dalam masalah ini bertentangan dengan Ahlul Ra’yi, maksudnya bertentangan dalam hal manhaj atau metode secara ilmiyah dalam menyikapi nash baik dalam pemahaman maupun dalam analisa masalah.
Karena Ahlul Hadits dalam memahami dan menganalisa setiap masalah memerulukandan sangat tergantung kepada nash, maka hal ini tentu menuntut mujahadah yang kuat dan masa yang lebih untuk mendapatkan nash-nash itu . justru arena inilah mereka memperoleh gelar istimewa (Ahlul hadits).
Namun demikian banyak yang menisbatkan diri sebagai ahlul hadit, tetapi mereka tidak memberikan perhatian khusus dalam bidang ilmu hadits dan tidak ahli dalam bidang ini bahkan sangat lemah, sebagai contoh misalnya seorang alim yang terkenal dengan gelaran khatib Ahlus-Sunnah yaitu Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri, bahkan digelari khatib Ahlus-Sunnah untuk menyaingi Al-Jahizh yang digelari khatib mu’tazilah, beliau salah seorang alim dari Ahlus-Sunnah dan beliau tidak memiliki kepakaran dalam bidang ilmu hadits, akan tetapi dalam memahami dan menganalisa masalah menyikapi nash diatas manhaj Ahlul hadits, maka beliau disebut ahlul hadits.
Sebaliknya banyak orang yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu hadits tetapi bid’ah dalam manhaj dan suluknya, misalnya, Imran bin Haththan, ia adalah seorang khawarij, bahkan termasuk gullat (melampaui batas). Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahihnya bahwa ia termasuk perawi yang shidiq dan adil dalam hadits (catatan : tidak ada halangan bagi khawarij untuk menjadi perawi hadits shahih asalkan ia jujur dan adil). Nah meskipun Imron bin Haththan seorang pakar hadits  tidak bisa disebut ahlul hadits atau Ath-Tha'ifah  Al Manshurah, sebab sebutan tersebut dimaksudkan dengannya, “Manhaj dan Pemahaman dan Analisa Masalah” bukan karena pakar dalam ilmu tersebut.
Sebelum kita mengakhiri pembahasan tentang penjelasan maksud hadits dalam masalah fiqih dan hukum. Kita perlu senantiasa menyebut-nyebut tokoh-tokoh dan imam-imam ahlul haditsdalam setiap zaman. Kali ini kita sebutkan Imam Asy-Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu ajma’in) dan jasa beliau dalam masalah ini, Ahlus-Sunnah dan Ahlul Hadits, sebelum kemunculan beliau tidak mampu menghadapi ahlul ra’yi dalam bermunadhoroh dan berdiskusi dengan mereka, karena pandainya ahlul ra’yi dalam berhujjah dengan menggunakan ilmu manthiq mereka, maka datanglah beliau dan menolong sunnah sehingga beliau digelari “Nashirussunnah” atau Nashirul Hadits (penolong sunnah atau penolong hadits), dan kitab beliau yang berjudul “Ar-Risalah” merupakan kitab yang agung dan sebagai batu pertama dalam mengembalikan nilai nash dan pentingnya berta’amul (berurusan) dengannya dan dari sela-selanya, bukan malah menjauh dari nash. Tapi sayang As-Syafi’iyah (orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Asy-Syafi’i rahimahullahu ajma’in), pada masa-masa akhir tidak mengikuti jejak langkah Imamnya. Pertama mereka mengikuti metode dan cara mutakallimin dalam hal ushul, kedua merka mengizinkan kepada salah seorang pengikut Madzhab Syafi’I dalam masalah fiqih yaitu Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (Abu Hamid) (wafat tahun 505 H) menjadikan mantiq Aristoteles sebagai salah satu sandaran dalam memahami Dienullah sebagaimana yang ia tulis dalam kitabnya “Al-Mustashfa fi Ilmil Ushul” buku ini merupakan salah satu rukun kitab-kitab ushul menurut mutakallimin, atau mereka menyebutnya kitab yang menzhalimi atau meyalahi metode dan cara Asy-Syafi’i (Imam Asy-Syafi’i).
Beberapa Petunjuk (rambu-rambu), Manhaj Menurut  Ahlul Hadits.
Sesungguhnya penyangga Manhaj Hadits berdiri tegak diatas penyerahan kepada nash yang ma’shum secara mutlaq, disamping itu ia merupakan manhaj yang mandiri dalam pemahaman dan analisa masalah.
Sebelum kita berbicara lebih jauh lagi tentang manhaj, thoriqoh, nafahim dan tashowwurat Ahlul Hadits, baiklah disini akan disampaikandan dijelaskan beberapa istilah yang biasa dipakai yang sangat perlu kita ketahui maksud dan kandunganya yang sebenarnya.
Aqidah. Sebenarnya istilah ini adalah istilah baru yang tidak terdapat dalam atsar, tidak ada yang lebih banyak mengait keuntungan dari istilah ini, selain ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ terutama madzhab Mutakallimin dalam pemahaman dan tashawwur. Sebab lafaz aqidah hanya menunjukkan kepada persepsi dan keyakinan bahwa tanpa disertai dengan harakah dan kehidupan atau amalan dan praktek-praktek dari sini muncul bermacam-macam bid’ah karena memisahkan keyakinan dengan amalan.
Misalnya dikatakan si Anu aqidahnya benar, betul dan salafiyah, kata-kata ini hanya menunjuk bahwa orang yang dimaksudkan adalah benar dan salaf dalam hal tashdiq dan makrifat (pembenaran dan pengetahuan) atau keyakinan dan pengenalan tanpa melihat dari sisi suluk (kelakuan) dan amalan. Sedangkan menurut ilmu yang benar, seseorang meskipun keyakinan dan makrifatnya benar tetapi tidak dipraktekkan dalam amalan dan kelakuan, orang yang seperti ini tidak dikatakan sebagai orang yang berada diatas petunjuk alias orang yang sesat.
Ada istilah lain yang bisa dipakai pada masa kini barang kali agak ada kemiripannya dengan istilah diatas yaitu fikrah atau pemikiran. Seseorang yang dikatakan bahwa fikrah dan pemikirannya bagus belum tentu ia baik dalam amalan dan kelakuan, artinya meskipun fikrah nya baik setinggi langit tetapi tidak dipraktekkan dalam amalan dan tingkah laku, orang tersebut tidak mendapat petunjuk dan sesat.
Kalau dalam dunia tasholalloohu alaihi wa sallamuf baik aqidah, ikrah maupun arif semua sama yaitu berkisar pada keyakinan, pemikiran dan pemahaman dan pengetahuan, tidak menyentuh kepada amalan dan praktek dalam kehidupan, maka tidaklah aneh jika dalam kehidupan harian kita, kita mendapati orang-orang yang konon aqidahnya shahih, fikrahnya bagus, berilmu pengetahuan , tetapi amal dan kelakuannya rusak, menyembah thaghut, masuk dalam partai sekuler, bekerjasama dengan musuh-musuh Islam, bergelimang dalam kesesatan, kemaksiatan dan kemungkaran dan lain sebagainya.
Ingat! Bahwa Iblis itu adalah makhluk yang paling arif akan Rabbnya (akbarul arifin), tetapi dia tidak mendapatkan petunjuk dari makrifahnya, demikian juga Iblis aqidahnya shahih, fikrahnya cemerlang dan hebat, tetapi dia bukan muwahhid dan mukmin.
2.      Iman dan Tauhid : inilah istilah syar’i yang kamil dan syamil, mengandungi seluruh makna dan maksud yang dikehendaki syara’ baik yang bersifat pemahaman, tashowwur dan tashdiq maupun amal, suluk, harokah, dan kehidupan. Sebab Iman sebagaimana yang dita’rifkan Ahlus-Sunnah adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan, maka riddah  (murtad), bisa terjadi dengan keyakinan atau ucapan atau perbuatan, artinya seseorang melakukan riddah, dengan lisan saja misalnya, mencela hukum Islam, berarti telah keluar dari iman karena ucapan  termasuk iman, demikianlah definisi iman menurut Ahlus-Sunnah wal jama’ah berlainan dengan definisi ahlul bid’ah misanya murji’ah memandang bahwa iman pangkal dan pokoknya adalah hati sedangkan dari segi ucapan dan lisan tidak begitu diperdulikan. Oleh karena itu mereka meyakini bahwa tidak ada yangbisa membatalkan iman melainkan amalan hati, dan aqidah ini diikuti oleh mereka yang mengaku “salafi” pada masa kini.
Coba perhatikan kata-kata murid Muhammad Nashirruddin Al-Albany (Muhammad bin Ibrahim Syaqroh), dalam bukunya : (judul buku dalam teks arab saya kurang bisa membacanya) halaman 47. dikatakan
Teks arab :
Artinya : “Manusia apabila telah mengucapkan syahadat hatinya membenarkan, meyakini dengan sebenar-benarnya dan mempercayai hak-haknya (syahadat) keseluruhannya, maka dia adalah seorang mukmin, meskipun melanggar seluruh kemaksiatan yang dzhahir maupun yang batin selagi tidak dibarengi dengan penentangan maupun pengingkaran (maksudnya hatinya tidak menentang dan mengingkari)”
Khot arab cuplikan substansi teks diatas.
Ini benar-benar aqidah ahlul bid’ah murji’ah yang terlalui melampaui batas yang pada masa kini berkedok “Salafi”. Ya Ikhwah, waspadalah Antum! Waspadalah Antum ! yang lebih kronis lagi aqidah yang sesat ini di dakwahkan dan disebarkan ke segala penjutu Insya Allah masalah ini akan kita kupas lebih lanjut.
Kembali kepada istilah iman, jadi seseorang meskipun dikatakan aqidahnya shahih dan fikrah serta manhajnya bagus, bila tidak  bisa dikatakan Imannya Shahih dan bagus melainkan setelah dibuktikan dengan amalan dan kelakuan.
Adapun Iman disebut juga dengan istilah tauhid, karena dalam iman masalah yang terpenting adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla Wallahu A’lam.
Ahlul Hadits dan Bid’atul Irja’ (Murji’ah).
Ahlul hadits dalam masalah tauhid dan iman bertentangan atau berlawanan dengan ahlul bid’ah, dan golongan yang paling penting dalam pembahasan ini adalah khawarij dan murji’ah.
Pembicaraaan mengenai khawarij telah memenuhi ufuk, kendatipun jika kita perhatikan dengan seksama, mereka yang berbicara tentang khawarij kebanyakan tidak memahami hakekat khawarij melainkan dianggapnya golongan yang ekstrem dalam segala urusan, maka setiap melihat seseorang yang keras atau ekstrem dalam suatu masalah langsung mereka tuduh sebagai khawarij.
Kalau kita bandingkan antara bahaya bid’ah yangdilakukan oleh golongan murji’ah danbahaya bid’ah yang diperbuat oleh golongan khawarij terhadap umat ini. Niscaya bid’ah murji’ah jauh lebih berbahaya, meskipun ke dua-duanya sesat.
Sebab bid’ah yang dilakukan oleh khawarij pada umumnya umat ini telah bersikap waspada dan berusaha menjauhinya, lagi pula golongan khawarij sedikit, misalnya pada masa kini dikenal dengan Jama’atut-Takfir wal Hijrah, atau kelompok-kelompok lain yang bermanhaj khawarij rata-rata pengikutnya hanya.sedikit dan tidak banyak pengaruhnya.
Tetapi sebaliknya aqidah murjiah telah menguasai akal dan fikiran umat pada masa kini dan tersebar ke seluruh penjuru tanpa mereka sadari, tiada siapapun yang membicarakan mereka,tidak ada seorangpun yang berani mengkritik dan membatilkan pendapatnya, mereka bangga menisbatkan diri kepada murji’ah dibawah slogan :
Khot Arab.
Artinya : Kami tidak mengkafirkan seseorang dari ahlul qiblah (orang Islam) karena suatu dosa, selagi ia tidak menghalalkannya.
Sekarang mari kita bahas prinsip mereka :
Khot Arab.
1.                              Telah berkata Al-Khallat atau Khilal,yaitu orang yang menghimpunkan ilmu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu ajma’in, tetapi ia tidak sempat melihat beliau, katanya Muhammad bin Haruntelah menceritakan kepada kami bahwa Ishaq bin Ibrahim menceritakan kepada mereka, ia berkata : Aku mendatangi seorang laki-laki yang bertanya kepada Abu Abdullah yakni Ahmad bin Hambal, “Wahai Abu Abdullah apakah kaum muslimin telah berijma’ diatas beriman kepada qodar yangbaik maupupn yang buruk? Beliau menjawab :”Ya”, ia berkata lagi, ”Dan kita tidak mengkafirkan seseorang dengan dosa? Maka berkatalah Abu Abdullah :”Diamlah kamu, barnag siapa yang meninggalkan sholat sungguh ia telah kafir, dan barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sungguh ia telah kafir”…”
(Musnad Imam Ahmad Juz 1/79, tahqiq Ahmad Syakir)
2.                              berkata Al-Khillal pada As-Sunnah, telah berkata Abu Abdullah, yakni Ahmad bin Hambal, Tidaklah sampai kepadaku bahwa Abu Kholid dan Musa bin Manshur beserta yang lain duduk-duduk di sebelah sudut sana, mereka mencela qoul (pendapat /prinsip) kami dan mereka menduga bahwa sepatutnya tidak usah dikatakan Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk dan mereka mencela orang yang mengkafirkan, mereka mengatakan bahwa kami sependapat dengan pendapat khawarij, lalu beliau tersenyum seperti orang yang marah. (Al-Fatawa Al-Kubra 6/475, Tahqiq Muhammad dan Musthofa Abdul Qodir Atho).
Sengaja dua atsar ini diletakkan dalam Muqoddimah pembahasan ini, sebab qoidah diatas telah tersebar dikalangan umum dan dijadikannya seoral-olah kedudukannya seperti nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang terpelihara dari kesalahan, dan siapa saja yang mencoba menolaknya atau berusaha mengingatkan bahwa menggunaan qoidah tersebut secara umum adalah tertolak atau tidak benar, maka ia akan dituduh khawarij. Tuduhan seperti itu sebenarnya tidak ada yang akan melakukannya selain orang-orang yang bodoh. Memang diantara sifat orang yang bodoh itu ketika mendengar sesuatu yang baru yang berlainan dengan yang ia punyai, maka serta merta ia akan mengingkarinya dan menjauhinya.
Manusia hari ini tidak membayangkan bagaimana riddah (murtad) bisa terjadi pada diri seorang muslim, dan mereka berupaya menjauhkan diri dari hukum murtad seolah-olah murtad itu tidak akan terjadi. Sedangkan para fuqoha’ telah menyebutkan bahwa riddah itu sebagai pembatal dalam berbagai bab fiqih, misalnya riddah adalah termasuk salah  satu pembatal wudhu, bahkan sebagian ahlul ilmi telah menyebutkan bisa terjadi riddah dalam keadaan-keadaan yang mungkin tidak terbayang sma sekali oleh seorang murji’i. Telah berkata Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni : khot arab.
(riddah membatalkan adzan jika terjadi sewaktu sedang adzan) (Al-Mughni Ma’a Asy-Syarhil Kabir I/438).
Apakah terbayang bagi seorang murji’I seorang muadzin sedang mengumandangkan adzan tiba-tiba murtad? Oleh karena itu perlu kita renungkan kata-kata Hamid Al Fiqi dalam ta’liqnya terhadap Fathul Majid:
Khot Arab.
 Artinya : Banyak orang yang mengaku alim (berilmu) yang bodoh tentang LAA ILAAHA ILLALLAAH, mereka menghukumi setiap orang yang melafazkan kalimat tersebut sebagai orang Islam, meskipun dengan terang-terangan ia melakukan kekuuran yang jelas, seperti menyembah kubur orang mati dan berhala, menghalalkan hal-hal yang haram, yang haramnya diketahui dari dien secara jelas, berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dan menjadikan ahbar dan ruhban mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.
Jika Antum ingin mengetahui ukuran pemahaman tauhid pemimpin kaum muslimin, lihatlah kitab yang ditulis oleh Salim Al Bahansholalloohu alaihi wa sallami yang berjudul : Al Hukum u wa Qodhiyah Takfirul Muslim, pada halaman 171, ia mengatakan, sesungguhnya orang-orang yang meminta tolong kepada orang-orang sholeh yang sudah mati dengan memanggil-manggil mereka, atau bertawassul dengan mereka untuk menunaikan hajat-hajat mereka, kepada Allah tanpa meyakini bahwa orang-orang yang mati itu berkkasa untuk mengurus suatu urusan. Dengan demikian itu maka, menghukum kufur terhadap mereka adalah menyeleweng dari pemahaman hukum Islam.
Salim Al-Bahansholalloohu alaihi wa sallami dengan kitabnya ini melambangkan puncak kesadaran dan penolakan bagi jama’ah Al Ikhwanul Muslimin dalam pemahaman mereka terhadap tauhid, jka demikian halnya apa kebaikan yang bisa diharapkan dari mereka? –wallaahu a’lam-
Walhasil jika karena ketegaran dankekerasan kita dalam memegangi dan mengamalkan sunnah dituduh sebagai khawarij, maka itu tidak menjadi masalah, ketahuliah bahwa Imam-Imam kita sebelum kitapun dituduh seperti itu. Sebagaimana yang termaktub dalam atsar tersebut diatas, Imam Ahmad pun dituduh khawarij, demikian juga Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, tidak terlepas dari tuduhan, apalagi tuduhan yang dialamatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab –radhiyalloohu anhum wa rahimahullahu anhum ajma’iin- tidak terhitung banyaknya.
Kita kembali kepada kata ungkapan : Kami tidak mengkafirkan seseorang dari Ahlul Qiblah dengan dosa selaig ia tidak menghalalkannya, Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1.                              banyak Qoidah Ushul maupun aqoid yang terbentuk karena situasi dan kondisi tertentu, maka tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang faqih menyikapi qoidah-qoidah yang ada sebagaimana sikapnya terhadap nash yang ma’shum, bahkan seorang faqih tidak boleh melupakan hukum-hukum khas yang berkaitan dengan stiap kejadian yang ada di hadapannya. Imam Asy-Syatibi telah menerangkan dalam kitabnya, “Al-Muwafaqat” berkenaan dengan masalah ini, beliau mengingatkan bahwasanya Al-Kulliyat (yang umum)  memerlukan Al-Juz’iyyat (yang khusus).
2.                              telah dimaklumi bahwa qoidah tesebut terbentuk dalam kondisi khusus, dengan demikian bisa diterima sebagai qoidah yang bersifat induktif dalam membantah dan menyanggah terhadap khawarij, antara khawarij dan Ahlus-Sunnah ada yang umum ada yang khusus, ada persamaannya ada pula perbedaannya, kesamaanya antara lain sama-sama mengkafirkan karena syirik akbar, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadikan kufur. Prinsip Ahlus-Sunnah Iman adalah ucapan, perbuatan, begitu juga kufur adalah ucapan dan perbuatan, maka sebagaimana seseorang bisa kufur karena karena amalan hatinya dan ucapannya, dia juga bisa kufur karena perbuatan anggota badannya dan ucapan lisannya. Maka riddah menurut definisi para fuqoha’ adalah : memutuskan Islam dengan ucapan, atau kufur, atau I’tiqod atau syak (ragu-ragu). Berkata al-Hishni Asy-Syafi’i (pengarang Kifayatul Akhyar) : “Riddah menurut syara’ adalah ialah kembali dari Islam kepada kekufuran dan memutuskan Islam, hal ini terjadi terkadang dengan ucapan, terkadang dengan perbuatan, dan terkadang dengan I’tiqod, dan masing-masing dari tiga macam tersebut mempunyai banyak masalah yang hampir tidak bisa dihitung” (Kifayatul Akhyar, Juz I/ 123).
Berkata Asy-Syaikh Mar’i Al-Karomi, dalam “Daliluth Thalib li Nailil Mathalib”. Kufur bisa terhadi dengansalah satu dari empat pekara : dengan ucapan, dengan perbuatan, dengan I’tiqod dan syak (Manarus Sabil 2/256,257).
Pengkafiran dari segi ini tidak ada perbedaan antara khawarij dan Ahlus-Sunnah. Adapun perbedaannya Ahlus-Sunnah tidak berpandangan bahwa maksiat itu diatas satu martabat, akan tetapi ia sebagaimana yang disebutkn Allah dalam Al-Qur’an (49 : 7) khot arab berdasarkan ayat ini, berarti kemaksiatan yang terjadi dengan ucapan dan amalan ada yang kedudukannya kufur, ada yang fusuq (fasiq) dan adapula yang ishyan (durhaka), maka barang siapa melakukan kekufuran, dia menjadi kafir.
3.                              Ahlus-Sunnah beri’tiqod atau mempunyai keyakinan bahwa segala kemaksiatan yang tidak mengkufurkan pelakunya bisa naik derajatnya menjadi mengkafirkan pelakunya dengan dua sebab.
a.                              Karena meyakini halalnya kemaksiatan tersebut (Istihlal), jika ada seseorang yang telah mengetahui bahwa perbuatan zina telah diharamkan Allah lalu ia mengatakan bahwa zina adalah halal, maka ia kafir karena keyakinannya bukan karena perbuatan zinanya, ia berzina atau tidak berzina sama saja, karena ia telah menolak hukum Allah Ta’ala, maka orang yang seperti ini telah kafir, tidak ada keraguan lagi.
b.                              Menta’ati orang musyrik. Allah berfirman (6 : 121). Berkata Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : khot arab
Yakni sekiranya kamu menyimpang dari perintah Allah kepadamu dan syariatnya, kepad perkataan selain-Nya. Lalu kamu mendahulukan yang lain diatas-Nya, maka inilah syirik. Sebagaimana firman-Nya (Q.S. (9) : 31), (Tafsir Ibnu Katsir II/171), firman-Nya yang lain (Q.S. (3) : 149) : Berkata Imam Ath-Thobari dalma tafsirnya : Jika kamu menta’ati orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang mengingkari kenabian Muhammad sholalloohu alaihi wa sallam, dari orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap apa yang diperintahkan mereka kepadamu dan apa yang mereka larang darinya, lalu kamu menerima pendapat mereka dalam hal itu, dan kamu menerima dan mengikuti nasehat mereka  karena kamu anggap mereka sebagai penasehat-penasehat kamu dalam hal itu, khot Arab.  Beliau berkata, mereka memaksa dan mendorong kaum murtad sesudah beriman, dan kufur kepada Allah, kepada ayat-Nya dan kepada Rasul-Nya setelah Islam (Jami’ul Bayan IV/122).
4.                              Jika terdapat syarat “Istihlal” (menghalalkan) dalam kemaksiatan-kemaksiatan baru pelakunya menjadi kafir, syarat ini bukan pada setiap kemaksiatan akan tetapi pada kemaksiatan yang tidak mukaffirah (mengkafirkan pelakunya). Adapun kemaksiatan yang mukaffirah dengan sendirinya membatalkan pangkal iman, baik seseorang menghalalkan atau tidak menghalalkannya, maknanya sehingga andaikan si pelaku yakin bahwa Alah mengharamkan perbuatan yang ia lakukan, iapun kafir tidak ada keraguan lagi dalam hal ini. Berkata Abdul Baqo’ dalam kulliyatnya, “Kufur bisa terjadi kadang kala dengan ucapan, dan kadang kala dengan perbuatan, adapun ucapan yang mewajibkan seseorang menjadi kufur adalah mengingkari sesuatu yang sudah disepakati dengan nash yang jelas. Tidak ada bedanya apakah hal ini bermuara dari keyakinannya atau penentangannya atau (sekedar-ed) ejekan” (Ikfarul Mulhidin hal : 86).
5.                              Orang-orang yang berkeyakinan bahwasanya syarat istihlal (menghalalkan perbuatan maksiatnya), adalah dalam segala dosa baik yang mukaffirah atau yang tidak mukaffirah mereka adalah golongan mubtadi’ah (ahlul bid’ah) yaitu : Murji’ah, oleh karena itu mereka menggunakan qoidah “Kami tidak mengkafirkan orang dari ahlul qiblah dengan sesuatu dosa selagi ia tidak menghalalkannya”, dan mereka tidak  memberi ikatan atau batasan tidak pada keyakinan dan tidak pula pada amalan, inilah murji’ah yang keburukannya tidak lebih sedikit dibandingkan dengankhawarij. Adapun persamaan murji’ah dengan Ahlus-Sunnah adalah sama-sama mensyaratkan adanya Istihlal dalam kemaksiatan yang bukan mukaffirat.
Karena menangnya posisi golongan murji’ah, maka qoidah tersebut diatas, kami tidak mengkafirkan  khot Arab” diberlakukan dalam kemaksiatan dan dosa-dosa yang mukaffirah mapuun yang tidak mukaffirah pada hal para ulama’ telah memperingatkan hal ini, dan merekapun tidak mempergunakan qoidah yang seperti itu, lihat bagaimana Imam Ahmad telah menolaknya sebagaimana yang ada dalam atsar yang telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Abil Izz Al-Hanafi dalam syarahnya terhadap Al-Aqidah At-Thohawiyah telah memperingatkan masalah ini, ia katakan  : ….Oleh karena itu, banyak imam-imam yangmelarang menggeneralisasikan ucapan “khot arab” “Bahwasanya kami tidak mengkafirkan dengan dosa”. Tetapi yang betul adalah ucapan “khot Arab” “Kami tidak mengkafirkan mereka dengan segala jenis dosa”, jadi ada perbedaan antara An-Nafyul Am dan Nafyul Umum. Yang wajib adalah nafyul umum (Syarh At-Thohawiyah, 293, 294).
Apakah Juhud (Pengingkaran) Itu Sama Dengan Istihlal?
Dalam salah satu matan aqidah At-Thohawiyah dinyatakan sebagai berikut :
Khot Arab
Artinya : “Seseorang tidak keluar dari Iman melainkan dengan juhud (pengingkaran) yang ia memasukkannya padanya”
Sebagian Ahlul Ilmi ada yang menyamakan antara juhud dan istihlal, dan menjadikannya satu makna, pendapat ini dari satu segi bisa diterima karena istilah adalah termasuk juhud, sebab orang yang menghalalkan  sesuatu yang diharamkan Allah berarti juhud atau mengingkari hukum Allah dan menolaknya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa juhud adalah Istihlal itu sendiri, maka pendapat ini tidak benar dari segi bahasa maupun keadaan, sebab juhud adalah menolak karena tidak adanya pengakuan, maka bukan menghalalkan yang haram saja termasuk juhud, mengharamkan yang halal pun juga termasuk juhud juga. Termasuk juga menolak berita-berita yang terdapat dalam nash dan tidak membenarkannya oleh karena itu juhud lebih luas ruang lingkupnya daripada Istihlal.
Juhud menurut ungkapan salaf bukan pada amalan hati saja seperti Istihlal, tetapi ia merangkumi semua amalan secara mutlak baik yang lahir maupun batin, seseorang bisa juhud dengan hatinya, bisa dengan perbuatannya, bisa juga dengan keduanya sekaligus. Berkata Ibnu Hazm dalam mendefinisikan kufur. “Kufur menurut Ad-Dien adalah sifat yang mana seseorang mengingkari (juhud) terhadap sesuatu yang Allah telah mewajibkan untuk mengimaninya sesudah hujjah disampaikan dan sampainya kebenaran kepadanya, hal itu bisa terjadi dengan hatinya tanpa lisannya atau lisannya tanpa hatinya atau sekaligus dengan keduanya, atau dengan melakukan perbuatan yang ada nash, bahwa perbuatan itu mengeluarkan seseorang dari nama iman. (Al-Ahkam 1/45).
Adapun  kata-kata Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam mufradatnya halaman 122, mendefinisikan jahd (juhud) secara bahasa yaitu, “Pengingkaranmu dengan lisanmu yang diyakini oleh hatimu”. Definisi ini kurang lengkap, sebab pendustaan yang menafikan pembenaran, penolakan dan keengganan yang menafikan kepatuhan, kedua-duanya pada istilah sudah termasuk pada kategori jahd (juhud).
Adapun jawaban dalam mentahqiq atau meneliti ungkapan ini,  seseorang tidak kufur dari iman melainkan dengan juhud yang ia memasukkannya padanya, adalah sebagai berikut :
a.       Banyak kaum muslimin yang tercampurkan dalam memahami antara sebab kufur dan bentuk (macam-macam) kufur, padahal sebenarnya jauh perbedaannya sebab kufur adalah : sebab atau alasan yang digantungkan dengannya pengkafiran, adapun bentuk (nau’) kufur, adalah motif atau pendorong kepada terjadinya kekafiran. Maka wajib atas setiap muslim menggantungkan hukum takfir (pengkafiran) kepada hukum syara’, yang bermuara dari syareat, tidak ada ruang bagi akal ikut campur dalam urusan ini dan mesti disandarkan kepada sebabnya bukan pada bentuknya, dan penjelasannya sebagai berikut :
Ahlul Ilmi telah menyebutkan bentuk-bentuk kufur, mereka menyatakan sesungguhnya kufur itu bermacam-macam, ada kufur Al-Iba’ (enggan), ada kufur I’radh, (berpaling), ada juhud (mengingkari), ada takdzib (mendustakan) dan ada juga istihza’ (mengejek/senda gurau) dan seterusnya.
Contoh-contoh yang disebutkan Ahlus-Sunnah seperti diatas adlah menerangkan sebab terjadinya kufur dari pelakunya, tidak menerangkan kepada kita perbuatan dan amalan yang mengkafirkan dengannya pelakunya, misalnya, orang yang membunuh Nabi adalah kafir, menurut Ijma’ Ahlil Millah (Kaum Muslimin). Inilah penyebab kafirnya, yaitu membunuh nabi, tetapi jika kita ingin mengetahui motif dilakukannya pembunuhan, masing-masing pelaku berbeda-beda motifnya, ada yang karena mendustakan bahwa ia seorang nabi, ada yang karena hasad dan dengki, tetapi membenarkan kenabiannya, dan ada juga yang karena kesombongannya dan sebagainya, pokoknya bentuk kekafirannya berbeda-beda. Akan tetapi sebabnya satu yaitu (membunuh Nabi). Nah dengan apakah kita mengkafirkan seseorang, dengan sebabkah ataukah dengan bentuk?
Jawabannya jelas bahwa hukum takfir (pengkafiran) adalah tergantung diatas sebab yang mengkafirkan tanpa melihat motif yang mendorong kepada sebab (melakukan perbuatan yang mengkafirkan).
Contoh lain misalnya ada seseorang yang menginjak-injak nash Al-qur’an dengan kainya, perbuatan ini adalah penyebab kufur, kalau kita mencari bentuk kekufurannya, maka masing-masing manusia akanberbeda sebagaimana pembunuh Nabi diatas, maka seoran gmuslim dituntut untuk menggantungkan hukum takfir diatas sebab atau penyebab bukan kepada bentuk atau motif, meskipun sebab-sebab yang mukaffirah itu banyak sekali dan bermacam-macam tidak mampu seseorang untuk membatasinya, dan semuanya adalah temasuk di dalambentuk-bentuk kufur, akan tetapi hukum takfir kembali pada sebab bukan kepada bentuk.
b.      Bentuk-bentuk kufur menurut Ahlus-Sunnah wal Jama’ah banyak sekali sebagaimana yang sudah dimaklumi, bukan terbatas satu bentuk saja, karena Iman menurut mereka adalah tashdiq (membenarkan) yang mesti disertai dengan iqrar (pengakuan) dan mutaba’ah (pengikutan/persetujuan) dan kufur adalah lawanya tashdiq dan lawannya iqror, maka lawan tashdiq adalah kidzb (dusta), juhud (ingkar), istihlah (menghalalkan), dan syak (ragu-ragu). Sedangkan lawan iqrar, dan mutaba’ah termasuk I’radh (berpaling), Istihza’ (mengolok-olok), Iba’ (enggan) Istikbar (sombong) dan sebagainya.
Karena sebagian golongan-golongan bid’ah dalam hal ini adalah murji’ah, dimana mereka membatasi iman diatas makna tashdiq, (membenarkan), saja, maka dengan itu mereka mengkaitkan atau membatasi kufur pada lawannya saja. Yaitu takdzib (mendustakan) dan juhud (mengingkari) secara hati serta istihlah dan syak, dan mereka mensyaratkan pada perbuatan yang mukaffir.(yang Allah telah namakan kufur, pasti disertai dengan bentuk-bentuk yang telah disebutkan (juhud, istihlah, dan syak) oleh karena itu menurut merek mesti dipastikan adanya takdzib, atau juhud secara hati atau istihlah, atau syak yang menyertai pebuatan tersebut).
Supaya jelas kita beri contoh : Seandainya ada seseorang yang mmbunuh Nabi. Maka menurut Ahlus-Sunnah orang tersebut kafir, tanpa melihat urusan hatinya, Karena membunuh Nabi adalah kafir, baik membunuh karena tidak membenarkannya atau tidak mengikuti tapi membenarkannya. Adapun menurut Murji’ah membunuh Nabi bukan termasuk perbuatan yang mengkafirkan dengan sendirinya. Maka mesti dilihat motifnya, jika membunuhnya karena mendustakannya atau mengingkarinya atau meragukan kenabiannya maka dia kafir. Adapun jika pembunuhnya meyakini kenabiannya, mmbenarkan apa yang dibawanya, maka dalam hal ini mereka berselisih pendapat. Sebagian dari mereka tidak mengkafirkannya secara mutlak. (Golongan ini dikafirkan oleh Ahlus-Sunnah).
Sebagian lagi ada yang menghukumi kufur karena dzahirnya disertai dengankeyakinan adanya Iman dalam batin orang tersebut dan urusan akhirat dan sebagian yang lain menamakan kufur terhadap pelaku tersebut dengan alasan : menurut gambaran mereka tidak mungkin orang tersebut membunuh Nabi a.s kalau bukankarena mendustakan kenabiannya, sebab kalau ia membenarkankenabiannya tidak mungkin hal itu dilakukan.
Inilah golongan murji’ah dan tingaktan-tingkatan mereka dalam menyikapi perbuatan-perbuatan yang mukaffirah (lebih lengkapnya bisa dilihat dalam syarah Al-Aqoid Al- Nasafiyah oleh : Sa’duddin At-Taftazani, Syarhu Jauharut-Tauhid oleh Ibrahim Al Bajuri).
Adapun Ahlus-Sunnah, maka berkatalah Imam mereka yaitu Abu Ya’kub Ishaq bin Ibrahim bin Rahawiyah. : Dan diantara yang menjadi kesepakatan atas pengkafirannya dan mereka (Ahlus-Sunnah) menghukumi terhadapnya sebagaimana menghukumi terhadap jahid (orang-orang yang ingkar) yaitu terhadap orang mukmin yang beriman kepada Allah ta’ala dan apa yang datang dari sisi-Nya, lalu ia membunuh Nabi, atau membantu atas pembunuhannya, dan ia mengatakan membunuh nabi-nabi adalah diharamkan, maka ia kafir. (Ta’zhim Qodris Sholah oleh Al-Mawarzi II/930).
Dan diantara contoh yang lain adalah masalah Al-Muwalat (perwalian) terhadap orang kafir Allah ta’ala berfirman,
Khot Arab.
Artinya  : “Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai wali (pemimpin dsb), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (Q.S.(5): 51).
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala telah menamakan kufur bermu’amalat kepada orang-orang kafir. Ibnu Hazm telah menyebutkan bahwasanya Ijma’(kesepakatan-ed) telah terjadi diatas pengoperasian dan penggunaan ayat tersebut secara dzhahirnya yakni barangsiapa yng berwala’ kepada orang kafir berarti ia kafir seperti mereka.
Contoh yang lain lagi, orang yang menyeru kepada selain Allah, misalnya kepada orang-orang yang sudah mati, kepada syaitan-syaitan dan sebagainya. Perbuatan ini adalah kufur dan syirik, maka Ahlus-Sunnah menghukumi atas pelakunya dengan syurik tanpa melihat keyakinanya, yaitu motif atau pendorong dia melakukan perbuatan itu. Adapun golongan murji’ah tidak demikian halnya, menurut mereka untuk menghukum pelakunya dengan kufur dan syirik syaratnya mesti mengetahui bahwa pelaku tersebut meyakini rububiyah yang diserunya, dengan kata lain si penyeru itu dalam hatinya meyakini bahwa orang-orang mati dan syaitan-syaitan yang diserunya itu bisa mentadbir urusan, bisa menolong, bisa memberi rizki, bisa memberi manfaat dan madhorot dan sebagainya anggapan ini mendapat sanggahan keras dari Ibnu Wazir, dalam bukunya Itsarul Haq ‘alal Khalqi, halaman 419, beliau berkata : “Dengan anggapan semacam itu, maka perbuatan-perbuatan tidak dapat menjadikan kufur  melainkan disertai dengan I’tiqod (keyakinan), meskipun membunuh Nabi, sedangkan I’tiqod atau keyakinan adalah masalah rahasia yang tertutup dantidak nampak maka dengan demikiantidak akan dapat dipastikan kufurnya orang kafir selama-lamanya, kecuali dengan nash yang khusus pada diri seseorang
c.       Pembicaraan kita diatas adalah berubungan dengan perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang mukaffirah, yang telah Allah namakan kufur, atau ulama’ besepakat akan kafirnya  pelakunya.
Adapun amalan-amalan yang pada dzatnya tidak menjadikan kafir, misalnya, berzina, mencuri, dansebagainya, maka pelakunya tidak kufur atau menjadi kafir, kecuali jika ada mushohib atau mulazim (yang menyertai)nya dalam hal iniyaitu  yang dinamakan I’tiqod (keyakinan) baik juhud (mengingkari) maupun istihlal (menghalalkan).
Sebagai contoh supaya jelas (orang yang melakukan perbuatan zina).
i.        Jika ia lakukan karena menuruti hawa nafsunya maka :
Ia telah berdosa besar dan terancam dengan siksa kecuali jika bertaubat atau mendapat syafaat atau mendapat ampunan dari Allah, cara bertaubatnya, jika dia berada di Darul Islam (Negeri yang berhukum dengan hukum Allah), maka ia melaporkan kepada Ulil Amri bahwa ia telah melakukan perbuatan tersebut dan minta agar di hukum sesuai denganketentuan syariat, jika muhshon (sudah pernah beristri), di rajam sampai mati, jika belum dijilid seratus kali dihadapan umum (orang yang beriman), atau jika tidak mampu berbuat demikian ia bisa langsung bertaubat kepada Allah dengan syarat perbuatan maksiatnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali pasangan yang bersangkutan, jika ada saksi mesti dilaksanakan hukum hudud dan ia mesti ikhlas menjalankan hukuman dalam rangka beribadah kepada Allah, adapun jika berada di Darul Kufri dengan syarat perbuatan maksiatnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali pasangan yang bersangkutan, jika ada saksi mesti dilaksanakan hukum hudud dan ia mesti ikhlas menjalankan hukuman dalam rangka beribadah kepada Allah, adapun jika berada di Darul Kufri
ii.      Jika ia lakukan disertai dengan juhud dan istihlal
Juhud masksudnya antara lain, misalnya mengingkari hukum Allah tentang haramnya zina, menganggap Allah tidak bijaksana karena menurutnya telah melarang sesuatuyang baik menurut anggapannya, menganggap jika suka sama suka tidak mengapa dan lain sebagainya.
Istihlala maksudnya menganggap bahwa zina halal hukumnya baik secara umum maupun khusus untuk dirinya, misalnya orang sufi yang sudah mencapai level hakekat, ia menganggap bahwa zina halal baginya dan seterusnya.
Orang yang berkeyakinan seperti ini adalah kafir, keluar dari Iman yang mengeluarkan dirinya dari Iman bukan perbuatan zinanyatetapi keyakinannya, maka gelaran sesudahnya adalah pezina dan kafir.
Jadi yang perlu diingat! Bahwa penyelidikan tentang pengingkaran hati (juhud qolbi) untuk menghukumi kufur terhadap pelaku maksiat, adalah pada amalan-amalan yang tidak mengkufurkan pelakunya dengannya. Adapun amalan yang jelas-jelas kufur akbar tidak perlu diselidiki lagi.
Dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ungkapan :
(khot arab laa yukhriju…dst)
“Seseorang tidak keluar dari iman melainkan dengan juhud yang menyertainya”
Ungkapan tersebut maknanya benar dari satu segi dan salah dari segi dua makna yang lain:
1.         Makna yang benar: bahwasanya syarat juhud qolbi (pengingkaran hati), untuk mengkafirkan adalah bagi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang Allah tidak menghukum kufur terhadap pelakunya, hanya karena melakukannya, artinya amalan dan ucapan yang tidak mencapai derajat kufur akbar.
2.         Adapun kesalahan ada pada dua makna :
a.       Dalam pentafsiran perbuatan-perbuatan yang mukaffirah, kata dugaannya bahwa seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan mukaffirah selama-lamanya melainkan dengan adanya juhud, maka pelakunya kafir karena secara automatis amalannya menunjukkan adanya juhud (pengingkaran), golongan ini sebagaimana yang telah di singgung sebelumnya adalah dari golongan murji’ah, akan tetapi para ulama menamakan Irjaul Fuqoha’ mereka menamakan kufur apa yang Allah namakan kufur, namun mereka menyatakan bahwa kufurnya adalah karena menunjukkan adanya juhud pada amalan itu secara automatis, mereka ini adalah golongan yang Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa, perselisihan kami dengan mereka secara lafadz, maksudnya pendapat mereka sesuai dengan Ahlus-Sunnah yiatu dalam menamakan kufur sebagai kufur, akan tetapi berbeda dalam pentafsirannya.
b.      Dalam mentahqiq atau meneliti adanya syarat juhud qolbi untuk menamakan kufur sebagai kafir, apabila terdapat juhud berarti dia kufur dan jika tidak didapati, maka tidak dihukumi dengan kufur, dan pelakunya tidak dinamakan kafir, mereka ini adalah dari ghullat (pelampau batas), murjiah yang pada masa kini memenuhi bumi, timurnya maupun baratnya.
Dan diantara contoh yang jelas lagi gamblang  adalah bermuwalat dan berwala’ (loyal-ed) kepada musuh-musuh Allah Ta’ala. Allah telah menamakan bermuwalat kepada orang-orang kafir dengan nama dan sebutan kufur sebagaimana dalam firman-Nya (Q.S.(5):5), dan Ibnu Hazm telah menyebutkan bahwasanya ijma’ telah terikat diatas pemberlakuan ayat tersebut secara zhahirnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni barangsiapa ygn bermuwalaat kepada orang-orang kafir berarti ia kafir seperti mereka, maka perbuatan muwalat ini adalah kufur, yaitu bermuwalat secara zhahir berperang bersama mereka atau membantu mereka, ia adalah sebab diantara sebab-sebab kufur, baik dilakukan seseorang dengan I’tiqod atau tidak baik motifnya karena cinta harta, tahta atau semata-mata membantu dan menguatkan mereka.
Adapun golongan murji’ah memahami sebagai berikut :
Satu golongan mengkafirkan orang yang bermuwalat kepada orang kafir karena secara, automatis menunjukkan adany apoengingkaran terhadap kebenaran, mereka adalah murji’ah fuqoha’.
Satu golongan lagi mensyaratkan amalan hati untuk mengkafirkan dan amalan hati bermacam-macam tafsiran menurut mereka, ada yng mengatakan bahwa muamalat yang mukafirah adalah muwalat kepada orang-orang kafir diatas aqidah dan dien mereka saja dan sebagian mereka ada yang mensyaratkan adanya rasa cinta dalam hati.
Bagi kita, golongan pertama lebih ringan urusannya, karena ada persamaan dengan Ahlus-Sunnah yaitu sama-sama menamakan kufur sebagai kufur, akan tetapi musibahnya pada golongan kedua yang tidak mengkafirkan, sehingga wujud kepastian adanya muwalat secara batin, sedangkan masalah batin adalah urusan ghaib yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dengan demikian sekali-kali seseorang tidak menjadi kafir dengan bermuwalat kepada orang-orang kafir selama-lamanya, sehingga ia menyatakan dengan lisannya apa yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan hal ini tidak mungkin terjadi.
Dalam masalah Al-Muwalat (Loyalitas-ed), ada hal yang perlu diperhatikan , bahwa ada sebagian perbuatan yang termasuk dalam muamalat secara terikutkan bukan asli maka perlu ada qorinah (petunjuk/indikasi) yang mukaffirah.
Jama’h-Jama’ah Masa Kini dan Irja’
Kita telah membicarakan sifat-sifat ahlul hadits termasuk manhaj mereka khususnya manhaj dalam pemahaman dan analisa masalah baik yang berhubungan dengan Iman dan Tauhid maupun Fiqih dan Ahkam, dan pembahasan kita telah sampai kepada perbedaan antara manhaj ahlul hadits dan manhaj ahlul bid’ah dalam hal ini adalah khawarij dan murji’ah dalam mengkafirkan pelaku perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan yang mukaffirah maupun yang tidak mukaffirah, dan Alhamdulillah masing-masing telah kita jelaskan secara rinci.
Selanjutnya mari kita tengah bagaimana jama’ah-jama’ah masa kini yang berkiprah dalam bidang tarbiyah atau dakwah atau jihad atau tarbiyah dan dakwah atau ketiga-tiganya sekligus bagaimana mereka menyikapi masalah yang sangat penting dan kritis ini, khususnya takfirul hukkam hal ini kami katakan, sangat penting karena dampak dan pengaruhnya besar sekali dalam kehidupan seseorang maupun kelompok baik dalam segi aqidah, prinsip, manhaj, tindakan maupun yang lainnya.
Para hukkam pada masa kini, jika kita perhatikan dengan seksama mereka telah keluar dari Islam dari segala pintunya, berpaling dari Dien Allah, menolak hukum-hukumnya, memperolok-olok dien, syareatnya dan pengikut-pengikutnya, bermuwalat dan berwala’ kepada seluruh millah kecuali millah Islam, dan lain sebagainya.
Jama’ah-jama’ah masa kini dalam menyikapi hal tersebut apakah mereka mengikuti ahlul hadits atau mengikuti khawarij atau mengikuti murji’ah?
Agar supaya memudahkan pembahasan, kita kelompokkan jama’ah-jama’ah yang wujud pada hari ini secara garis besar, yaitu sebagai berikut :
1.         Jama’ah-jama’ah At-Takfir wal Hijrah.
2.         Jama’ah-jama’ah yang mengaku “As-Salafy atau As-Salafiyah”
3.         Jama’ah-Jama’ah Al Ikhwanil Muslimin.
4.         Jama’ah-jama’ah Al Jihad As-Salafiyah.
5.         Jama’ah-jama’ah As-Sufiyah.
Adapun uraian sekedarnya untuk masing-masing jama’ah sebagai berikut :
1.         Jama’ah-jama’ah At-Takfir wal Hijrah.
Sebenarnya penyebutan jama’atut-takfir bukan dari mereka yang beriltzam dalam jama’ah tersebut, sebutan ini digunakan oleh jaringan intelijen untuk menyebut jama’ah Syukri Musthofa, yang menamakan jama’ahnya dengan nama “Jama’atul Muslimin”.
Dari namanya bisa dimengerti bahwa kelompok ini telah mengklaim jama’ahnya sajalah yang benar, yang lain batil, maka kaum muslimin wajib bergabung dengan mereka, bahkan lebih ekstrem daripada itu, mereka berpendapat bahwa yang muslim hanya dirinya dan jama’ahnya. Adapun selainnya maka mereka hukumi kafir atau tawaqquf maksudnya tidak berani menghukumi muslim atau kafir.
Jadi menurut kelompok ini karena hukumah dan hukkamnya telah kafir maka sekalian seluruh rakyatnya yang ada dibawah wilayahnya adalah kafir. Takfir (pengkafiran), seperti ini jelas mengikuti manhaj Khawarij. Oleh karena itu kelompok ini biasa disebut dengan sebutan “Al-Khawarij fi Hadzal ‘Ashr” (Khawarij Modern). Sebutan terhadap kelompok ini tidak ada yang menentangnya baik dari Jama’ah Jihad As-Salafiya maupun dari Salafy atau Ikhwani.
Jama’ah Syukri Musthofa kami angkat menjadi contoh dalam kelompok ini, sebab jama’ah tersebut kami anggap yang paling terkenal di kalangan aktivis jama’ah- jama’ah Islam di seluruh dunia, dan tidak mustahil ada jama’ah-jama’ah lain di tempat-tempat tertentu yang manhajnya serupa dengannya. –wallahu a’lam-
2.         Jama’ah-jama’ah yang mengaku “As-Salafy atau As-Salafiyah”
Untuk mengetahui manhaj mana yang dipegang oleh kelompok yang mengaku As-Salafi dalam masalah ini, apakah mengikuti Ahlul-Hadits, ataukah murji’ah ataukah khawarij? Ada baiknya kita perhatikan sebagian saja dari qoul (pendapat) sebagian masyayikh-nya dan tokoh-tokohnya.
a.       Dr. Rabi’ Al Madkholi. Ia seorang tokoh yang sangat besar pengaruhnya dalamkelompok salafi terutama dikalangan pemuda, bahkan sampai muncul sebutan As-Salafy Al Madkholi, sebagaimana yang sudah disinggung dalam taushiyah sebelumnya, marilah kita lihat pandangannya dalam buku yang berjudul “Minhajul Anbiya’ fie Dakwah Ilallah” ia mengatakan bahwa urusan imamah tidak termasuk dalam qoidah Ahlus-Sunnah wal jama’ah atau Imamah bukan dari qoidah Ahlus-Sunnah wal jama’ah.
Ungkapan ini ia arahkan untuk mengkritik dan menentang jama’ah-jama’ah Islam yang berbicara tentang masalah berhukum dengan Syariat Islam, sesungguhnya ini adalah kepentingan yang sangat besar dan untuk menguatkan pendapatnya si bingung ini mengunakan hujjah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ajma’in, dalam Maudhu Imamah sebagai sanggahan terhadap syi’ah rafidhah, dalam hal Imamah, beliau membatilkan aqidah Imamah mereka dan menafikkannya sebab orang syiah rafidhah mempercayai adanya Iam dua belas dan menjadikannya sebagai rukun Iman.
Imamah jenis inilah yang dinafikan  oleh beliau (Ibnu Taimiyah-ed), coba bandingkan imamah yang dinafikan  oleh Syaikhul Islam dengan Imamah yang dinafikan oleh Rabi’, bukankah bedanya antara langit dan bumi, murid Ibtidaiyah yang cerdik pun tahu. Namun begitulah keadaan manusia jika sudah terseret oleh nafsu.
Sebenarnya masalah imamah sangat jelas dan gamblang  dalam Islam. Tidak akan terealisir ubudiyah seseorang muslim dengan sempurna di muka bumi jika mereka tidka menjadi Imam atau pemimpin. Oleh karena itu, hampir seluruh Nabi-Nabi khususnya dari kalangan Bani Israil, berperan sebagai pemimpin Imam dan sekaligus menjadi Qodhi (hakim) dan qoid (komandan perang), begitu juga Khulafaur-Rasyidin Al Mahdiyin radhiyallohu anhum
Tetapi sebenarnya pendapat seperti ini fungsinya hanya untuk menguatkan dan mengokohkan kedudukan hukkam dan thowaghit saja, artinya para hukkam yang telah melakukan berbagai kufur akbar, bahkan sudah keluar dari Islam dari segala pintunya itu masih berhak menduduki Imamah, kufur mereka dinilai belum bawwahan (jelas), karena untuk mengetahui kejelasannya mesti mengetahui batinnya dengan adanya juhud dan istihlal, sedangkan sampai saat ini nampaknya belum ada satu penguasapun yang mengaku beragama Islam, yang dengan lantang menyatakan bahwa saya mengucapkan ucapan kufur akbar itu, atau saya lakukan perbuatan kufur akbar itu disertai dengan juhud atau saya melakukan perbuatan kufur akbar itu disertai dengan juhud dan istihlal dalam hati saya atau hati saya sama dengan lisan dan perbuatan saya, kapankah akan terjadi hal ini?, entah yang jelas nanti jika mulutnya sudah penuh dengan tanah dalam liang kubur.
b.      Muhammad bin Ibrahim Syaqroh. Ia juga seorang tokoh Salafi yan gtidak kurang pengaruhnya daripada Rabi’ ia termasuk murid Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albany yang baik, dalam salah satu bukunya yang berjudul “Mujtama’una Bainat-Takfir Al Jair wal Imam Al Hair”, cetakan Maktabah Islamiyah Yordania, ia mengatakan, manusia apabila telah mengucapkan syahadat, hatinya membenarkan, meyakinidengan sebenar-benarnya dan mengimani hak-haknya (syahadat) seluruhnya, maka ia adalah seorang mukmin, meskipun melanggar kemaksiatan seluruhnya yang zhahir maupun batin, selama tidak disertai dengan juhud dan pengingkaran (halaman 37), dan lihat teks aslinya dalam risalah ini pada pembahasan sebelumnya.
Dan ia juga menyatakan sesudah kembali dari kunjungannya ke Moskow sebelum Komunis berantakan, ia mengakui bahwa ia tidak bisa mengkafirkan orang-orang komunis, karena ia mendapat kan bahwa sebagian orang-orang komunis merah masih ada yang sholat.
Komentar sebenarnya ungkapan dan ucapan tersebut tidak perlu dikomentari lagi yang jelas ucapan tersebut adalah madzhab Al Ghullat  (pelampau batas) murji’ah, dalam masalah iman dan takfir, seolah-olah ia mengatakan maksiat tidak memberi madhorot terhadap iman, karena ia mensyaratkan adanya juhud dalam mentakfir terhadap seluruh dosa-dosa mukaffirah maupun yang tidak mukaffirah, adapun masalah komunis –Insya Allah- akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
c.       Murad Syukri atau Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari, dalam bukunya “Ihkamut-Taqrir li Ahkami Masalati-At-Takfir”  cetakan Darul Ashimi, Riyadh,  menyatakan bahwa di dunia ini tidak didapati kecuali kufur takdzib, (mendustakan) untuk seluruh dosa yang mukaffirah maupun yang tidak mukaffirah, keduanya mengatakan, seorang muslim tidak menjadi kafir kecuali apabila ia mendustakan nabi sholalloohu alaihi wa sallam, mendusatakan apa yang dibawanya, yang diberitakannya, baik mendustakannya itu dalam bentuk juhud seperti juhudnya Iblis dan Fir’aun atau mendustakan yang berarti mendustakan atau tidak mempercayai  (halaman 13).
Komentar :  pendapat tersebut jelas termasuk pendapat ghullat (pelampau) murji’ah mereka tidka mengenali sebagaimana yang dinyatkannya kecuali kufur takdzib, yang aneh bin ajaibnya pendapat nafsunya dikuatkan dengan kalam Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ajma’in. Dalam buku beliau  “Dar’u Ta’aarudhil Aqli Wa-An-Naqli” (Juz 1/242), tapi tidak jujur, persisi dengan cara sandarannya sebelumnya : perhatikan qoul Syaikhul Islam,
Khot arab.
Artinya : “Hanyasanya kufur itu terjadi dengan mendustakan Rasul terhadap apa yang diberitakannya dengannya atau menolak untuk mengikutinya padahal mengetahui kebenarannya, seperti kufurnya Fir’aun dan orang-orang Yahudi”
Maka menurut Syaikhul Islam kufur itu ada dua macam :
1) Kufur takdzib (mendustakan), ini berhubungan dengan berita maka orang yang mendustakan berita yang dibawa oleh Rasul berarti telah  kafir dan kufurnya jenis kufur takdzib oleh karena itu beliau beri contoh Fir’aun, karena Fir’aun tidak membenarkan kenabian dan kerasulan Musa a.s.
2) Kufur I’radh dan ‘Inad, (berpaling dan ngeyel), menentang ini berhubungan dengan At-Tho’ah wal Inqiyad (Ketaatan dan Kepatuhan) maka orng yang tidak taat dan tidak patuh serta tidak mengikuti Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, ia telah kafir, jika ilmu tentang kebenarannya telah sampai kepadanya oleh karena itu Syaikhul Islam memberi contoh orang Yahudi, sebab orang Yahudi mengetahui benar bahwa Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, adalah seorang Rasul terakhir dan telah termaktub dalam kitab-kitab mereka, tetapi mereka tidak mau mengikutinya.
Keterangan Syaikhul Islam gamblang sekali bagaikan matahari di siang bolong, tetapi kenapa sebabnya dua penulis handal tersebut tidak memahaminya, malah menjadikan kufur itu hanya satu jenis saja (takdzib), apakah benar-benar tidak faham atau sengaja menyembunyikan fakta? –wallahu a’lam-.
Maka kitab “Ihkamut Taqrir” adalah kitab yang paling jahil dan paling rusak dalam masalah Takfir, hanya ada sesuatu yang baru dalam kitab  tersebut yang perlu dicatat, yaitu : Penulis yang mengaku salafi tersebut dalam membahas masalah Iman dan Kufur, meninggalkan kitab-kitab Salafiyah dan malah menjadikan buku-buku yang menyeleweng dari aqidah yang benar sebagai referensi dan rujukannya, misalnya tidak segan-segan menjadikan Imam Ghozali, Muhammad Bakhit Al Muthi’I, Al ‘Allamah ‘Adhuddin Al Aiji, dalam “Al-Aqoid Adhudiyah” dan syarahnya Ad-Dawani, sedangkan pelajar Tsanawiyah pun mengetahui bahwa orang-orang itu dan buku-buku tersebut aqidahnya adalah Asya’irah atau Maturidiyah, dan kedua golongan ini termasuk golongan Murji’ah dalam masalah Iman dan Kufur.
Demikianlah permainan sulap, padahal golongan Asyairah dan Maturidiyah adalah lawan utama mereka (Salafi), dalam pembahasan-pembahasan aqidah Al-Asma’ wa Shifat, dan mereka telah mengecapnya sebagai ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ sedangkan termasuk yang ditahdzir oleh mereka artinya orang-orang Salafi tidak boleh membacanya, menyimpannya apalagi  menjadikannya sebagai hujjah sebagai contoh mereka menuduh As-Syahid Sayyid Qutb sebagai ahlul bid’ah  bahkan yang lebih parah lagi menuduhnya sebagai pengikut faham wihdatul wujud sebab menurutnya dalam tafsir Fie Dhilalil Qur’an pada surah Al-Ikhlas dan Al-Hadid ada kata-katanya yang bisa dinilai sebagai wihdatul wujud. Dengan demikian mereka semua pengikut “Salafi” dilarang membaca buku-buku beliau, bahkan ada yang lebih ghulat lagi menganggap kitab Tafsir Fie Dhilalil Qur’an diganti dengan nama”Fie Dhilalil Qur’an sebagai Berhala” mereka enggan masuk rumah yang ada kitab tersebut.
Seribu satu kenyelenehan mereka, kalau kita himpun perlu satu gudang kertas, betulkah Sayyid Qutb ahlul bid’ah ataukah karena buku-bukunya tidak sesuai dengan selera hawa nafsu mereka, sebab Sayyid Qutb mengajak Umat untuk membebaskan diri dari segala syirik baik syirkul qubur maupun syirkul qushur, dengan demikian sebagian mereka akan terkena sasaran.
Kembali kepada berhujjah dengan ulama’ Asya’irah dan Maturidiyah, seandainya ada seseorang yang mengambil hujjah mereka dalam hal tauhid Asmaa’ wal Shifat niscaya mereka dengan serta merta akan menolak seraya mengatakan, orang-orang seperti Al-Ghozali dan lain sebagainya tidak diatas madzhab Ahlus-Sunnah, mereka Ahlul Bid’ah tidak boleh mengambil hujjah mereka dalam hal ini dan seterusnya.
Saya tidak mengerti cara yang mereka gunakan, mereka mengerti yang ini tetapi tidak mau mengerti yang itu, kadang menolak dan dalam waktu yang sama menggunakannya, ataukah mereka sebagaimana pepatah jawa yang tidak baku “Esok Tempe sore Dele” dan yang lebih mengherankan lagi, penulis yang mengaku paling anti dengan ahlul bid’ah ini mengakhiri bukunya dengan menampilkan kata-kata Abu Hayyan At-Tauhidi, dalam Kitabnya “Al-Imta’ wal Mu’anasah”. Sedangkan Abu Hayyan ini seorang zindiq, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu ajma’in:
Ada tiga orang zindiq terhadap Islam yaitu Ibu Rawandi dan At-Tauhidi dan Abul A’la Al Ma’ri dan yang paling jahat atau buruk terhadap Islam dalam At-Tauhidi, sebab yang dua orang menyatakan terus terang sedang dia tidak terus terang, dia mengikuti pendapat Mu’tazilah, lisannya pandai lagi bejat, dan keadaannya sebagaimana yang dikatakan : Dia urusannya tercela dan cacat kedudukannya (Lihat biografinya “Mu’jamul Udaba” oleh Yaakut dan dalam “Bughyatud Du’a”t, serta dalam “Lisanul Mizan”).
Model Salafi apa ini? Masih tersisakah  Izzah pada diri mereka sesuatu yang membenarkan penisbahan mereka kepada Salaf Ash-Shalih, ataukah hanya sebagai semboyan palsu dan make up belaka?
d.      Asy-Syaikh Nashirrudin Al-Albany rahimahullahu ajma’in.
Asy-Syaikh Al-Albany dalam ta’liqnya (komentar/ulasan) terhadap “Al-Aqidah At-Thohawiyah” yaitu terhadap ungkapan At-Thohawi :
Khot Arab.
Mengatakan : bahwasanya orang yang mensyarah Al-Aqidah At-Thohawiyah  (Al-Imam Abul Izz Al Hanafi) telah menaqal (menukil)dari Ahlus-Sunnah yang mana mereka menyatakan bahwasanya Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, sesungguhnya dosa itu yakni, dosa apa saja, adalah kufur amali bukan I’tiqodi dan sesungguhnya kufur menurut mereka adalah bertingkat-tingkat, kufur yangbukan kufur, (maksudnya kufur asghar), sebagaimana Iman menurut merkea ADapun konteks bahasa aslinya sebagai berikut :
Khot Arab.
Komentar : sebenarnya yang mensyarah At-Thohawiyah (Abu Al-Izz Al-Hanafi), tidak menyatakan sebagaiman yang dikatakan Al-Albany, bahkan Abul Izzi mengatakan sebaliknya, sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya (lihat lagi halaman dalam ketikan ini halaman 24), tetapi tidak mengapa, saya tulis lagi supaya jelas, adapun teks aslinya sebagai berikut :
Khot Arab.
Artinya : oleh karena itu banyak Imam-Imam yang melarang mengucapkan ucapan-ucapan. Bahwasanya kami tidak mengkafirkan seseorang dengan dosa, tetapi yang patut dikatakan adalah : Kami tidak mengkafirkan mereka dengan segala dosa sebagaimana yang dilakukan oleh khawarij.
Silahkan perhatikan betul-betul antara perkataan Al-Albany yang dinisbahkan kepada Abul Izzi, dengan perkataan Abul Izzi sendiri, perbedaannya antara Sabang dan Merauke. Abul Izzi membedakan antara dosa-dosa mukaffirah dengan yang tidak mukaffirah, sementara Al-Albany mengatkan dosa apa saja adalah kufur amali, yang dikatakan Abul Izzi aqidah Ahlul Hadits, sedangkan yang dikatakan oleh Al-Albany adalah aqidah Murji’ah bahkan termasuk ghullat (pelampau batas) Murji’ah, sebab menganggap bahwa segala dosa termasuk yang mukaffirah apabila dilakukan seseorang semuanya dinilai sebagai kufrun duna kufrin atau kufur amali saja, tidak ada yang membatalkan imannya.
Kita lihat lagi kata-kata Asy-Syaikh Al-Albany yang lain. dalam kitab Asy-Syaibani (murid Al-Albany) yang berjudul “Hayatul Albany wa Atsaruhu” dicAntumkan perkataan Al-Albany sebagai berikut:
Khot Arab.
Artinya : “Akan tetapi saya katakan  bahwasanya pemutusan hukum terhadap orang-orang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, baik hukum mereka terhadap mereka sampai kufur secara keseluruhan atau kufur amal, tidak penting bagi kami, baik banyak maupun sedikit, perbedaan antara keduanya, sekarang dari segi aqidah, siapa yang kufur di sisi Allah? Yaitu orang yang mengingkari syariat Allah.”
Komentar  : Kata-kata Albany tersebut berbahaya sekali, yang mana Al-Albany menganggap urusan mengkafirkan “hukkam” atau tidak mengkafirkannya, tidak pentin gsama sekali banyak  maupun sedikit baginya. Kita jadi terheran-heran bagaimana urusan sebesar ini dan sepenting ini dianggap, tidak ada nilainya sama sekali pada diri syaikh Al-Albany dan murid-muridnya, seolah-olah seperti urusan makan bakso saja mau tambah sambal atau tidak sama saja. Astaghfirullah.
Adapun kata-kata beliau, bahwasanya yang kufur adalah yang mengingkari syariat Allah, sepatutnya mesti ada ikatannya yaitu pada kemaksiatan yang bukan mukaffirah, adapun yang mukaffirah kita telah uraikan dan jelaskan sebelumnya bahwa memberi syarat juhud (ingkar) pada kemaksiatan yang mukaffirah adalah aqidah Ahlul Bid’ah Murji’ah !!
Masyayikh “Salafi” yang lain-lain kurang lebih hampir semuanya sama saja dalam hal takfir, yaitu mengikuti murji’ah dengan mensyaratkan adanya zuhud dan istihlal dalam segala macam dosa termasuk dosa-dosa mukaffirah, termasuk Asy-Syaikh Bin Baaz dan Asy-Syaikh Utsaimin dan telah terbit risalah yang menyanggah dan mengkounter pendapat beliau berdua tentang masalah ini, sayaalhamdulillah- sudah membaca risalah tersebut tetapi tidak ingat isinya secara keseluruhan, tetapi pada intinya sama dengan yang telah kami sebutkan.
Seterusnya mari kita lihat selayang pandang dampak negative terhadap umat, aqidah dan pemahaman “Salafi” dalam hal takfir ini, sebagaimana yang kita maklumi bukan kelompok “Salafi” saja  yang bermadzhab murji’ah dalam mentakfir, kelompok-kelompok lainpun sama dalam hal ini, misalnya Asyairah, Maturidiyah dan sebagainya hanya masalahnya kelompok-kelompok lain tidak sehebat “Salafi” pengaruhnya pada masa kini terhadap umat, khususnya dikalangan pemuda, pelajar, mahasiswa, dan pihak manapun juga yang mulai ada kesadaran hendak kembali kepada sunnah, sebab bukan main indah dan hebatnya uslub dakwah yang mereka gunakan, sehingga terkesan bahwa kelompok-kelompok yang paling berhak dipanggil sebagai Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, sebagai Ahlul Hadits, sebagai kelompok yang bermanhaj Salaf dan sebagainya, cara yang nampak paling efektif yang mereka gunakan antara lain adalah mengecap selain kelompoknya sebagai ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ atau tidak bermanhaj salaf, jika kelompok yang berjihad terutama yang menentang pemerintah-pemerintah murtaddin, terus saja ditembak dengan kata-kata, “Mereka Khawarij !!”, jika yang lain dengan istilah misalnya Asyairah, Sufi dan sebagainya.
Ternyata orang awam yang mayoritasnya tidak bisa membedakan antara barang yan asli dan yang imitasi banyak yang tertarik dengan syiar-syiar dan puisi-puisi  yang indah-indah tanpa meneliti hakekat yang sebenarnya, cara menawarkannya luar biasa muluknya, katanya,  “Mas barang ini asli buatan Jerman!” nggak tahunya pabrik dan kilangnya berada di Jejer (disebelah) kauMan.
Sekarang saya mau menceritakan pengalaman saya yang berhubungan dengan masalah ini dan saya yakin diantara saudara sekalian ada juga yang mempunyai pengalaman yang hampir serupa dengan pengalaman saya, dan saya rasa pengalaman seperti ini di negara-negara Arab dan di negara-negara kaum Muslimin, banyak sekali tidak bisa dihitung dengan jari tangan. Adapun cerita singkatnya begini;
Di Malaysia dan Singapura ada salah seorang ustadz yang bernama Rasul Dahri, ustadz ini mengaku sebagai “Salafi” (pengikut kelompok Salafi), Ilmu dan pengalamannya cukup lumayan, lebih kurang delapan tahun bermukim di Arab Saudi, hampir seimbang dengan tokoh-tokoh muda Salafi di Indonesia, ustadz ini disamping menulis beberapa buku, banyak juga memberikan ceramah dan taklim dalam halaqoh-halaqoh. Alhamdulillah saya pernah bertemu dengannya dua atau tiga kali dan sempat berbincang dalam satu halaqoh, secara langsung, disamping itu saya pernah  mendengarkan beberapa kaset ceramahnya, dan sebagian tulisannya.
Ustadz tersebut –semoga Allah memberikan petunjuk kepadanya- pada waktu itu sering menyampaikan hal-hal yang ganjil dan nyeleneh, nyeleneh, baik berupa fitnah dan tuduhan yang dia lakukan yang saya dengar sendiri dalam kaset ceramahnya, katanya, “Dahulu Abdullah Sungkar rahimahullahu ajma’in, sebelum sampai diMalaysia tidak mengerti masalah Jihad sama sekali, lalu begitu sampai di Malaysia ia mencuri Kitab Jihad, di salah satu perpustakaan milik “Ittiba’us-Sunnah, kemudian dihafalkan ayat-ayat Jihad, dan akhirnya ceramah kesana-kemari tentang jihad” Dalam kaset itu ia juga mengatakan, “Abdullah Sungkar orang Jawa yang hidungnya pesek mengaku sebagai Amirul Mukminin”
Coba ikhwean perhatikan cara bejat yang ia pakai dalam berdakwah, dan tidak sedikit pendakwah “Salafi” yang menggunakan cara seperti ini, kita lihat dimana bejat dan rusaknya cara ini.
Mereka menuduh seseorang atau kelompok sebagai ahlul bid’ah dengan cara sembarangan tanpa tabayyun sama sekali, hanya berdasarkan qila wa qola, kata si Anu dan si Anu, sedangkan prinsip mereka jika seseorang telah diketahui sebagai ahlul bid’ah maka wajib di tahdzir (memberikan kewaspadaan kepada umat), boleh dibongkar segala aib dan cacat orang tersebut, agar umat tidak mengikuti ahlul bid’ah tersebut. Kononnya mereka mengikuti Uslub Imam Abdullah bin Mubarok rahimahullahu ajma’in, yang mengatakan Jahm bin Shafwan, namanya adalah pecahan dari Neraka Jahannam.
Rasul Dahri setahu saya belum pernah selama hidupnya bertemu dengan ustadz Abdullah Sungkar, oleh karena itu ia mengatakan bahwa ustadz berketurunan Jawa dan pesek, dan ia juga tidak memahami yang sebenarnya ustadz dari kelompok dan jama’ah apa, apa manhajnya dan sebagainya, ia hanyamendengar informasi dari omongan orang di sana-sini terutama yang tidak suka, bahwa ustadz Abdullah Sungkar adalah seorang Ahlul Bid’ah dan sebagainya, pernah ada kejadian yang lucu dimana ada salah seorang murid Rasul Dahri yang memberikan kasert kepada saya yang berjudul “Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah” kaset itu dibagikan kepada saya mungkin tujuannya agar tujuannya saya kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Alhamdulillah –jazakallah khairan- tapi ternyata kaset yang dikagumi oleh mereka itu penceramahnya adalah Abu Ismail alias ustadz Abdullah Sungkar, karena begitu sukanya dengan isi kaset tersebut, mereka sampai mengirimnya ke Departemen Agama (Malaysia-ed) untuk mendakwahi mereka. maka pad saat itu kalau tidak salah saya menanyakan kepada akhi yang memberikan kaset itu, saya katakan , “Antum kenal siapa itu Abu Isma’il?” Jawabnya, “Tidak”, saya katakan  kepadanya, “Itulah dia Ustadz Abdullah Sungkar yang Antum benci, dan selalu diolok-olok, oleh ustadz Antum itu!” dan saya sendiri juga tidak lepas dari capnya sebagai ahlul bid’ah, dan menurut informasi yang saya dengar ada yang telah menyatakan tidak boleh sholat di belakang saya, dan masih banyak lagi hal-hal yang nyeleneh seperti yang sudah saya katakan  sebelumnya, tetapi rasanya kurang penting untuk menuliskan semua kenyelenehannya.
Namun ada satu yang berhubungan erat dengan pembahasan kita yang harus saya sampaikan yaitu sebagai berikut :
Dalam salah satu buku ustadz tersebut, kalau tidak salah ingat berjudul : “Manifesto Politik” tujuan dan motif penulisannya saya tidak mengetahui secara pasti apakah benar-benar semata-mata berkhidmat untuk menyebarkan ilmu atau ada pesan sponsor, sebab terdengar juga berita yang masuk ke telinga bahwa buku tersebut telah dibagi-bagikan dalam majlis perhimpunan salah satu partai besar di Malaysia (UMNO). Setelah saya membaca tulisan tersebut yang pada waktu itu belum dicetak, masih dalam disket, saya bisa menyimpulkan bahwa diantara kandungan terpenting dalam tulisan tersebut ialah menyatakan bahwa UMNO adalah satu-satunya Jama’ah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah  di Malaysia yang sesuai dengan pemahaman Salaf, maka seluruh rakyat wajib bergabung dengannya, yang enggan bergabung berarti ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ dan PAS (Partai Islam se Malaysia), yang dipimpin oleh Tuan Guru Nik Abdul Aziz bin Nik Mat, dan Tuan Guru Abdul Hadi Awang, dinyatakan sebagai ahlul bid’ah, karena penentang dan saingan utama UMNO, sebab seandainya label ahlul bid’ah yang dikenakan kepada PAS itu bertitik tolak karena mayoritasnya bermadzhab syafi’i dalam fiqih dan Asyairah dalam aqidah, UMNO pun sama saja bahkan lebih rusak lagi karena dicampur baurkan dengan adat ragam setempat.
Sekarang mari kita lihat sekilas pandang saja, apa itu jama’ah UMNO, sehingga begitu yakinnya ustadz yang mengaku salafi tersebut mengatakan sebagai golongan Ahlus-Sunnah Wal Jamaah dan pemimpin yang wajib ditaati.
UMNO adalah sebuah partai pemerintah atau kerajaan Malaysia yang anggotanya terdiri dari orang-orang Melayu, partai koalisinya atau pendukungnya yang disebut BN (Barisan Nasional) yang anggotanya terdiri dari UMNO, (Melayu Nasionalis beragama Islam), MOA (China Nasionalis beragama Budha dan lainnya), BIPH (India Nasionalis beragama Hindu) dan lain-lain, hampir serupa GOLKAR, semasa ORBA dulu. UMNO didirikan tidak diatas dasar Islam, tetapi diatas dasar Ladiniyah (Sekuler), maka ini sebagai penegak dan pendukung utama berdiri dan tegaknya negara sekuler Malaysia yang didasarkan diatas hukum dan Undang-Undang Lord Right, warisan kolonialis kafir salibis Inggris, seperti KUHP warisan kolonialis kafir protestan Belanda di Indonesia. Sewaktu buku itu ditulis UMNO dibawah pimpinan Mahathir Muhammad, dan sekaligus sebagai Perdana Menteri Malaysia, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Malaysia apalagi yang terpelajar dan masih ada ghirah dan mencintai Islam, bahwa Dr. Mahathir adalah seorang pemimpin yang sering keluar dari mulutnya ucapan-ucapan yang menghina dan memperolok-olok Islam dan kaum muslimin, sebagai contoh antara lain misalnya, jika hukum hudud dilaksanakan di Malaysia kita akan beramai ramai makan sop jari tangan, jika hukum rajam dilaksanakan, Malaysia akan kehabisan batu, (ucapan ini diwarisi dari pendahulunya yaitu Tengku Abdurrahman, maka diantara tujuan didirikan olehnya IKIM (Institus Kefahaman Islam Malaysia) katanya, untuk memastikan bahwa pemahaman Islam yang dibawa oleh Tengku Abdurrahman tetap abadi dan jaya.) katanya lagi Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, dan para sahabatnya membiarkan jenggot, karena pada waktu itu tidak ada pabrik silet, sekarang kita bisa membawanya kemana saja dengan kotak kecil kita bisa mencukurnya kapan saja. Pada masa dahulu kaum wanita mengenakan jilbab, tutup kepala dan muka, karena pada saat itu banyak debu yang berahimahullahu ajma’inburan, lagi pula belum ada pabrik shampoo, sedangkan sekarang semua jalan-jalan, sudah di aspal, tidak ada debu lagi,  semua kendaraan berAC,  pabrik shampoo banyak. Malaysia perlu membuat tafsiran baru terhadap Al-Qur’an yang sesuai dengan zaman, mereka, untuk zaman kini sudah tidak sesuai lagi dan lain-lain masih banyak lagi.
Dan perlu dimaklumi hal ini bukan fitnah sebab banyak bukti-buktinya, pernah surat kabar Al-Harakah milik PAS di Malaysia, menghimpunkan kira-kira ada 30 sampai 40 ungkapan kufur yang keluar dari mulut para pemimpin UMNO, alhamdulillah saya sendiri membaca surat kabar tersebut dan saya simpan pada waktu itu, disamping itu saya juga mendengar kaset ceramah Mahathir secara langsung dan disitu dia melecehkan jilbab, jenggot, dan lain sebagainya.
Coba sekarang tanyakan kepada akal dan fikiran kita, yang masih waras, apalagi jika iman kita masih sehat, jama’ah atau partai seperti itudipimpin oleh manusia yang perangainya seperti itu, kok kaum muslimin diwajibkan bergabung dengan jama’ah tersebut dan wajib taat kepada pemimpinnya, karena sebagai Ulil Amri Minkum atau Amirul Mukminin, jika tidak berbuat demikian divonis sebagai Ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’ dan sebagai khawarij bagi yang menetangnya. Astaghfirullah, Salafy model apa ini????
Contoh lain : Ustadz Dzul Ahmad (Pekanbaru)termasuk tangan kanannya ustadz Ja’far Umar Thalib, pada waktu berceramah atau mengadakan taklim di Malaysia, dan Singapura sudah menjadi kebiasaan mereka, dalam ceramahnya tidak terlewat dari menghina orang yang dianggap ahlul bid’ah (kelompok yang bertandhim dan berjihad terutama yang melawan pemerintahan murtaddin). Maka dalam salah satu majlisnya mulailah si ustadz itu mencemooh Asy-Syaikh Umar Abdurrahman hafidzhahullah diantara ceramahnya, kalau dia seorang mujahid kenapa hijrah ke negara barat? Dengan gaya yang sinis –cerita ini saya tidak melihatnya secara langsung tetapi diberitahu oleh seorang ikhwan yang berhadapan dengan ustadz tersebut secara langsung- maka dengan cemoohan itu, ikhwan itu bertanya kepadanya, dengan nada yang kurang beres juga, katanya “Kalau tidak patut hijrah ke negara barat, yang menurut ustadz, kemana beliau mesti berhijrah, apakah ke Indonesia negara pancasila itu?” Ustadz pun terpancing emosinya bagaikan api dituang bensin karena mengetahui si penanya pernah mengaji dengan ustadz Abdullah Sungkar, dan ustadzpun pernah mendengar informasi yang serba jelek tentang beliau dari kawan-kawannya, “Salafi” yang lain yang sebenarnya sama-sama tidak tahu dan tidak mengenali siapa sebenarnya ustadz Abdullah Sungkar dan apa manhaj perjuangannya, hanya pakai ilmu hiroto saja. Maka mulailah ustadz tersebut mengeluarkan cemoohan-cemoohan dan penghinaan-penghinaan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh orang biasa yang awam apalagi seorang ustadz yang mengaku salafi, tetapi karena sudah terjangkit fitnah syubuhat (kebodohan), yang menganggap kata-kata hinaannya mendapat pahala, sebab yang dihina adalah seorang ahlul bid’ah menurutnya, maka bisa mengucapkan apa saja sesuai kehendak nafsunya, diantara kata-kata yang dianggap nyalafi antara lain; Abdullah Sungkar sebentar lagi akan tersungkur, daripada Indonesia dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan ahlul bid’ah-ahlul bid’ah  lebih baik dipimpin oleh Suharto..dst, yang dimaksud dengan ahlul bid’ah disini adalah semua harakah Islam yang yang bertandzhim, sedangkan tadzhib salafi, terutama jama’ah-jama’ah jihad yang menentang pemerintah sekuler, bahkan kelompok yang seperti ini mereka juluki sebagai khawarij modern.
Maka menurut faham sungsang mereka, lebih baik kaum muslimin dipimpin oleh penguasa-penguasa sekuler, (yang telah keluar dari Islam dari segala pintunya itu)  daripada dipimpin oleh orang-orang yang berada dalam jama’ah-jama’ah jihad yang mereka anggap khawarij itu.
Kenapa hal yang aneh dan nyleneh-nyleneh seperti ini bisa terjadi pada diri seseorang yang boleh dibilang ada ilmu, bahkan mengakui bermanhaj dan pengikut salaf, padahal kalau toh terjadi pada diri orang awam itupun merupakan aib? Jawabannya sangat mudah, yaitu karena telah terinjeksi dengan kuman dan bakteri yang berbahaya yaitu kuman dan bakteri Murji’ah.
Inilah bahaya pemahaman Murji’ah yang tidak mengaitkan hukum iman dengan amal perbuatan seseorang, maka manusia dianggap muslim tanpa memandang amal dan perbuatan mereka, mereka menghukumi iman seseorang hanya berdasarkan tashawwur dan tashdiq, (pemahaman dan pembenaran), yakni hal yang berkenaan dengan hati saja,.
Murji’ah memisahkan antara tashawwur dan tashdiq dengan harokah dan kehidupan, antara I’tiqod dan keyakinan  dengan suluk dan amal, antara pemahaman (persepsi) dan pembenaran dengan hukum-hukum dan taklif (tanggung jawab).
Sebenarnya semua dien (agama) yang ada di muka bumi ini, yang samawi asli (Islam), yang samawi palsu yang sudah dirubah-rubah (Yahudi dan Nashrani), yang Ardhi (Hindhu, Buddha, Konghuchu, Sontoloyo dan seterusnya), semua mengandungi dua perkara tersebut diatas, yaitu :
1.      Yang berhubungan dengan tashawwur dan tashdiq.
2.      Berhubungan dengan hukum-hukum taklif.
Demikian juga dengan dien-dien lain seperti komunis, nasionalis, sekuler dan sebagainya. Dien menurut definisi syar’I adalah sesuatu yang berhubungan dengan tashawwur dan tashdiq atau yang berhubungan dengan hukum-hukum dan takaalif atau kedua-duanya sekali. Maka Hindhu, Budha, Konghuchu, Kebatinan, Yahudi, Nasrani, Komunisme, Ba’atsisme, Sekulerisme, Nasionalisme, dan lain sebagainya Islam menyebutnya sebagai dien tetapi dien yang batil dan kafir.
Supaya menjadi jelas dan gamblang, kita ambil saja komunisme sebagai contoh, agama komunis mempunyai dua perkara tersebut diatas yaitu 1, Tashowwur dan Tashdiq, antara lain mengingkari alam ghoib, 2. adapun hukum-hukum dan takaalifnya dalam masalah ekonomi (sosialis), dalam hal kemasyarakatan ada hal sistem  Ibahiyah/permisifisme/serba boleh, dan dalam masalah politik menganut diktatorisme/dictator.
Orang Islam  bila saja disebut komunis langsung tanpa pikir panjang dapat memahami bahwa komunis adalah kafir, tetapi pengkafirannya hanya di dasarkan atas tashawwur dan tashdiqnya yaitu “mengingkari alam ghoib” tidak dan bahkan sama sekali tidak disandarkan pada yang kedua, maka begitu orang-orang komunis menyadari hal ini, mereka langsung mengubah strategi dalam mendakwahkan agama mereka terhadap kaum muslimin, tidak ikut cawe-cawe dalam masalah tashawwur dan tashdiq, dengan demikian banyak kaum muslimin yang terpikat dengan agama mereka, maka tidak aneh jika Syamsiyah Faqih yang lulusan pesantren itu memimpin gerakan komunis di Malaysia, demikian juga di Indonesia, di Arab (Yaman Selatan, Somalia, Irak dan lain sebagainya).
Dan tidak aneh juga jika Asy-Syaikh As-Salafi Muhammad bin Ibrahim Syaqrah, dan As-Syaikh –dari Ikhwanul Muslimin- Adnan Sa’duddin, mengatakan bahwasanya mereka tidak bisa mengkafirkan semua orang komunis pada masa kini, sebab ternyata diantara mereka ada yang sholat, kenapa demikian, sekarang menjadi jelaslah perkaranya, karena pengkafiran, terhadap orang-orang komunis hanya disandarkan pada tashowwur dan tashdiq alias masalah keyakinan hati, inilah yang disebut aqidah Ghullat (melampaui batas) bid’ah Murji’ah.
Contoh lainnya adalah agama Sekulerisme (ladiniyah).
Kafir barat lebih bijak lagi, dalam melaksankan agama sekulernya terhadap kaum muslimin, tidak menunjukkan sama sekali penentangannya dalam hal tashawwur dan tashdiq, malah seolah-olah membantu, mereka tidak perduli mau percaya yang ghoib atau tidak, mau percaya nubuwwah Nabi Muhammad sholalloohu alaihi wa sallam, percaya siksa kubur atau tidak, dan lain sebagainya. Akan tetapi mereka dengan kekuatan masuk dalam bagian dien yang lain yaitu hukum-hukum dan qodho’ (pengadilan), maka dalam masalah dien politik mereka laksanakan dien demokrasi, dalam masalah social kemasyarakatan, mereka melaksanakan dien Al-Hurriyah Al Ijtima’iyyah (liberalisme/kebebasan), dan dalam masalah ekonomi mereka melaksanakan dien kapitalisme maka sekulerisme adalah agama yang merangkumi seluruh aspek kehidupan, seperti komunis, nashrani, Budha, Hindu dan lain sebagainya, hanyasaja ia memberi kebebasan kepada manusia untuk memilah I’tiqod yang mereka yakini dan cenderung ditambah dengan ibadah-ibadah tertentu, yang dianggap tidak berbahaya terhadap agama sekuler mereka.
Apabila kita telah memahami hal ini, barulah kita mengetahui bahwa agama sekulerisme dapat menguasai umat Islam karena tidak berbenturan dengan tashawwur dan tashdiq yang murji’ah sandarkan dan gantungkan hukum iman dan kufur kepadanya, sehingga mungkin saja seseorang menjadi sekuler atau ikut faham sekulerisme tanpa mencemarkan keIslaman dan aqidahnya, dan bisa juga seseorang menjadi seorang demokratik yang “muslim”, bisa juga menjadi seorang kapitalis yang muslim….sosialis yang muslim dan seterusnya, penilaian dan pemahaman seperti ini, adalah sangat buruk lagi kotor, sebab dengan binominal atau sebutan rangkap tersebut menjadi tidak nampak perkembangannya antara iman dan kufur, siapa yang sanggup mengkafirkan orang yang puasa, sholat, beriman kepada yang ghoib, membenarkan Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, beriman bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, jika disebut neraka dia menangis, membuka pidatonya dengan Khutbatul Hajjah, akan tetapi menjalani sekulerisme dalam maslah hukum dan pengadilan dan menjadikannya sebagai manhajul hayah (sistem  kehidupan), seperti “Demokrasi, Kapitalisme dan Kebebasan Sosial”?? bahkan siapa yang sanggup mengkafirkan orang yang beriman kepada sekulernya negara yang diasaskan diatas pondasi dimana rakyat memilih tiga kekuasaan politik (Trias Politika) yaitu :Legislatif (Tasyri’iyah/ pengubah syariat, undang-undang/hukum). Yudikatif (Qodho’iyyah/ penegak undang-undang). Eksekutif (Tanfidzhiyah/ Pelaksana hukum)???
Dari sinilah pemahaman sekuler yang kufur ini bisa membentangkan kekuasaannya kepada kaum muslimin, tanpa mendapatkan perlawanan apapun dari kaum muslimin, yang terjangkit kuman Murji’ah kalaupun ada tantangan paling banter dianggapnya maksiat biasa yang tidak mengeluarkan seseorang daripada Islam, bahkan yang lebih tolol lagi, menganggap bahwa maksiat, negara-negara sekuler hari ini sama dengan maksiat yang terjadi pada daulah dan khilafah pada masa lalu misalnya seperti Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, Raja-raja Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Utsmaniyyah, dan lain sebagainya, kata si tolol ini, negara kita sekarang ada arak, dahulupun ada arak, dan seterusnya, katanya lagi kita mengakui bahwa arak adalah maksiat, tetapi jika maksiat ini dihubungkan dengan hukum kufur tidak boleh, itu kesimpulan hukum yang menyeleweng dari kebeneran begitulah menurut si Murji’ah ini.
Dengan keterangan-keterangan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kelompok atau jama’ah yang mengaku “Salafi” dalam mentakfir adalah mengikuti madzhab Murji’ah, maknanya meskipun seseorang telah melakukan segudang amalan kufur akbar, selama tidak dapat dibuktikan bahwa dalam hati orang tersebut terdapat juhud dan Istihlal, maka orang itu tidak bisa dihukumi kufur, atau kafir, ia hanya melakukan dosa-dosa besar biasa yang tidak menggugurkan imannya.
Bertitik tolak dari aqidah dan pemahaman ini, maka mereka menganggap bahwa para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam pada masa kini, wilayah kepimpinannya adalah syah, dengan demikian para penguasa tersebut berhak mendapatkan hak-haknya dan rakyatnya wajib menunaikan kewajiban-kewajibannya.
Adapun hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah :
1.      Rakyat (kaum muslimin) wajib mentaati mereka kecuali dalam hal-hal maksiat.
Dalilnya adalah Al-Qur’an surat An-Nisa (4) : 59, dan hadits-hadits Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, antara lain,
A.    Khot arab.
Artinya : …”Dan barangsiapa yang mentaati amirku, sungguh telah mentaati aku dan barangsiapa yang bermaksiat terhadap amirku, sungguh telah bermaksiat kepadaku
B.     Khot arab.
Artinya : “…… Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari amirnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesunggunnya barangsiapa keluar dari shultan, sejengkal saja, ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.
2.      Rakyat (kaum muslimin) haram hukumnya keluar dari kepemimpinannya atau mengumpulkan maksiatnya terhadap wilayahnya, karena hal itu dapat merusak keta’atan terhadap sultan dan kaum muslimin dalilnya (lihat juga hadits bagian B yang tertulis diatas),
Khot Arab
Artinya : “Barangsiapa yang menghinakan sulthon, Allah akan menghinakannya”
3.      Hendaklah rakyat mendo’akan mereka agar senantiasa bik, benar, mendapatkan taufiq dan dijaga dari segala keburukan dan kesalahan, karena baiknya rakyat sangat tergantung kepada kebaikan mereka demikian juga misalnya rusaknya rakyat sangat bergantung pada kerusakan mereka.
Khot Arab
Artinya : “Ad-Dien adalah nashihat, kami katakan  bagi siapa?  Beliau bersabda “bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan untuk pemimpin-pemimpin kaum muslim serta awam mereka.”
4.      Hendaknya rakyat tetap ikut berjihad di belakangnya dan menjadi makmum dalam sholatnya, meskipun mereka fasiq dan melanggar perkara-perkara yang haram yang bukan kufur akbar, berdasarkan sabda Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, sewaktu beliau ditanya oleh salah seorang sahabatnya tentang mentaati pemimpin-pemimpin yang buruk yaitu sebagai berikut:
Khot Arab
Artinya : “Dengarkanlah dan taatilah karena sesungguhnya beban mereka dipikulkan keatas mereka dan beban kamu dipikulkan keatas kamu
Khot Arab
Artinya : “Kami berbai’at kepada Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, diatas mendengar dan ta’at, dalam hal yang kami sukai dan yang tidak kami sukai, yang sukar dan yang mudah serta yang menjadi pilihan (menguntungkan), kami dan agar kami tidka mencabut urusan (imarah) dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kufur yang tampak jelas yang menurutmu terdapat padanya dalil dan hujjah dari Allah” (Rujuk Tafsir Ibnu Katsir, dan Minhajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, 64).
Efek lanjutan dari penilaian ini, maka setiap kelompok khussunya yang memiliki kekuatan yangmenentang danmelawan penguasa-penguasa sekuler di cap dengan ahlul baghyi (bughat) yaitu : Jama’ah yang memiliki kekuatan yang keluar dari imam (yang syah menurut syariat), kaum muslimin seluruhnya berkewajiban untuk memerangi mereka.
Dengan demikian maka tidak aneh, jika sebagian yangmengaku salafi apabila disebut nama-nama Soeharto, Mahathir, Husni Mubarak, Hafidz Asad,  dan sebagainya terasa sejuk hati mereka, dan bersedia membela dengan harta, jiwa dan raga, tetapi sebaliknya apabila disebut nama-nama seperti Asy-Syaikh Umar Abdurrahman, Asy-Syaikh Aiman Adh-Dhowahiri, Asy-Syaikh Usamah bin Ladin, Asy-Syaikh Safat Hawali, Asy-Syaikh Salman Al Audah, Asy-Syaikh Abdullah Azzam, Asy-Syaikh Abdullah Sungkar, Asy-Syaikh Anwar Sya’ban dan lain sebagainya, dari masyayikh-masyayikh mujahidin hafidhahullahuanhum ajma’iin, hati mereka merasa jijik, dan sinis dan sanggup membongkar aib mereka itupun masih menurut dugaannya serta menjatuhkan harga diri dan wibawa mereka karena menurut hawa nafsunya dan kebodohannya bahwa perbuatan tersebut mendapat pahala.
Khot Arab
Catatan : keterangan-keterangan tentang “As-Salafi” yang telah tersebut sebelumnya bukan berarti saya menuduh atau memastikan bahwa setiap muslim atau muslimah yang menyertai kelompok tersebut berarti pemahaman dan aqidahnya seperti itu, namun begitulah yang bisa kita catat dari perkataan-perkataan, sikap dan tulisan sebagian besar dari personal-personal kelompok tersebut…-wallahu a’lam-.
3.         Jama’ah-Jama’ah Al Ikhwanil Muslimin.
Jama’ah-Jama’ah Al Ikhwanil Muslimin, sejak awal didirikan oleh pendirinya, mursyidnya yaitu Asy-Syaikh Hasan Al-Banna, tidak menjadikan operasi benturan secara fisik sebagai manhaj dalam melawan pemerintah sekuler Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Raja Faruq, bahkan beliau pernah menyuruh jama’ahnya keluar untuk menyambut kedatangan Raja Faruq sewaktu pulang dari lawatannya di luar negeri, dan meneriakkan slogan-slogan yang intinya mendukung dan memujinya, dengan maksud bahwa dunia Internasional mengerti bahwa rakyat Mesir mencintai rajanya.
Disamping itu pada masa jama’ah ini kepemimpinannya dipegang oleh Ustadz Hasan Al Hudhaibi, seorang advocate (pengacara), sebagai pengganti sesudah kesyahidan Asy-Syaikh Hasan Al Banna, ia telah membubarkan unit khusus dalam jama’ah tersebut yaitu unit Askari yang telah dibentuk As-Syaikh Hasan Al-Banna sebelumnya untuk melawan Inggris (Al-Jihad wal Ijtihad, 135).
Kemudian sebagimana yang telah dimaklumi jama’ah ini telah menerima sebagian agama sekuler dalam bidan gpolitik yaitu Demokrasi kufur barat, dan telah menjadikannya sebagai manhaj atau cara untuk memperjuangkan Islam, karena tidak bersikap bara’ terhadap dien dan sistem  sekuler, maka dengan sendirinya tidak mungkin bisa bersikap bara’ terhadap pemilik-pemilik sistem  itu, dalam hal ini adalah pra thowaghit, bagaimana bisa bersikap bara’ sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat sedangkan dirinya terlibat menjadi kaki tangan atau pegawai-pegawai dalam badan-badan atau institusi-insituti utama penyangga dien Sekuler.
Asy-Syaikh Sayyid Qutb, beliau adalah salah seorang tokoh yang pernah melibatkan diri dalam Jama’ah Al Ikhwanul Muslimin, tetapi tokoh yang satu ini lain daripada tokoh-tokohnya yang ada, beliau sikap bara’(berlepas diri/membenci/memusuhi-ed)nya terhadap thoghut dan sistemnya tegas dan jelas, hal in bisa kita lihat dari tulisan-tulisan beliau dan lebih gamblang dari itu, dengan sikap bara’nya beliau telah mengakhiri hidupnya diatas tiang gantungan pada tahun 1966 M, dibawah rezim Sekuler Jamal Abdul Nashir.
Demikian lah istiqomahnya As-Syahid Sayyid Qutb dalam mempertahankan Al-Haq terutama, dlam mempertahankan Iman dan Tauhid, beliau membebaskan dirinya dari menghamba kepada makhluk, pantang melakukan syirik baik syirkul qubur maupun syirkul qushur, namun sayang seribu sayang jama’ah tersebut tidak mengambil manfaat dari pelajaran dari Iman dan Tauhid lelaki ini, dalam bentuk manhaj perjuangannya.
Yang diambil oleh mereka tidak lebih dari sekedar fikrah, nostalgia dan kebanggaan sejarah, maka kehadiran lelaki yang besar ini dalam Jama’ah Ikhwanul Muslimin, jika diibaratkan, keadaannya hampir sama dengan keberadaan Asy-Syaikh Safar Al Hawali dan Asy-Syaikh Salman Al Audah dalam jama’ah “Salafi”, begitulah kira-kira –wallahu a’lam-.
Dari kenyataan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa jama’ah-jama’ah Ikhwanul muslimin tidak jelas sikapnya terhadap masalah takfirul hukkam, apakah mengikuti murji’ah atau lebih parah dari itu, yang jelas tidak mengikuti sikap Khawarij, apalagi mengikuti manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, kalau As-Salafi secara umum mendukung pemerintahan sekuler dari segi pemahaman dan pemahaman ini merupakan pupuk urea bagi jama’ah-jama’ah Ikhwanul musimin yang sejak semula telah melibatkan diri dalam sistem  khususnya dalam sistem  demokrasi parlemen.
Ada seorang tokoh muda dari jama’ah Ikhwanul Muslimin ini yang menyatakan, “Meskipun jama’ah ini ada perubahan, artinya tidak sama persisi dengna induknya, sebagaimana yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa banyak sekali kelompok-kelompok jama’ah-jama’ah yang pada prinsipnya manhajnya serupa dengan jama’ah induk, tetapi disana-sini ada perbedaan dan perbaikan,”
Tokoh itu adalah Ustadz Muhammad Surur Zainul Abidin, ustadz ini jika ditanya tentang masalah hukum para hukkam (pekerja di lingkup hukum pemerintahan), biasanya terus marah dan mengatakan, mereka adalah mujrimun (orang-orang yang berdosa), jika ditanya lagi karena mengingat pentingya mengetahui kedudukan mereka yang sebenarnya muslimkah ataukah kafir? Sebab antara dua posisi ini masing-masing menuntut sikap seorang mukmin yang perbedaan antara sikap-sikap tersebut seperti langit dan bumi, namun demikian pertanyaan tersebut tidak dijawab selain marah baik dari ustadzataupun dari yang lainnya, konon khawatir ada mata-mata pemerintah, seolah-olah masalah ini termasuk masalah yang seorang muslim boleh menyembunyikannya, atau termasuk masalah rahasia dalam jama’ah-jama’ah Islam, padahal menurut prinsip jama’ah induk Ikhanil Muslimin adalah “Menjelaskan dakwah dan menyembunyikan tandzhim (organisasi-ed)”, artinya tidak ada ketegasan sikap dalam masalah ini.
Sebetulnya ada sebagian tokoh-tokoh dari kalangan jama’ah-jama’ah Ikhwanul Muslimin yang bersikap tegas dalam mentakfir para hukkam pemerintahan sekuler, bahkan lebih dari itupun ada yaitu yang berjihad dengan kekuatan untuk melawan mereka misalnya, Asy-Syaikh Asy-Syahid Abdullah Azzam rahimahullahu ajma’in, Asy-Syaikh Asy-Syahid Marwan Hadid, rahimahullahu ajma’in dan sebagainya, tetapi mereka itu tidak henti-hentinya mendapat peringatan keras dari jama’ahnya, bahkan mendapatkan ultimatum dikeluarkan dari jama’ah, saya mendengar dari seorang Syaikh yang sudah syahid di Afghanistan, menyatakan bahwa kira-kira sembilan hari sebelum As-Syaikh Abdullah Azzam menemui kesyahidannya beliau menerima sepucuk surat dari jama’ahnya, yang diantara isinya berisikan ultimatum, namun kata perawi tersebut As-Syaikh Abdullah Azzam sepatah katapun tidak menanggapi surat itu, sampai pada saat beliau menemui kesyahidannya –wallahu a’lam-
As-Syaikh Marwan Hadid rahimahullahu ajma’in, lainpula, beliau hendak melibatkan Jama’ah Ikhwanul Muslimin di Syiria untuk berjihad melawan pemerintahan Nushairi, Ba’athi Sekuler, pimpinan Hafidz Asad, beliau berusaha keras memuaskan mereka dngan jihad tetapi meeka menolak pendapatnya namun beliau tetap memutuskan untuk melibatkan Ikhwanul Muslimin, dalam berjihad dan mengatakan kata-kata kritikan “Seandainya Ikhwanul Muslimin mengusirku dari pintu, aku akan kembali kepada mereka dari jendela ” (Al-Jihad wal Ijtihad 187).
4.         Jama’ah-jama’ah Al Jihad As-Salafiyah.
Jama’ah-jama’ah jihad as-salafiyah dalammentakfir mempunyai sikap dan manhaj yang jelas, mereka memaklumi dan menyadari bahwa takfir adlah hkukm syariat, oleh karena itu setiap muslim wajib mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah ta’ala, dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini terjadi dan ada karena mentakfir adalah urusan syar’i, maka tidak ada peranan dalil yang bersifat akal dalam hal ini. Seseorang muslim tidak boleh mengkafirkan seseorang melainkan dengan dalil sam’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau dengan ijtihad yakni dengan qias diatas dalil sam’i.
Berkata Asy-Syaikh Ibnul Qoyyim Al Jauziyah rahimahullahu ajma’in, dalam nuniyahnya (sebuah aturan syair yang selalu diakhiri dengan huruf nun (khot arab))
Khot Arab
“Kufur adalah hak Allah kemudian Rasul-Nya dengan nash bukan dengan qoul fulan, barang siapa yang Rabb Alam semesta dan hamba-Nya (Allah dan Rasul-
Nya), telah mengkafirkannya, maka itulah orang yang kufur (kafir).
Ada sebagian orang yang kurang ilmu dan pengalamannya mengatakan bahwa takfir adalah hukum secara muthlaq saja dan tidak boleh dipergunakan dalam ta’yin (orang tertentu), berarti : kita boleh mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan perbuatan ini atau mengucapkan ucapan itu atau meyakini dengan keyakinan seperti ini ia adalah kafir, akan tetapi jika perbuatan tersebut atau ucapan tersebut, atau keyakinan tersebut betul-betul diucapkan oleh seseorang atau orang tertentu, maka kita tidak boleh menghukumi orang tersebut adalah kafir.
Pemahaman seperti ini adalah salah dan ganjil (syadz) dari manhaj salaf, sesungguhnya banyak ulama’ salaf yang menyatakan lafaz takfir pada orang-orang tertentu dengan kata lain tunjuk hidung, kita lihat sebagian contoh dibawah ini,
1.      Imam Al Bukhari berkata, “Pada suatu hari aku datang menemui Al-Humaidi (syaikh/guru beliau), umurku pada saat itu mencapai delapan belas tahun, ketika aku menemuinya beliau sedang berselisih dengan seseorang dalam hal hadits, maka tatkala Al-Humaidi melihat aku, ia berkata, “Sungguh telah datang orang yang akan menjelaskan mana satu yang benar diantara kita” lalu keduanya menyerahkan kepadaku, lalu aku putuskan bahwa yang benar adalah Al-Humaidi, sedang pendapat orang yang menyelisihinya adalah salah, seandainya orang yang menyelisihinya tetap bersikap keras, diatas pendapatnya yang salah, kemudian ia mati diatas pengakuannya (tuntutannya), niscaya ia mati dalam keadaan kafir” (Siyar A’lamin Nubala’ 12/401).
2.      Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Tidak ada seorangpun dari Ahlul ilmi yang memuji “Al-Hairah” (sesuatu yang membuat bingung), selain golongan dari orang-orang yang ingkar dan menyimpang dari kebenaran (mulhidin), seperti penulish “Al-Fusush” yaitu Ibnul A’rabi dan orang-orang yang sepertinya, mereka adlah orang-orang bingung, maka mereka telah keluar dari akal dan dien, baik dien kaum muslimin yahudi dan nashara”. (Al-Fatawa al Kubro 5/59).
3.      Imam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalahnya, “Kami ingatkan kepadamu bahwa kamu dan bapakmu secara terang-terangan telah melakukan kufur syirik dan nifaq….kamu dan bapakmu tidak memahami syahadat, aku bersaksi dengan syahadat ini yang Allah akan bertanya kepadaku pada hari kiamat tentangnya, bahwasanya kamu dan bapakmu tidak mengerti syahadat hingga sekarang ini, dankami telah menjelaskan kepadamu dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya, mudah-mudahan kamu bertaubat kepada Allah dan kamu masuk dalam agama Islam jika Allah memberi petunjuk kepadamu” (Ad-Durar As-Sunniyah-hukum ul murtad 61,62).
Dan contoh-contoh lain banyak sekali hampir tidak bisa dihitung, para imam-imam dari Ahlus-Sunnah mengkafirkan orang-orang terntentu dengan menyebut nama atau tunjuk secara langsung.
Akan tetapi yang perlu diingat bahwa hukum takfir (mengkafirkan) adalah seperti hukum qodho’ (pengadilan), artinya pengkafiran tidak boleh dilakukan pada diri seseorang melainkan sesudah terbukti syarat-syarat takfir pada orang tersebut, dan tidak ada penghalang, secara syar’i yang menghalangi orang tersebut di vonis sebagai kufur.
Kesalahan dalam mentakfir disebabkan karena :
a.       Tuduhan tidak benar, misalnya bisa jadi seseorang dikatakan telah melakukan suatu perbuatan, ucapan atau I’tiqod kufur, tetapi ternyata si tertuduh tidak melakukan apa-apa.
b.      Mengkafirkan karena perbuatan dan perkataan, yang tidak jelas, mengandungi berbagai maksud maka dalam hal ini mesti diketahui dulu maksud orang yang mengucapkan perkataan itu, atau orang yang melakukan perbuatan itu, sehingga jelas maksudnya, termasuk juga dalam hal ini yaitu takfir dengan lawazim, (yang masih memerlukan keterangan) .
Adapun takfir yang tercela menurut syariat adalah takfir yang dilakukan oleh orang-orang yang bisa dikatagorikan sebagai khawarij modern, mereka adalah orang-orang sesat penebar fitnah, mereka adalah :
1.      Orang yang meyakini bahwa pada dasarnya semua manusia itu kufur, sehingga menganggap bahwa manusia kembali kepada kekufuran dan syirik, ia mempunyai pandangan bahwa seluruh manusia telah kufur tanpa adanya perbedaan dan penjelasan masing-masing.
Berkata Ibnu Abdul Wahhab rahimahullahu ajma’in, apa yang dikatakan kepadamu tentang dirik, bahwa aku mengkafirkan secara umum, itu adalah tuduhan bohong musuh-musuhku.
Kemudian anak-anaknya menerangkan ungkapan tersebut, katanya ; “Perhatikanlah As-Syaikh bahwa aku tidak mengkafirkan secara umum, bahwa ada perbedaan yang jelas antara umum dan khusus, pengkafiran secara umum berarti mengkafirkan keseluruhannya baik yang alim maupun yang jahil, yang telah disampaikan hujjah kepadanya maupun yang belum, adapun mentakfir secara khusus yaitu tidak mengkafirkan kecuali terhadap seseorang yang telah disampaikan hujjah (keterangan), kepadanya, baru setelah itu jika ia tidak menerimanya dikafirkannya, dan kadangkala penduduk negeri (kampong/desa), di hukumi kuffar, (sebagai orang-orang kafir), hukum mereka adalah hukum orang-orang kafir, akan tetapi setiap orang dalam negeri tersebut tidak boleh dihukumi kafir, karena boleh jadi didalam negeri tersebut ada orang Islam yang uzur tidak dapat berhijrah, atau tidak dapat menampakkan diennya, sehingga kaum muslimin tidak mengetahuinya”
Maka orang-orang yang mempunyai keyakinan kufurnya umat secara umum dan berpendapat bahwa pada dasarnya manusia adalah kufur apda masa kini, mereka adalah ahlul bid’ah dan ahludh-dholal, mereka inilah orang-orang yang patut digelari sebagai khawarij modern.
Adapun orang yang mengkafirkan  seseorang karena adanya bukti-bukti yang menguatkan tuduhannya, kemudian iapun telah mengetahui bahwa hujjah telah sampai kepada orang itu, dan perkaranyapun jelas, tidak mengandung takwil yang sembarangan, dan tidak pula ada sesuatu yang tersembunyi dan tidak jelas yang tidak memerlukan penjelasan tujuannya dari hal tersebut, maka inilah dienul Islam sedang yang lainnya adalah bid’ah dan sesat.
2.      orang yang mengkafirkan dengan segala dosa dan maksiat, sebagaimana madzhab khawarij yang mana sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya khawarij menganggap bahwa semua dosa kedudukannya sama yaitu pada satu tingkatan yang disebut kufur akbar, mereka juga termasuk ahlul bid’ah dan ahludh-dholal, dan sanggahan Ahlus-Sunnah terhadap mereka bisa dibaca di berbagai kitabul Iman.
3.      dan termasuk juga yang bisa disebut khawarij pada zaman ini adalah “Takfiri” (golongan Takfiri), mereka juga ahlul bid’ah dan ahludh-dholal, mereka adalah orang yang mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka, orang-orang yang tidak masuk dalam ketaatan kepada mereka dan jama’ah mereka, orang-orang yang seperti ini yang menganggap bahwa bahwa diri mereka adalah jama’atul muslimin, selain mereka bukan, dan keluar dari mereka serta menyelisihi mereka adalah kafir, mereka adalah ahlul bid’ah yang paling jahat dan paling buruk, sebab dengan demikian mereka tidak segan-segan untuk membunuh orang-orang yang menyelisihi mereka, bahkan menganggap membunuh orang yang menyelisihinya lebih dekat dan lebih banyak pahalanya daripada membunuh orang kafir asli atau orang yang murtad.
Dari keterangan diatas dapat kita simpulkan, bahwa ternyata takfir ta’yin itu ada dan jelas masyru’ (disyari’atkan-ed) sebagaimana yang diamalkan oleh salaf.
Selama ini karena aqidah murji’ah yang dominant di tengah-tengah umat sehingga seolah-olah takfir itu hanya merupakan teori belaka, yang tidak pernah ada prakteknya.
Selanjutnya mengingat fokus  pembahasan kita adalah takfirul hukkam sedangkan sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa kebanyakan hukkam pada masa kini telah keluar dari Islam dari segala pintunya, karena berbagai kufur akbar yang mereka lakukan atau dengan kata lain bermacam-macam sebab-sebab kufur yang mereka lakukan yang menjadikan mereka menjadi kafir, tetapi barangkali sebab-sebab kufurnya berbeda-beda antar yang satu dengan yang lain, ada yang karena berwala’ kepada orang kafir, tetapi barangkali sebab-sebab kufurnya berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, ada yang karena berwala’ kepada orang kafir secara jelas, ada yang karena mengolok-olok Allah ta’ala oleh karena itu ada baiknya Insya Allah kita bahas masalah ini seperlunya,
Allah ta’ala berfirman, (Q.S. Al-Ma’idah (5): 44).
Khot Arab.
Artinya : “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”
Tidak ada satu ayat yang diperselisihkan pada masa kini, lebih daripada ayat ini, setiap kelompok memiliki pemahaman sendiri-sendiri, sebagaimana ygn dikehendaki dan memiliki takwilan sesuai yang disukai, ada diantaranya yang menyatakan bahwasanya berhukum dengan selain yang diturunkan Allah adalah merupakan kufur amali yang berarti tiada makna lain selain kufur asghar, olehkarena itu, maka barangsiapa yang meninggalkan hukum Allah ta’ala berarti dia termasuk orang-orang yang bermaksiat, dan perbuatan tidak mengeluarkannya dari Islam, kecuali jika disertai dengan adany a i’tiqod menolak hukum Allah itu.
Orang yang memegang pendapat tersebut meengatakan bahwasanya orang yang menghukumi telah  keluar dari Islam (kafir) terhadap orang yang meninggalkan hukum Allah Ta’ala dia adalah bermadzhab khawarij yang mengkafirkan dengan semua maksiat dan dosa-dosa.
Dan ada juga yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah turun bukan pada kaum muslimin tetapi untuk orang Yahudi atau selain mereka, maka jika dipergunakan untuk menghukumi oran gIslam berarti telah meletakkan ayat tidak pada tempatnya, dan bermacam-macam lagi takwilan yang berbeda-beda.
Agar kita dapat mendudukan ayat tersebut dengan sebaik-baiknya dan dapat memahami dengan mudah –Insya Allah- ikutilah penjelasan di bawah ini :
1.      Ayat tersebut berbicara tentang hukum orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan berbicara tentang hukum orang yang berhukum dengan selain Al-Kitab dan As-Sunnah, membedakan antara keduanya sangat penting, seandainya ada seorang qodhi (hakim) yang dihadapkan suatu masalah lalu ia meninggalkan hkukm Allah dalam perkara tersebut, padahal ia mengetahui hukumnya, keadaan inilah yang dimaksud oleh ayat ini, akan tetapi jika qodhi tersbeut menghukum perkara tadi dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka berarti telah terkumpul dua pelanggaran,
a.       Meninggalkan hukum yang diturunkan Allah.
b.      Berhukum selain dengan selain yang diturunkan Allah, keduanya kedudukannya berbeda,
Yang kedua (point b) pasti memasukkan yang pertama, sedangkan yang pertama (point a) belum tentu memasukkan yang kedua.
2.      Sunnah Nabi sholalloohu alaihi wa sallam, yang menunjukkan adanya kufur asghar, (kufur kecil) dan kufur asghar tidak tersurat dalam Al-Qur’an, bahkan Imam As-Syathibi, berkata, bahwasanya hukum-hukum dalam Al-Qur’an seluruhnya Gho’iyah (terakhir/tertinggi), adapn dalam As-Sunnah ada yang gho’i (tertinggi) ada pula yang wustho (pertengahan), oleh karenanya, tidak terdapat lafadz kufur dalam Al-Qur’an yang mengandung kufur Asghar, memang tersurat dalam Al-Qur’an tentang kufur dengan berbagai makna, sebagian ahlul Ilmi menyebutkan ada lima (bisa dilihat dalam Nuzhatul A’yun An-Nawazhir fi Ilmil Wujuh wan Nazhoir, Ibnul Jauzi 2/119) akan tetapi tidak terdapat yang menunjukkan bahwa dalam Al-Qur’an  ada lafadz kufur, yang mengandung kufur asghar.
3.      Cara membedakan antara kufur akbar dan kufur asghar, yang terdapat dalam As-Sunnah bermacam-macam yang terpenting sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Imam Al Kabir, bahwasanya apabila kata-kata kufur tersurat dengan bentuk makrifah, maka berarti tidak terkandung selain kufur akbar, tetapi jika bentuknya nakirah, maka untuk memahaminya mesti dikembalikan kepada cara-cara lain utuk mengetahui maksudnya apakah yang dimaksud oleh konteks tersebut kufur akbar ataukah asghar.
Adapun berhukum dengan selain hukum Allah dalam masalah ini banyak bentuk-bentuknya, sebagiannya masuk secara kulli (keseluruhan), yang berarti kufur akbar, pelakunya kafir, dan ada yang masuk dalam ayat secara juz’i (sebagian) yang berarti kufur asghar.
Adapun bentuk-bentuk yang termasuk dalam ayat tersebut secara keseluruhan yang berarti kufur akbar yang telah menjadi ijma’ul umat adalah sebagai berikut :
a.       Tasyri’ (membuat syariat / menggubah undang-undang).
Berkata Imam Asy-Syathibi rahimahullahu ajma’in dalam Al-I’tisham 2/61 bahwa setiap bid’ah meskipun sedikit, membuat syariat dengan merubah atau mengurangi, atau merubah dari keasliannya, yang benar, dan semua itu digabungkan dengan syariat yang sudah ada,, maka dengan demikian syariat menjadi tercela (seolah-olah syariat itu tidak sempurna). Seandainya ada seseorang yang dengan sengaja berbuat demikian dalam syariat yang mulia ini, maka sungguh ia telah kafir, karena menambah dan mengurangkan dalam syariat atau merubah sedikit maupun banyak.
Disini Imam Asy-Syathibi menyatakan bahwa tasyri’ (membuat syariat) secara muthlaq adalah kafir, tidak ada bedanya sedikit maupun banyak, karena sesungguhnya makna tasyri’ berarti menolak perintah Allah Ta’ala dan hukumnya, maka perbuatan ini adalah kufur menurut Ijma’ul Millah.
Berkata Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, manusia bilamana menghalalkan yang haram yang sudah disepakati atasnya atau mengharamkan yang halal yang telah disepakati akan halalnya, atau mengganti syariat yang telah disepakati atasnya, dia adalah murtad menurut kesepakatan. (Majmu’ Fatawa III/267).
Berkata, Asy-Syaikh As-Syanqithi : adapun peraturan yang bertentangan dengan syariat (peraturan) pencipta langit dan bumi, maka berhukum kepadanya adalah kufur kepadapencipta langit dan bumi (Adhwa’ul Bayan 4/84)
b.      Menolak hukum Allah ta’ala karena enggan atau tidak mau tanpa disertai adanya juhud (mengingkari) dan tidak pula mendustakan.
Berkata Al Jashosh, “Sesungguhnya orang yang menolak sesuatu dari perintah Allah ta’ala, atau perintah Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, maka dia keluar dari Islam, baik penolakannya karena ragu-ragu atau menerima dan tidak mau menyerah” (Ahkamul Qur’an II/214).
c.       Orang yang komitmen dengan selain hukum Allah Ta’ala.
Berkata Ibnu Taimiyah “Barangsiapa yang tidak komitmen kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, maka dia adalah kafir”, dan berkata lagi, ”Barangsiapa yang tidak komitmen untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam perkara antar mereka, maka sungguh Allah telah bersumpah dengan diri-Nya bahwa orang itu tidak beriman. (Minhajus-Sunnah V/131).
Dan berkata As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh rahimahullahu ajma’in, (beliau mufti Arab Saudi terdahulu sebelum bin Baaz) dalam sebuah risalah Tahkimul Qowanin (risalah tersebut sudah saya terjemahkan dan selesai -alhamdulillah-, entah sudah dicetak atau belum, saya tidak tahu pasti), dalam risalah tersebut beliau membagi kufur akbar dan termasuklah ayat ini (Q.S. 5: 44), ia termasuk yang paling besar kufurnya, yang paling merangkumi dan paling jelas kekafirannya, yaitu menentang syara’ keras kepala lagi sombong terhadap hukum-hukumnya, menetang Allah dan Rasul-Nya, dan mensejajarkannya dengan pengadilan-pengadilan undang-undang lain, atau menirunya baik dalam hal persiapan (penyiapan data), penyediaan, dan melengkapi segala sesuatunya, penyisihan, konsolidasi, pencabangan, pembentukan, hukum, kewajiban/pemaksaan, pengambilan referensi atau sandaran hukum maka sebagaimana pengadilan-pengadilan syariat, maraji’ (referensi) dan pengambilan hukumnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, maka demikian pula pengadilan-pengadilan ini referensinya adalah undang-undang yang campur aduk antara yang haq dan yang batil, yang macamnya seperti undang-undagn Perancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris, dan lain sebagainya, dan dari madzhab-madzhab ahlul bid’ah yang dinisbatkan kepada syariat dan yang selainnya.
Pada masa sekarang ini pengadilan-pengadilan yang berhukum  dengan hukum campuran ini tersedia dengan sempurna dan senantiasa pintunya terbuka di kebanyakan negara-negara kaum muslimin, manusiapun berbondong-bondong, datang untuk berhukum kepadanya, yang mana para penguasanya menghukum diantara mereka dengan hukum yang bertentangan dengan hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu dari hukum-hukum, undang-undang tersebut, mereka memeganginya, dan mewajibkan rakyatnya agar mengakui hukum tersebut serta memerintahkanya agar mengikutinya, mana ada kufur yang lebih parah dari kufur ini dan mana ada pembatal syahadat bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah yang lebih berbahaya dari pembatal ini??
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu ajma’in dalam menafsirkan firman Allah ta’ala surat Al-Maidah (5) : 50;
Khot Arab
 Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yanglebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang  yang  yakin
“Allah ta’ala mengecam terhadap orang yang keluar dari hukum Allah, hukum yang paling sempurna, hukum yang paling baik lagi yang paling adil, yang mengandungi segala kebaikan, yang mencegah dari segala kejahatan, dan berhukum kepada selainnya, yaitu hukum yang dihasilkan oleh akal fikiran dan hawa nafsu serta istilah-istilah yang direka oleh orang-orang yang tidak bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah, berhukum dengan hukum yang diambil dari rajanya yaitu Jenghis Khan, yang telah membuat dan menyusun undang-undang untuk mereka yang disebut Ilyasiq.
Ilyasiq, ialah sebuah kitab kumpulan hukum-hukum atau undang-undang yang diambil dari syariat yang bermacam-macam, dari Yahudi, Nashrani, Islam dan sebagainya, dan dalam Ilyasiq, banyak dari hukum-hukumnya yang diambil semata-mata darihasil fikirannya dan hawa nafsunya, lalu dijadikan sebagai syariat yang diikuti dan mereka mendahulukannya diatas berhukum kepada Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang berbuat, demikian, maka dia adalah kafir, wajib diperangi, sehingga kembali kepada hukum Allah, dan Rasul-Nya, dna tidak berhukum kepada selainnya baik sedikit maupun banyak. (Tafsir Ibnu Katsir II/70).
Ayat tersebut sebagaimana yang kita lihat secara dzahirnya, dapat kita simpulkan bahwa barangsiapa yang termasuk dalam ayat tersebut secara kulli (keseluruhan) berarti ia telah kafir terhadap Allah, Ta’ala dan siapa yang termasuk secara juz’i (sebagian), maka ia akan terkena sesuai dengan ukuran pelanggaran yang dilakukan.
Manusia dalam memahami dan mensikapi ayat ini terbagi menjadi tiga golongan yaitu :
1.      Ifrath (berlebih-lebihan/melampau), mereka adalah golongan khawarij, yang berpandangan bahwa maksiat dan dosa diatas satu peringkat saja, maka siapa saja yang bermaksiat kepada Allah termasuk dalam ayat ini, secara kulli alias kafir dan musyrik, oleh karena itu mereka mengkafirkan seluruh sahabat yang ikut dalam perang Jamal dan Perang Shiffin, demikian juga muaskar (tentara Ali) dan muaskar Mu’awiyah radhiyallohu anhum  ajma’in seluruhnya dikafirkan, mereka (golongan khawarij) telah mengkafirkan bagian kedua yaitu yang termasuk dalam ayat tersebut secara juz’i bukan kulli.
Dan bagian kedua inilah yang berhak dikatakanoleh Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhum  sebagai : kufrun duna kufrin (kufur yang bukan kufur akbar), bukannya ayat yang dibawa pada satu makna yaitu kufur asghar, sebab sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya bahwa ayat tersebut tidak mungkin dibawa melainkan atas kufur akbar.
2.      Tafrith. (mengurang-kurangkan), mereka adalah golongan murji’ah yang berpendapat bahwa berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, dengan segala bentuk dankeadaannya adalah kufur asghar, dan mereka tidak mengkafirkan bagian pertama (termasuk dalam ayat secara kulli) melainkan dengan syarat-syarat batil mereka, seperti mesti adanya istihlal, juhud dan takdzib, dan mereka dengan kebodohannya, menggunakan kata-kata hibrul ummah (‘alimnya umat ini) yaitu Ibnu Abbas radhiyallohu anhum  –kufrun duna kufrin-.
Maka kelompok satu dan dua serta orang-orang sepertinya adalah ahlul bid’ah dan ahludh-dholal.
3.      Wasth/I’tidal (tidak melampaui batas dan tidak pula mengurangi), yaitu pendapat Ahlus-Sunnah wal jama’ah, bahwa ayat tersebut, adalah sesuai dengan dzhahirnya dan ukuran masukan seseorang dalam sebutan ayat tersebut termasuk dalam hukumnya.
Untuk menguatkan hujjah kelompok ini, saya sertakan sebuah hadits Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, yang membicarakan tentang keadaan, para pemimpin dan bentuk syirik yaitu sebagai berikut:
Khot Arab.
Artinya : Dari Tsauban maula (pembantu) Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, bahwasanya Rasulullah  sholalloohu alaihi wa sallam, bersabda, “Dan sesungguhnya termasuk yang akan aku takuti akan menimpa umatku adalah imam-imam (pemimpin-pemimpin), yang menyesatkan dan akan ada qobilah-qobilah dari umatku yang menyembah berhala-berhala dan akan ada qobilah-qobilah dari umatku yang menyembah berhala-berhala dan akan ada qobilah-qobilah dari umatku yang menyembah berhala-berhala dan akan ada qobilah-qobilahdari umatku yang bergabung dengan orang-orang musyrik ” (H.R Ibnu Hibban, dan Abu Daud dengan sanad shohih)
Hadits ini faedahnya besar sekali memang Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, diberi oleh Allah Jawami’ul Kilam (ungkapan yang komprehensif dan lebih lengkap), jika kita perhatikan hadits ini dengan seksama, lalu kita sesuaikan dengan kenyataan yang terjadi pada masa kini, maka apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, dan yang ditakutinya, serta yang diramalkannya benar-benar terjadi dihadapan kita yaitu :
1.      Wujudnya imam-imam atau pemimpin-pemimpin yang menyesatkan dalam hal ini bisa dikategorikan dua bentuk pemimpin, pemimpin agama, dan pemimpin politik, khususnya pada masa kini, sebab manusia pada masa kini jarang yang memliki kemampuan kedua-duanya atau karena memang sengaja syaitan memisahkannya, -wallahu a’lam- kalau pada zaman salaf keduanya dipegang oleh satu orang, sebagai contoh misalnya Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, beliau memimpin dalam segala bidang menjadi presiden, qodhi, dan komandan perang, demikian juga Khulafaur-Rasyidin radhiyallohu anhum  ajmain, bahkan para nabi-nabi a.s terutama dikalangan bani Israil mereka sebagai pemimpin politik, qodhi (hakim-ed) dan komandan perang, sebagaimana Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam.
Pemimpin pada masa kini baik pemimpin agama maupun pemimpin politik mayoritasnya menyesatkan pengikutnya dan rakyatnya persis seperti yang dimaksudkan hadits diatas, yaitu mudhillin (para penyesat), anda bisa melihat dan memperhatikannya.
2.      Rasululah sholalloohu alaihi wa sallam meramalkan akan adanya kabilah-kabilah dari umat ini yang menyembah berhala-berhala.
Berhala dalam bahasa Arab disebut “watsanun”, jamaknya “autsanun”, disebut juga, “shanamun”, jamaknya  “ashnamun”, hanya bedanya kalau shanamun (patung), adalah sesuatu  yang dibentuk, dipahat, diukir, dan sebagainya, sedangkan “watsanan” lebih umum lagi yaitu segala sesuatu yang diletakkan untuk disembah (berhala) sebagaimana perkataan Imam Mujahid.
Pada hari ini gambaran kongkritnya adalah banyak orang yang mengaku beragama Islam, tetapi  membuat berhala atau patung dengan membangun kubah-kubah dan bangunan-bangunan di kuburan, di tempat –tempat tertentu yang dianggap keramat lalu disembah, biasanya hal seperti ini dilakukan oleh kelompok-kelompok sufiyah, yang sesat lagi menyesatkan dan quburiyah, dengan demikian berarti ramalan tersebut benar-benar telah terjadi.
3.      Rasulullah meramalkan akan adanya kabilah-kabilah dari umatnya yang bergabung atau menghubungkan diri dengan orang-orang musyrik.
Syirik menggabungkan diri bentuknya berbeda-beda mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan syirik kaum musyrikin pada zaman masing-masing, adapun pada masa sekarang ini, bentuknya tersendiri dan istimewa sehingga banyak kaum muslimn yang tidak menyadarinya, banyak kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada Islam telah tercebur ke dalam syirik semacam ini, yaitu syirik dalam hal Tahaakum wal Qodho’  (Berhukum dan Pengadilan), jarang sekali, bahkan bisa dikatakan tidak ada orang Islam yang melakukan syirik berat dengan memasuki agama Yahudi atau Nasrani, lalu sama-sama menyembah sesembahan mereka, akan terkena syirik yang dilakukan berbeda bentuknya yaitu dengan bergabung dan menghubungkan diri pada manhaj-manhaj mereka, nizam-nizamnya, dan undang-undangnya, serta masuk dalam golongan-golongan mereka seperti Komunisme, Sekulerisme, Ba’atsisme, Chauvinisme, Nasionalisme dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk syirik dan kufur akbar, syirik bentuk inilah yang paling banyak terjadi pada masa kini yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad sholalloohu alaihi wa sallam, dibanding dengan syirik-syirik yang lain.
Jika kelompok-kelompok Islam ada diantaranya yang tercebur dan tidak selamat dari syirkul qubur (syirik kuburan), maka demikian pula ada diantaranya yang tercebur dan tidak selamat dari syirkul qushur (syirik istana), maka menjadilah kelompok atau kabilah yang bergabung dengan kaum musyrikin.
Hadits tersebut diatas bisa kita simpulkan antara lain sebagai berikut:
1.    Bahwa umat Nabi Muhammad sholalloohu alaihi wa sallam, akan ditimpa musibah yaitu munculnya imam-imam dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.
2.    Bahwa umat Nabi Muhammad sholalloohu alaihi wa sallam, akan tertimpa musibah sebagaimana umat terdahulu yaitu dengan melakukan syirik dan kufur, tetapi yang tidak terjadi ialah, Ijma’ul Ummah (Bersepakatnya Umat-ed)terhadap syirik dan kufur tersebut, artinya selamanya tetap ada dari kalangan umantya yang tidak setuju dengan syirik dan kufur itu dan menentangnya sehingga mereka selamat darinya, misalnya meskipun 90% dari kaum muslimin telah tercebur ke dalm syirik karena menerima dan mengikuti undang-undang sekuler barat, tetapi masih ada yang menentang dan tidak menerimanya, meskipun hanya 10% atau kurang dari itu.
3.    ada dua bentuk syirik yang terjadi pada masa sekarang ini,
a.       syirkul qubur.  : Ini terjadi pada kelompok-kelompok muta’abbidin (ahli beribadah, banyak shalat, dzikir dan sebagainya).
b.      Syirkul qushur : Ini terjadi pada kelompok-kelompok sekuler yang sebenarnya mereka tidak menegakkan Islam sama sekali sedikitpun.
4.      Jama’ah atau kelompok yang muhtadiyah (mendapat petunjuk) adalah kelompok atau jama’ah yang terbebas dan selamat dari kaum musyrikin (bara’ dari mereka), bukan berlepas diri dari syirik kuburan saja tetapi juga dari syirik istana (tahaakum dan qodho’), atau sebaliknya.
5.      Bahwa pergolakan jama’ah atau kelompok yang mendapat petunjuk adalah peperangan tauhid melawan kufur, iman melawan syirik, bukan peperangan yangn bersifat ekonomi, politik, dan sosial, dan bukan pula peperangan Syafi’i melawan Hanafi atau Hambali atau Maliki, atau yang bermadzhab melawan yang tidak bermadzhab atau yang sebaliknya, atau untuk membantu satu madzhab terhadap madzhab lain atau pendapat faqih yang satu terhadap faqih yang lain.
Dari setitik keterangan di atas – saya katakan setitik karena sebenarnya jama’ah-jama’ah ini telah mengeluarkan dan menerbitkan berbagai tulisan baik berbentuk buku, misalnya Al-Qaulul Qathi’ liman Imtana’a Anisy-Syarai’ (oleh penerbit Pustaka Al-Alaq, diterjemahkan dan diberi judul Menolak Syariat Islam dalam Perspektif Hukum Syar’i-ed), ashnaful hukkam dan lain sebagainya dan banyak sekali yang berbentuk risalah-risalah tentang masalah ini, (takfirul hukkam). Maka diantara kesimpulan yangbisa kita ambil bahwa jama’ah-jama’ah jihad as-salafiyah, telah mengambil sikap tegas dalam persoalan ini, yaitu menyatakan bahwa para penguasa sekuler yang mengaku beragama Islam pada masa kini telah melakukan kufron bawwahan (kufur yang jelas), bahkan mereka telah keluar dari Islam dari segala pintunya (murtaddin), yaitu berpaling dari dien (agama) Allah, menolak hukm-hukumnya, mengolok-olok dien, syariat-syariatnya dan para ahlinya dan mereka bermuwalat atau berwala’ kepada semua millah selain millah Islam (Al-Jihad wal Ijtihad 237).
Dengan demikian maka sikap, tindakan yang dituntut oleh syariat adalah wajib keluar dari mendengar dan taat kepada para hukkam tersebut dan mencurahkan segala yang berharga untuk dijual semurah-murahnya pada jalan in, tanpa melihat keadaan hakim apakah ia keluar dari Islam sendirian dan kufurnya tidak menjadikan yang lain ikut kufur atau ia keluar dari Islam dan kufurnya menjadikan yangn lain ikut kufur, karena alasan keluar dari Imarahnya adalah kufur kepada Allah Ta’ala.
Demikianlah yangdiperintahkan oleh syara’ sebagaimana kita diperintahkan bersabar jika para hakim dan hukkam menyeleweng (juur) dan dzhalim, terhadap rakyatnya, seperti sabda Rasulullah sholalloohu alaihi wa sallam, yang bermaksud,
Ta’atilah amirmu, meskipun mencambuk punggungmu dan mengambil hartamu” (Al-Jihad wal Ijtihad 142-143).
Bagaimana pada hukum rakyatnya?
Jama’ah-jama’ah jihad as-salafiyah dalam menghukumi rakyat atau orang awam tidak sebagaimana jama’ah-jama’ah al-ghuluwi wat takfir, atau jama’ah at-tawaqquf wat tabayyun, yang mana menurut mereka rakyat atau umat pada asalnya adalah kufur maka mereka mesti diajak, dan didakwahi kepada pokok dien artinya di Islamkan –inilah bid’ah dan kesesatan mereka- adapun jama’ah-jama’ah jihad as-salafiyah menganggap bahwa asal pada umat ini ada Islam, jadi mereka adalah muslim selagi mereka tidak melakukan perkara yang mengkafirkan secara jelas, dengan memenuhi persyaratan untuk dikafirkan, dan tidak adanya halangan secara syara’ misalnya melakukan perbuatan kekufuran karena mereka gila, dipaksa orang, karena betul-betul tidak mengerti (bukan pura-pura tidak mengerti dan tidak mau mengerti) sebagai contoh sudah mengerti bahwa si penguasa itu thaghur, tetapi malah didukung sehidup semati, didukung dengan segala yang dia mampu. Maka orang yang seperti ini kedudukannya sama seperti orang yang disokong dan didukungnya.
Maka umat menurut jama’ah ini adalah “Madatut Taklim” dan “Madatul Jihad Fie Sabilillah” materi yang bisa kita bina mereka, dan materi yang bisa mendukung dan menyangga Jihad fie Sabilillah, sebenarnya orang-orang yang keracunan pemahaman dan pemikiran sesat ahlul bid’ah, ahlul ahwa’, zindiq, dan lain sebagainya mereka sangat mudah ditaklimi tentang Islam, yang benar dan diajak beramal shalih, termasuk berjihad. Begitu mereka mendengar suara jihad, kalaulah mereka tidak mampu untuk mengikutinya minimal merkea suka dan berdo’a kepada Allah ta’ala untuk para mujahidin, berbeda dengan orang-orang yang bterkena racun bid’ah dengan segala bentuknya, mendengar suara jihad malah sibuk mencari hujjah-hujjah untuk membenarkan ketidak ikutannya berjihad, sehingga tidak segan-segan menuduh bahwa orang-orang yang berjihad adalah ahlul bid’ah, ahlul ahwa’ bahkan ahlul batil.
Kemudian apa yang mesti dilakukan jika para hukkam telah murtad? Dan didukung oleh para pendukungnya? Menurut sunnah, jika mampu berjihad, jika tidak mampu I’dad, dan jika tidak mampu uzlah, beginilah manhaj mukmin yang mengikuti sunnah
5.         Jama’ah-jama’ah As-Sufiyah.
Saya rasa semua pihak sudah maklum kedudukan kelompok-kelompok ini, dalam masalah ini, maka tidak perlu kita perbincangkan secara panjang lebar, yang jelas kelompok ini selalu berada di belakang ekor para hukkam, kecuali jika hukkam benar-benar mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ketika itu mereka tidak mau mengikutinya.
Sampai di sini dahulu  pembahasan kita. Insya Allah kita akan sambung lagi.


[1] Mu’tazilah adalah golongan yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ disebut Mu’tazilah karena mereka uzlah meninggalkan Ahlus-sunnah yang pada waktu itu, diantara syaikhnya adalah Hasan Al-Bashri rahimahullahu, mereka memiliki pancasila, sila pertamanya adalah “At-Tauhid”. Karena sesatnya dalam memahami Tauhid sehingga semua yang selain Allah dianggap sebagai makhluk, termasuk sifat kalam Allah diakatakan makhluk, bahkan Al-Qur’an dikatakan makhluk, kononnya hendak menunjukkan bahwa Al-Khalik itu hanya satu. Adapun Mutakallimin, adalah golongan yang memahami tauhid dengan menggunakan ilmu kalam atau ilmu manthiq (logika) Aristoteles (Arsitotelian), golongan ini banyak pengikutnya antara lain Asya’irah, di Indonesia dikenal dengan nama NU.

[2] Zhahiriyah adalah suatu mazhab yang memahami nash-nash secara zhahirnya. Adapun Ahlul Ra’yi adalah golongan yang mengikuti ra’yun, (pendapat dan akal fikiran), tetapi yang perlu diketahui bahwa tidak setiap istilah yang kita jumpai dalam kitab-kitab fiqh berarti sesat sebab Imam Syafi’i pun ada yang mengatakan sebagai Ahlul Ra’yi, oleh itu Ahlul Ra’yi itu bertingkat-tingkat, ada yang  betul-betul berangkat dari fikiran dan akalnya dalam memahami fiqih, seperti mereka yang dididik di barat dan sejenisnya, kebanyakan mengikuti rasionya, yang mana nash-nash al-Qur’an dan As-Sunnah dipaksa untuk mengikuti akalnya, hawa nafsunya dan pimpinannya. Orang yang seperti ini, sudah tidak sesuai disebut ahul ra’yi , lebih dari itu mereka disebut zindiq.

[3] Zanadiqoh jama’ dari zindiq, yang berarti kufur, atau orang yang pura-pura beriman, seperti orang yang berpemahaman wihdatul wujud dan sebagainya.
[4] Di tempat lain beliau mengatakan bahwa ulama kalam adalah  zindiq demikian pula menurut Imam Malik bin Anas rahimahullahu ajma’in.

1 komentar:

  1. DEKLARASI PERANG PENEGAKKAN DINUL ISLAM
    DISELURUH DUNIA
    Bismillahir Rahmanir Rahiim
    Dengan Memohon Perlindungan dan Izin
    Kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
    Rabb Pemelihara dan Penguasa Manusia,
    Raja Manusia yang Berhak Disembah Manusia.
    Rabb Pemilik Tentara Langit dan Tentara Bumi


    Pada Hari Ini : Yaumul Jum'ah 6 Jumadil Akhir 1436H
    Markas Besar Angkatan Perang
    Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu

    Mengeluarkan Pengumuman kepada
    1. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Afrika
    2. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Eropa
    3. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia
    4. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia Tenggara
    5. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Amerika
    6. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Australia
    7. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Utara
    8. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Selatan
    9. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) diseluruh Dunia

    PENGUMUMAN DEKLARASI PERANG SEMESTA
    Terhadap Seluruh Negara yang Tidak
    Menggunakan Hukum Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
    Perang Penegakkan Dinuel Islam ini Berlaku disemua Pelosok Dunia.

    MULAI HARI INI
    YAUMUL JUM'AH 6 JUMADIL AKHIR 1436H
    BERLAKULAH PERANG AGAMA
    BERLAKULAH PERANG DINUL ISLAM ATAS DINUL BATHIL
    BERLAKULAH HUKUM PERANG ISLAM DISELURUH DUNIA
    MEMBUNUH DAN TERBUNUH FISABILILLAH

    "Dan BUNUHLAH mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan USIRLAH mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
    (Q.S: al-Baqarah: 191-193).

    BUNUH SEMUA TENTARA , POLISI, INTELIJEN , MILISI SIPIL ,HAKIM DAN
    BUNUH SEMUA PEJABAT SIPIL Pemerintah Negara Yang Memerintah dengan Hukum Buatan Manusia (Negara Kufar).

    BUNUH SEMUA MEREKA-MEREKA MENDUKUNG NEGARA-NEGARA KUFAR DAN MELAKUKAN PERMUSUHAN TERHADAP ISLAM.
    JANGAN PERNAH RAGU MEMBUNUH MEREKA sebagaimana mereka tidak pernah ragu untuk MEMBUNUH, MENGANIAYA DAN MEMENJARAKAN UMMAT ISLAM YANG HANIF.

    INTAI, BUNUH DAN HANCURKAN Mereka ketika mereka sedang ada dirumah mereka jangan diberi kesempatan lagi.
    GUNAKAN SEMUA MACAM SENJATA YANG ADA DARI BOM SAMPAI RACUN YANG MEMATIKAN.

    JANGAN PERNAH TAKUT KEPADA MEREKA, KARENA MEREKA SUDAH SANGAT KETERLALUAN MENENTANG ALLAH AZZIZUJ JABBAR , MENGHINA RASULULLAH SAW, MENGHINA DAN MEMPERBUDAK UMMAT ISLAM.
    BIARKAN MEREKA MATI SEPERTI KELEDAI KARENA MEREKA ADALAH THOGUT DAN PENYEMBAH THOGUT

    HANCURKAN LULUHKAN SEMUA PENDUKUNG PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA KUFAR
    DARI HULU HINGGA HILIR

    HANYA SATU UNTUK KATA UNTUK BERHENTI PERANG,
    MEREKA MENYERAH DAN MENJADI KAFIR DZIMNI.
    DAN BERDIRINYA KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH.
    KHALIFAH IMAM MAHDI.

    Kemudian jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
    Maha Penyayang.

    Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
    Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
    maka tidak ada permusuhan (lagi),
    kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
    Al-Baqarah : 192-193

    SAMPAIKAN PESAN INI KESELURUH DUNIA,
    KEPADA SEMUA ORANG YANG BELUM TAHU ATAU BELUM MENDENGAR

    MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
    KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
    PANGLIMA ANGKATAN PERANG PANJI HITAM
    Kolonel Militer Syuaib Bin Sholeh

    BalasHapus