Selasa, 31 Agustus 2010

Risalah Untuk Sahabatku


                              
RISALAH
UNTUK
SAHABAT-SAHABATKU
Dan Bagi Mereka yang Masih Ada Cita-Cita dan Harapan Dalam Hatinya Untuk Meraih Keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan surga-Nya di Alam Akherat
Di Bumi Allah Manapun Juga

OLEH :
Abu Usamah Ali Ghufron bin Nurhasyim bin Masyhuri bin Sholeh bin Ibrahim.

assalamu’alaikum warahmatulahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil Alamiin Wal Aaqibatu Lil Muttaqin, walaa adwana illa ‘aladh-dhoolimiin, wassholaatu was-salaamu ‘ala asyrafil anbiyaa’I wal mursaliin wa ‘alaa alihii washohbihi waman tabi’ahum ila yaumid-diin, amma ba’du.
Sahabatku yang aku kasihi -hayyakumullah-.
1) . Jika antum benar-benar sebagai hamba Allah yang mengharap kebahagiaan di dunia terutama di akherat kelak dengan harapan mendapat ridha Allah dan surga-Nya, maka pertama-tama antum wajib sadar dan menyadari hal-hal sebagai berikut :
a.       Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, menciptakan antum tidak sia-sia dan tanpa tujuan keberadaan antum di dunia ini bukan sekedar untuk menambah jumlah mahluk-Nya, untuk menghabiskan roti dan nasi, serta untuk menikmati kenikmaatan duniawi belaka, sehingga orang yang bodoh berpikiran bahwa hidup dan kehidupanku di dunia yang sebentar ini tidak saya gunakan untuk merasakan kenikmatannya, baik yang halal maupun yang haram akan sia-sialah hidup ini.
b.      Sadarlah dan ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan antum mempunyai tujuan yang mulia antara lain sebagai berikut :
1.      Untuk beribadah kepada-Nya atau mentauhidkan-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Adz-Dzaariyaat (51) : 56),
“Wamaa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni”(tulis khot arab)
Artinya : “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (atau beribadah kepada-Ku)
Menurut sebagian ahlul ilmi mengatakan liya’buduuni bermakna liyuwahhiduni supaya mereka mentauhidkan-Ku atau meng-Esa-kan Aku.
Yang dimaksud mentauhidkan disini adalah mentauhidkan atau meng-Esakan Allah dalam 3 tauhidnya :
1. Tauhid Rububiyah-Nya. 2. Tauhid Uluhiyah-Nya dan 3. Tauhid Asma’ wa Shifat-Nya (Insya Allah akan dijelaskan dalam pembahasan nanti…).
2.      Untuk Menjadi Khalifah di Muka Bumi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah (2) : 30).
Waidz qoola robbuka lilmalaa’ikati Inni Jaa’ilun fil ‘ardhi Kholiifah (tulis khot arab)
Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”…
3.      Untuk Menegakkan Dien.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S . Asy-Syu’ara (42): 13).
Khot Arab.
Artinya : “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang Dien (agama) apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah Dien (agama) dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya, Amat berat bagi orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya, Allah memilih kepada Dien (agama) itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada Dien (agama)-Nya orang yang kembali kepada-Nya.
Yang dimaksud dengan Dien atau agama disini ialah : mentauhidkan atau meng-Esa-kan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beriman kepadanya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir serta menta’ati segala perintah dan larangan-Nya.
4.      Untuk diuji siapa yang paling baik amalnya diantara kamu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Al-Mulk (67) : 2).
Khot Arab.
Artinya : “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya  dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Yang dimaksud dengan amal yang paling baik menurut ahlul ilmi (ulama’) antara lain, seperti perkataan seorang Tabi’in yang terkenal Fudhail bin Iyadh yaitu : “Amal yang paling ikhlash, semata-mata karena Allah, dilaksanakan dengan benar, bersih dari segala bentuk syirik baik syirik besar maupun  syirik kecil (riya’) dan yang paling mengikuti sunnah, bersih dari segala bentuk bid’ah.”
Jadi amal yang baik itu tidak dilihat dari segi kuantitasnya tetapi dari segi kualitasnya, maka amal yang berkualitas adalah amalan yang ikhlas dan mengikuti sunnah.
Disamping antum  wajib menyadari tujuan hidup sebagaimana telah diuraikan diatas, antum juga wajib sadar, sebenarnya antum itu darimana? Sekarang dimana? Dan akan kemana?.
Antum wajib dan harus sadar bahwa kampung dunia yang sedang antum tempati dan diam serta duduk diatasnya bukan kampung dan tempat tinggal antum yang sebenarnya, tempat tinggal antum yang sebenarnya adalah surga atau neraka. Jika antum menyadari tugas hidup dan melaksanakannya, Insya Allah dengan rahmat-Nya antum akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan, tetapi sebaliknya jika antum acuh tak acuh dan tidak memperdulikannya antum akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh penderitaan dan penyiksaan.
Maka dari itu marilah Bismillah, dengan nama Allah dan bertawakkal kepada-Nya, kita layarkan bahtera kita menuju kampung kita yang sebenarnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S (Ali- Imran (3) : 133)).
Khot Arab.
Artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang yang bertakwa
Asy-Syaikh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menyatakan dalam syair.,
Khot Arab Syair.
Maka marilah kita menuju surga-surga Adn, karena sesungguhnya ia kampung tinggalmu yang pertama, dan didalamnya terdapat khemah-khemah, (tempat tinggal yang indah).
Tetapi sayangnya kita tertawan oleh musuh kita (godaan syaitan dan dunia), oleh karena itu bagaimana pendapatmu, kita kembali saja ke negeri kita di surga atau kita menyerah di sini?
Apabila hati antum telah benar-benar sadar akan hal-hal tersebut dan telah terbangun dari kelalaiannya selama ini, maka tahapan berikutnya antum wajib memiliki tekad yang bulat dan azzam (kemauan yang keras) untuk berlayar dan menuju ke tempat tujuan yang dicita-citakan dan di dambakan dengan menyingkirkan dan membuang segala rintangan dan penghalang apapun bentuknya yang menghalang-halangi safar dan perjalanan antum sampai kepada tujuan baik berbentuk aqidah (keyakinan), fikrah (pemikiran) maupun ibadah dan manhaj (pedoman) hidup yang bertentangan dengan Islam dan sebagainya dan pada masa yang sama antum harus berusaha mencari dan mengumpulkan segala sesuatu yang bisa menolong dan membantu antum untuk dapat sampai ke tempat tujuan.
Dengan kesadaran yang ada pada diri antum dengan sendirinya akan melahirkan “fikrah” (pemikiran), yaitu terfokusnya atau terpusatnya hati antum terhadap sesuatuyang di tuntut atau dicari atau yang dituju yang telah dipersiapkan sebelumnya  secara global tetapi belum mengetahui secara detailnya dan bagaimana jalannya untuk menuju kepadanya.
Jika fikrah atau pemikiran antum sudah betul  dan benar, maka dari sinilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan karunia-Nya kepada antum yang bernama “Al-Bashirah”, yaitu Nur atau cahaya kedalam hati yang mana dengan cahaya tersebut antum dapat meyakini seyakin-yakinnya, seolah-olah menyaksikan dengan mata kepala akan janji-janji Allah berupa kenikmatan dan ancaman-ancaman-Nya, berupa siksaan, surga-Nya dan neraka-Nya, apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan untuk para wali-wali-Nya di dalam surga dan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala peruntukkan bagi musuh-musuh-Nya di dalam neraka, ketika dengan bashirah antum bisa melihat keadaan manusia ketika keluar dari kubur-kubur mereka dengan cepatnya memenuhi seruan Tuhannya dengan berbagai macam keadaan sesuai keadaan amal mereka, mereka di giring ke mahsyar (tempat berkumpul) untuk diadili, ketika itu matahari di dekatkan hanya sejarak satu jengkal saja sehingga manusia pada saat itu merasakan panas yang hebat dan luar biasa,  ada yang tenggelam dengan peluhnya atau keringatnya sendiri, ada yang mencapai kerongkongannya ada pula yang separoh badannya sesuai dengan amal masing-masing.
Mereka menderita haus dan dahaga yang amat sangat, sementara dinampakkan telaga yang sangat luas yang mana jaraknya dari tepinya ke tepi yang lain tidak dapat ditempuh oleh kendaraan yang paling cepat di dunia selama 100 tahun perjalanan, gelas dan pialanya terbuat dari perak diantara airnya ada yang berwarna putih bersih seperti susu, segar dan lezat bagi peminumnya barangsiapa yang dapat meminumnya tidak akan merasa haus dan dahaga selama-lamanya, namun yang dapat meminumnya hanya sebagian kecil dari manusia yang ada disana.
Ketika itu mereka menerima buku catatan amal-amal mereka, ada yang menerima dengan tangan kanannya, maka berbahagialah ia dan akan masuk ke dalam surga dan ada yang diberikannya dari belakangnya, maka dia akan berteriak “celakalah aku”, dia akan dimasukkan ke dalam neraka.
Ketika itu juga diletakkan neraca timbangan amal, barangsiapa yang berat timbangan amal kebaikannya, maka mereka akan dimasukkan ke dalam surga dan barangsiapa yang ringan timbangan kebaikannya akan masuk ke dalam neraka. Dan dibentangkan “titian” diatas neraka, untuk menyeberangi titian yang sangat kecil lagi tajam ini, seluruh manusia melewatinya, mereka mendapatkan cahaya yang berbeda-beda sewaktu menyeberanginya ada yang terang benderang, ada yang gelap gulita sehingga tidak dapat melihat apapun ketika hendak melewatinya, sementara api menjilat-jilat sebagiannya dengan sebagian yang lain dibawahnya banyak sekali manusia berjatuhan sewaktu menyeberang dan sedikit sekali yang selamat.
Jadi dengan “bashirah” hati antum akan dapat melihat hal-hal ghaib yang sebagiannya tersebut diatas dengan jelas seolah-olah melihat dengan mata, sehingga antum benar-benar meyakini kehidupan akherat dan keabadiannya serta yakin bahwa dunia ini akan cepat sirna.
Maka “bashirah” adalah cahaya yang dimasukkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hati hamba-hamba-Nya, sehingga dengan cahaya itu dia bisa melihat sebenar-benarnya apa yang diberitahukan oleh para Rasul seolah-olah dia menyaksikan dengan mata kepalanya, sehingga dia membenarkannya.
Sahabat dan handai taulanku yang aku kasihi…
Untuk melengkapi keterangan tentang “bashirah”, baiklah akan ana sampaikan mengenai tingkatan bashirah.
Bashirah terbagi dalam tiga derajat tingkatan, barangsiapa yang bisa menyempurnakan ketiga-tiganya berarti telah sempurnalah bashirahnya.
1.      Bashiratu fil Asmaa’ Wa Shifaati           : Bashirah dalam nama-nama Allah
  Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya
2.      Bashiratu fil Amri wa An-Nahyi.           : Bashirah dalam hal perintah dan
larangan-larangan-Nya
3.      Bashiratu fil Wa’di wal Wa’iidi             : Bashirah dalam hal janji-janji-Nya
baik berupa ridho-Nya, pahala-Nya dan
surga-Nya, dan janji-Nya yang berupa
ancaman, seperti murka-Nya, siksa-Nya dan
neraka-Nya.
  1. Adapun yang dimaksud bashirah dalam hal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya antara lain uraiannya sebagai berikut :
Jangan sampai keimanan dan keyakinan antum terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya terpengaruh dengan syubhat (kesamaran) yang bertentangan dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan kepada Diri-Nya sendiri dan apa yang telah Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam sifatkan kepada-Nya. Sebab jik aada syubhat atau kesamaran dan keraguan pada diri antum yang bertentangan dengan apa yang dimaksudkan oleh Allahdan Rasul-Nya, berkenaan dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya berarti kedudukannya sama dengan syubhat dan ragu-ragu dalam hal wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menurut Ahlul Bashoir (orang-orang yang memiliki bashirah) bahwa musibah atau bencananya sama saja antara orang yang ragu-ragu terhadap asma dan sifat-sifat Allah dengan orang yang ragu-ragu akan wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sahabatku dan saudaraku serta handai taulanku yang aku kasihi -Hafidzhakumullah- lebih jelasnya kalau kita uraikan lebih rinci –Al-Bashirah fil Asma’ wa Shifat ialah sebagai berikut :
Hati kita wajib bersaksi dan meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa’ (bersemayam) diatas Arsy-Nya, bercakap-cakap  (berbicara) dengan perintah-Nya dan larangan-Nya, Dia mengetahui segala gerak-gerik alam semesta baik yang atas maupun yang bawah, mengetahui seluruh orang-orangnya dan dzat-dzat-Nya. Dia Maha Mendengar suara-suara mereka, hati-hati mereka dan rahasia-rahasia mereka.
Urusan seluruh kerajaan berada di bawah pengaturan-Nya, turun dari sisi-Nya dan naik kepada-Nya. Dia disifati dengan segala sifat kesempurnaan dan keagungan bersih lagi suci dari segala aib (kecacatan), kekurangan dan penyerupaan. Dia sebagaimana yang Dia sifatkan kepada Diri-Nya dalam kitab-Nya dan jauh diatas apa yang disifatkan dengan-Nya oleh makhluk-Nya.
Dia Maha Hidup dan tidak pernah mati, Maha Tegak tidak pernah tidur, Maha Mengetahui segala-galanya, tidak ada sesuatu yang tersembunyi terhadap-Nya seberat zarrah (atom) pun baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Dia Maha Melihat, melihat jalannya semut hitam diatas batu hitam di malam yang kelam. Dia Maha Mendengar, mendengar seluruh suara-suara yang beraneka ragam bahasa dan kebutuhan atau keperluan yang berbeda-beda. Telah tamat dan sempurnalah kalimat-kalimat-Nya dalam keadaan benar dan adil.
Maha Agung lagi Maha Besar sifat-sifat-Nya jika dibandingkan dengan sesuatu dari dzat-dzat lain dari makhluk-Nya. Baginyalah hak mencipta dan memerintah, kepunyaan-Nyalah segala nikmat dan karunia, Milik-Nyalah segala kerajaan dan pujian, bagi-Nya segala puja dan puji, sanjungan dan kebesaran. Dzat yang paling awal tidak ada sesuatupun sebelum-Nya dan Dzat yang paling akhir, tidak ada sesuatupun sesudah-Nya. Dia Adz-Dzahir (Yang Maha Tinggi) tiada diatasnya sesuatu apapun, dan Dia Al-Bathin yang tidak ada sesuatupun yang menghalangi-Nya dan Dia lebih dekat kepada makhluk-Nya daripada makhluk itu sendiri kepada dirinya.
Nama-nama-Nya seluruhnya adalah nama-nama yang terpuji, disanjung dan diagungkan. Oleh karena itu disebut “Husna” (yang baik). Seluruh sifat-sifat-Nya adalah sifat-sifat kesempurnaan dan kebesaran dan seluruh af’al-af’al (perbuatan)-Nya merupakan hikmah, rahmat, maslahah dan adil.
Segala sesuatu dari makhluk-Nya menjadi pertanda akan kebesaran-Nya dan menjadi petunjuk bagi orang yang  melihat dengan mata bashirah kepada-Nya, Dia tidak akan menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya dengan sia-sia, dan tidak membiarkan manusia begitu saja tanpa pertanggung jawaban, bahkan Dia menciptakan manusia dengan tujuan agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Dia menyempurnakan nikmat-Nya untuk mereka agar dengan nikmat itu mereka mensyukurinya supaaya dapat menjadi wasilah kepada tambahnya karomah-Nya (kemuliaan-Nya).
Dia mengenali hamba-Nya dengan berbagai bentuk pengenalan, Dia menjadikan ayat-ayat (tanda-tanda) kebesaran dan keagungan-Nya bagi mereka danmemberikan kepadanya berbagai macam dalil-dalil. Dia menyeru mereka kepada kecintaan-Nya dari segala penjuru pintu dan Dia telah memanjangkan antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya dari janji-Nya sekuat-kuat sebab-sebab.
Maka Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya keatas mereka, dan telahmenetapkan rahmah kepada Diri-Nya dan ketentuan yang ditetapkan-Nya mengandung rahmat-Nya sehingga mengalahkan marah-Nya atau murka-Nya.
Saudara-saudaraku yang aku kasihi -wafaqakumullah- (semoga Allah memberikan taufiq kepadamu)
Dalam memahami asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau bashirah dalam hal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya antum akan mendapati seribu satu golongan dan sekte manusia dari yag mengikuti sunnah dankebenaran hingga yang mengikuti hawa nafsu, bid’ah dan kebatilan, hal ini sesuai dengan beragamnya makrifat dan pemahaman mereka terhadap nash-nash yang dibawa oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam serta ilmu terhadap syubhat atau kesamaran yang bertentangan dengan hakekatnya.
Dan antum akan mendapati bahwa golongan manusia yang paling buruk dan paling lemah bashirahnya dalam hal ini adalah “Ahlul Kalam” (orang-orang yang mengikuti akal dan rasionya yang sudah rusak dan gila, sehingga dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits termasuk nash yang berhubungan dengan  nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dipelintir-pelintir, disesuaikan dengan otak dan akalnya yang sudah rusak). Golongan ini merupakan golongan manusia yang paling dibenci oleh ulama’ salaf di kalangan kaum muslimin.
Jikalau antum perhatikan dengan seksama keadaan orang awam yang kebanyakan bukan orang beriman menurut kebanyakan mereka, antum akan mendapati bahwa bashirah mereka lebih baik daripada bashirah “Ahlul Kalam”, iman merekapun lebih kuat dan penyerahannya terhadap wahyu lebih besar danlebih berpegang teguh kepada kebenaran.
Insya Allah mengenai golongan-golongan sesat ini dari ahlul ahwa’ ahlul bid’ah, ahlu wihdatil wujud dan lain sebagainya akan dijelaskan kemudian.
  1. Derajat yang kedua dari Al-Bashirah.
Yaitu Al-Bashirah dalam hal perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maksudnya ialah membersihkan atau menghindarkan diri dari segala bentuk penentangan terhadap perintah dan larangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, baik penenetangan itu dengan takwil (penafsiran yang tidak sesuai dengan qoidah yang benar) atau dengan taqlid (fanatic buta tanpa mengetahui dasarnya) atau dengan hawa nafsu dan syahwat.
Dengan demikian tidak tersisa sama sekali syubhat atau kesamaran dan keraguan dalam hati untuk menantang ilmu yang benar terhadap perintah Allah dan larangan-Nya dan tidak pula adanya syahwat atau hawa nafsu yang mencegah dan menghalang-halangi dari melaksanakan perintah dan larangan itu, berpegang teguh kepadanya dan mengambilnya, serta tidak bertaqlid yang menjadikan malas dan tidak mencurahkan kesungguhannya dalam mendapatkan dan mengeluarkan hukum-hukum dari nash-nash baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka dengan ini dapat diketahui Ahlul Bashirah dari kalangan ulama’ yang sebenarnya dan yang hanya membawa kepalsuan saja.
  1. Derajat yang ketiga dari Al-Bashirah.
Yaitu Al-Bashirah dalam hal Al-Wa’du (janji yang baik berupa nikmat) dan Al-Wa’id (janji berupa ancaman siksa). Maksudnya kita bersaksi dan meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan kepada setiap jiwa atau orang terhadap segala perbuatan yang dilakukan manusia berupa perbuatan baik maupun yang buruk, baik balasan yang disegerakan (di dunia) maupun yang terkemudian (akhirat).
Dikampung tempat beramal dan kampung tempat pembalasan, karena yang demikian itu adalah merupakan tuntutan dan bukti uluhiyyah-Nya dan rububiyah-Nya, keadilan-Nya dan hikmah-Nya. Meragukan atau syak dalam hal ini berarti telah meragukan uluhiyah-Nya dan Rububiyah-Nya bahkan syak dan ragu-ragu pada wujud-Nya.
Maka sesungguh-Nya mustahil atas Allah menyelisihi yang demikian itu, artinya tidak mungkin dan tidak patut terjadi Allah membiarkan manusia begitu saja tanpa dimintai pertanggung jawaban, tanpa adanya balasan amal baik maupun amal yang buruk, dengan kata lain ditinggalkan begitu saja secara sia-sia, Maha Suci Allah dari prasangka ini.
Maka kesaksian akal terhadap jaza’ (balasan) adalah sebagaimana kesaksiannya terhadap ke-Esaan Allah, oleh karena itu benarlah pernyataan yang menyatakan bahwa hari akhir atau hidup sesudah mati itu dapat dimaklumi dan diketahui dengan akal namun yang memberitahukan secara rinci adalah wahyu. Sehingga Allah menjadikan ingkar terhadap hari kemudian atau hidup sesudah mati sebagai kufur terhadap-Nya, karena sesungguhnya ia telah ingkar terhadap qudrah (kekuasaan)-Nya dan Ilahiyah-Nya (ketuhanan-Nya), yang mana keduanya jika dikufuri berarti telah kufur terhadap-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman : (Q.S : Ar-Ra’du (13) : 5).
Khot Arab.
Artinya : “Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherangkan adalah ucapan mereka;”Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami  sesungguhnya akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?Orang-orang itulah yang kafir kepada Tuhannya, dan orang-orang itulah (yang dilekatkan) belenggu di lehernya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“
Dalam memahami ayat ini ada dua pendapat :
· Jika kamu heran dengan ucapan mereka (Apabila kami telah menjadi tanah, apakah sesungguhnya kami akan (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru.) dan memang kita patut heran dengan ucapan mereka! bagaimana mereka mengingkari hal ini, sedangkan mereka telah diciptakan dari tanah, yang sebelumnya belum menjadi sesuatu.
· Jika kamu heran dengan tindakan mereka menyekutukan Allah, enggan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, Maka Ingkar mereka terhadap hari kebangkitan dan ucapan mereka (Apabila kami telah menjadi tanah apakah sesungguhnya kami akan (dikembalikan), menjadi makhluk yang baru?) dan tentunya hal ini lebih mengherangkan lagi.
 Kedua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa ingkar terhadap hari kemudian adalah sesuatu yang mengherankan dari manusia dan ingkar terhadapnya sama dengan ingkar dan kufur terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, ingkar terhadap qudrah-Nya, ingkar terhadap Ilahiyah-Nya, hikmah-Nya, adil-Nya dan kerajaan-Nya.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi –Hafidzhakumullahu wa roo’akum-….
Sebagai tambahan keterangan mengenai Al-Bashirah, disamping yang telah di uraikan diatas.
Sebagian ahlul ilmi menta’rifkan (mendefinisikan) bahwa Al-Bashirah adalah ma’rifat (pengetahuan) yang dapat membedakan antara Al-Haq (Kebenaran) dan Al-Bathil (Kesesatan). Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikutinya berdakwah dan menyeru kepada Allah dengan bashirah.
Ada juga yang menyatakan bahwa Al-Bashirah adalah sesuatu yang bisa membebaskan dirimu dari kebingungan baik dengan keimanan atau keyakinan dengan penyaksian dan penglihatan mata. Al-Bashirah bisa menumbuhkan Al-Firasah Ash-Shodiqoh (firasat yang benar) dalam hati seseorang.
Al-Firasah (Firasat yang benar) ialah Nur (cahaya) yang Allah masukkan dalam hati seseorang, dengan cahaya tersebut ia dapat membedakan antara yang haq dan yang batil, antara orang yang jujur dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman (Q.S Al-Hijr (15) : 75).
Khot Arab.
Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (Al-Mutawassimiin.
Berkata Mujahid (nama salah seorang ahli tafsir): bahwa Al-Mutawassimin berarti Al-Mutafarrisiin (orang-orang yang mempunyai firasat yang benar), Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Khot Arab.
Artinya : Dari Abu Said Al-Khudry radhiyallahu anhum , dari Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya ia bersabda :”Takutlah kamu pada firasat orang yang beriman, karena sesungguhnya ia melihat dengan nur (cahaya) Allah Azza wa Jalla (Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung) lalu beliau membaca (ayat tersebut diatas).” (H.R. Tirmidzi).
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hayyakumullah- (semoga Allah menghidupkan kamu dengan iman)…
Oleh karena begitu pentingnya Al-Bashirah, maka berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya yaitu dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memahami asma’ dan shifat-Ny, memahami perintah dan larangan-Nya, memahami, mempercayai dan meyakini wa’d dan wa’id-Nya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Ulama’ Salaf.
Yang dimaksud dengan ulama’ Salaf adalah : ulama’-ulama’ yang jujur dan tisqqah (dapat dipercaya) yang hidup pada zaman tiga abad pertama tahun Hijriyah., yaitu pada masa Sahabat radhiyallahu anhum  (abad pertama), kemudian para Tabi’in yaitu pengikut atau murid-murid sahabat (abad kedua) kemudian masa Tabi’ut-Tabi’in  yaitu pengikut dan murid-murid para tabi’in (abad ketiga) dan ulama’-ulama’ sesudah mereka yang hidup sesudahnya dan mengikuti mereka.
Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, bersabda :
Khot Arab.
Artinya : “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhum  bahwa Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah pada abadku, kemudian berikutnya kemudian berikutnya”  (H.S.R Imam Muslim).
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi…. Jika antum semua sudah sadar, bashirah yang dimiliki, tujuan sudah jelas, azzampun kuat maka berangkatlah dengan penuh tawakkal kepada Allah, lazimilah muhasabah (menghitung/introspeksi diri) dan bertaubatlah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepadamu sekalian, sehingga antum sampai kepada tujuan akhir dengan selamat.
2)  Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi –Wafaqqakumullah-
Ada tiga hal yang tidak boleh tidak antum semuanya wajib bermakrifat (mengenal)nya dan memahaminya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf Ash-Sholeh, tidak boleh memahami hal ini berdasarkan fikiran sendiri yang bertentangan dengan keduanya, atau mengkuti pemahaman ahlul kufri, ahlus-syirik, ahlul ahwa’ ahlul bid’ah dan orang-orang sufi ahlu wihdatul wujud dan sebagainya, adapun tiga (3) hal tersebut adalah :
A.    Makrifatullah. (khot Arab)
B.     Makrifatu-Ar-Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam. (khot Arab)
C.     Makrifatu Ad-Dienul Islam. (khot Arab).
Saya tidak akan menerangkan 3 hal ini secara rinci atau detail karena tidak mungkin disamping ilmu terbatas, memerlukan buku berjilid-jilid dan waktu yang panjang, maka ana hanya akan menerangkan secara global dan garis besar saja dengan harapan antum dapat memahaminya dan dapat memberi semangat bagi antum mengembangkannya dengan mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kitab-kitab lain yang ditulis oleh ulama’ dan ahlul ilmi yang mengikuti sunnah.
Seterusnya marilah kita ikuti penjelasan seperlunya tentang masalah ini :
A.    Makrifatullah. (khot Arab).
Kita wajib bermakrifat kepda Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai satu-satunya Rabb dan Ilah yang berhak di sembah, yang mana makrifat atau pengenalan kita kepada-Nya adalah wajib bersesuaian dengan data-data yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sampaikan sendiri mengenai Diri-Nya dan yang telah Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam sampaikan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa menambah dan mengurangi sedikitpun.
Semua orang baik yang Muslim maupun yang non-Muslim alias kafir mengaku punya Tuhan, bahkan orang-orang komunis atheis yang sebenarnya hati kecilnya pun mengakui adanya Tuhan.
Oleh karena itu dalam pembahasan yang menjadi inti persoalan bukan wujudnya Tuhan, akan tetapi siapa Tuhan yang sebenarnya yang berhak disembah…
Tuhan-tuhan yang disembah orang-orang yang menganut agama ardhi atau animisme dan dinamisme, seperti Hindu, Budha, Kong-Hu-Chu dan lain sebagainya jelas bukan tuhan yang sebenarnya.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mendakwakan atau mengaku bahwa mereka menyembah Tuhan Allah, akan tetapi mereka telah mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang tidak senonoh dan tidak patut, seperti Tuhan punya anak, punya istri, berbilang, kikir  dan sebagainya.
Para Filosof pengikut, Aristoteles, Ibnu Sina, Nasir At-Thusi, dan lain sebgainya mereka pada hakekatnya juga mempercayai adanya Tuhan akan tetapi Tuhan yang mereka percayai bukan Tuhan yang sebenarnya, sebab mereka tidak mempercayai yang ghaib, mereka hanya mengakui adanya wujud mutlak saja yang bisa di indera. Maka mereka mengingkari Dzat Allah, mereka berpendapat bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya, Allah tidak  membangkitkan orang yang sudah mati. Allah tidak mengetahui jumlah planet dan bintang-bintang dan sama sekali tidak mengetahui segala sesuatu yang wujud dan bisa dilihat, dan menganggap Allah tidak berkuasa untuk merubah alam semesta dari keadaannya yang ada dan tidak pula mampu menghancurkannya, menurut mereka tidak ada sesuatu yang halal, tidak ada yang haram, tidak ada perintah, tidak ada larangan, tidak ada surga, tidak juga adan eraka.
Adapun Tuhan menurut golongan Ittihadiyah yang berpemahman “Wihdatul Wujud”, menyatakan tuhan menyatu dan bersatu badan dengan makhluk dengan tokoh-tokohnya antara lain Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj, Ibnu Arabi Al Hatimi, Ibnu Sab’in dan lain sebagainya sedangkan di pulau jawa tokohnya adalah Siti Jenar. Dan seharusnyalah kita mengucapkan do’a “jazakumullahu khoiral jazaa tulis dengan khot arab’ ” (semoga Allah membalas mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya), do’a ini kami peruntukkan kepada para ulama’ salaf, Ahlus-Sunnah wal Jama’ahyang telah menyembelih Al-Hallaj, Al Ja’d bin Dirham, Siti Jenar dan orang-orang yang sesat dan menyesatkan selain mereka.
Maka Tuhan yang disucikan itu menurut anggapan mereka ialah makhluk itu sendiri, segala yang wujud itulah Tuhan, sebab menurut mereka, tidak ada bedanya antara Rabb (tuhan) dengan hamba, sebagaimana pernyataan Ibnu Arabi Al Hatimi tokoh sufi yang sesat lagi menyesatkan  dalam tafsirnya sebagai berikut :
Khot arab.
Al-‘Abdu Rabbu wa Ar-Rabbu ‘Abdu” “Falaita syi’rii, man al mukallaf?
In qulta ‘Abdu fadzaalika Rabbu” “Au qulta rabbu ‘anna yukallafu?
Artinya :
“Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba, maka sekiranya demikian menurutku; Siapakah yang mukallaf?”
“Jika kamu katakan, hamba, maka yang demikian itu adalah Rabb.”
“Jika kamu katakan Rabb maka bagaimana ia diberi taklif?”
Catatan : Mukallaf, adalah pihak yang diwajibkan utnuk melaksankan perintah dan larangan.
Dalam syariat Islam, semua orang yang berakal dan baligh adalah mukallaf, sedang menurut pemahaman sufi, manusia pada hakekatnya adalah tuhan, juga jadi tidak mukallaf sebagaimana kata-kata Ibnu Arabi tersebut diatas.
Seorang tokoh sufi yang terkenal dan mempunyai kedudukan tinggi di kalangan merka yang bernama Sulaiman bin ali radhiyallahu anhum , ia mengatakan bahwa hukum halal dan haram hanya terkena kepada Al Mahjubun (orang-orang yang terhijab atau tertutupi dari hakekat, maksudnya orang-orang yang tidak meyakini “wihdatul wujud”.).
Adapun untuk orang yang telah sampai pada hakekat (bersatu dengan tuhan), maka tidak ada bedanya baginya antara perempuan ajnabiyah (bukan muhrim) dengan ibu dan anaknya sendiri dalam pernikahan, ia juga mengatakan bahwa Al-Qur’an seluruhnya adalah syirik, sedang ucapan merekalah yang tauhid sebagaimana ucapannya,
Wafii kulli syai’in lahu aayatun” “Tadullu ‘alaa annahu ‘ainahu
dan pada segala sesuatu ada tanda kebenaran bagi-Nya, menunjukkan bahwa Ia adalah benda itu sendiri
Tauhid menurut akal mereka yang keblinger adalah menganggap satu atau sebadan antara Tuhan dan makhluk, jika masing-masing dipisahkan sendiri-sendiri berarti syirik atau ada sekutu dan tidak satu lagi.
Ungkapan-ungkapan lain yang tidak kurang sesatnya dari yang disebutkan tadi misalnya kata-kata Al-Hallaj, “Maa fil Jubbati illalloohi.”, maksudnya , “Tidak ada dalam  Jubah ini melainkan Allah“, artinya menganggap bahwa dirinya adalah Allah, bahkan ada yang mengganti lafadz Tasbih yang mulia yaitu Subhanallah (Maha Suci Allah) dengan kata-kata Subhanii  (Maha Suci aku).
Ungkapan yang lain lagi seperti : “wa anna laisa illallaah” (dan sesungguhnya tidak ada sesuatupun melainkan Allah), berarti dia menganggap bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah Allah.
Maka tidak anehlah jika Siti Jenar yang sesat lagi menyesatkan itu enggan disebut dirinya sebagai Siti Jenar saja, atau sebagai Allah saja, ia mau disebut dirinya sebagai Siti Jenar dan Allah dalam satu waktu -Subhanallah-.
Dari cabang-cabang keyakinan mereka yang sesat yang perlu juga saya sampaikan disini antara lain:
· Bahwa Fir’aun dan kaumnya adalah orang-orang yang beriman dengan iman yang sempurna dan mereka bermakrifat kepada Allah dengan sebenarnya, dan penyembah-penyembah berhala  berada diatas yang hak dan benar sebab pada hakekatnya mereka adalah menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan yang lain-lainnya, mereka menganggap tidak ada bedanya antara khomr (arak) dengan air, zina dengan nikah, sebab  seluruhnya adalah dariyang satu Allah bahkan Dialah hakekat yang satu.
·  Hanya orang-orang yang terhijab dari rahasia ini (keyakinan mereka yang batil itu) yang mengatakan “Ini halal dan itu haram”, sedangkan mereka (para sufi) mengatakan “betul itu haram tapi hanya bagi kalian karena kalian terhijab dari hakekat tauhid ini.”
·  Mereka mengatakan bahwa para Nabi telah mempersempit jalan atas manusia, menjauhkan dari tujuan yang dimaksud padahal urusan yang sebenarnya tidak sebagaimana yang mereka (para Nabi) bawa dan yang mereka seru kepadanya.
Adapun golongan Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Safwan yaitu termasuk golongan Al-Mu’aththilah (golongan yang menafikan dan meniadakan sifat-sifat Allah).
Golongan ini mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb semesta alam tetapi banyak sifat-sifat-Nya yang diingkari dan antara lain,
·Mengingkari bahwa Dzat Allah berada diatas makhluk-makhluk-Nya.
·Mengingkari beristiwa’ (bersemayam)  diatas arsy.
·Mengingkari bahwa Allah mendengar dan melihat.
·Mengingkari kekuatan-Nya dari hayat (hidup)-Nya.
·Mengingkari kalam-Nya.
·Mengingkari sifat-sifat-Nya,
·Mengingkari mahabbah (cinta)-Nya dan kecintaan hamba kepada-Nya.
Adapun golongan Qodariyah yaitu golongan yang berpemahaman bahwa nasib manusia sudah ditentukan oleh kehendak dan kemauan dirinya sendiri.
Golongan ini mengingkari takdir Allah dan mengingkari kehendak Allah terhadap sesuatu yang wujud serta qudrah (kekuasaan)-Nya terhadapnya. Kaum qodariyah modern atau para pengikut akhir dari golongan ini (Al-Muta’akhirin) bergabung dengan pemahaman jahmiyah maka disamping mengingkari qodho’ dan qodar mereka juga mengingkari Asma’ul Husna (Nama-nama Allah yang baik) dan Shifatul Ulya’ (sifat-sifat yang tinggi) bagi Allah.
Adapun golongan Al-Jabariyah yaitu golongan yang pemahamanya berlawanan dengan Al-Qodariyah yang menurut mereka bahwa manusia ibaratnya seperti wayang saja, segala-galanya ditentukan oleh sang dalang dengan kata lain Allah yang menentukan segala-galanya tanpa ada hak manusia untuk berusaha, manusia dianggap tidak memiliki kemampuan apa-apa, tidak memiliki kemampuan untuk memilih antara yang baik dan yang buruk, bahkan menurutnya pada hakekatnya mereka tidak berbuat apa-apa yang melakukan adalah Alla, pada diri makhluk tidak ada kekuatan, tabiat, gharizah ataupun insting dan tidak ada pula sebab akibat semuanya tergantung dengan kehendak Allah semata.
Dan masih banyak lagi golongan-golongan lain yang sesat lagi menyesatkan yang dalam bermakrifat kepada Allah mengikuti hawa nafsu dan kebodohannya, tidak mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami oleh As-Salafu Ash-Sholih.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hayyakumullah-….
Maka tidak ada jalan lain bagi antum untuk bermakrifat atau mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, melainkan dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah memahami ayat-ayatnya yang berhubungan dengan rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, ‘Asma dan Shifat-Nya, Af’al-Nya dan sebagainya sesuai denganpemahaman ulama’ Ahlus-Sunnah wal Jama’ah yang sebenarnya.
Dalam risalah yang sederhana ini saya rasa baik kalau saya berikan panduan atau petunjuk kepada antum secara sederhana, mudah-mudahan dengan panduan ini minimal antum tidak salah atau tersesat sebagaimana orang-orang yang tersesat yang mengatakan sesuatuyang tidak layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Segala-galanya, atau memberikan sifat-sifat aib dan kekurangan kepada-Nya –na’udzubillah-, misalnya : Allah ada di mana-mana, kepercayaan ini diikuti olehbanyak masyarakat awam terutama yang tidak terdidik di kalangan orang-orang sufi dan thariqat, kepercayaan ini sangat berbahaya sebab menyerempet-nyerempet kepada keyakinan Al-Ittihadiyah, Al-Hululiyah atau Wihdatul Wujud meskipun belum dapat dipastikan musibah dan kesesatannya setaraf itu, karena orang yang berkeyakinan seperti ini ada dua kemungkinan.
1.   Jika ia meyakini hal tersebut karena salah dalam memahami beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya seperti yang disebutkan dalam surat Al-Hadid ayat 4 dan tidak berpemahaman Al-Ittihadiyah (wihdatul wujud) maka hukumnya tidak sampai kufur.
2.   Jika ia meyakini hal tersebut yakni Allah berada di mana-mana menyatu dengan makhluk-Nya maka hukumnya kufur. –Wallahu ‘alam-.
Kini mari kita kaji sejenak ayat yang dimaksud agar kita tidak tersesat dalam memahaminya, Allah berfirman, “Wahuwa ma’akum aina maa kuntum tulisan khot arabartinya : “Dan Dia bersamamu dimanapun kamu berada
Demikian juga dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujaadilah (58) : 7
…Illaa huwa ma’ahum iana maa kaanuu tulis dengan khat arab.” Berdasarkan konteks ayat ini dan beberapa ayat yang lain mereka berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di mana-mana, jika seseorang berada di rumah, Dia bersamanya di rumah, jika seseorang berada di kantor, Dia bersama dengannya di kantor, jika ia berada di pasar, Dia berada bersamanya di pasar dan begitu seterusnya bahkan jika ia berada di W.C, Dia bersamanya –Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari segala yang mereka katakan-
Sekarang supaya kita tidak tersesat dan terlena dengan pemahaman tersebut, mari kita kembali kepada keterangan ulama’ salaf dalam masalah ini, tetapi yang perlu antum ketahui ana tidak mungkin menerangkan secara detail sebab keterangan mereka beratus-ratus halaman, bahkan ada diantara mereka yang menulis satu buku tebal, kalau tidak salah Imam Ibnul Jauzy rahimahullahu  ulama’ abad ke 4 hijriyah dengan judul bukunya, “Shifatul ‘Uluww” (Sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala), disini ana hanya akan menjelaskan secara singkat, mudah-mudahan dapat dipahami, sebagaimana yang kita yakini, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak ada yang bertentangan antara satu dengan yang lain, demikian juga hadits shahih.
Jika kita perhatian ayat yang tersebut dalam surat Al-Hadid ayat ke empat yang telah ditulis diatas, kita mendapati bahwa sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Dia bersama kamu dimanapun kamu berada” diawali dengan firman-Nya, “Tsummastawaa ‘alal ‘arsy tulis khot arab” artinya : “Kemudian Dia bersemayam diatas ‘Arsy
Ayat yang serupa dengan ini juga disebutkan dalam surat Al-A’raf (7) : 54 dan lain sebagainya, bahkan dalam surat Thoha (20) ayat ke lima lebih jelas lagi,
Arrohmaanu ‘alal ‘Arsyistawaa tulis khot arab” artinya : “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah (Allah), yang bersemayam diatas ‘Arsy.”
Di dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari ada satu kisah yang masyhur di kalangan ahlul ilmi berkenaan dengan pembahasan ini, yang mana salah seorang sahabat yang bernama Mu’awiyah As-Sulani radhiyallahu anhum  memiliki semacam proyek peternakan kambing yang ditempatkan di satu tempat kalau tidak salah tempat bernama Al-Juhainah terletak di sebelah utara gunung Uhud.
Pada suatu hari Mu’awiyah radhiyallahu anhum  sebagai pemilik proyek tersebut menjenguk peternakannya, tiba-tiba ada seekor serigala yang berlari dari kumpulan kambingnya sambil menerkam satu ekor kambing yang ada di tempat itu, dan pada saat itu penjaganya adalah seorang budak (hamba sahaya) perempuan, hamba sahaya tersebut tidak dapat berbuat apa-apa, artinya tidak dapat menyelamatkan kambingnya yang diterkam oleh serigala itu, singkat ceritanya, begitu Mu’awiyah radhiyallahu anhum  menyaksikan peristiwa ini, ia tidak dapat mengendalikan emosinya karena geramnya terhadap serigala yang menerkam kambingnya, hamba sahayanya menjadi sasaran kemarahannya, ia memukul dan menamparnya hingga kesakitan.
Karena ia seorang sahabat yang tinggi iman dan taqwanya, maka begitu setelah memukul beliau menyesal apalagi memukul hamba sahaya dalam syariat kaffarahnya (hukuman dendanya) jika hamba sahayanya seorang muslim, maka wajib memerdekakannya.
Kemudian Mu’awiyah radhiyallahu anhum  segera bertemu Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan kejadian itu,  begitu bertemu Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, ia menceritakan apa adanya bahwa ia menyatakan siap untuk memerdekakan budaknya, namun Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tidak menerima begitu saja, beliau Sholalloohu ‘alaihi wa sallam meminta agar hamba sahaya tersebut dihadapkan dihadapan beliau, maka iapun memanggil hamba sahayanya lalu dibawa kehadapan Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau Sholalloohu ‘alaihi wa sallam menanyakan dua pertanyaan kepada hamba sahaya itu, antara lain tujuannya adalah untuk mengetahui apakah hamba sahaya tersebut mukminah ataukah tidak, sebab jika mukminah maka Mu’awiyah radhiyallahu anhum  wajib membebaskannya.
Adapun pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut :
b.   AinaAllah?” (Dimana Allah?)
Ketika pertanyaan ini diajukan oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam maka dijawab dengan jawaban “Fissamaa’i” (Di langit.)
c.    Man Ana?” (Siapakah aku?)
Pertanyaan kedua ini dijawab dengan jawaban “Anta Rasulullah” (Engkau adalah Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.)
Dengan jawaban ini Rasulullah menyatakan bahwa wanita tersebut adalah mukminah dan beliau memerintahkan Mu’awiyah radhiyallahu anhum  untuk membebaskannya.
Dari kisah diatas sebenarnya banyak sekali hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil baik yang berhubungan dengan aqidah yang sedang kita bahas mapupun yang lain termasuk tashowwur dan fikrah (wawasan dan pemikiran).
Sebelum kita lanjutkan pembahasan kita, ada baiknya ana sampaikan satu hal penting yang ada kaitannya dengan hikmah dari riwayat tersebut :
Ada satu anggapan bahwa kaum wanita pada zaman sahabat atau pada masa kejayaan Islam yang lebih dari seribu tahun yang lalu, pada saat itu mereka bodoh-bodoh dan tidak berpengetahuan oleh karena itu tidak ada dari mereka yang diangkat menjadi pemimpin, menteri dan sebagainya”
Kalaulah anggapan ini datang dari orang-orang yang kerjanya sehari-hari sebagai penggembala kerbau, meskipun tetap mengherankan barangkali herannya kita itu tidak keterlaluan, walaupun kita mesti tetap menganggap itu sebagai sebuah musibah. Namun bagaimana pendapat antum jika anggapan yang demikian itu sebagai sesuatu yang  diyakini, dipegangi dan menjadi hiasan bibir yang  selalu dipertahankan oleh orang-orang yang mengaku dirinya educated (terdidik), intelek dan cendekiawan muslim, keadaan ini sungguh-sungguh menherankan dan menyedihkan tetapi kita sadar begitulah kelihaian Iblis dan antek-anteknya, dalam mencekoki dan mencuci otak-otak mereka.
Ana pernah mendengar, kira-kira empat tahun yang lalu, sewaktu masih di Malaysia salah satu ceramah di radio yang disampaikan oleh seseorang bertitel profesor lagi doktor nama sebenarnya ana lupa, pada waktu itu ia menduduki jawatan paling penting dalam IKIM (Institut Kepemahaman Islam Malaysia) kurang lebih visi dan misinya seperti Institut Paramadina Jakarta yang didirikan oleh Nurcholish Madjid di Indonesia.
Ketika pak profesor lagi pak doktor itu selesai menyampaikan ceramahnya ada seorang muslimah yang bertanya lebih kurang maksudnya, “Bolehkah kaum wanita menjadi pemimpin?” Bagaimana menurut pendapat prof,? Karena saya telah mendengar beberapa keterangan dari beberapa ustadz katanya hal tersebut tidak diperbolehkan.”
Maka sang profesor lagi doktor  ini menjawab kurang lebih sebagai berikut “Memang dalam Al-Qur’an pada surat An-Nisa (4) ayat ke 3 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Ar-Rijaalu qowwamuuna ‘alan-Nisaa khot arab’” artinya : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita… tetapi perlu diingat bahwa ayat ini adalah untuk masyarakat sahabat, seribu empat ratus tahun yang lalu, sebab pada waktu itu kaum wanita tidak berpendidikan dan tidak setaraf dengan kaum laki-laki. Adapun zaman sekarang sudah tidak berlaku lagi, sebab kaum wanita sudah setaraf dengan kaum pria, termasuk dalam bidang pendidikan, misalnya istri saya sekarang ini sedang mengikuti program doktoral dan banyak wanita yang memiliki kepandaian dalam segala bidang…”, dan seterusnya seribu pujian disampaikan oleh sang profesor ini untuk kaum wanita modernis.
Pada saat itu juga jawaban sang profesor ini mendapatkan reaksi dan sanggahan dari salah seorang laki-laki kalau tidak salah usianya sudah agak tua, beliau membantah pandangan profesor tadi katanya (kurang lebih maksudnya demikian), “Prof, saya pernah membaca dalam salah satu kitab bahwa sayidina Ali  bin Abi Thalib radhiyallahu anhum  pun melarang perempuan menjadi pemimpin…”
Dengan enteng dan sepele saja sang profesor lagi doktor yang otaknya sudah terkena Rinsonya orientalis barat ini menanggapi apa yang disampaikan oleh lelaki tersebut, “Itu pendapat sayidina Ali radhiyallahu anhum , untuk zamannya, bukan untuk zaman kita…”
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi –Hafidzhakumullahu wa ro’aakum-
Sekarang mari kita membuat perbandingan dengan jujur dan teliti sesuai dengan syariat maupun kenyataan yang ada..
Benarkah kaum wanita pada masa silam, khususnya pada 3 abad pertama hijriyah itu mereka bodoh-bodoh, tidak berpendidikan sedang kaum wanita pada zaman sekarang ini berpendidikan sehingga wanita terdahulu dilarang untuk menjadi pemimpin sebagaimana kandungan ayat ke 34 dari surat An-Nisa’ yang telah disebutkan diatas sedangkan wanita pada masa kini tidak dilarang alias boleh karena mereka semua wanita yang pandai?
Untuk  menjawab pernyataan ini sebetulnya sangat mudah dan simple, kita kembali kepada kisah hamba sahaya yang  dimiliki oleh Mu’awiyah As-Sulani radhiyallahu anhum  yang telah disampaikan diatas. Jika hamba sahaya (budak) perempuannya saja yang hidup pada masa sahabat yaitu zaman yang terbaik begitu hebatnya ilmu dan pengetahuannya tentang aqidah Islamiyah dan begitu cerdas, cakap dan tangkasnya dalam menjawab pertanyaan yang  sebenarnya agak sulit untuk menjawabnya, kecuali orang-orang yang telah menerima tarbiyah dan taklimat secara terus menerus mengenai asma’ dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebab pertanyaan yang dikemukakan oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam kepadanya tidak sederhana, seperti, “Siapa pencipta langit dan bumi?” “Siapa yang menciptakan kamu?” dan sebagainya, tetapi pertanyaan yang dipilih oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam adalah, “Aina Allah?” (dimanakah Allah).
Barangkali –wallahua’lam- jawaban dari pertanyaan inilah yang dapat menyimpulkan apakah seseorang itu mukmin atau tidak, sebab kalau hanya mengakui Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pencipta, orang musyrik pun mengakuinya, maka Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya “Manil Kholiq?” (siapakah pencipta) atau yang sejenisnya.
Jika pertanyaan “Dimanakah Allah? ” kita ajukan kepada seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada pada masa kini baik yang sedang mengikui program S1, S2 dan S3, termasuk juga para dosen-dosennya yang profesor, yang doktor, yang master dan sebagainya khususnya yang mengaku muslim untuk yang kafir tidak perlu ditanya lagi mungkin akan berkelimpungan, bingung tak tentu arah mencari jawaban serta memerlukan waktu beberapa menit untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat dan benar, -Kecuali mereka yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala-
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hafidzhakumullah-
Seterusnya mari kita tarik kesimpulan yang sederhana saja, kalau muslimahnya atau wanitanya dari golongan hamba sahaya saja begitu hebatnya ilmu dan makrifatnya apalagi wanita-wanita dari golongan yang merdeka seperti ummahatul mukminin radhiyallahu anhum  (istri-istri Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam), istri-istri sahabat radhiyallahu anhum  dan putri-putri mereka tentunya ilmu dan makrifatnya akan lebih tinggi dan lebih hebat lagi.
Maka benarlah pernyataan yang  menyatakan bahwa Aisyah radhiyallahu anha  ummul mukminin adalah seorang wanita yang paling alim yang  pernah hidup diatas bumi, ke’aliman dan kefaqihan serta kepintaran beliau radhiyallahu anha bukan sekadar menyandang titel profesor, doktor , master dan sebagainya yang menjadi kebanggaan para mahasiswi hari ini dan setiap orang.-kecuali yang dirahmati Allah-
Apa yang mesti dibanggakan dan disombongkan dari gelaran-gelaran dan titel-titel ini? Sebenarnya tidak ada yang membanggakannya dan menyombongkannya melainkan orang-orang yang berjiwa kerdil.
Segala titel dan prestasi yang bisa diraih oleh kaum wanita pada masa kini jika dibandingkan dengan prestasi yang telah diraih oleh Ummul Mukminin Sayidah Aisyah radhiyallahu anha  dan lain sebagainya perbandingannya barangkali antara bumi dan langit  dalam segala bidang kecuali dalam bidang teknologi itupun masih kemungkinan, jika ukuran teknologi itu diibaratkan dengan munculnya komputer misalnya, maka jelas wanita masa kini lebih arif daripada mereka, tetapi tidak  menutup kemungkinan ada juga bidang teknologi yang lain dimana mereka lebih pandai.
Misalnya ada salah seorang wanita yang kononnya berkarir karena telah menyandang gelar profesor dan doktor  pada hakekatnya kalau kita nilai dengan jujur belum ada setitik ilmu pengetahuan yang diraihnya jika dibandingkan dengan ilmu yang ada pada diri Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anhum .
Dia meraih gelar profesor karena prestasi dan keberhasilannya dalam satu bidang pekerjaan atau ilmu, dan meraih gelar doktor  mungkin karena sukses penyelidikannya dalam ilmu tertentu, jika yang menjadi obyek itu misalnya bidang agama atau ilmu keIslaman misalnya, prof dan dok nya dalam bidang Tafsir atau Hadits atau Aqidah atau Dirosah Islamiyah atau Ushul Fiqh dan sebagainya, hal ini jika dibandingkan dengan ilmu dan karya para ulama’ salaf belum  ada apa-apanya, mahasiswa saat ini untuk memenuhi thesis atau desertasi program doktoralnya atau masternya yang tidak lebih dari ribuan halaman saja memerlukan waktu setahun atau lebih itupun hanya sekedar memindahkan dan menukil dari buku-buku dan kitab-kitab yang sudah ada dengan fasilitas serba ada, sementara ulama’ salaf menulis beribu-ribu halaman dan berjilid-jilid buku dan kitab dengan fasilitas serba kekurangan termasuk tinta, kertas dan lampu.
Kemudian jika yang menjadi obyek penyelidikan yang menjadikan wanita tersebut bergelar profesor atau doktor  adalah bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan ia tidak mengerti tentang urusan agama dan akherat, maka orang seperti ini menurut Al-Qur’an adalah orang yang tidak berpengetahuan atau bodoh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Khot Arab.
Artinya : “(sebagai) Janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sedangkan mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai.)” (Q.S. Ar-Rum (30) 6-7)
Ilmu pengetahuan tentang alam dan teknologi adalah termasuk urusan yang lahir.
Jadi kalau ada seseorang yang tidak memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak memahami urusan akherat meskipun seribu titel dan gelaran yang ia sandang dan raih, maka pada hakekatnya orang seperti ini adalah bodoh.
Sahabatku yang aku kasihi…
Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita bahwa kesimpulan pak profesor doktor  yang tolol itu benar-benar batil dan tidak ada kebenarannya sama sekali tentang hal-hal tersebut diatas yaitu :
a.    Bahwa ayat Al-Qur’an dari surat An-Nisa’ ayat 34, yang menerangkan bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, tidak berlaku untuk zaman sekarang karena wanita pada zaman sekarang sudah setaraf dengan laki-laki.
b.    Kaum wanita pada zaman dulu termasuk para shahabat radhiyallahu anhum  adalah  bodoh-bodoh dan tidak berpendidikan.
c.    Kaum wanita pada masa kini lebih berilmu dari pada kaum wanita pada masa sahabat.
d.   Alasan wanita tidak boleh menjadi pemimpin, katanya karena tidak berilmu berarti kalau berilmu boleh memimpin.
Sahabatku dan handai taulanku yang aku kasihi.
Janganlah antum terperdaya dengan pandangan dan pendapat sesat orang-orang rasionalis dan sekuler serta yang semacamnya, jika antum ingin mengetahui alasan kaum wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin bacalah buku-buku yang ditulis oleh  ahlul ilmi yang jujur dan dapat dipercaya sesuai dengan pemahaman ulama’ salaf.
Dalam buku “20 Petunjuk Praktis Bagi Suami” yang ana tulis, di situ ana sampaikan sebagian dari alasan kaum wanita tidak boleh memimpin, silahkan rujuk jika perlu.
Sahabatku dan handai taulanku yang aku kasihi
Sekarang kita kembali kepada pembahasan semula berkenaan dengan Makrifatullah  dalam sifat ketinggian-Nya atau Istiwa’-Nya diatas Arsy.
Kita masih pada pembicaraan seolah-olah ada pertentangan antara ayat-ayat tersebut diatas.
Pada beberapa ayat termasuk ayat 5 surat Thoha dan dikuatkan lagi oleh hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari berkenaan dengan jawaban hamba sahaya mukminah terhadap pertanyaan Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam diatas ‘Arsy.
Sedangkan pada kedua potongan ayat yang terdapat dalam surah Al-Hadid ayat ke 4 dan Mujadalah ayat 7 yang artinya : “Dia bersama kamu dimanapun kamu berada.” dan “Melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada.
Ayat-ayat tersebut tidak bertentangan antara satu dengan yang lain jika di dudukan secara sebenarnya.
Pertama  : Kita meyakini  bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam diatas Arsy atau dengan kata lain sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Mulk (67): 16-17 dan dalam hadits shahih tersebut diatas yaitu “”Fissamaa’I  (dilangit).
Kedua :  Menurut bahasa kita : ” Ma’a” atau Ma’iyahyang berarti bersama atau beserta tidak mesti berarti ditentukan oleh jarak tertentu atau menyatu atau lengket dan sebagainya. Sebagai misal orang Arab biasa mengatakan “Sirnaa lailan wal qomaru ma’ana.” artinya : “Kami berjalan di malam suatu malam dan rembulan bersama kami”
Ungkapan ini benar menurut bahasa dan maksud dari kata bersama atau beserta dalam dalam kalimat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa :
1.  Rembulan tetap pada posisinya yaitu di langit.
2.  Kami (orang yang berjalan di malam hari), boleh jadi berada diatas punggung kuda, keledai, unta dalam mobil atau berjalan kaki.
3.  Tidak berarti bulannya berada bersama-sama di dalam mobil, di punggung unta dan sebagainya.
Ketiga  : Bahwa yang bersama atau beserta kita dimanapun kita berada adalah ilmu Allah, Pendengaran-Nya,  dan Penglihatan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Thoha (20) : 46).
Khot arab.
Artinya : Allah berfirman : “Janganlah kamu berdua (Musa dan Harun a.s) khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Penghujung atau akhiran dari kedua ayat tersebut dalam surat Al-Hadid dan dalam surat Al-Mujadilah yang menyebutkan tentang kebersamaan Allah ditutup dengan kata-kata :
Wallahu bimaa ta’maluuna bashiir.
Artinya : “Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan..
Innallaaha bikulli syai’in ‘Aliima
Artinya : “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Asy-Syu’ara (42) : 15),
khot Arab.
Artinya : “Allah berfirman : “Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mu’jizat-mu’jizat), sesungguhnya Kami bersamamu dan mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan).”
Dan lain sebagainya.
Selain menganggap bahwa Allah berada dimana-mana, ada juga dari kalangan kaum muslimin karena ketidak tahuannya atau karena tidak ada ilmu tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka mensifati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, misalnya Ebiet G. Ade dalam salah satu bait lagunya ia mengatakan, “Mungkin Tuhan mulai bosan
Karena Ebiet G. Ade adalah seorang muslim, maka sudah tentu yang dimaksud Tuhan pada ungkapan tersebut adalah “Allah” bosan atau jemu adalah sifat kurang bahkan termasuk sifat tercela, bukan sifat terpuji dan sempurna, oleh karena itu, tidak layak ada pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Sempurna dan Maha Segala-galanya.
Kalaulah ungkapan tersebut berbunyi, “Mungkin Tuhan Murka” atau “Mungkin Tuhan Marah”, maka hal tersebut adalah salah satu sifat kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang banyak disebut baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-Sunnah, adapun sifat bosan adanya pada makhluk termasuk manusia yang serba dhoif dan lemah.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hayyakumullah-…
Ana mengambil contoh dari Ebiet G. Ade dalam pembahasan kali ini bukan berarti ana setuju dengan lagu tersebut, bahkan ana termasuk menyetujui pendapat dan keterangan ulama’-ulama’ Salaf dari semua madzhab kecuali Sufi, seluruh madzhab tersebut melarang atau mengharamkan segala jenis musik, kecuali Rebana (terbangan), inipun dengan syarat lagunya bermanfaat membangkitkan Iman, semangat keberanian, perjuangan dan jihad serta terhindari dari segala jenis akhlak yang tercela, seperti membangkitkan  nafsu cinta birahi syaithani dan sebagainya, adapun pembawa lagu atau nyayian itupun harus anak-anak perempuan yang belum mukallaf, artinya belum baligh sebagaimana yang terjadi pada zaman sahabat radhiyallahu anhum ajma’in.
Jika antum hendak mendalami masalah ini silahkan buka kitab Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, “Ighotsatul Lahfan Min Mashoyyidisy-Syaithan”, beliau membahas masalah lagu dan nyanyian lebih dari 50 halaman.
Ana mengambil contoh dari lagu tersebut karena lagu tersebut sudah terlanjur menjadi konsumsi jutaan telinga, jutaan manusia, termasuk mayoritasnya umat Islam, ana khawatir jika ana termasuk dalam kelompok manusia yang tidak menyadari kesesatan dan kesalahan tersebut dan ada baiknya jika antum ada dan berkesempatan, serta memungkinkan waktunya, sampaikan tadzkirah atau ingatkan si Ebiet akan kesalahannya dan kelalaiannya, dan suruhlah ia bertaubat.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi –Hafidzhakumullahu wa ro’aakum-…
Maka sebagaimana yang ana sampaikan sebelumnya bahwa untuk bermakrifat atau mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala secara benar yaitu dengan memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya, Rububiyah-Nya dan Uluhiyah-Nya sesuai dengan pemahaman para ulama’ Salaf ash-Sholih.
Mengingat mungkin tidak semua dari antum pembaca risalah ini yang memiliki kemampuan dan kelapangan untuk mengkaji ayat-ayat hadits-hadits tersebut secara detail, maka baiklah disini ana berikan panduan dan petunjuk sederhana, mudah-mudahan bermanfaat.
Makrifat (Mengenal) Allah dengan jalan memahami Tauhid-Tauhid-Nya.
Tauhid dibagi menjadi 3 (tiga) macam :
1.  At-Tauhidul Asmaa’i wa Ash-Shifaati”. (Tauhid nama-nama dan sifat).
2.  At-Tauhidu-Ar-Rububiyatihi”. (Tauhid Rububiyah).
3.  At-Tauhid Al-Uluhiyatihi” (Tauhid Uluhiyah).
1.      Tauhid Asma’ dan Sifat ialah :
I’tiqad atau berkeyakinan atau meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya zat yang memiliki kesempurnaan yang mutlak dari segala segi, dengan sifat-sifat dan kebesaran-Nya, keagungan-Nya dan keindahan-Nya yang tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya ditinjau dari segala segi-Nya.
Yang demikian itu adalah dengan menetapkan segala apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan, untuk Diri-Nya atau yang telah Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tetapkan untuk-Nya dari seluruh nama-nama dan sifat-sifat, makna-makna dan hukum-hukum-Nya yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dan layak dengan kebesaran-Nya dan keagungan-Nya, tanpa menafikan atau meniadakan sesuatu dari-Nya, tanpa menta’thil (meniadakan atau mengingkari), tanpa mentahrif (merobah dari yang sebenarnya atau menyelewengkan) dan tanpa menta’tamtsil (menyerupakan atau memisalkan) .
Serta menafikan segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikannya dari Diri-Nya dan yang telah Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam nafikan terhadap-Nya dari segala kekurangan dan aib (kecacatan) dan dari segala sesuatu yang menghilangkan kesempurnaan-Nya.
Contoh :
a.       Menta’thil (meniadakan atau mengingkari), antara lain :
Sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Mu’athilah antara lain Al-Jahmiyah  dan sebagainya, golongan ini telah meniadakan dan mengingkari sifat-sifat Alah Subhanahu wa Ta’ala dan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, misalnya mereka mengingkari dan meniadakan ketinggian (uluww) Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas makhluk-Nya, mengingkari pendengaran (sam’un)-Nya, hidup (hayat)-Nya, bercakap-cakap (kalam)-Nya dan mengingkari cinta (mahabbah)-Nya terhadap hamba-Nya dan kecintaan hamba terhadap-Nya dan sebagainya.
b.      Mentahrif (merobah atau menyelewengkan) antara lain :
Seperti perbuatan orang-orang musyrik merobah nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Al-Aziz” Yang Maha Perkasa  menjadi “Al Uzza” dan “Al-Ilah” (Tuhan) menjadi “Al-Lata” yang kemudian dijadikan sebagai nama berhala mereka.
Atau seperti perbuatan Al-Mu’athilah dan Al-Jahmiyah yang menamakan Wajah Allah, Kedua Tangan-Nya (Yadaihi), Kaki (Qodam)-Nya Yang Mulia dengan Al-Jawarih (Anggota Badan).
c.       Mentamtsil (memisalkan, menyamakan, menyerupakan), disebut juga mentasybih, antara lain seperti perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani dan lainnya yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak, berarti telah menyamakan dan menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk.
Atau seperti orang-orang yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah adalah seperti sifat-sifat makhluk-Nya, misalnya : Istiwa’ (bersemayam)-Nya diatas Arsy sebagaimana bersemayamnya seorang raja di istananya, Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti tangan manusia, Turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pada pertengahan malam ke langit yang paling bawah dianggap sebagaimana turunnya seorang khatib dari atas mimbar, demikian juga pendengaran, penglihatan dan sebagainya.
Supaya kita selamat dari bahaya dan musibah menafikan, menta’thil, mentahrif dan mentamtsil atau mentasybih sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, marilah kita ikuti petunjuk atau qoidah praktis yang pernah disampaikan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullahu , seorang ulama’ besar ahli dan pakar fiqih termasuk salah satu dari fuqoha’ yang empat serta sangat masyhur dikalangan awam, beliau sebagai tokoh pertama dari madzhab Maliki, maka sebutan madzhabnya dinisbahkan dengan madzhab beliau. Adapun qoidahnya sebagai berikut:
Sebelumnya untuk lebih jelasnya kisahnya begini,  sewaktu Imam Malik mengadakan majlis taklim (mengajar dalam sebuah majelis ilmu) kalau tidak salah di Masjid Nabawi-Madinah, (Beliau terkenal dengan nama Imam Darul Hijrah (Madinah)).
Sewaktu beliau sedang mengajar, datanglah salah seorang ahlul ahwa’ dan ahlul bid’ah dalam majelis beliau dengan tujuan untuk melecehkan dan mengetes beliau dengan pertanyaan yang menurut anggapannya Imam Malik rahimahullahu  tidak akan dapat menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan majelis dan disamping itu juga ada beberapa maksud tersembunyi lainnya –wallahu’alam-.
Orang tersebut mengajukan pertanyaan kepada Imam Malik rahimahullahu , berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, antara lain yang ditanyakan adalah Al-Istiwaa’ (bersemayam)nya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas Arsy.
Maka beliau menjawab dengan jawaban yang singkat dan jelas.yaitu sebagai berikut :
1.      Al-Istiwaa’u Ma’lum (Ghoiru Majhul)”.tulis semua dengan khot arab
2.      Wal-Kaifu Majhul (Ghoiru Ma’lum)”. .tulis semua dengan khot arab
3.      Wal-Imaanu bihi Waajib”. .tulis semua dengan khot arab
4.      Was-Su’alu Anhu bid’atan”. .tulis semua dengan khot arab
Artinya :
1.      Istiwa’ (Bersemayam) adalah maklum (diketahui), bukan tidak diketahui.
2.      Kaifiyah (tatacara/bagaimana)nya tidak diketahui.
3.      Beriman dengannya adalah wajib
4.      Bertanya tentangnya (tatacara Istiwa) adalah bid’ah.
Dengan jawaban ini semua yang hadir merasa puas sedang si penanya tidak dapat berkutik dan tidak tercapai tujuan dan maksudnya.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hafidzhakumullah-
Dari qoidah diatas antum bisa masukkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala baik sifat-sifat Dzatiyah-Nya maupun sifat-sifat Afa’-Nya dan Khabariyah-Nya, misalnya “Hayat” (Hidup), “Sam’u” (mendengar), “Bashar” (melihat), “Kalamun” (bercakap-cakap), “Wajhi” (Wajah), “Yaddu” (tangan), “Qodamun” (kaki), “Ja’a” (datang), “Nuzula”/ “Yanzilu” (turun), tertawa dan sebagainya.
Sebagai contoh misalnya :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr (89) : 22.
Wa jaa’a Robbuka wal malaku shoffan shoffaa
artinya : “Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris.
Sifat “datang” dimasukkan dalam qoidah berarti :
  1. Datang itu maklum.
  2. Tatacara datang-Nya tidak diketahui.
  3. Mengimani “datang” hukumnya adalah wajib.
  4. Bertanya bagaimana cara dan kaifiyah Allah datang hukumnya bid’ah dan dilarang.
Contoh lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Fath (48) : 10.
Yadullahi fauqa yadiihim” artinya : Tangan Allah diatas tangan mereka”
  1. Tangan itu maklum.
  2. Bagaimana bentuk tangan-Nya tidak diketahui.
  3. Mengimani Tangan Allah hukumnya adalah wajib.
  4. Bertanya tentang bagaimana tangan Allah datang hukumnya bid’ah dan dilarang. Dan sebaginya.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Wafaqqakumullah-.
Perlu ana informasikan kepada antum bahwa dalam memahami dan menetapkan sifat-sifat Dzatiyah dan khobariyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, (Semisal istiwa’ (bersemayam), Nuzul (turun), Maji’ (datang), menggenggam, tertawa, berjalan, lari dan sebagainya, termasuk yad (tangan), kaki, jari, wajah dan sebagainya) telah terjadi perselisihan diantara ulama’ yang mengaku Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Adapun perselisihan itu jika dibahas secara detail memerlukan buku berjilid-jilid dan Alhamdulillah para ulama’ yang terpercaya telah membahas secara terperinci dalam kitab-kitab yang berhubungan dengan masalah ini, disini ana hanya akan menyampaikan pokok masalah yang diperselisihkan menurut ana –wallahu a’lam bis-showab, kebenarannya mudah-mudahan bermanfaat-.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syu’ara (42) : 11.
khot arab
Artinya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dari ayat ini bisa ditarik hikmah bahwasanya mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (persamaan atau permisalan) dengan makhluk adalah wajib hukumnya.
Maka dengan maksud tanjih (membersihkan) dari segala penyerupaan dan permisalan (Tasybih dan Tamtsil), golongan atau madzhab Asyairah atau Asy’ariyah, (sebutan ini dinisbahkan padan ama pendirinya yaitu Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu ) yang hidup sekitar abad ketiga dan keempat sesudah imam-imam madzhab yang empat, menurut riwayat –wallahu a’lam- sebagaimana yang ditulis dalam muqaddimah kitab “Al-Ibanah” yaitu kitab yang paling akhir ditulis beliau sebelum wafat menyatakan bahwa beliau dalam memahami tauhid khususnya Tauhid Asma’ wa Shifat beliau mempunyai tiga marhalah :
1.     Beliau selama kurang lebih 40 tahun menjadi Asy-Syaikh (tokoh) golongan mu’tazilah, disebut mu’tazilah karena golongan ini telah ‘uzlah meninggalkan majelis ilmu yang dipimpin oleh seorang alim besar dari kalangan Tabi’in yaitu Imam Hasan Al Bashri rahimahullahu , karena mereka tidak sependapat dengan bayan atau keterangan yang disampaikan oleh beliau berkenaan dengan Asma’ dan Shifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, golongan ini tokoh dan pelopornya adalah Washil bin Atho’, golongan ini antara lain perbedaannya dengan ulama’ salaf adalah mentakwil sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.     Marhalah kedua, beliau bertaubat yaitu dengan meninggalkan pemahaman Mu’tazilah kisah singkatnya sebagai berikut : Beliau mulai ragu-ragu dengan pemahaman mu’tazilah yang selama ini beliau ikuti, maka ia memohon petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk menyembunyikan diri dari orang awam, dengan kata lain untuk sementara waktu tidak menjadi imam dan khotib di masjid jami’ (masjid besar), yang pada hari-hari biasa beliau menjadi imam di masjid tersebut, pada saat itu beliau adalah salah satu dari ulama’-ulama’ besar dan terkenal. Ketidak munculan beliau sampai hampir dua minggu, sudah tentu membuat jama’ah dan masyarakat di sekitarnya merasa kehilangan dan memunculkan tanda tanya mengapa sang Syaikh tidak berada di tengah-tengah mereka.
Akhirnya setelah sekian hari ditunggu-tunggu tidak muncul tiba-tiba beliau muncul pada hari jum’at, ketika kaum muslimin berkumpul di masjid untuk melaksanakan sholat jum’at, beliau berdiri dihadapan mereka, (maaf ana lupa apakah pada saat itu beliau berdiri sebagai khotib ataukah tidak, atau beliau maju kehadapan jama’ah setelah selesai sholat jum’at, untuk lebih jelasnya silahkan dirujuk kembali pada kitab Al-Ibanah), yang jelas beliau berdiri dihadapan para jama’ah dan berceramah yang diantara kandungan ceramahnya menyatakan (kurang lebih maksudnya demikian), “Wahai saudara-saudara sekalian, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa saya pada beberapa hari ini tidak berjama’ah dengan kalian, hal ini terpaksa saya lakukan sebab saya ada permasalahan besar yaitu ragu-ragu dengan aqidah atau pemahaman mu’tazilah yang saya pegang, maka saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menunjukkan kepada saya aqidah dan pemahamanyag benar dan Alhamdulillah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menunjukkan pemahaman yang benar kepada saya. Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku, ketahuilah bahwa mulai sekarang ini saya campakkan pemahaman mu’tazilah yang selama ini saya ikuti sebagaimana saya mencampakkan jubah ini.” –pada waktu itu beliau pun melepas jubah nya (baju luar) dan dicampakkan atau dilemparkan ke depan majelis-.
Dengan meninggalkan pemahaman mu’tazilah maka beliau mulai mengitsbatkan (menetapkan) sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebelumnya tidak diitsbatkan atau ditakwilkan yaitu tujuh sifat, “’Ilmu” (berilmu), “Hayat” (Kehidupan), “Sam’u”, (Mendengar), “Bashar” (Melihat), “Kalam” (Berbicara), “Qudrah” wal  Iradah” (Berkuasa dan Berkehendak).
3.     Marhalah ketiga  : beliau kembali dan rujuk kepada pemahaman ulama’ salaf, sebagaimana yang dipegang teguh oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu , Imam Malik bin Anas rahimahullahu  dan lain sebagainya, seperti yang beliau tulis dalam kitab “Al-Ibanah” dengan kata lain beliau mengitsbatkan dan menetapkan sifat-sifat Dzatiyah Allah dan Fi’liyah-Nya serta Khobariyah-Nya termasuk ‘Istiwa’ (bersemayam), Yad (tangan) dan sebagainya yang sebelumnya baik pada marhalah pertama maupun yang kedua tidak diitsbatkan, pada marhalah  kedua beliau melakukan ta’wil pada Istiwa’ dengan ‘Istaula yang berarti menguasai.
Adapun Madzhab dalam masalah aqidah yang dikenali dengan sebutan Madzhab Asy’ariyah atau Asyairah itu pada intinya adalah mengikuti pegangan beliau pada marhalah kedua yaitu mengitsbatkan dan menetapkan sebagian sifat-sifat baik secara Lafziyah maupun ma’nanya dan mentakwilkan sebagian yang lain, sebab mereka tidak membenarkan marhalah ketiga sebagaimana yang tersebut diatas, disamping ada alasan-alasan lain terutama untuk mentanjih atau membersihkan sifat-sifat Allah dari Tasybih dan Tamtsil, maka sifat-sifat yang menurut pemahaman mereka bisa membawa kepada tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (persamaan) dengan makhluk-makhluk mereka, misalnya :
Ar-Rohmaanu ‘Alal ‘Arsystawaa” (Q.S Thoha : 5)
Mereka tidak memberikan makna Istawa’ sesuai dengan lafaznya dengan bahasa Indonesia yang berarti “bersemayam”, tetapi mereka melakukan takwil Istawa’ menjadi Istaula, yang berarti menguasai atau berkuasa, sehinga arti atau maksud dari ayat tersebut.
“Tuhan Yang Maha Pemurah yang Berkuasa diatas Arsy”
contoh lain :
Yadullahi fauqa yadiihim
Yaddun (tangan), mereka takwilkan dengan “Qudrah” (Kekuasaan), sehingga ayat diatas berarti Kekuasaan Allah diatas tangan mereka.
Wa jaa’a Robbuka wal malaku shoffan shoffaa
ditakwil menjadi : “Wa jaa’a Rohmata Rabbuka”
artinya : “Dan datanglah rahmat Tuhanmu
Jadi golongan ini mentakwil istiwa (bersemayam) dengan Istaula (berkuasa), yad (tangan) dengan qudrah (kekuasaan) dan Jaa’a Rabbuka (datanglah Tuhanmu) dengan Jaa’a Rahmata Rabbuka (datanglah rahmat Tuhanmu), antara lain tujuannya disamping yang sudah disebutkan diatas yaitu agar orang awam tidak menggambarkan atau memvisualisasikan atau membayangkan “istiwa’”nya Allah, “Yad” Allah dan “datang” ini tujuan tercapai yaitu mentanjih (mensucikan) Allah dari segala tasybih dan tamtsil.
Madzhab Asyairah atau Asy’ariyah ini diiuti oleh kebanyakan dari kalangan awam kaum muslimin yang bermadzhab Syafi’i (dalam masalah fiqih) adapun dari kalangan ulama’ Syafi’i tidak semuanya mengikuti pemahaman ini.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi –Yahfadzhukumullahu wa ro’aakum-
Alasan ahlut-takwil dari madzhab Asya’irah atau Asy’ariyah bahwa mereka mentakwil sebagian sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan maksud mentanjih (mensucikan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala tasybih dan tamtsil di tentang oleh Ahlul Itsbat (golongan yang menetapkan setiap Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya), biasanya ahlul itsbat ini dipanggil dengan madzhab salaf, alasan dan hujjah mereka panjang lebar dan tidak mungkin rasanya ana tuliskan di sini seluruhnya antaranya saja yang bisa ana nukil sebagai berikut :
“Kalau mereka mentakwil “Istiwa” dengan alasan tanjih dari Tasybih dan Tamtsil, maka kenapa pula mereka mengitsbatkan atau tidak mentakwil sifat Kalam (bercakap-cakap), Sam’un (mendengar), Bashar (melihat) dan sebagainya??”
“Kalau mereka mentakwil “Istiwa’” bersemayam dengan Istaula berkuasa dengan maksud supaya orang awam tidak menggambarkan atau memvisualkan atau membayangkan atau membagaimanakan atau mengkaifiyahkan sehingga dengan demikian akan terjerumus pada tindakan menyerupakan atau menyamakan dengan bersemayamnya seorang raja dalam istananya, hal ini atau kekhawatiran ini masih merupakan dzhan (persangkaan), belum yakin atau belum pasti.”
Sedangkan dengan mentakwil “Istiwaa’” menjadi “Istaula” atau bersemayam menjadi berkuasa berarti dengan jelas telah menafikan sifat khobariyah Allah Subhanahu wa Ta’ala (Istiwa’) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan untuk Diri-Nya sendiri. Sedangkan menafikan atau meniadakan sifat Allah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah tetapkan itu musibah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kekhawatiran diatas.
Jika diibaratkan bagaikan seseorang yang sedang mengemudikan sepeda motor di jalan, ia melihat dihadapannya ada kotoran lembu, menurut dzhan dan sangkaannya jika kotoran itu dilewati atau dipijak oleh roda sepeda motornya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, mungkin akan terpeleset atau jatuh, mungkin akan bertaburan kotoran lembu itu sehingga akan mengenai dirinya dan kemungkinan-kemungkinan lain, maka untuk menjauhkan dari kekhawatirannya ia pun berusaha membanting setirnya sekuat-kuatnya, akibatnya yang terjadi memang tidak mengenai kotoran lembu tersebut akan tetapi ia terjatuh dalam jurang yang mematikan.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi –Hafidzhakumullahu wa ro’aakum-…
Ana tidak berani mengatakan bahwa takwil yang dilakukan oleh madzhab Asy’ariyah atau Asyairah ini batil dan salah besar, seperti keberanian ana terhadap kebathilan dan dosa golongan jahmiyah yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di mana-mana, ada di lubang-lubang rumah, di toko-toko, ada di kamar-kamar mandi, Allah tidak bercakap-cakap, tidak mendengar, tidak mendengar, tidak berilmu, tidak hidup dan sebagainya –Na’udzubillah-, atau sebagaimana golongan (Ahlut-ta’thil), yang menyatakan bahwa, diatas Arsy, tidak ada apa-apa, diatas Arsy tidak Tuhan yang disembah, tidak ada Ilah yang dishalati dan disujudi untuk-Nya, Nabi Isa a.s tidak diangkat kepada-Nya, malaikat-malaikat dan Jibril a.s tidak naik kepada-Nya, Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tidak di’Isra’kan kepada-Nya dan tidak didekatkan kepada-Nya sehingga sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi dan Istiwa’-Nya diatas Arsy-Nya, bukan bahasa sebenarnya, tetapi merupakan bahasa majaz (kiasan), yang boleh ditiadakan, ketinggian-Nya diatas makhluk-Nya, mereka menyatakan : Allah tidak ada di alam ini, tidak juga diluarnya, tidak bersambung dengan-Nya, tidak juga terpisah dari-Nya, tidak ada pada kita, dan tidak pula di luar diri kita dan sebagainya.
Kalaulah salah seorang diantara mereka diminta untuk memberikan sifat-sifat Al-‘Adam (sesuatu yang tidak ada), tentu ia akan mensifati persis dengan kata-kata mereka yang diatas. –Al-Iyadzubillah-.
Atau golongan-golongan ahlul bid’ah dan ahwa’ yang lain sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi di sisi lain ana tidak setuju dan tidak membenarkan takwil yang dilakukan oleh mereka.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hayyakumullah-.
Oleh karena itu menurut ana –wallahu a’lam bis showab- jalan yang paling selamat bagi kita adalah mengikuti manhaj salafi, dengan kata lain : kita meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dzat Yang Maha Sempurna dari segala segi-Nya, tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, baik pada dzat-Nya, sifat-sifat-Nya maupun af’al-af’al nama dan sifat-sifat-Nya bagi-Nya dengan meniadakan segala penyerupaan dengan makhluk-Nya, singkatnya “Itsbat” (menetapkan) Dengan meniadakan segala tasybih (penyerupaan), Tanjih (Mensucikan) dari segala tasybih tanpa menta’thil (meniadakan).
Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, surat Asy-Syu’ara (42) : 11, yang telah disebutkan diatas.
Laisa Kamitslihi Syai’un                              Wahuwa As-Samii’ul Bashiiru
(menafikan) “An-Nafyu                                 (menetapkan) “Al-Itsbat”.
Menetapkan segala sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah tetapkan dan menafikan atau meniadakan segala tasybih dan tamtsil.
Bagaimana caranya agar tidak terjadi kesalahan, silahkan merujuk pada qoidah Imam Malik bin Anas rahimahullahu . –wallahu a’lam-
2.  Tauhid Rububiyah Adalah :
Kita meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang :
· Mencipta.
· Mentadbir.
· Memberi rizqi.
· Menghidupkan dan mematikan.
· Memberi manfaat dan memberi madharat.
· Memelihara dan mendidik seluruh makhluk dengan berbagai nikmat dan mendidik hamba-hamba-Nya yang terpilih yaitu para Nabi-Nabi a.s dan para pengikutnya dengan aqidah yang benar, akhlak yang terpuji, ilmu yang bermanfaat dan amal sholih serta tarbiyah atau pendidikan ini adalah pendidikan yang bermanfaat bagi hati dan ruh untuk meraihkebahagiaan di dunia dan di akherat.
· Dan lain sebagainya.
Tauhid rububiyah ini dipercayai dan diyakini juga oleh orang-orang musyrik terutama musyrikin Quraisy, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S. Al-Ankabut (29) : 61). “Khot Arab
Artinya : “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah pencipta langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab “Alla” maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan ini (Q.S (29) : 63), (Q.S (31) : 25) dan sebagainya.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa tatkala tentara Abrahah yang mempunyai makar hendak menghancurkan Ka’bah akan memasuki kota Mekkah, mereka terpaksa berhenti di salah satu tempat karena beberapa hal, ketika mereka berhenti datanglah Abdul Mutholib sebagai pemuka Quraisy pada saat itu untuk menemui Abrahah guna menuntut ratusan unta milik rakyatnya yang dirampas oleh tentara Abrahah. Singkat cerita pada waktu Abdul Mutholib menuntut unta-unta itu, Abrahah bertanya kepadanya, “Kenapa anda tidak menuntut Ka’bah yang akan kami hancurkan?” maka jawaban Abdul Mutholib :
Inna fil Baiti Robba YahmiihArtinya : “Sesungguhnya di dalam rumah itu ada Rabb yang membelanya (menjaganya)
jawaban ini menunjukkan bahwa Abdul Mutholib meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang memelihara Ka’bah.
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika Abu Jahal (sebagai pimpinan perang  di pihak Musyrikin dalam perang Badar Al-Kubra)hendak membawa tentaranya keluar dari Mekkah, ia datang mendekati Ka’bah dan memegang kiswahnya sambil berkata :
khot Arab”.
Artinya : “Ya Allah mana diantara kami yang paling memutuskan silaturrahmi dan mendatangkan sesuatu yang kami tidak mengetahui, maka hancurkan (kalahkan) esok hari.
Dari do’a Abu Jahal ini bisa disimpulkan bahwa Abu Jahal bukan saja meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pencipta langit dan bumi, bahkan meyakini bahwa yang memenangkan dan mengalahkan dalam perang juga Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya. Dan tidaklah  (seandainya) ia mempunyai kepercayaan atau pemikiran bahwa yang bisa membuatnya memenangkan perang adalah banyaknya pasukan dan hebatnya persenjataan, jika demikian sudah tentu Abu Jahal tidak perlu berdo’a karena seratus persen terjamin pihaknya akan menang, sebab bila dilihat dari segi jumlah pasukan dan persenjataan jauh lebih banyak yaitu 1000 atau 950 berbanding 313, disamping itu persenjataannya lebih canggih dan lengkap, sebab keluarnya mereka dari Mekkah benar-benar berniat untuk perang, sedangkan pihak kaum muslimin disamping jumlah pasukannya sedikit mereka keluar bukan dalam rangka untuk berperang tetapi hanya untuk melakukan ambush atau mencegat kafilah dagang Abu Sufyan yang kembali dari Syam, maka persiapan senjatanya kurang, tetapi dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pertolongan-Nya ternyata kemenangan di pihak kaum muslimin, hal ini memang menjadi salah satu tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diterangkan dalam firman-Nya (Q.S Al-Anfal (8) : 8) yaitu untuk membenarkan yang benar dan untuk membatilkan yang batil, walaupun orang-orang yang berdosa tidak menyukainya.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain bahwa orang-orang musyrik itu mempercayai tauhid Rububiyah.
Bahkan apabila mereka dalam keadaan kritis, mereka bero’a kepada allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memberikan ketaatannya semata-mata kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Khot Arab
Artinya: “Maka apabila merea naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah.” (Al-Ankabut (29) : 65).
Dari ayat-ayat tersebut kita bisa simpulkan bahwa orang-orang musyrik terdahulu terutama kaum musyrikin Quraisy –wallahu a’lam bisshowab- dalam kondisi dan situasi normal mengakui dan mempercayai tauhid Rububiyah Allah dan dalam kondisi dan situasi kritis dan genting mereka meyakini Rububiyah-Nya dan Tauhid Uluhiyah-Nya (Insya Allah akan kita bahas berikutnya).
Keadaan mereka jika kita bandingkan dengan orang-orang musyrik pada masa kini atau dengan sebagian orang awam dari kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- sepertinya mereka lebih menonjol keyakinan dan kepercayaannya sebab orang musyrik pada masa kini baik pada keadaan normal maupun kritis tidak meyakini Rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala apalagi Uluhiyah-Nya, sejelas yang kaum musyrikin dahulu meyakininya, malah ketika mereka dalam situasi kritis atau ditimpa musibah mulutnya komat-kamit menyebut nama-nama dewa atau tuhan mereka selain Allah.
Yang lebih menyedihkan lagi ada diantara orang yang mengaku beragama Islam akan tetapi keyakinannya terhadap tauhid Rububiyah maupun Uluhiyah sangat tipis,  seorang muslim seharusnya tetap teringat kepada Allah dalam keadaan apapun misalnya dalam keadaan kurang sadar atau katakanlah kurang berkonsentrasi dengan baik dan mantap keyakinannya misalnya tiba-tiba tersandung maka secara reflek ia mengatakan “Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun” (Q.S (2) : 156) artinya sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali atau mengucapkan “Astaghfirullahal ‘Adzhiim” artinya : segala puji bagi Allah, mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, dan lain sebagainya. Ucapan-ucapan tersebut mengandung sebuah ikrar atau pengakuan akan termasuk tauhidullah Subhanahu wa Ta’ala baik Rububiyah maupun Uluhiyah, bahkan termasuk juga Asma dan Sifat-Sifat-Nya.
Tetapi anehnya dalam keadaan mereka benar-benar sadar dan serius apalagi ketika kritis dan ditimpa musibah maka seolah-olah ada tuhan lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, merek amembuat seajen di letakkan di tempat-tempat tertentu, ada juga yang pergi ke dukun-dukun, pergi ke kuburan-kuburan yang dianggap keramat, bukannya untuk mengingat mati atau mendoakan yang mati atau mengenang sejarahnya tetapi malah untuk mengadu dan meminta bantuan si mati sambil menangis-nangis dengan alasan sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah, sebab dirinya banyak dosa dan tidak mungkin berhubungan atau memohon langsung kepada Allah tanpa perantara..
Jika seperti ini keadaannya apa bedanya dengan musyrik Hindu yang menyembah berhala-berhala, dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang bermacam-macam karena untuk menyembah langsung tuhan yang satu tidak semua orang bisa kecuali orang-orang tertentu saja.
Apa pula bedanya dengan musyrikin Quraisy dan semacamnya, mereka menyembah patung Al-Laata (orang yang dianggap shalih dan berjasa besar karena berkhidmat kepada orang-orang haji seperti menyediakan roti dan sebagainya, setelah kematiannya lalu dibuatkan patung untuknya), jika ditanyakan kepada mereka kenapa kalian menyembah patung-patung itu ? jawabannya, “Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”  (Lihat Q.S Az-Zumar (39) : 3).
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi …
Demikianlah sedikit keterangan tentang tauhid Rububiyah antum bisa kembangkan sendiri, silahkan baca kitab-kitab lain yang bisa dipercaya sesuai dengan manhaj salaf.
Mudah-mudahan dengan keterangan tersebut dapat meningkatkan makrifat antum kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb Semesta Alam.
3.  Tauhid Uluhiyah adalah :
Kita meyakini bahwa allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi atau satu-Nya Dzat yang berhak menerima segala bentuk Ibadah.
Adapun bentuk-bentuk Ibadah antara lain sebagai berikut :
-          Ad-Du’a.’                                  : Berdo’a
-          “Ar-Rojaa’a.”                               : Mengharap
-          “Al-Mahabbah.”                           : Cinta
-          “Al-Khouf.”                                  : Takut
-          “Al-Istighotsah.”                           : Meminta Pertolongan.
-          “Al-Isti’anah.”                              : Memohon Pertolongan.
-          “At-Tawakkal.”                            : Bertawakkal.
-          “At-Tho’at.”                                 : Ta’at.
-          “Al-Khudhuu.’”                            : Patuh dan Tunduk.
-          “Al-Khusyu.’”                               : Khusyu’
-          “Al-Ikhlash”                                 : Ikhlas
-          “Al-Tasliim”                                 : Menyerah
-           


-          “At-Ta’dhiim”                                          : Mengagungkan
-          “Ar-Rukuu’”                                             : Ruku’
-           “As-Sujuud”                                            : Sujud
-          “Ash-Sholaata”                                        : Sholat
-          “An-Nusuuk”                                            : Bentuk-bentuk ibadah (lebih
  dikhususkan pada ibadah
   haji.)
-          “Adz-Dzabh”                                            : Menyembelih
-          “An-Nadzar”                                            : Ta’at.
-          “Al-Walaa’                                                : Ta’at.                                    
-          “At-Tahkiim ”                                           : Ta’at.
-          Dan lain sebagainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Al-An’am(6) : 162, 163)
khot Arab
Artinya : Katakanlah : “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepada ku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi…
Masih banyak lagi bentuk-bentuk ibadah lainnya dari semua yang ana tuliskan diatas, sebenarnya masing-masing terdapat dalil-dalilnya baik dari Al-Qur’an maupun dari Al-Hadits, maaf dalam tulisan ini ana tidak mencantumkannya, silahkan antum mencari sendiri sebab kalau ana terangkan satu persatu secara detail mungkin terlalu panjang pembahasannya, ana hanya ingin memaklumkan kepada antum bahwa untuk kesempurnaan makrifat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala antara lain dengan mengetahui Tauhid Uluhiyah-Nya, disamping dengan mengetahui Tauhid Asma’ dan Shifat-Shifat-Nya, Tauhid Rububiyah-Nya yang telah diterangkan sebelumnya.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi…
Maka dari itu janganlah antum terperdaya dengan slogan-slogan yang dihembus-hembuskan oleh golongan sufi, kebatinan dan lain sebagainya antara lain misalnya,
Man Arofa Nafsahu ‘Arofa Robbahu
Artinya : “Barangsiapa mengetahui (mengenali) dirinya, ia akan mengenali Tuhannya.
Kata-kata ini sangat masyhur di kalangan orang awam, ini bukan dari hadits Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi diambil dari atsar Israiliyat (dalam buku-buku karangan Socrates, terdapat kata-kata Gnothi Seauthon.. dst yang artinya “kenalilah dirimu maka engkau akan mengenali tuhanmu”-ed), ada juga yang menggunkan lafadz lain :
Yaa Ayyuhannas, A’rof nafsaka ta’riifu Robbaka
Artinya : “Hai Manusia kenalilah dirimu kamu akan mengenali Tuhanmu.
Jika atsar Israiliyat ini ditakwilkan atau diartikan bahwa apabila seseorang hendak bermakrifat atau mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala maka cukup baginya dengan memahami dan mengenali dirinya sendiri tanpa mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa mengenali dan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya, Rububiyah-Nya dan Uluhiyah-Nya.
Pemahaman seperti ini adalah batil dan tidak bisa diterima baik secara nalar maupun wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), dari pemahaman inilah yang menjadi sebab seseorang terseret kedalam pemahaman sesat Wihdatul Wujud. dan sebagainya.
Tetapi jika atsar tersebut ditakwilkan dengan takwilan yang tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta qoidah syara’ antara lain sebagaimana takwil yang ditulis oleh As-Syaikh Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam bukunya “Madarijus Salikin“ I/427, beliau menyebutkan ada tiga (3) takwil.
2.    Takwil yang pertama.
·    Barang siapa yang mengenali dirinya dengan kelemahannya, maka ia akan mengenali Tuhannya dengan kekuatannya.
·    Barangsiapa yang mengenali dirinya dengan tidak adanya kemampuan pada dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya dengan kekuasaannya.
·    Barangsiapa yang mengenali dirinya dengan kebodohannya, maka ia akan mengenali Tuhannya dengan ilmu-Nya.
2.    Takwil yang kedua. Sesungguhnya barangsiapa melihat kepada dirinya sendiri dansifat-sifat yang terpuji yang ada pada dirinya, seperti kekuatan, kehendak, berbicara, kemauan dan hidup, ia akan megetahui dan mengenali bahwa Dzat yang memberikan kepadanya hal-hal tersebut dan yang menciptakannya tentu lebih tinggi atau lebih utama darinya, sebab yang memberi kesempurnaan lebih berhak dengan kesempurnaan, bagaimana jika hamba yang dicipta saja dalam keadaan hidup bisa berbicara, mendengar dan melihat, berkehendak, berilmu, dan bisa berbuat sesuai dengan pilihannya, sudah tentu Dzat yang menciptakan dan mengadakan dari tidak ada sebelumnya lebih dari itu semua, jika tidak lebih dari itu ini merupakan hal yang paling mustahil terjadi, bahkan dzat yang menciptakan manusia bisa berbicara sudah tentu lebih patut lagi bisa berbicara demikian juga menjadikan manusia hidup mendengar, melihat, berbuat dan berkemampuan sudah tentu Dia lebih patut dari itu semua.
3.    Takwil yang ketiga. Jika kamu sendiri tidak mengenali hakekat dirimu sendiri, padahal dirimu adalah sesuatu yang paling dekat dengan kamu, bagaimana mungkin kamu akan mengenal Tuhanmu dengan kaifiyah sifat-sifat-Nya.
Takwil seperti ini dapat diterima tetapi sekali lagi kata-kata ini jangan menyibukkan antum, sebab kata-kata (“Kenalilah dirimu engkau akan mengenali Tuhanmu”) bukan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih baik atum sibuk dengan ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
B.     Makrifatu-Ar-Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam. (khot Arab)
Kita wajib mengenal Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dengan benar, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah manusia yang dipilih oleh Allah sebagai utusan-Nya, dia adalah uswah, qudwah atau suri tauladan bagi kita, bagaimana kita akan dapat meneladani denga benar, jika kita tidak mengenali dengan sebenar-benarnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Al-Ahzab (33) : 21).
Khot Arab
   Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yan mengharap Allah dan hari akhir dan dia banyak menyebut Allah.
Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, tidak ada seorangpun  manusia yang pernah hidup di muka bumi yang lebih baik daripada Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, bagaimana tidak akhlak beliau adalah Al-Qur’an, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, Aisyah radhiyallahu anhum  ditanya oleh salah seorang sahabat yaitu Hisyam bin Hakim radhiyallahu anhum  tentang akhlak Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjawab “Kaana khuluquhul Qur’aanartinya : “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”
Subhanallah ! ada seorang manusia yang akhlaknya Al-Qur’an, bagi orang yang memahami isi dan kandungan Al-Qur’an meskipun secara global tentu akan heran dan takjub.
Saudaraku dan sahabatku yang aku kasihi –Hafidzhakumullahu wa ro’aakum-
Mengingat luasnya pembahasan Marifatur-Rasul Sholalloohu ‘alaihi wa sallam ini, maka di dalam risalah sederhana ini tidak mungkin ana terangkan se cara detail, ana hanya akan memberikanpetunjuk atau panduan dengan maksu minimal agar antum tidak salah dalam menyikapi apalagi dalam tashowwur atau pemikiran berkenaan dengan pribadi Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
Pada masa kini sebagaimana yang kita saksikan begitu banyak orang yang mengaku muslim tetapi tidak mempunyai tashowwur dan fikiran yang utuh dalam memandang Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini sudah tentu mempengaruhi sikap dan amal perbuatan mereka keadaan ini mungkin karena kebodohan dan syubuhat atau karena terpengaruh dengan propaganda musuh-musuh Islam yang sangat benci kepadan abi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, terutama Yahudi dan Nasrani dan sebagainya, tidak ada seorang Nabi dan Rasul a.s yang pernah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mereka benci lebih dari kebencian mereka kepadan abi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau Sholalloohu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala disampng membawa Al-Bayyinat, Al-Kitab dan Al-Mizan diutus juga dengan membawa Al-Hadid (besi / pedang/ senjata) (Q.S (57) : 25). Hal ini antara lain tujuannya agar seluruh manusia tunduk dibawah kekuasaan Islam (Q.S (8) : 39), (Q.S (9) : 29).
Inilah diantaranya yang menjadikan mereka sangat benci kepadan abi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, maka mereka berupaya dengan segala daya yang ada pada mereka untuk menyesatkan dan mempengaruhi kaum muslimin supaya tidak mengenal dan memahami Nabinya yang sebenarnya, sebab mereka amat takut dan khawatir jika ummat Islam mengenal Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dengan sebenarnya lalu mengikuti sunnahnya terutama jejak langkah perjuangannya.
Disebabkan karena fitnah syubuhat dan syahwatlah kita melihat pada saat ini banyak sekali kaum muslimin –kecuali yang dirahmati Allah- dalam berta’ammul dan menyikapi Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tidak mengikuti sunnah.
Ada diantarnya yang sibuk mengaku sebagai ahlul bait atau keluarga dan keturunan Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tetapi amal perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang yang mengikuti Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dia berpikir dan menganggap bahwa seolah-olah orang yang masih keturunan Nabi dan Ahlul Bait itu tidak perlu baramal sholeh, tidak wajib mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah karena telah dijamin masuk Syurga, jadi beranggapan ada tiket keistimewaan, betul memang ada keistimewaan bagi ahlul bait dan pengkhususan, bagi ahlul bait dan keturunan Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam misalnya, tidak boleh memakan harta zakat, shodaqoh dan infaq, istri-istri beliau jika melakukan perbuatan keji, siksanya akan dilipat gandakan dari mukminah yang biasa, sebaiknya apabila berbuat baik akan dilipatgandakan juga (Q.S (33) : 30, 31),.
Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam sendiri dikaruniai oleh hal-hal yang khusus dan istimewa, misalnya boleh menikah lebih dari empat istri bahkan jika ada perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepadan abi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam mau mengawininya hukumnya diperbolehkan, hal ini khusus untuk Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan selain beliau, dengan kata lain haram bagi umatnya, siapapun juga.
Jadi kalau ada orang mengaku mempunyai hak dalam pengkhususan ini baik dia seorang kiai atau seorang habib yang keturunan Nabi, atau sebagai ahlul bait, ketahuilah bahwa ia sebenarnya adalah manusia iblis.
Kita tidak perlu irihati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadan abi-Nya, kita perlu melihat juga dari segi yang lain, misalnya ujian dan cobaan yang dihadapi oleh beliau begitu dahsyatnya, sebagaimana sabda beliau :
((Inna asyaddannaasi balaa’an Al-Anbiyaa’a, Tsummal Amtsala wal amtsalu.)).
Artinya : “Sesungguhnya manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang semisalnya, kemudian yang semisalnya.” (H.R At-Tirmidzi).
Dan begitu kerasnya ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap beliau jika tidak menunaikan amanat atau melanggar ketentuan-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S Al-Haaqqah (69) : 44-47).
Khot Arab.
Artinya : “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar akan Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.”
Firman-Nya lagi (Q.S : Al-Isra’ (17) : 74-75).
khot Arab”.
Artinya : “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) yang berlipat ganda di dunia ini, dan begitu (pula siksaan) yang berlipat ganda setelah mati.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan itu.
Maka orang-orang yang iri hati terhadap keistimewaan yang Allah anugerahkan kepadan abi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam supaya membuka akal dan pikirannya, jangan memandang enaknya saja, tetapi begitulah perangi iblis dan pengikutnya.
Ada juga diantara kaum muslimin yang sibuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam saja, sedang sunnah-sunnahnya ditinggalkan, seolah-olah peringatan kelahiran itu merupakan sesuatu amalan yang utama dan besar pahalanya lalu di rekayasa dengan hadits palsu, katanya. “Barangsiapa yang menginfakkan sebagian hartanya untuk menghormati hari kelahiranku sama dengan menginfakan harta satu gunung emas.” Atau yang semakna dengannya,
Sehingga dengan jahil mereka mengatakan “Nabi Muhammad memang tidak pernah memperingati maulud (hari lahirnya) beliau juga tidak pernah menyuruh, demikian juga para sahabat termasuk Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum ajmaiin) tidak pernah memperingati dan tidak pernah menyuruh, demikian juga para Tabi’in dan Tabi’ut-tabi’in termasuk imam-imam madzhab (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullahu ajma’in), mereka tidak pernah memperingati dan tidak menyuruh kepada murid-muridnya untuk memperingati, tetapi kita adalah orang yang mencintai Nabi kita, maka marilah kita memperingati mauludnya.”
Demikianlah si Jahil menunjukkan kejahilannya dianggapnya membuktikan cinta kepadan abinya dengan memperingati mauludnya, padahal bukti cinta yang sebenarnya adalah dengan mengikuti sunnahnya.
Ada juga diantara yang menyibukkan diri dengan sholawatan saja sampai melamapaui batas yang disyariatkan dan disunnahkan, dibuat seribu satu macam bentuk shalawat, dan lafadznya keluar dari sunnah, dengan penyajian yang kurang ajar dan tidak beradab kepada Allah dan Rasul-Nya seperti diiringi dengan musik-musik, berjoget, kaum wanita diatas pentas dengan suara terpekik-pekik, sambil goyang pinggul dihadapan kaum laki-laki, kadang-kadang bercampur antara laki-laki dengan perempuan.
Na’udzubillahimindzalik sebuah amalan dan perbuatan yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan dibenci oleh setiap orang radhiyallahu anhum  masih ada sisa akal dan hati yang sehat.
Berkata sebagian salaf : Tidak satupun bentuk ibadah dalam Islam kecuali syetan akan berusaha menyesatkan manusia  -kecuali yang dirahmati Allah- yaitu dengan melampaui batas (Al Ifraath) dalam mengerjakannya dan melaksanakannya atau mengurang-kurangkannya (At-Tafriith).
Sebagai contoh misalnya, membaca sholawat dan salam atas Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, ia merupakan satu bentuk ibadah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam menunaikan ibadah ini manusia terbagi menjadi 3 golongan.
1.    Berlebihan dan melampaui batas (Al Ifraath), tidak mendapatkan pahala karena bertentangan dengan sunnah bahkan malah berdosa.
2.    Mengurang-kurangkan (At-Tafriith), tidak mendapatkan pahala shalawat kecuali dalam sholatnya dan termasuk orang yang bakhil (kikir) karena tidak banyak bersholawat kepadan abinya.
3.    Bershalawat sesuai dengan tuntunan Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam (Al I’tidaal), yaitu ditengah-tengah, seimbang dan tidak ifrath dan tidak pula tafrith, ini yang meraih pahala dan mencintai Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya.
Ada juga diantara manusia yang mengakui dan tidak mengingkari bahwa Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Nabi dan Rasul, tetapi pada waktu yang sama kita banyak sekali mengingkari banyak sunnah-sunnahg Nabi, karena menurut fikirannya yang sinting itu bahwa sunnah-sunnah itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman, misalya sunnah berjenggot, jilbab, hukum hudud, jihad dan sebagainya.
Biasanya jenis manusia yang seperti ini otaknya sudah di cuci oleh musuh-musuh Islam khususnya orientalis barat dan semacamnya.
Ada juga sebagian orang yang hanya memperhatikan dan mengamalkan segi-segi tertentu dari sifat atau perilaku Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, sementara segi-segi yang lain ditinggalkan dan tidak diacuhkan bahkan dibenci, misalnya mengambil sifat lemah lembutnya saja tetapi enggan mengambil sifat kerasnya, terutama kepada musuh-musuhnya (Q.S (49) : 29), (Q.S (66) : 9), (Q.S (9) : 123). (Q.S (5) : 54) dan sebagainya, bahkan dianggapnya seolah-olah tidak pernah belaiu melakukan kekerasan padahal data sejarah membuktikan bahwa selama 10 tahun beliau menjadi kepala Negara Islam Madinah belau melancarkan operasi peperangan sebanyak 77 kali, 28 kali beliau pimpin sendiri disebut ghozwah dan selebihnya ekspedisi pasukan yang dipimpin oleh salah seorang sahabat yang beliau tunjuk disebut sariyah,
Permisalan yang lain,  ada yang mengambil beliau sebagai qudwah atau tauladan hanya pada bidang berniaga atau berdagang saja karena beliau pernah menjadi pedagang sedang hal-hal lain tidak diperdulikan, padhal berdagang hanya merupakan sunnah adat dan kebiasaan (Sunnatul Adati). Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan ummatnya mesti berniaga atau berdagang, berarti dilaksanakan boleh, tidak dilaksanakan juga tidak mengapa dan perlu disadari bahwa Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam sewaktu menumpukan perhatiannya dan menghabiskan banyak waktunya untuk berdagang atau bisnis itu adalah sebelum diangkat sebagai seorang Nabi atau Rasul, maka seyogyanya bagi orang yang menumpukan perhatiannya kepada sunnah-sunnah adat Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam memberikan tumpuan juga pada sunnah-sunnah ibadah (Sunnatul Ibadati) bahkanini yang wajib diikuti bukan sebaliknya.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi…-Hayyakumullah-
Apa sebenarnya puncak dari sikap-sikap yang tidak utuh diatas tak lain dan tidak bukan adalah  karena tidak bermakrifat atau tidak mengenal Rasulullah secara benar.
Untuk mengenali dan bermakrifat kepada Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam secara benar maka antara lain yang perlu ditempuh :
Fahamilah Al-Qur’an dan As-Sunnah meskipun secara global, khususnya yang berkenaan dengan Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
Telaahlah sirah perjalanan beliau semenjak kecul atau sebelum lahir, sehingga beliau wafat atau sesudahnya.
Bacalah buku-buku yang menerangkan sifat-sifat beliau misalnya kitab “As-Syama’ilul Muhammadiyah” (Sifat dan Karakteristik Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam) yang ditulis oleh Imam At-Tirmidzi, kalau tidak salah sudah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, ada juga yang ditulis oleh ustadz Muhammad bin Jamil Zainu dan lain sebagainya.
Bisa juga membaca “Ma’rifatu Ar-Rasul Sholalloohu ‘alaihi wa sallam” yang ditulis oleh ustadz Said Hawa.
Dan jangan lupa membaca buku-buku yang lebih spesifik membicarakan pada bidang-bidang tertentu pada diri Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, misalnya sebagai “Kepala Negara”, sebagai komandan perang, sebagai kepala rumah tangga atau suami, sebagai seorang hakim, dan lain sebagainya.
Dengan demikian Insya Allah antum akan memiliki gambaran Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, secara utuh sehingga tidak salah dalam menyikapi beliau dan meneladaninya.
(jika antum berkenan silahkan membaca buku ana berjudul “Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Hidupku” pada judul atau bagian pembahasan tentang Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
C.     Makrifatu Ad-Dienul Islam. (khot Arab).
Secara paling singkat saja antum mesti harus wajib meyakini dan memahami bahwa Dienul Islam adalah Dien yang mengatur segala aspek kehidupan dari masalah yang paling kecil seperti cebok hingga masalah yang dipandang besar seperti mengatur negara dan dunia.
Seluruhnya telah dibahas dan digariskan (Q.S (6) : 38) dan sebagainya, baik masalah Aqidah, Ibadah, dan Minhajul Hayah, dan sebagainya, kalau mau dirincikan lagi yaitu AGIPOLEKSOSBUDMIL IPTEK (Agama, Idiologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Militer dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Oleh karena itu Islam menentang pemahaman Idiologi Sekulerisme (aliran atau pemahaman radhiyallahu anhum  memisahkan antara agama dan negara, antara Istana dan Masjid, menyerahkan agama kepada Tuhan dan menyerahkan negara untuk diatur oleh sang raja). Pemahaman ini adalah sesat lagi menyesatkan.
Utuk memahami masalah ini, beribu-ribu buku dan kitab radhiyallahu anhum  tersedia baik yang ditulis oleh ulama’ salaf maupun kholaf, silahkan antum cari sendiri, secara praktis antum bisa baca buku-buku antara lain :
·    Al-Islam (Al Iman) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu .
·    Al-Islam               oleh Syaikh Sa’id Hawwa.
·    Ma’alim Fith-Thoriq oleh Asy-Syahid Sayyid Quthb.
·    Al Musthalahul Arba’ah (Empat Istilah) dan Islam is way of life oleh Abul A’la Al Maududi.
·    Dan lain sebagainya.
(Bisa juga antum lihat pada buku ana “20 Petunjuk Praktis bagi Suami Untuk Mendidik Istri” atau pada “Jihad Bom Bali” )
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi …
Jika antum telah bermakrifat dan mengenal Allah Ta’la, Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dan Dienul Islam secara benar, lalu antum ridha, maka Insya Allah, antum dijamin dapat merasakan lezatnya Iman, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits sebagai berikut :
Khot Arab.
Artinya : “Dapat merasakan lezatnya Iman orang yang ridha kepada Allah seabga Rabb (Tuhan) nya, Islam sebagai dien (agama)nya, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.
Ada juga hadits lain radhiyallahu anhum  menerangkan persyaratan untuk mendapatkan lezatnya iman sebagai berikut :
Khot arab.
Artinya : Dari Anas radhiyallahu anhum  berkata, “Telah bersabda Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam”, “Tiga perkara jika ada pada diri seseorang ia akan dapat merasakan lezatnya iman yaitu : Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu, ia tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, dan merasa benci untuk kembali kepada kekufuran sesudah Allah menyelamatkan ia darinya sebagaimana bencinya jika ia dicampakkanke dalam api” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
Sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku -wafaqqakumullah-
3)  Ada beberapa hal yang antum wajib memahaminya minimal antum dapat menunaikan fardhu ain yag dibebankan pada diri antum, adapun batasannya kurang lebih –wallahu a’lam- kefahaman antum itu menjadikandiri antum benar-benar meyakini bahwa Alah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb dan Ilah yang berkuasa di alam semesta ini dan yang berhak diibadahi dan disembah, dan antum meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa satu-satunya dien (agama) yang benar dan yang diridhai oleh Allah hayalah Islam, Islam sajalah yang dapat menghantarkan pemeluknya meraih kebahagiaan terutama di akherat yaitu dengan memperoleh ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga-Nya, adapun seluruh bentuk dien (agama) selain Islam adalah bathil dan di akherat akan merugi, di siksa di dalam neraka selama-lamanya, Islam hanya mengakui wujud atau keberadaan agama-agama bathil itu dan tidak membenarkannya dan disamping itu antum dapat menunaikan ibadah secara sunnah sesuai dengan tuntutan syariat, selebihnya fardhu kifayah.
Adapun beberapa hal yang ana maksudkan adalah sebagai berikut :
b.    Rukun Islam.
1.Bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan) selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad
    Sholalloohu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
2.      mendirikan shalat.
3.      Menunaikan zakat.
4.      Menunaikan shaum (berpuasa) pada bulan Romadhon.
5.      Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu.
Untuk dapat melaksanakan “Rukun Islam yang Lima” ini dengan sebenar-benarnya, tidak ada jalan lain selain mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya atau mengikuti Sunnah Nabi-Nya.
Supaya pelaksanaan rukun Islam yang lima tersebut dianggap sah atau sempurna sebagai suatu ibadah, antum mesti mengerti ilmunya, minimal antum memahami rukun-rukun syarat-syarat serta hal-hal yang membatalkan dari lima perkara itu.
Perkara itu : terutama rukun pertama dan rukun kedua yaitu “Syahadat dan Shalat” sebab untuk rukun pertama kita di tuntut untuk mengamalkan dalam I’tiqod dan keyakinan yang ada di hati kita pada setiap detik bahkan setiap nafas keluar dan masuk hidung kita.
Maka kita wajib memahaminya, syahadat tidak cukup diucapkan dengan lisan saja, apa bedanya dengan burung beo yang pandai mengucapkan kalimat-kalimat “syahadat” tetapi tidak memahami tuntutan-tuntutan dari kalimat-kalimat tersebut dan apa konsekuensinya, tetapi sayang sebagaimana yang kita lihat kebanyakan orang mengaku beragama Islam –kecuali yang dirahmati Allah-mensucikan atau tidak ambil perduli dengan masalah yang paling penting ini.
Perlu difahami bahwa syahadat adalah asas dari segalanya, seandainya seseorang dapat meraih nilai seratus pada pelaksanaan rukun kedua hingga kelima (sholat, zakat, puasa dan haji) akan tetapi rukun pertama gagal atau nol besar, maka seluruh amalannya menjadi nol semua dan tidak berarti apa-apa, pengandaian ini tidak akan mungkin terjadi sebab seseorang tidak akan memperoleh nilai “seratus”  pada empat rukun selanjutnya jika yang pertama tidak beres.
Sebaliknya jika rukun pertama lulus apalagi mendapat nilai seratus sedang yang lain banyak merahnya, orang yag seperti ini kemungkinan bisa masuk surga langsung jika Allah mengampuni seluruh dosanya, misalnya karena Syahid Fie Sabilillah dan sebagainya, jika Allah tidak mengampuni dosanya, maka terpaksa menjalani pembersihan dosanya dengan di siksa di neraka dulu sampai bersih dari dosa baru dipindahkan ke surga, sebab surga tidak mau menerima penduduk yang masih memikul tanggungan dosa meskipun sekecil atom atau zarrah.
Maka orang kafir, musyrik, munafiq dan murtad tidak akan dapat mencicipi surga atau baunya meskipun amalnya sebesar gunung Himalaya, sebab rukun pertama (syahadat) gagal sama sekali (Q. S, (25) 23).
Adapun rukun kedua (mendirikan shalat) minimal dalam sehari semalam kita menunaikan lima kali shalat fardhu, maka diperlukan sekali untuk mengerti dan memahamiilmunya agar shalat yang kita dirikan benar-benar mengikuti sunnah, sebab sebagaimana yang dimaklumi sholat adalah salah satu ibadah yang sangat vital dan menentukan, ia akan dihisab pertama kali pada hari kiamat sebelum amal-amal yang lain, setelah seseorang dinyatakan sebagai seorang muslim dan mukmin dengan kata lain setelah syahadatnya bernilai atau sebagai ahlut-tauhid alias bukan kafir, musyrik atau munafik.
Sebagai mana dalam hadits :
Khot arab.
Artinya : “Pertama kali seorang hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya, maka apabila shalatnya baik, baiklah seluruh amalnya, dan jika rusak, rusaklah semua amalnya[1]
Yang dimaksud “Al-Abdu” (seorang hamba) dalam hadits ini dan yang serupa dengan iniadalah orang Islam atau orang beriman yang syahadatnya dianggap eksis dan tidak terbatalkan dengan amal-amal tertentu yang membatalkan Iman, misalnya kufur besar, syirik besar, nifaq besar, murtad dan sebagainya dan tidak bertaubat sampai mati. –wallahu a’lam-
Misalnya mengenai rukun yang ketiga (zakat), yang keempat (puasa) dan yang kelima (haji), ana tidak menerangkannya disini. Hal ini bukan berarti tidak penting atau kurang penting, ingat bahwa seluruhnya penting tetapi melihat pembahasannya nanti terlalu panjang, maka ana persilahkan antum membaca kitab-kitab yang lain.
Kemudian agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami Dienul Islam (agama Islam) secara utuh, antum perlu mengetahui dan menyadari bahwa jika seseorang telah dapat mengamalkan secara dzahirnya 5 rukun Islam tersebut atau semuanya telah dilaksanakan secara dzahirnya di salah satu negara atau negeri atau kawasan bukan berarti Islamnya telah sempurna.
Sebab rukun Islam yang lima itu tidak berarti Islam keseluruhannya, masih banyak lagi syariat-syariat yang lain, ibaratnya suatu bangunan baru tiang-tiangnya saja, kelengkapannya yang lain belum ada dan belum dipenuhi dan disempurnakan (Insya Allah dalam keterangan berikutnya akan ana gambarkan secara sederhana).
Diatas tadi telah ana katakana bahwa seseorang yang telah menunaikan 5 rukun Islam secara dzahirnya, dengan kata lain telah mengucapkan syahadat, telah mendirikan sholat, telah mengeluarkan zakat, telah berpuasa dan telah menunaikan haji tidak berarti telah sempurna Islamnya atau telah menunaikan seluruh kewajibannya.
Sebagai missal ada salah seorang sahabat yang bernama Basyir atau Ibnul Khoshosiyah radhiyallahu anhum  hendak berbai’at kepada Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Aku akan membai’at kamu dengan 6 perkara (5 rukun Islam dan ditambah yang enam yaitu jihad). –singkat kisahnya, jika antum ingin mengetahui kisahnya secara lebih lengkap bisa membaca Jihad Bom Bali atau Biografi atau 20 Petunjuk bagi Suami , kalau tidak salah kisah ini ana tulis di salah satu buku tersebut- .” Ibnu Khoshosiyah waktu itu tidak bersedia berbaiat keenam-enamnya, dia hanya bersedia berbaiat pada 4 perkara, namun untuk infaq (zakat) dan jihad ia tidak bersedia dengan alasan singkatnya bahwa ia takut miskin karena hartanya sangat sedikit, kemudian ia takut mati sewaktu berjihad dalam keadaan mundur atau lari kebelakang sehingga ia masuk neraka sebab dia adalah seorang penakut.
Lalu Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, memegang bahunya sambil digerak-gerakkan seraya berkata : “Bagaimana kamu akan masuk surga tanpa infaq dan jihad?” akhirnya Ibnu Khoshosiyah radhiyallahu anhum  bersiap sedia untuk dibaiat dengan kesemuanya termasuk jihad.
Selanjutnya ana akan gambarkan secara garis besar pemahaman Islam secara kaffah atau syumul bahwa Islam adalah Ad-Dien (agama), yang mengatur segenap aspek kehidupan. I. S. L. A. M
b.    Rukun Iman.
1.  Beriman kepada Allah.
2.  Beriman kepada malaikat-malaikat-Nya.
3.  Beriman kepada Rasul-Rasul-Nya.
4.  Beriman kepada Hari Akhir (Hari Kiamat).
5.  Beriman kepada Qodho dan Qodar yang baik dan yang buruk.
Penjelasan masing-masing silahkan baca pada kitab-kitab yang mui’tabar, yang ditulis oleh para ulama’ terpercaya dari kalangan Ahlus-Sunnah bukan ahlul Ahwa’ ataupun ahlul bid’ah.
Sahabatku dan saudaraku yang aku kasihi -Hayyakumullah-.
c.    Ada masalah yang sangat penting bahkan merupakan diantara hal terpenting dari buah syahadat yang kita ikrarkan yaitu :
-          Al-Muwalaat (Al-Wala’).  – Al Mu’adaat (Al-Bara’).
-          Al Hubbu (Cinta).             -  Al-Bughdu (benci).
Disebutkan dalam kitab hadits “As-Sunan” bahwa Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Khot Arab.
Artinya : “Sesungguhnya buhul (ikatan) iman yang paling kuat adalah, Al Muwalaat karena Allah dan Al Mu’adaat karena Allah dan cinta karena Allah serta benci karena Allah.”
Adapun secara singkatnya pengertian dari masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut :
-   Al-Muwalaat (Al-Wala’). : kepada siapa kita berpihak atau kita memihak, siapa yang kita angkat menjadi wali, pemimpin, penolong, kawan setia, teman yang kita percayai, orang yang kita sampaikan kepadanya rahasia-rahasia dan sebagainya.
-   Al Mu’adaat (Al-Bara’).: Terhadap siapa saja kita bermusuhan, siapa musuh kita, siapa lawan kita, kita mesti berlepas diri dari siapa, siapa orang yang tidak boleh kita jadikan sebagai wali, pemimpin, penolong, kawan akrab, teman setia yang dipercayai dan sebagainya.
-   Al Hubbu (Cinta). : Cinta kita mesti kita berikan kepada siapa, siapa yang wajib kita cintai, siapa yang tidak boleh kita cintai, dan sebagainya
-   Al-Bughdu (benci). : Kebencian kita mesti kita kenakan terhadap siapa, siapa yang wajib kita benci, siapa yang dilarang membencinya dan sebagainya.
Masalah-masalah ini seluruhnya telah diatur oleh syariat, kita tidak boleh menambah tidak boleh mengurangi dan tidak boleh sekadar mengikuti perasaan semata (Untuk lebih jelasnya silahkan membaca “20 Panduan Praktis Untuk Suami Dalam Mendidik Istri” atau kitab Al-Wala’ wal Bara’ karangan Syaikh Al- Qohthony, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, selamat membaca!!).
d.   Dan sebagainya…
Saudara-saudaraku dan sahabat-sahabatku yang aku kasihi….
4)      Ada 12 jenis perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu :
1.      khot Arab. (Kufur)       5. khot Arab. (Kedurhakaan)            9.Khot Arab.(Kemungkaran)

2.      khot Arab. (Syirik )      6. khot Arab. (Dosa) 10 Khot Arab. (Dzalim)
3.      khot Arab. (Nifaq)        7. khot Arab. (Pelanggaran)  11. khot Arab. (mengatakan / mengada-ada terhadap Allah tanpa ilmu)
4.      khot Arab. (Fasiq)        8. khot Arab. (Perbuatan Keji)          12. khot Arab. (mengikuti jalan selain jalan orang mukmin).
Dua belas perkara inilah yang menjadi poros dari segala hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, hampir seluruh manusia digilas dan diselubungi serta diperhamba olehnya kecuali para pengikut rasul-rasul as, Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
Perkara-perkara tersebut bisa jadi ada pada diri seseorang  secara keseluruhan, ada yang hanya sebagiannya, ada yang sedikit ada juga yang satu saja, dan kadang mereka mengetahui dan menyadari, namun terkadang ada juga yang tidak mengetahui dan menyadarinya.
Anak-anakku cucu-cucuku yang kukasihi….
Disini akan kujelaskan masing-masin gsecara singkat perhatikan dengan sebaik-baiknya agar kalian memahami dengan gamblang hal-hal yang dapat mencelakakan dan menyengsarakan kalian baik di dunia maupun di akherat dengan demikian kalian akan berusaha dengan sungguh-sungguh menjauhinya.
1.      Khot Arab (Kufur).
Kufur dibagi menjadi dua macam :
A. Kufur Akbar (besar) dan B. Kufur Asghar. (kecil).
Kufur akbar menjadikan pelakunya kekal dalam neraka selama-lamanya, sedang kufur asghar pelakunya diancam dengan siksa neraka tetapi tidak kekal selamanya.
Contoh kufur asghar :
Khot arab.
Artinya : “Dua perkara yang ada pada ummatku yang bisa menjadikan mereka kufur yaitu mencela nasab dan meratapi kematian.
Khot Arab.
Artinya : “Barangsiapa yang menggauli istrinya pada duburnya, maka sungguh telah mengkufuri dengan apa yang telah diturunkan kepada (Nabi) Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam”.
Khot Arab.
Artinya : “Barangsiapa yang mendatangi seorang  dukun atau tukang ramal lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah mengkufuri dengan apa yang diturunkan oleh Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain.
Segala bentuk maksiat adalah kufur asghar karena berlawanan dengan syukur yaitu mengamalkan ketaatan.
Segala usaha dan perbuatan bisa jadi termasuk syukur, bisa jadi termasuk kufur dan bisa jadi tidak termasuk kedua-duanya –wallahu a’lam-. Adapun kufur akbar ada lima macam : 1. Kufur Takdzib. 2. Kufur Istikbar wa Iba’ ma’a tashdiq. 3. Kufur I’radh 4. Kufur Syak dan 5. Kufur Nifaq.
Keterangannya saya ringkas sebagai berikut :
a. Kufur Takdzib (Kufru at-Takdzib) (khot arab), ialah meyakini akan dustanya para rasul-rasul dengan kata lain meyakini bahwa para rasul itu pendusta, jenis kufur ini sangat seedikit, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguatkan para rasul-rasul-Nya dengan dalil-dalil dan hujjah-hujjah  serta ayat-ayat yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran mereka, maka pada hakekatnya tidak ada alasan untuk tidak membenarkanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman (Q.S : (27) : 14), tentang Fir’aun dan kaumnya :
Khot Arab.
Artinya : “Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman (Q.S : (6) : 33), kepada Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam,
Khot Arab.
Artinya : “Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat Allah
Jadi pada hakekatnya hati mereka tidak mendustakan rasul-rasul tetapi bisa juga disebut kufur takdzib karena lisannya mendustakannya.
b.Khot Arab (Kufrul ibaa’i wal istikbaar )(Kufur Enggan dan Takabbur/sombong),
ü  Ini seperti kufurnya Iblis, kecuali ia tidak menentang perintah Allah dan tidak mengingkarinya tetapi ia enggan karena takabbur, merasa lebih mulia daripada Adam a.s.
ü  Kufur ini juga seperti kufurnya Fir’aun dan kaumnya (lihat Q.S. (23) : 47).
ü  Kufur ini juga menjadi ucapan umat-umat terdahulu kepada rasul-rasul yang diutus kepada mereka (Q.S. (14) : 10).
ü  Kufurnya orang-orang Yahudi (Q.S (2) : 89), (Q.S. (2): 146).
ü  Termasuk juga kufurnya Abu Thalib, ia membenarkan Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena kesombongan dan pengagungan terhadap nenek moyangnya ia tidak mau membenci millah mereka maka ia enggan masuk Islam.
c. (Khot Arab Kufur I’raadh) Kufur Berpaling.
Maksudnya berpaling dari Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dan dari apa yang dibawanya tidak mau mendengarkannya, tidak membenarkannya dan tidak mendustakannya, tidak berwali kepadanya dan tidak pula memusuhinya dan sama sekali tidak ambil perduli apa yang datang dan yang dibawa oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai contoh kata-kata seseorang  dari Bani Abdu Ya’lail kepadan abi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam,
Khot arab.
Maksudnya kurang lebih : Demi Allah aku katakan kepadamu satu kata jika kamu orang yang jujur (benar), maka kamu lebih mulia di mataku daripada aku menolakmu dan jika kamu dusta maka kamu lebih hina daripada aku berbicara kepadamu.
Contoh lain : yaitu kufurnya orang-orang mulhidin pada masa kini, mereka msih menamakan diennya dengan nama Islam, mengaku beragama Islam akan tetapi tidak peduli sama sekali dengan Islam, mereka campakkandan lepaskan akhlak-akhlak dan keutamaan-keutamaan Islam, mereka bertaqlid dan membebek orang-orang asing dari kalangan Yahudi dan Nasrani, serta mereka mendakwakan dengan ketololannya dan kebodohanya bahwa itulah jalannya jika ingin maju dan menuju masyarakat madani, kalau mengikuti Islam tidak akan maju bahkan mengalami kemunduran, inilah yang mereka katakana.
d.   Khot Arab (Kufru Asy-Syaak), Kufur Syak atau Ragu-Ragu.
Orang yang memiliki kekufuran seperti ini tidak betul-betul membenarkan Islam dan tidak pula mendustakannya, tetapi ia ragu-ragu dalam urusannya dan keraguan itu tidak akan terus menerus melainkan jika ia tetap berpaling dari melihat tanda-tanda kebenaran Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak mau mendengarkannya, dan tidak mau menoleh kepadanya, tetapi jika ia mau menoleh dan melihatnya, maka ia tidak akan ragu-ragu lagi, karena siapa saja yang benar-benar melihat ia akan membenarkannya apalagi jika melihat secara keseluruhan karena dalil-dalil yang menunjukkan kebenarannya bagaikan dalil matahari menunjukkan tanda siang hari.
e. Khot Arab (Kufur Nifaq), Yaitu menzahirkan iman dengan lisannya tetapi hatinya mendustakannya inilah yang disebut dengan nifaq akbar, Insya Allah keterangannya akan diuraikan dalam bab “Nifaq” adapun Kufur Juhuud (Khot Arab) (kufur pengingkaran), ada dua macam
·  Khot Arab (Kufru Muthlaqa ‘Aam). Mengingkari secara keseluruhan apa yang diturunkan oleh Allah dan mengingkari bahwa allah telah mengutus Rasul (jelas untuk ini adalah kufur akbar)
·  Khot Arab (Kufru Muqoyyadu Khoos). Mengingkari salah satu fardhu atau kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam Islam atau salah satu hal yang diharamkan atau salah satu sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifatkan kepada Diri-Nya atau salah satu berita yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan dengannya baik dengan sengaja atau dikemukakan untuk menanggapi perbedaan pendapat orang yang menyelisihinya dengan maksud dan tujuan tertentu.
Jika pengingkarannya dilakukan karena benar-benar bodoh dan tidak tahu sama sekali atau karena takwil bukan karena menentang, membantah atau mendustakannya, maka dalam keadaan seperti ini pelakunya ma’zun (alasannya dibenarkan), dan ia tidak kafir tetapi ia tetap berkewajiban untuk belajar dan mencari kebenaran.
2.      Khot Arab (Syirik atau menyekutukan Allah).
Syirik ada dua macam : 1. Syirik Akbar dan 2. Syirik Asghar.
a.  Syirik Akbar.
Syirik akbar adalah syirik yang dosanya tidak diampunkan oleh Allah melainkan dengan taubat yang sebenar-benarnya. Syirik akbar diartikan sebagai mengambil sekutu atau tandingan selain Allah ia mencintai sebagaiman amencintai allah, yaitu syirik yang mengandungi, menyamakan tuhan-tuhan kaum musyrikin dengan Allah Rabbul ‘Alamiin, oleh karena itu mereka para penyembah tuhan-tuhan selain Allah ketika di neraka akan mengatakan kepada tuhan-tuhan mereka sebagaimana firman Allah (Q.S. (26) : 97, 98).
Khot Arab.
Artinya : “Demi Allah sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb (Tuhan) Semesta Alam.
Mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya pencipta segala sesuatu, Rabbnya dan pemiliknya dan tuhan-tuhan mereka tidak mencipta, tidak memberi rizki, tidak menghidupkan dan tidak mematikan.
Jadi penyamaan dan penyerupaan yang mereka lakukan itu adalah pada Al Mahabbah (khot arab) (mencintai), An-Na’dhiim (khot arab) (mengagungkan), dan Al-‘Ibaadah (khot arab) (Ibadah), sebagaimana keadaan mayoritas kaum musyrikin di dunia ini, bahkan keseluruhannya mereka mencintai sesembahan-sesembahan mereka, mengagungkannya dan menjadikanya sebagai wali-wali (pelindung dan penolong)nya selain Allah dan banyak diantara mereka –bahkan kebanyakannya- mencintai tuhan-tuhan mereka lebih besar daripada mencintai Allah dan mereka lebih gembira manakala disebut tuhan-tuhan itu daripada disebut nama Allah satu-satunya, mereka lebih marah jika hak tuhan-tuhan mereka dikurangi dibandingkan apabila hak Allah dikurangi dan ketika kehormatan dari kehormatan-kehormatan tuhan-tuhan dan sesembahan-sesembahan mereka dilanggar atau dilecehkan mereka sangat marah dan garang bagaikan seekor singa tetapi kalau yang dilanggar dan dilecehkan kehormatan Allah mereka tidak marah dan tidak perduli.
Dan anda akan mendapati diantara mereka yang selalu menyebut nama-tuhan-tuhan itu semasa dalam keadaan berdiri, duduk sakit dan merasa takut.
Mereka menyebut dan mengingati tuhan dan sesembahannya selain Allah dengan hati dan lisannya, mereka menganggap tuhan mereka sebagai pintu atau pembuka hatanya kepada Allah, sebagai pemberi syafaat di sisi-Nya dan wasilah kepada-Nya. Orang-orang musyrikin dan penyembah berhala yang terdahulupun juga sama seperti ini, hal ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an (Q.S. (39): 3).
Keyakinan yang ada dalam hati kaum musyrikin dan pendahulu-pendahulu mereka di sisi Allah, hal ini benar-benar syirik, Allah telah mengingkari hal ini keatas mereka dan membatalkannya di dalam Al-Qur’an dan mengkabarkan bahwa seluruh syafaat adalah miliknya semata.
Diantara kebodohan orang-orang musyrik adalah meyakini bahwa sesuatu atau orang baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, yang dijadikan sebagai wali (pelindung atau penolong dan sebagainya), atau syafi’ (pemberi syafaat), ia akan dapat memberi syafaat kepadanya dan akan bermanfaat baginya di sisi allah, sebagaimana keadaan orang-orang khusus seperti menteri-menteri atau pembantu-pembantu raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang syafaat mereka bermanfaat bagi orang yang berwala’ kepadanya, dengan kata lain menteri dapat memberikan syafaat kepada dirinya untuk mendapatkan sesuatu dari sang raja.
Merkea tidak memahami bahwa tiada yang dapat memberi syafat di sisi Allah tanpa izin-Nya dan Dia tidak mengizinkan dalam hal syafaat ini melainkan kepada orang yang Allah ridhai ucapan dan perbuatannya sebagaimana firman-Nya,
- Pada bagian pertama (Q.S (2) : 255 ).
   Khot arab.
   Artinya : “Tiada yang dapat memberikan syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya
- Pada bagian kedua (Q.S (21): 28).
Artinya : “Dan mereka tiada dapat memberikan syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.
            - Bagian ketiganya : bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meridhai dari ucapan dan perbuatan
               melainkan tauhid dan mengikuti rasul.
Sebagaimana mereka bisa memperoleh syafaat dari orang yang Allah beri hak memberi syafaat sedangkan mereka tidak termasuk orang yang diridhai Allah sebab tidak mentauhidkan Allah dan tidak mengikuti Rasul-Nya bahkan telah menyekutukan Allah dengan selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya kepada seluruh mausia baikyang terdahulu maupun yang terakhir, dua hal sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah, dua hal tersebut adalah :
*       Tentang Tauhid dengan pertanyaan. :
Artinya : Apa yang kalian sembah?                      khot arabnya
*       Tentang Ittiba’ mengikuti Rasul
Artinya : Apa jawabanmu (responmu) terhadap para rasul?        khot arabnya.
Anak-anakku, cucu-cucuku yang kukasihi –Hafidzhakumullahu wa roo’akum-…
1)   Tiga ushul (hal yang mendasar) diatas akan dapat memotong dan memutus akar-akar syirik, dari hati orang yang menyadarinya dan berfikir tentangnya.
2)   Tidak ada syafaat tanpa izin-Nya.
3)   Tiada mengizinkan (syafaat diberikan) kecuali kepada orang yang Allah telah ridhai, ucapannya dan perbuatannya.
4)   Allah tidak meridhai dari ucapan dan perbuatan melainkan yang men-tauhidkan-Nya, dan mengikuti Rasul-Nya.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mengampuni syirik atau penyekutuan orang-orang yang menyamakan Allah dengan yang selain-Nya, dalam ibadah, muamalat dan mahabbah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah berfirman dalam banyak ayat (diantaranya adalah (Q.S (6) : 1), (Q.S (26) : 97, 98, (Q.S (2) : 165) dan sebagainya), orang-orang musyrik mengambil sesembahannya karena mereka mempunyai kepercayaan dan keyakinan, bahwa sesembahannya akan memberikan manfaat baginya, padahal manfaat itu tidak terwujud melainkan akan terdapat padanya satu perkara dari empat hal berikut ini :
a.  Mungkin pemilik sesuatu yang dikehendaki oleh penyembahnya mendapatkan sesuatu itu daripadanya.
b.  Jika bukan pemilik ia mempunyai saham bagi pemiliknya.
c.  Jika tidak mempunyai saham ia sebagai pembantunya.
d. Dan jika bukan pembantu ia sebagai pemberi syafaat
Allah Subhanahu wa Ta’ala, meniadakan keempat hal tersebut secara tertib dari sesembahan mereka, yaitu
1.      Meniadakan kepemilikan artinya sesembahan itu tidak memiliki seberat zarrohpun di langit dan di bumi.
2.      Meniadakan syirkah (saham), maksudnya sesembahan tidak mempunyai sahampun dalam penciptaan langit dan bumi.
3.      Meniadakan bantuan, maksudnya sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang menjadi pembantu bagi Allah.
4.      meniadakan syafaat, maksudnya tiada yang dapat memberi syafaat dan menerimanya kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Hal-hal ini dapat dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala,  pada firman-firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an diantaranya surat Saba (34) ayat 22, 23 .
b.  Syirik Asghar, misalnya seperti riya’ dalam beramal karena manusia dan ucapan-ucapan seperti Masyaa Allah wa syi’ta (Apa yang Allah kehendaki dan kamu kehendaki), Haadza minallaahi wa minka  (Ini dari Allah dan dari kamu), Innabillahi wa bika (Saya dengan Allah dan dengan kamu), Maa lii Illallaahu wa anta (Tiada bagiku selain Allah dan kamu), Ana mutawakkilu ‘alallaah wa alaika (aku bertawakkal kepada Allah dan kepadamu) atau Lau laa anta lam yakun kadzaa wa kadzaa (kalaulah bukan karena kamu tidak akan terjadi begini dan begitu). Dan kadang-kadang bisa menjadi syirik akbar hal ini tergantung pada orang yang mengucapkan dan tujuannya.
Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa ada seorang  laki-laki yang mengatkaan kepadan abi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, “maasyaa Allahu wa syi’ta (khat arab)”  lalu beliau mengatakan :”Apakah kamu akan menjadikan aku sebagai sekutu atau tandingan bagi Allah? Katakan : Maasyaa Allahu wahdah.” (apa yang dikehendaki Allah satu-satunya), dan banyak contoh lainnya.
Termasuk bentuk-betuk syirik antara lain :
1.      Menjadikan pemimpin-pemimpin, pemuka-pemuka agama dan sebaginya, sebagai arbaab (rabb-rabb) yang membuat syariat untuk mereka lalu mereka ikuti dan taati, mereka agungkan syariat itu lebih daripada syariat Allah Azza wa Jalla (Q.S. (9) : 31), (Q.S (42) : 21).
2.      Sujudnya seseorang  murid kepada syaikhnya, hal ini merupakan perbuatan syirik baik yang sujud maupun yang disujudi jika masing-masing ridho, meskipun mereka mengatakan itu dilakukan untuk menghormati atau tawadhu’ kepada syaikh, sebab sujud adalah salah satu bentuk ibadah. Dan tidak berhak menerimanya kecuali Allah Ta’ala. Demikian juga sujud kepada berhala, binatang, batu dan sebagainya.
Sujud ialah meletakkan kepala dihadapan sesuatu,
Sujud yang jelas-jelas merupakan perbuatan syirik adalah sujud ibadah atau penghambaan diri, adapun sujud jika dilakukan untuk penghormatan saja apakah hukumnya sebagaimana sujud ibadah atau ada hukum lain, dalam hal ini terpaksa abi (bapak/penulis (karena risalah ini sebenarnya ditujukan untuk anak dan keturunannya-ed)) tawaqquf, karena semasa abi menulis masalah ini tidak ada buku-buku rujukan yang bisa abi rujuk misalnya kitab-kitab Tafsir, hadits, aqidah dan sebagainya.
Abi pernah membaca sebuah hadits yang kurang lebih maksudnya, “Seandainya manusia diperbolehkan sujud kepada manusia, maka niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya” silahkan anak-anak abi mencari hadits ini.
Adapun yang membuat dan menjadikan abi tawaqquf yaitu penggunaan kata-kata sujud yang berarti penghormatan di dalam Al-Qur’an misalnya :
a.       Dalam surat Al-Qur’an surat Yusuf (12) : 100.
Khot arab.
Artinya : “Dan ia (Yusuf a.s) menaikkan kedua ibu bapanya keatas singgasana dan mereka semua merebahkan diri seraya bersujud
Sujud dalam ayat ini adalah sujud penghormatan bukan sujud ibadah.
b.      Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2): 34.
Khot Arab.
Artinya : “Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis ”
Sujud dalam ayat ini adalah sujud penghormatan dan pemuliaan kepada Adam.
Olehkarena itu wahai anak-anakku dan keturunanku seterusnya carilah jawabannya dalam kitab-kitab mu’tabar jika kalian ada kemampuan jika tidak silahkan rujuk kepada ustadz atau syaikh yang faqih dan alim.
3.      Botak kepala (cukur gundul), untuk syaikh.
Hal ini merupakan ibadah kepada selain Allah, sebab tidak ada sesuatupun yang berhak diibadahi dengan mencukur kepala kecuali pada saat manasik haji, khusus untuk Allah saja.
4.      Bertaubat untuk syaikhnya.
Hal ini adalah syirik besar, sebab taubah tidak ada yang berhak menerima kecuali Allah seperti shalat, puasa, haji dan pengorbanan, dalam “Al Musnad” dinyatakan “Bahwa Rasulullah suatu hari di bawa kepadanya seorang  tawanan, maka tawanan itu berkata, khot Arab, “Ya Allah sesungguhnya aku bertaubat kepadamu dan tidak bertaubat kepada Muhammad”, Maka Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ia telah mengenal (memberikan) hak kepada yang mempunyainya” Maksudnya memberikan taubatnya kepada Allah.
Taubat adalah ibadah tidak patut kecuali bagi Allah seperti sujud dan puasa.
5.      Bernazar utuk selain Allah adalah perbuatan syirik bahkan lebih besar daripada half (bersumpah) dengan selain Allah, sedangkan bersumpah saja adalah perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,
khot arab. : nazar adalah sumpah.
6.      Takut dengan selain Allah, tawakkal (berserah atau bersandar diri) kepada selain Allah, beramal untuk selain Allah, inabah dan khudhu’ serta dzull (merendahkan diri) kepada selain Allah, memuji selainnya atas apa yang diberikan-Nya berupa rizqi dan tidak memuji kepada-Nya.
Termasuk mencela dan marah-marah terhadap sesuatu yang Allah tidak berikan kepadanya dan tidak mentakdirkannya, mengatasnamakan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah kepada selain Allah, dan meyakini bahwa di alam ini bisa terjadi sesuatu yang bukan kehendak Allah.
7.      Meminta suatu hajat atau kebutuhan dari orang yang sudah mati.
Meminta tolong kepada mereka dan tawajjuh (menghadapkan wajahnya karena suatu keperluan) kepada mereka, inilah asal-usul syirik yang terjadi di dunia ini, padahal sebenarnya mayat itu telah terputus amalnya, ia tidak memiliki manfaat dan madhorot bagi dirinya sendiri bagaimana mungkin akan dapat memberikan pertolongan kepada orang yang meminta tolong kepadanya atau dapat menunaikan hajatnya? dan berbagai contoh lain.
Sebetulnya mereka orang-orang yang sudah mati itu memerlukan dan berhajat kepada orang yang masih hidup, agar di do’akan di mintakan rahmat dan di mohonkan ampun, sebagaimana wasiat Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, kepada kita, jika kita menziarahi kuburan kaum muslimin, kita do’akan agar mereka dirahmati Allah dan kita mohonkan kepada-Nya agar mereka mendapatkan ampunan dan maghfirah.
Anak-anakku dan cucu-cucuku serta generasi penerusku selanjutnya.yang kukasihi.
Ketahuilah bahwasanya tiada orang yang bisa selamat dari syirik akbar ini melainkan orang yang memurnikan tauhidnya bagi Allah, memusuhi orang-orang musyrik karena Allah dan bertaqarrub kepada Allah dengan kemarahan mereka, dan menjadikan Allah sebagai Walinya, Ilahnya, dan Ma’budnya satu-satunya.
Kemudian dia memurnikan cintanya untuk Allah, takutnya untuk Allah, raja’ (mengharap) untuk Allah, dzull (merendah/menghinakan diri) nya untuk Allah, tawakkalnya kepada Allah, isti’anah dan istighatsahnya dengan Allah, iltija’ (pengembalian urusan) kepada Allah, mengikhlaskan tujuannya untuk Allah, denganmengikuti perintah-Nya untuk mencari Ridho-Nya, apabila meminta, maka ia meminta kepada Allah dan jika meminta pertolongan, meminta pertolongan kepada Allah, jika ia beramal ia beramal karena Allah. (khot arab fahuwa lillah wa billah wa ma’allah).
Dan banyak lagi bentuk-bentuk syirik, tidak ada yang mengetahui jumlahnya secara pasti kecuali Allah.
Oleh karena itu berwaspadalah wahai anak-anakku, cucu-cucuku dan generasi penerusku selanjutnya jangan sampai kalian terjerumus kedalam dosa yang amat merugikan dan mengerikan ini.
3.      An-Nifaq.
Nifaq adalah penyakit batin yang mana penderita penyakit ini tidak merasa meskipun hati dan batinnya telah dipenuhi dengan nifaq, ia merupakan hal atau perkara yang rahasia atas manusia dan kebanyakan orang yang terkena nifaq itu tidak merasa bahwa diriya sedang menderita dan tertimpa musibah malah merasa bahwa ia adalah mushlih (orang yang mengadakan perbaikan atau orangyang membangun) padahal sebenarnya ia adalah mufsid (orang yang membuat kerusakan).
Nifaq terbagi menjadi dua macam :
1. Nifaq Akbar. 2. Nifaq Asghar.
a. Nifaq Akbar.
Ialah mendzhahirkan atau menampakkan kepada kaum muslimin bahwa ia orang yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir padahal sebenarnnya dalam batinnya kosong dari itu semua alias bohong dan dusta belaka, ia tidak mempercayai bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berbicara dengan pembicaraan yang diturunkan keatas manusia sebagai wahyu dan menjadikannya sebagai rasul bagi manusia menunjukkan mereka ke jalan yang benar dengan izin-Nya dan memperingatkan mereka akan siksa-Nya.
Nifaq akbar menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka bahkan dalam neraka yang paling bawah (Q.S (4) : 145).
b. Nifaq Asghar.
Yaitu nifaq amali yang tidak disertai dengan hatinya, misalnya perbuatan-perbuatan nifaq yang dilakuan oleh orang yang beriman, seperti kita berbicara kadang-kadang bohong, (bohong yang tidak diperbolehkan oleh syar’i), jika berjanji kadnag-kadang menyelisihi janjinya, bila diberi amanat khianat dan sebagainya.
Nifaq Asghar meskipun ancamanya tidak sebagaimana nifaq akbar yaitu kekal dalam neraka, tetapi berbahaya juga kalau tidak hati-hati pada suatu hari akan tercebur ke dalam nifaq akbar –na’udzubillah-  -wallahu a’lam-.
Nifaq meskipun merupakan hal yang samar dan rahasia, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat Rahman dan RahimNya kepada hamba-hamba-Nya telah menyingkap tabir dan kedok orang-orang munafik serta membongkar rahasia-rahasia mereka, urusan-urusan mereka supaya hamba-hamba-Nya yang beriman waspada terhadap nifaq dan munafikin.
Pada permulaan surat Al-Baqarah Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa manusia terbagi ke dalam 3 golongan yaitu :
1)   Mukminun (orang-orang yang beriman), hal ini diuraikan dalam 4 ayat atau 5 ayat (1-5).
2)   Kafirun. (orang-orang kafir) hal ini diterangkan dalam 2 ayat (6 , 7).
3)   Munafiqun (orang-orang munafiq) hal ini dijelaskan dalam 13 ayat (8-20).
Anak-anakku dan cucu-cucuku serta generasi penerusku selanjutnya, yang kukasihi -wafaqqakumullahu-
Apa diantara hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang kaum munafikin ini lebih banyak ayatnya (13 ayat), dibandingkan dengan dua golongan yang lain yaitu golongan mukmin dan golongan kafir.
(Selanjutnya adalah pernyataan Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, yang ditulis oleh Ali Ghufron sepanjang 3 paragraf dalam khot (huruf) arab, saya tidak bisa membacanya secara keseluruhan, jadi saya tinggalkan-Wendz ).
Hai anak-anakku dan cucu-cucuku, sungguh benar apa yang dinyatakan oleh Asy-Syaikh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullahu , bahwa orang-orang munafiq adalah orang yang paling banyak membuat maslah dan musykilah terhadap Islam dan kaum muslimin, fitnah dan bencana yang ditimbulkan oleh mereka sangat dahsyat, hal ini jelas sekali jika kita buka lembaran sejarah Islam.
Sepanjang sejarah pergerakan Islam bermula dari kejayaan Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dan para sahabat radhiyallahu anhum  menegakkan Imarah Madinah Al Islamiyah atau Daulah Al-Islamiyah Madinah, hingga hari ini tidak pernah sepi dari rongrongan, gangguan dan makar tangan-tangan kotor Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang yang mengikutinya.
Berapa banyak ikatan-ikatan bagi Islam yang mereka binasakan?! Berapa banyak benteng-benteng Islam yang mereka hancurkan dan mereka cabut sampai akar-akarnya?!
Berapa banyak panji-panjinya yang mereka sirnakan dan mereka hapuskan? Berapa banyak bendera-benderanya yang mereka tumbangkan dan turunkan?!
Berapa banyak penafsiran-penafsiran sesat dan menyesatkan yang mereka buat, untuk memenuhi keinginan mereka agar jalan Allah itu bengkok?!
Berapa banyak peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian serta musibah-musibah tragis yang membawa kerugian sangat besar terhadap Islam dan kaum muslimin akibat dari kerja-kerja tangan-tangan durjana kaum munafikin yang bekerjasama dengan musuh-musuh Islam?
Bukankah manusia sejenis bunglon ini yang menimbulkan kekacauan demi kekacauan dalam barisan kaum mukminin dan mengakibatkan porak-porandanya ukhuwwah, persatuan dan kekuatan mereka?
Bukankah manusia yang berkarakter seperti lalat ini nampak saja penampakannya semacam lebah, tetapi kelakuannya serba busuk najis lagi menjijikkan, mereka inilah yang memfitnah dan menggoncangakn ketenangan keluarga Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, manusia sejenis ini yang menyebabkan terbunuhnya sahabat-sahabat yang agung seperti Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhum  ajma’in dan sebagainya, dan disebabkan polah dan tingkah manusia seperti inilah sehingga terjadi pertempuran dan peperangan antara kaum mukminin dari zaman shahabat radhiyallahu anhum  hingga sekarang!
Bukankah hilangnya menara Khilafah Al-Islamiyah dari muka bumi (Turki Utsmani) pada 3 Maret 1924 M adalah akibat kerja tangan kotor si Munafik Musthofa Kamal Attaturk dan kawan-kawannya yang bersekongkol dengan musuh-musuh Islam?
Bukankah bertapaknya Yahudi laknatullahi alaihim pada 1924 hingga hari ini di bumi Palestina yang terdapat di dalamnya Masjidil Aqsha tempat dan masjid yang termulia di muka bumi disamping Masjidil Haram (Makkah), dan Masjid Nabawi (Madinah), dan juga merupakan tempat Isra’ Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, juga akibat tangan-tangan kotor kaum munafikin?
Bukankah pembantaian beratus-ratus ribu kaum muslimin dan pemusnahan jutaan kitab-kitab Islam yang berharga dengan mencampakkan kedalam sungai-sungai sehingga seluruh aliran airnya berubah seperti warna tinta dan cat, yang dilakukan oleh tentara brutal kafir dari Mongolia dengan dipimpin oleh Hulaghu Khan dan Jengish Khan di abad ketujuh atau delapan Hijriah juga akibat dari tangan-tangan kotor kaum munafikin antara lain golongan Rafidhah yang bekerjasama dengan si kafir-kafir tersebut!?
Bukankah kehadiran tentara-tentara kafir baik Yahudi maupun Nasrani dari Amerika dan sekutunya di negara-negara kaum muslimin termasuk negara-negara teluk dan jazirah Arabia adalah merupakan kerjasama antara kaum munafikin dan musuh-musuh Islam?
Bukankah runtuhnya pemerintahan Islam Afghanistan yang dipertahankan mati-matian oleh “Thaliban” dan jatuhnya kota Kabul di tangan tentara koalisi kuffar Amerika dan sekutunya pada tahun 2001 M adalah karena angkara murka dan hasil dari tangan-tangan kotor para munafikin?
Bukankah negara-negara kaum muslimin di seluruh dunia ini tidak dapat melaksanakan syariat Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, adalah gara-gara kebanyakan pemimpin-pemimpinnya adalah orang-orang munafik…..?
Dan selanjutnya….dan selanjutnya….
Anak-anakku, cucu-cucuku dan generasi seterusnya yang kukasihi -wafaqqakumullah-
Orang-orang munafik berpakaian dengan pakaian orang-orang yang beriman tetapi hati mereka adalah hati orang-orang yang sesat, rugi, dengki dan kufur, lahirnya menampakkan sebagai anshar akan tetapi hatinya telah bergabung dengan orang-orang kafir, lisan-lisan dan basa-basi mereka seolah-olah sebagai orang yang menyerah, cinta dan berdamai serta berukhuwwah dan bersaudara, namun lain halnya hatinya selalu memerangi kaum mukminin, mulut-mulut mereka mengatakan kemi beriman kepada Alah dan hari akhir, padahal sebenarnya mereka tidak beriman (Al-Baqarah ayat 8).
Pokok modal yang mereka punyai adalah tipu daya makar  dan dusta. Akal dan fikiran mereka adalah maslahah dan kepentingan pribadi duniawi, bagaimana agar kedua kelompok baik yang mukmin, maupun yang kafir ridha kepada mereka, maka status iman mereka di tengah-tengah (Al-Baqarah ayat 9), hati mereka telah terjalar suatu penyakit yang sangat kronis dan berbahaya yaitu penyakit syubuhat dan syahwat, tidak ada seorang pun dokter yang sanggup mengobatinya. (Al-Baqarah ayat 10).
Sebenarnya mereka adalah para perusak tetapi tidak sadarkan diri malah merasa dirinya sebagai para pembangun dan ahli perbaikan (Al-Baqarah ayat 11, 12).
Orang-orang yang beriman yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka katakana sebagai orang-orang bodoh, tetapi sebenarnya merekalah orang-orang yang bodoh (Al-Baqarah ayat 13), masing-masing mereka bermuka dua dan lidahnya bercabang (Al-Baqarah ayat 14).
Mereka mempunyai tanda-tanda yang dengannya dapat diketahui mereka dan tanda-tanda itu dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah antara lain :
Riya’ dan Malas (Q.S (4) : 143).
Merasa selalu dalam keadaan bingung mau ikut kelompok yang mana, jika mereka melihat kelompok yang menang dan kuat itu yang akan mereka ikuti. (Q.S (4) : 143).
Ucapannya akan mengikat pendengarnya karena begitu manis dan lunaknya (Q.S (2) : 204).
Perintah dan instruksi yang diberikan kepada bawahannya merusak negara dan rakyat (Q.S (2) : 205).
Perangai mereka sama antara satu dengan yang lain dan saling topang menopang (Q.S (9) : 67.).
Jika diajak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya mereka berpaling dan lari terbirit-birit (Q.S (4) : 61).
Kalau berbicara disertai dengan sumpah agar pendengarnya menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur dengan imannya (Q.S (63) : 2).
Badan dan tubuh mereka gagah-gagah, bicaranya manis, keteranganya lembut tetapi hatinya busuk dan batinnya sangat lemah. (Q.S (63) : 4).
Kegemarannya mengakhir-akhirkan shalat, shubuh dilaksanakan kala matahari terbit, sementara ashar dilaksanakan manakal matahari terbenam.
Sholatnya seperti ayam mematuk jagung, shalatnya shalat badan, hatinya tidak shalat, menoleh dan melirik kesana-kemari semasa shalat bagaikanseekor musang, karena dirinya merasa salah seolah-olah ada yang mengusirnya dan mencarinya, mereka tidak mendatangi shalat berjama’ah jika salah seorang  dari mereka shalat ia shalat di rumahnya dan di tokonya, jika bertengkar melampaui batas, jika mengadakan perjanjian dan apabila dipercaya khianat, demikianlah mu’amalah dan pergaulan mereka dengan manusia.
Anak-anakku, cucu-cucuku serta generasi penerusku seterusnya yang kukasihi –hafidzhakumullahu-bukalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al Hadid (57 ) : 13-15) dan sebagainya sebagaimana Allah menggambarkan keadaan orang-orang munafik ketika meniti shirath dan dosa apa yang mereka perbuat sehingga nasibnya seperti itu.
Anak-anakku, cucu-cucuku serta generasi penerusku seterusnya yang kukasihi -hafidzhakumullahu- Banyaknya jumlah kaum munafik di kalangan kaum mukminin memang sudah menjadi sunnatullah, antara lain tujuannya adalah untuk menguji siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang imannya palsu.
Oleh karena itu yang penting bagi kalian, jangan sampai menghabiskan waktu dan menyibukkan diri untuk berfikir agar orang-orang munafik musnah dan sirna dari muka bumi tetapi yang paling penting berwaspadalah selalu jangan sampai diri kalian termasuk orang-orang munafik.
Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu anhum   adalah salah seorang  sahabat yang diberitahu oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam rahasia orang-orang munafik, pada suatu saat mendengar seorang  laki-laki berdo’a :
Khot arab.
Artinya : “Ya Allah! Hancurkanlah orang-orang munafiq.” Maka beliau berkata, “Wahai anak saudaraku, jika seandainya orang-orang munafik hancur atau binasa niscaya kamu akan merasa ketakutan (kesepian) pada jalanmu karena sedikitnya orang yang menempuh jalan ini”
Anak-anakku dan cucu-cucuku yang kukasihi…
Sesungguhnya Salafussholih amat takut dengan nifaq dan tergolong sebagai orang-orang munafik,
Khot arab
Artinya : telah berkata Umar bin Khaththab radhiyallahu anhum  kepada Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu anhum : “Hai Hudzaifah demi Allah aku bertanya kepadamu, apakah Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam menyebut namaku kepadamu termasuk dari golongan mereka?”  Ia menjawab, “Tidak dan aku tidak mensucikan sesudahmu seorang pun.
Dan Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mendapati tiga puluh orang dari sahabat Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, seluruhnya khawatir dirinya terkena nifaq, tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan, bahwa imannya seperti iman Jibril dan Mikail alaihimussalam” (Riwayat Al-Bukhari).
Imam Hasan Al-Bashri rahimahullahu , menyebutkan bahwa, tidak ada seorang pun yang merasa aman dari nifaq melainkan orang-orang munafik, dan tidak ada yang merasa takut terhadapnya melainkan orang-orang beriman.
Telah disebutkan dari sebagian sahabat radhiyallahu anhum  bahwasanya mereka mengucapkan dalam do’anya,
Khot Arab. (Allahumma inni a’uudzubika min khusyuu’in nifaaq, qiila : wa maa khusyuu’in nifaaq? Qoola: In yural badanu khoosyi’an wal qolbu laisa bi khoosyi’iin)
Artinya : “Ya Allah aku berlindung kepadamu dari khusyu’ nifaq! ” dikatakan, “Apakah khusyu’ nifaq itu?” ia menjawab, “badannya terlihat khusyu’ sedang hatinya tidak khusyu.
Demi Allah sungguh hati para sahabat radhiyallahu anhum  telah dipenuhi oleh iman, dan keyakinan dan mereka sangat takut terhadap nifaq, perhatikanlah mereka sangat serius dalam hal ini, sedangkan orang-orang yang selain mereka iman mereka tidak mencapai tenggorokan dan kerongkongannya, namun demikian mereka mendakwa imannya seperti iman Jibril dan Mikail alaihimussalam.
Anak-anakku dan cucu-cucuku dan generasi penerusku selanjutnya yang dikasihi -wafaqqakumullah-…
Ingatlah bahwa tanaman nifaq itu tumbuh diatas dua siraman. Siraman Al Kidzb (dusta) dan siraman riya’ sedangkan dua siraman itu keluar dari dua mata air, mata air lemahnya bashirah dan mata air lemahnya azimah (kemauan), maka bermujahadahlah dan berdo’alah kepada Allah agar bashirah dan azimah kalian kuat dan tegar –wallahu a’lam.
4.      Khot Arab Fasiq dan 5. Khot Arab  Al-‘Ishyan (durhaka).
Fusuq di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk :
1.    Mufrod muthlaq maksudnya berdiri sendiri.
2.    Maqrun bil ‘Ishyan maksudnya dibarengi atau disertai dengan kata “khot arab (Al-‘Ishyan)” (Q.S. (49) : 7)
A.   Mufrod muthlaq ada dua macam :
1st.               Fusuq kufur mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Misalnya yang terdapat dalam firman-firman Allah seperti : Q. S (2) : 26, 27,  Q. S (2) : 99, Q. S (32) : 20. Fusuq dalam ayat-ayat tersebut adalah fusuq kufur.
2nd.            Fusuq yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti : Q. S (2) : 282, Q. S (49) : 6.
Fusuq yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam itu sendiri ada dua macam :
1)            Fusuq dari segi amal.
2)            Fusuq dari segi i’tiqad.
1)   Fusuq dari segi amal ada dua macam :
a.    Disertai dengan ‘ishyan (khot arab), yang berarti melanggar apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, (Q.S. (66) : 6), (Q.S. (20) : 92). Pada suatu kata-kata fusuq dan maksiat bersamaan maka fusuq artinya lebih khusus pada melanggar larangan dan maksiat lebih khusus pada menyelisihi perintah.
b.    Dalam keadaan ifradh dan berdiri sendiri maka kata fusuq berarti menyelisihi perintah (Q.S. (18) : 50) dan maksiat adalah melanggar larangan (Q.S. (20) : 121), jika bersamaan maka salah satunya berarti menyelisihi perintah dan yang lain menyelisihi larangan.
2)      Fusuq dari segi i’tiqad (keyakinan) :
Yaitu seperti fusuqnya ahli bid’ah yang mana mereka ini beriman kepada Allah, rasul-Nya, hari akhir dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan mewajibkan apa yang diwajibkan Allah akan tetapi banyak hal-hal yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya mereka tiadakan disebabkan karena kebodohan dan takwil serta taqlid mereka kepada syaikh-syaikhnya dan merekamenetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Mereka adalah seperti Khowarij, Rawafidh (Rafidhah / Syi’ah), Al-Qodariyah, Mu’tazilah, dan banyak dari kalangan Jahmiyyah, tetapi bukan yang ghullat  (melampaui batas).
Adapun bagi Jahmiyyah yang ghullat dan Rafidhah yang ghullat kedua kelompok ini tidak ada bagian lagi dalam Islam oleh karena itu jama’ah dari para salaf mengeluarkan mereka dari 72 golongan umat Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dan mereka nyatakan bahwa mereka telah keluar dari millah.
Khot arab :
Maka taubatnya dari kefasikan ini adalah, dengan menetapkan apayang telahditetapkan oleh Allah kepada Dien-Nya dan yang telah ditetapkanoleh rasul-Nya dengan tanpa tasybih (menyerupakan), dan tamtsil (memisalkan/menyamakan). Dan mensucikan dari segala apa yang telah Allah sucikan bagi Diri-Nya dari sepadanya dan yang telah Rasul-Nya sucikan darinya dengan tanpa tahrif (merubah/menyelewengkan) dan tidak pula ta’thil (meniadakan/memacetkan). Dan menerima An-Nafi (meniadakan) dan Al-Itsbat (menetapkan) dari wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan dari pendapat orang-orang tertentu dan hasil pemikiran mereka yang merupakan tempat tumbuhnya bid’ah dan kesesatan.
Adapun taubatnya orang-orang yang fasiq dari segi i’tiqad yang rusak, yaitu dengan benar-benar mengikuti  sunnah, dan tidak cukup dengan itu saja ia wajib menjelaskan kejelekan dan kerusakan bid’ah yang telah ia lakukan karena taubat dari sesuatu dosa adalah dengan  mengerjakan sebaliknya oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaratkan dalam taubatnya, “Orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan oleh Allah dari keterangan dan petunjuk (khot Arab) yaitu dengan bayan (menerangkan apa yang disembunyikan).”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S (2) : 159, 160).
Dosa orang yang membuat bid’ah (mubtadi’) diatas dosa khot arab (yang menyembunyikan kebenaran), sebab ia hanya menyembunyikan kebenaran sementara mubtadi’ menyembunyikan kebenaran dan menyeru kepada sesuatu (bid’ah) yang menyelisihi kebenaran, maka setiap mubtadi’ adalah orang yang menyembunyikan kebenaran bukan sebaliknya
6.      ‘Al-Itsmu (khot arab) dosa dan 7. Al-‘Udwaan (khot arab) pelanggaran..
Dosa dan pelanggaran adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Q.S (5) : 2). Khot Arab.
Masing-masing jika berdiri sendiri mengandung makna lain maka setiap dosa adalah pelanggaran, sebab telah melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah atau meninggalkan sesuatu yang diperintahkan-Nya berarti merupakan pelanggaran terhadap perintah-Nya dan larangan-Nya dan setiap pelanggaran adalah dosa , sebab orang yang melanggar adalah berdosa.
Tetapi jika kedua-duanya disebutkan dalam satu kalimat atau ayat maka masing-masing mempunyai arti sendiri sesuai dengan kaitannya dan sifatnya.
Al Itsmu (dosa) adalah berkenaan dengan jenis-jenis yang diharamkan misalnya seperti : berbohong, berzina, minum khamr dan sebagainya, sedangkan Al-‘Udwaan (pelanggaran) adalah melanggar batasan dan ukuran yang diharamkan dari sesuatu yang asalnya diperbolehkan, seperti mengambil hak seseorang  tetapi melebihi dari kadar yang ia miliki baik pada hartanya kadarnya atas dirinya, jika barangnya dirusak seseorang  ia membalas dengan berlipat ganda dan sebagainya.
Pelanggaraan (khot Arab) disini ada dua macam :
c.  Pelanggaran pada hak Allah
d. Pelanggaran pada hak manusia, untuk yang kedua ini seperti dijelaskan diatas.
Adapun pelanggaran pada hak Allah Subhanahu wa Ta’ala misalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan menggauli istri malah mencari perempuan lain yang haram (Q.S (23) : 5-7) atau berzina, atau Allah telah menghalalkannya menggaulinya pada waktu suci, tetapi ia menggaulinya pada waktu nifas atau haid atau menggaulinya pada duburnya atau pada waktu ihram atau sewaktu menunaikan puasa wajib dan sebagainya.
Demikian juga setiap orang yang diperbolehkan melakukan sesuatu dengan batasan tertentu lalu ia melampaui lebih banyak dari batasan yang diperbolehkan, ini juga termasuk Al-‘Udwaan, misalnya : Orang yang tersumbat tenggorokannya oleh sesuatu maka ia dibolehkan untuk sekedar menghilangkan atau mendorong sumbat tersebut jika cukup dengan satu teguk saja, maka tidak boleh menambah lebih daripada itu , jika menambah berarti “(Al-Udwaan khot arab).” Pelanggaran.
Dan termasuk juga sebuah pelanggaran jika melampaui batasan yang dibolehkannya orang yang terpaksa (darurat), untuk memakan bangkai misalnya sampai kenyang padahal yangdiperbolehkan cukup sebagai alas perut saja.
Demikian menurut madzhab Imam Ahmad, Asy-Syafi’I dan Abu Hanifah. Adapun menurut Imam Malik boleh sampai kenyang dan mengambil  sebagai bekal jika diperlukan. Namun jika tidak menghajatkan dan ia makan bangkai karena menjaga hartanya dan bakhil untuk membeli yang disembelih atau yang halal dan sebagainya, maka dalam keadaan seperti ini berarti memakannya adalah pelanggaran “(Al-Udwaan khot arab).” (Q.S (2) : 173), (Q.S. (5) : 2).
8.      Perbuatan keji (Al-Fahsyaa’ khot arab) dan 9. Kemungkaran (Al-Mungkar khot arab).
(Al-Fahsya khot arab)    :  maa dhoharo …tidak terbaca… likulli ahadin tulis dalam khot arab :  sesuatu yang buruknya nampak jelas bagi setiap orang dan semua orang yang mempunyai akal sehat memandang buruk lagi keji, oleh karena itu ditafsirkan dengan zina dan liwath.
Adapun “Al-Munkar” adalah “Alladzii tastankirahu li aqwali wal fitrah tulis dalam khat arab” sesuatu yang akal  dan fitrah mengingkarinya atau tidak menyukainya atau tidak menerimanya.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhum  berkata : Al-Fahisyah adalah zina dan mungkar adalah sesuatu yang tidak dikenali dalam syariat dan sunnah.
10.  Melanggar hak manusia atau dzalim (Al-Baghyi khot arab).
Al ‘Itsmu dan Al ‘Udwaan keduanya khot arab, keduanya adalah Al ‘Itsmu dan Al Baghyi keduanya khot arab yang disebutkan dalam surat Al A’raf ayat 33.
Dengan demikian jika kata-kata Al Baghyi bersamaan dengan Al ‘udwaan maka Al Baghyi berarti dzalim atau kedzaliman mereka yaitu dengan melakukan sesuatu jenis perbuatan yang diharamkan, seperti mencuri, dusta, menyakiti seseorang  dan sebagainya dan Al ‘Udwaan adalah melampui hak dalam memenuhinya kepada yang lebih besaer dari yang semestinya, maka Al Baghyi dan Al ‘Udwaan pada dasarnya mereka seperti Al Itsmu dan Al Udwaan dalam hukum Allah.
Maka dalam hal ini ada 4 perkara : Hak bagi Allah dan batasannya serta hak bagi manusia dan ada batasannya, maka Al Baghyi dan Al Udwaan serta Adz-dzhalim yaitu melanggar dua batasan tersebut, hingga tidak sampai kepada keduanya.
11.  Al qoulu ‘Alallaahi bi Ghoiril ‘Ilmi tulis dengan khat arab (Mengatakan tentang Allah tanpa ilmu).
Anak-anakku dan cucu-cucuku serta generasi penerusku seterusnya yang dikasihi dan dirahmati Allah…
Perhatikanlah dengan lebih serius lagi yang satu ini, ia  lebih keras haramnya dan lebih besar dosanya, yang mana dalam surat Al A’raf ayat 33 terletak pada derajat yang keempat dalam hal-hal yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan haramnya hal ini disepakati oleh seluruh syariat dan agama-agama, dan dalam keadaan apapun juga tidak pernah diperbolehkan, maknanya haram selama-lamanya kepanpun dan di manapun, tidak sebagai mana memakan bangkai, darah dan daging babi serta yang lainnya, dimana suatu saat bisa berubah menjadi boleh hukumnya bagi orang yang dharurat atau terpaksa.
Hal-hal yang diharamkan di bagi menjadi dua macam :
a.Haram dzatnya yang tidak pernah diperbolehkan  dalam keadaan apapun.
b.  Sesuatu yang haram tetapi haramnya tergantung situasi dan kondisi, bisa berubah menjadi mubah dalam keadaan terpaksa.
Sekarang perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al A’raf ayat 33 dalam melarang sesuatu yang haram pada dzatnya,
(qola innamaa harroma robbii al fawaahisya maa dhoharo minhaa wamaa bathon) tsumma antaqulu minha ilaa maa huwa a’dhomu minha faqola (kemudian berpindah darinya kepada yang lebih besar darinya, maka Dia berfirman :) (Wal Itsma wal baghya bighairil haqq) tsumma antaqulu minha maa huwa a’dhomu minha faqola : (wa an tusyrikuu billahi maa lam yunazzila bihi sulthoonan) tsumma antaqulu minha maa huwa a’dhomu minha faqola (wa an taquulu ‘alallaahi maa laa ta’lamuun) dan khat arab seterusnya yang tidak bisa saya baca…
Maka hal ini adalah merupakan sesuatu yang haram yang paling besar di sisi Allah dan yang paling keras dosanya, karena mengandung : kedustaan terhadap Allah, menisbahkan kepadanya sesuatu yang tidak patut dengan-Nya, merobah dan mengganti Dien-Nya, meniadakan sesuatu yang ditetapkan-Nya dan menetapkan sesuatu yang dinafikan-Nya, membenarkan sesuatu yang dibatilkan-Nya atau dibatalkan-Nya dan membatilkan sesuatu yang dibenarkan-Nya , memusuhi orang yang berwala’ (loyal) kepada-Nya dan berwala’ kepada orang yang memusuhi-Nya mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang dicintai-Nya dan mensifati-Nya dengan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya baik pada Dzat-Nya, Sifat-Nya, qoul-qoul-Nya dan af’al-af’al-Nya.
Tidak ada sesuatu yang diharamkan lebih besar di sisi Allah daripada “berkata tentang-Nya tanpa Ilmu” dan yang paling dahsyat dosanya, dialah asal-usul syirik dan kufur dan diatasnyalah pondasi segala bentuk bid’ah dan kesesatan, seluruh bid’ah yang menyesatkan dalam urusan dien asasnya adalah “Mengatakan atau Mengada-adakan Terhadap Allah Tanpa Ilmu” oleh karena itu salaf as-shalihin dan imam-imam mereka sangat mengingkari hal ini dan menyeru kepada seluruh pengikutnya dari penjuru bumi agar waspada dengan sebenar-benar waspada terhadap fitnah ini, hal ini dilakukan oleh mereka dengan sangat serius bukan saja seperti mengingkari fawahisy, dzalim dan udwaan. Karena madhorot bid’ah dan penghancurannya serta peniadaannya terhadap dien lebih dahsyat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah mengingkari terhadap orang yang menisbahkan kepada dien-Nya (Menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu dari sisi-Nya), tanpa adanya keterangan dari Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman (Q.S. An-Nahl (16) : 116)
Kalau tahlil dan tahrim sedemikian maka bagaimana pula terhadap orang yang menisbahkan sifat-sifat kepada Allah yang Allah sendiri tidak mensifatkan sifat-sifat itu kepada Diri-Nya? Atau menafikan sifat-sifat yang Alah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dan sifatkan kepada Diri-Nya?
Berkata sebagian salaf, agar kalian menghindari untuk mengatakan : Allah telah menghalalkan demikian dan telah mengaharamkan demikian lalu Allah mengatakan : kamu telah dusta, Aku tidak menghalalkan ini dan tidak mengharamkan itu.
Maksudnya ialah : tahlil dan tahrim mengikuti pendapat belaka dengan tanpa burhan atau keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
Asal-usul syirik dan kufur adalah “Al qoulu ‘alallaahi bilaa ‘ilman (khot arab)” (mengatakan tentang Allah tanpa ilmu).
Sesungguhnya orang musyrik yang mendakwakan atau mengaku bahwa siapa yang ia jadikan sesembahan selain Allah itu akan dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, memberi syafaat kepadnya di sisi-Nya dan akan menunaikan hajatnya dengan perantaraannya sebagaimana perantara-perantara kepada raja-raja, maka setiap orang musyrik itu mengatakan atau mengada-adakan terhadap Allah tanpa ilmu dan tidak setiap orangyang mengatakan terhadap Allah tanpa ilmu itu musyrik. Sebab “Al qoulu ‘alallaahi bilaa ‘ilman (khot arab)” bisa jadi mengandungi perbuatan ta’thil dan ibtida’ dalam agama Allah,  hal ini lebih umum daripada syirik, syirik adalah salah satu daripadanya.
Oleh karena itu “dusta” terhadap Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, mewajibkan pelakunya untuk masuk ke dalam neraka, sebagaimana dalam hadits,
Khot arab
Artinya : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka silakan mengambil tempat duduknya dalam neraka
Dusta terhadap Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, adalah mengandungi Al qoulu ‘alallaahi bilaa ‘ilman (khot arab)” sebab sama seperti dusta terhadap Allah, karena segala yang disandarkan kepada Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, tersandarkan juga kepada yang mengutusnya, dan Al qoulu ‘alallaahi bilaa ‘ilman (khot arab)” jelas-jelas mengadakan dusta kepadanya. (Q.S. As-Shaff (61) : 7). Maka dosa ahlul bid’ah seluruhnya masuk jenis ini, maka taubatnya tidak akan menjadi kenyataan melainkan bertaubat dari bid’ah.
12.  Ittibaa’u ghoiro sabilil mu’minin”(Mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin).
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman (Q.S An-Nisa’ (4) : 15).
Khot Arab.
Artinya : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
Wahai anak-anakku dan generasi penerusku seterusnya, perhatikan benar ayat-ayat ini seseorang  gara-gara melakukan dua pelanggaran dan kesalahan di siksa dengan dua siksaan.
Dua pelanggaran dan kesesatan itu adalah :
a.Menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.
b.  Mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin.
Dua siksa dan azab itu ialah :
a.Azab di dunia yaitu : dia dibiarkan oleh Allah bergelimang dalam kesesatan yang telah di kuasainya.
b.  Azab di akherat ialah : dia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.
Allah dan Rasul-Nya telah menerangkan dengan jelas dan gamblang tentang “sabilil mu’minin khat arab” dan “sabilil mujrimin khat arab”. “Sabilillah khat arab” dan “Sabiluth-Thaghut  khat arab” “sabililladzina ‘an’amta ‘alaihim khat arab” dan “sabilil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhollin khat arab” dan lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman (Q.S. Al-An’am (6): 55) :
Khot Arab.
Artinya : “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an (supaya jelas) jalan orang-orang  yang  mukmin ( sholeh) dan (supaya jelas pula) jalan orang-orang yang mujrim (berdosa)
Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman pada ayat-ayat yang lain (banyak sekali) menerangkan perkara ini antara lain (saya persilahkan anda untuk membuka sendiri).
(Q.S.  Al-Fatihah (1) : 6-7), (Q.S.  An-Nisa’ (4) : 76), (Q.S.  Al-An’am (6) : 153), (Q.S.  Al-A’raf (7) : 146), (Q.S.  Yunus (10) : 8-9), dan sebagainya.
Anak-anakku dan cucu-cucuku yang kukasihi.
Silahkan buka mushaf Al-Qur’an danperhatikanlah ayat-ayat ini (Q.S. Al-Furqan (25) : 27-29).
Pada ayat 27 Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman :
khot arab.
Artinya : “Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang dzalim menggigit dua tangannya seraya berkata : Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul
Lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan dalam ayat ini penyesalan orang-orang yang tidak mengikuti jalan Rasul atau jalan orang-orang yang beriman.
Kalau tidak salah abi telah menguraikan hal ini dalam “20 petunjuk praktis untuk suami” pada sub Al-Wala’ wal Bara’ cobalah merujuk kesana.
Adapun jalan yang bukan jalan orang-orang yang mukmin itu gambaran kongkritnya kurang lebih sebagai berikut :
Jalan Iblis dan syetan.
ü  Jalan orang-orang kafir dan musyrik antara lain : Yahudi, Nasrani dan sebagainya serta agama-agama bumi seperti Budha, Hindu, Kong-Hu-Chu, Animisme dan sebagainya.
ü  Aliran-aliran di luar Islam yang sesat lagi menyesatkan misalnya, Komunis, Sosialis, Sekuler, Nasionalis, Ba’atsyiyin dan sebagainya.
ü  Aliran-aliran filsafat dan pemikiran-pemikiran yang sesat bahkan kufur seperti filsafat Aristoteles, Ibnu Sina, Nasir At-Thusi dan sebagainya, mereka mengingkari Dzat Allah, kata mereka Allah tidak mengetahui jumlah planet dan bintang, alam terjadi dengan sendirinya, tidak meyakini adanya hari kiamat, tidak mempercayai adanya wahyu, tidak ada halal, tidak ada haram, tidak ada perintah dan tidak ada larangan dan sebagainya.
ü  Aliran Al-Ittihadiyah (Wihdatul Wujud) menganggap Allah menyatu dengan makhluk, aliran sesat dan kufur tetapi pengikutnya mendakwakan diri sebagai manusia yang paling suci dan lebih tinggi daripada para Nabi, tokoh-tokohnya seperti Al-Hallaj, Ibnul Araby, Al Hatimi, Ibnu Sabi’in, dan sebagai nya, di pulau Jawa sendiri pernah ada yaitu Syaikh Siti Jenar.
Alhamdulillah hampir semua tokoh-tokohnya matinya di sembelih oleh ulama’-ulama’ Ahli Sunnah wal Jama’ah “Jazahumullahu khoirol jazaa’ khot arab
Jalan Ahlul Ahwa’ dan Ahlul Bid’ah antara lain seperti :
a.Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khowarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah, Mu’aththilah, beragam sufi sesat dan ahli-ahli bid’ah yang lain dan sebagainya.
b.  Jalan Ahlus-Syahawat seperti pecinta duniawi lupa akhirat, pezina, pemabuk, penjudi, pencuri dan segala peaku dosa dan maksiat dan sebagainya.
c.Dan lain-lain.
Sahabat-sahabatku yang masih tersisa yang sangat kukasihi –Hayyakumullah-.
5)      Sebagaimana telah diketahui dan dimaklumi bahwa firqoh-firqoh  atau sekte-sekte atau golongan-golongan yang sesat lagi menyesatkan dari Ahlul Ahwa dan Ahlul Bid’ah banyak sekali dan boleh dikatakan tidak bisa dihitung dengan jari tangan yang kesemuanya ini masih mengaku sebagai  ahlul qiblah (orang Islam).
Tentunya kita sebagai ahlul qiblah sudah tidak sangsi dan tidak ragu-ragu sedikitpun bahwa segala bentuk dien selain Islam seluruhnya adalah bathil, sesat lagi menyesatkan dan semua pemeluknya merupakan orang-orang yang tersesat, terkutuk dan terlaknat, pemeluknya merupakan orang-orang yang tersesat, terkutuk dan terlaknat dan diakherat termasuk orang-orang yang merugi akan dimasukan ke dalam neraka Jahannam selama-lamanya (buka Al-Qur’an surat Ali Imran (3) : : 19, 85, surat Al Fath (48) : 6 dan sebagainya).
Meskipun sudah demikian jelasnya bagaikan matahari di siang bolong, masih juga ada orang Islam yang menganggap semua agama sama, sama-sama benarnya, semuanya mengajarkan kebaikan hanya jalan dan cara yang ditempuh berbeda-beda, semuanya mencari ridha Tuhan dan syurga-Nya, katanya lagi, tidak ubahnya seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’(NU)  (hanya berbeda madzhab -ed) atau bagaikan orang yang berada di kota Surabaya hendak pergi ke Jakarta, ia bisa menggunakan dengan beberapa cara menempuh berbagai jalan, bisa memakai mobil pribadi, bus, kereta api dan sebagainya, bisa melalui jalan pantura, Jogja, Purwokerto, Tasik dan selanjutnya yang akhirnya semuanya bisa sampai atau tiba di Jakarta.
Kalau hal seperti ini diyakini atau dilakukan oleh non muslim, tentu tidak aneh dan ajabi, sebab pada hakekatnya mdalam hati kecil mereka mengakui bahwa yang benar itu Islam, misalnya orang-orang yahudi mereka mengerti danbenar-benar mengetahui hal ini tetapi mereka pura-pura tidak tahu dengan rasa gengsi dan sombong, demikian juga sebagian orang-orang Nasrani, adapun agama-agama lain (agama ardhi, bumi bukan samawi) seperti Budha, Hindu dan sebagainya mereka hanya mengikuti warisan nenek moyangnya saja.
Kembali kepada ahlul ahwa dan ahlul bid’ah yang sesat lagi menyesatkan dari kalangan kaum muslimin –ada diantara golongan-golongan itu yang dinyatakan oleh para ulama’ bahwa mereka telah keluar dari lingkaran Islam, seperti Al-Qoromithoh, Syi’ah Rafidhah, Jahmiyah yang melampaui batas dan sebagainya-.
Kita tidak perlu merasa pesimis atau putus asa dengan berserakannya golongan-golongan ini karena ini merupakan sunnatullah keberadaannya, atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, qudrah-Nya dan izin-Nya dengan tujuan tntara lainuntuk menguji hamba-hamba-Nya, siapa sebenarnya yang betul-betul mentaati-Nya dan mengikuti Rasul-Nya.
Maka orang-orang terdahulu termasuk Yahudi dan Nasrani keadaan merekapun sama dengan ummat Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits shahih;
Khot arab.
Artinya : “Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang Yahudi terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu, orang-orang Nasrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan semuanya masuk neraka kecuali satu dan ummatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu.
Atau sebagaimana sabda Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dalam riwayat yang lain;
“Dan dia (golongan yang satu) itu adalah Al-Jama’ah yang seperti Jama’ahku dan sahabat-sahabatku “ (Tolong lihat perawi hadits ini dalam kitab yang lain, kalau tidak salah perawinya adalah Bukhari dan Muslim dan lainnya maaf saya tidak memiliki bku rujukan (referensi) di tempat saya menulis –Ali Ghufron-).
Ahlul ‘Ilmi (para ulama) menyebut golongan yang satu itu dngan nama –Al-Firqotun-Najiyah- artinya golongan yang selamat dari adzab neraka.
Adapun golongan selebihnya yang berjumlah tujuh puluh dua golongan seluruhnya masuk neraka tetapi tidak kekal di dalamnya, selagi masih termasuk ummat Islam atau ahlul qiblah atau Ahlut-Tauhid, kecuali yang sudah jelas-jelas keluar dari daerah atau lingkaran Islam sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.
Ahlul Ilmi juga menyebutkan “Al-Firqotun-Najiyah” dengan sebutan “Ahluss-Sunnah atau “Ahluss-Sunnah wal Jamaa’ah”, maksudnya : orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, dan mengikuti jama’ah shahabatnya radhiyallohu anhum ajmain.
pada zaman sahabat radhiyallahu anhum  belum popular sebutan-sebutanitu, sebab pada masa itu belum bermunculan firqah-firqah Ahlul Ahwa’ dan Ahlul Bid’ah, kalaupun ada baru merupakan bibit-bibit, satu atau dua belum banyak pengaruhnya –wallahu a’lam- beru kira-kira pada akhir abad kedua, ketiga dan seterusnya bermunculanlah Ahlul Ahwa’ dan Ahlul Bid’ah bagaikan belalang atau cendawan di musim hujan.
Maka pada saat itu para ulama’ yang masih konsisten dan berpegang teguh dengan manhaj yang benar diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu , mencetuskan nama atau sebutan Ahluss-Sunnah wal Jamaa’ah sebagai gelaran atau identitas bagi mereka yang berpegang teguh dengan manhaj yang benar dengan tujuan antara lain untuk membedakan dengan golongan Ahlul Ahwa’ dan Ahlul Bid’ah seperti “Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, Qodariyah, Jabariyah, Murji’ah dan lain sebagainya.
Kemudian pada perkembangan berikutnya banyak kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak atau kurang konsisten dengan manhaj “Ahlus-Sunnah wal Jama’ah” tetapi mengklaim atau menisbahkan kelompoknya sebagai Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, ibaratnya seperti kata mutiara arab berikut :
Khot Arab.
“Smuanya mengaku sebagai kekasih Laila. Sedangkan Laila tidak mengakui sebagai kekasih mereka”
Maka sebagian ulama’ tidak mempergunakan istilah itu lagi “Ahluss-Sunnah wal Jama’ah” antara lain misalnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu  dan sebgainya, bukan karena istilah tersebut salah, akan tetapi karena istilah tersebut sudah terlalu banyak kelompok yang mengklaimnya, padahal mereka sejatinya benar-benar bukan dari Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, sehingga istilah tersebut telah tercemar tidak sebagaimana keaslian makna yang dimaksudkan.
Oleh karena itu mereka menggunakan istilah : Ahlus-Sunnah saja tanpa Al Jamaa’ah, atau As-Salaf (orang-orang terdahulu dan para pengikutnya maksudnya para shahabat radhiyallahu anhum  ajma’in, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in rahimahullahu  dan orang-orang yang mengikuti mereka) atau As-Salafy (orang-orang yang mengikuti salaf atau pengikut salaf).
Anak-anakku dan cucu-cucuku serta generasi penerusku sesudahnya yang aku sayangi -wafaqqakumullah-
Agar kalian memahami aqidah dan dien atau pegangan atau prinsip-prinsip Ahlus-sunnah wal jama’ah atau Ahlus-sunnah atau As-Salaf, atau As-Salafy, maka disini ana tuliskan secara ijmali (global) pokok-pokoknya dan sebagiannya ana intisarikan dari intisari yang ditulis oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu  dalam buku “Al-Qoulus-Sadid” yaitu sebagai berikut :
Mereka (Ahlus-sunnah ) beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir dan Qodar-Nya yang baik dan yang buruk.
Mereka bersaksi bahwasanya Allah adalah Rabb dan Ilah yang disembah, yang Maha Esa dengan segala kesempurnaan-Nya, mereka menyembah-Nya satu-satu-Nya dengan mengikhlaskan ketaatan bagi-Nya.
Mereka mengatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Dzat Yang Menjadikan, Maha Pembentuk, Maha Pemberi Rizki, Maha Pemberi, Maha Menahan (tidak memberi), Maha Pengatur atau mentadbir bagi segala urusan.
Dan sesungguhnya Dia-lah satu-satunya yang di-Ilah-kan, diibadahi, dan sebagai tempat tujuan, Dialah Yang Maha Awal yang tiada sesuatu sebelum-Nya, Dialah Yang Maha Akhir tiada sesuatu sesudah-Nya. Dialah Yang Maha Dzahir, tiada diatas-Nya sesuatupun, dan Dialah Yang Maha Bathin, yang tiada sesuatupun yang menghalangi-Nya dan Dia lebih dekat kepada makhluk-Nya daripada makhluk itu sendiri kepada dirinya.
Dan bahwasanya Dia Maha Tinggi lagi Maha Lebih Tinggi dan segala makna dan ibarat, Maha Tinggi baik Dzat-Nya, Kekuasaan-Nya, maupun kemampuan-Nya dan Dialah Dzat yang beristiwa’ (bersemayam) diatas Arsy, beristiwa’ sesuai dengan keagungan-Nya dan kebesaran-Nya, disertai dengan ketinggian yang mutlak, ilmunya meliputi segala yang bisa dilihat dan segala hal yang tidak terlihat, baik di alam atas maupun di alam bawah. Dia beserta hamba-hamba-Nya dengan ilmu-Nya, Maha Mengetahui segala keadaan mereka, dan Dialah Yang Maha Dekat lagi Maha Mengijabahi.
Dia Maha Kaya dengan Dzat-Nya sendiri tidak memerlukan sesluruh makhluk-makhluk-Ny, seluruh makhluk-makhluk-Nya memerlukan-Nya pada wujud mereka dan mewujudkan apa yang diperlukan dalam setiap masa dan waktu, tidak ada seorangpun yang tidak memerlukan-Nya walaupun sekejap mata. Dia Maha Belas Kasih lagi Maha Penyayang, bahwasanya tiada satupun dari nikmat yang bersifat diniyah maupun duniawiyah dan tidak pula terbentengi suatu bencana yang diperolehi oleh manusia terkecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah Dzat yang memberi nikmat dan Dia pulalah Yang Menahan bencana.
Dan termasuk bagian dari rahmat-Nya bahwasa Dia Turun pada setiap malam sepertiga akhir ke langit yang paling bawah untuk memenuhi atau mencari perhatian keinginan-keinginan hamba-hamba-Nya, seraya berfirman yang bermaksud Aku tidak meminta dari hamba-hamba-Ku selain Aku, maka barang siapa yang berdo’a kepada-Ku, Aku akan kabulkan baginya, siapa  yang memohon kepada-Ku, Aku akan memberinya, barangsiapa yang meminta ampun, maka Aku akan ampunkan baginya, sehingga terbit fajar. Dia turun sebagaimana yang Dia kehendaki dan Berbuat sebagaimana yang Dia kehendaki.
Khot Arab.
Artinya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat ” (Q.S (42): 11).
Dan mereka (Ahlus-sunnah), meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, maha Bijaksana, Yang Memiliki Segala Hikmah Yang Sempurna baik pada syariat-Nya dan takdir-Nya. Dia menciptakan sesuatu dengan sia-sia, tidak pula menciptakan syariat melainkan untuk maslahat (kebaikan) dan hikmah-hikmah.
Dia-lahg Maha Menerima Taubat, Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun, menerima taubat hamba-Nya dan memaafkan kesalahan (keburukan)nya serta mengampuni dosa-dosanya besar bagi orang-orang yang bertaubat, meminta ampun serta kembali kepada-Nya. Dia Maha Bersyukur, Dzat yang mensyukuri amal hamba-Nya, meskipun sedikit dan menambah karunia-Nya bagi hamba-Nya yang bersyukur.
Mereka (Ahlus-Sunnah) mensifati Allah dengan sifat-sifat sebagaimana yang Allah sifatkan dengannya keatas Diri-Nya, dan yang disifatkan oleh Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam kepada-Nya.
Dari Sifat-Sifat Dzatiyah seperti : hayat (hidup) yang sempurna, sam’u (mendengar), bashir  (melihat) dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebesaran-Nya dan keagungan-Nya, serta kemuliaan-Nya, keagungan-Nya dan keindahan-Nya serta mutlaknya keterpujian bagi-Nya.
Dari Sifat-Sifat Af’al seperti : yang berhubungan dengan kehendak-Nya dan kekuasaan-Nya seperti : Rahmah, Ridha, Sukhth (tidak suka) dan Al-Kalam (bercakap-cakap), bahwasanaya Dia berbicara atau berkata-kata atau bercakap-cakap dengan apa yang Dia kehendaki, sebagaimana yang Dia kehendaki dan kalimat-Nya tidak pernah habis dan tidak pula rusak.
Dan sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk daripada-Nya bermula dan kepada-Nya kembali.
Sesungguhnya Dia selalu dan senantiasa bersifat dan berbuat seperti apa yang Dia kehendaki dan berbicara dengan apa yang Dia kehendaki, Dia menghukum terhadap hamba-hamba-Nya dengan hukum-hukum (keputusan-keputusan) yang bersifat takdir dan hukum-hukum syariat serta hukum-hukum yang bersifat balasan. Dia adalah Al-Hakim (pemutus perkara) dan Pemilik segala-galanya, adapun Selain-Nya adalah mamluk (yang dimiliki) dan mahkum alaihi (yang di hukumi atasnya), maka tidak ada seorangpun dari hamba-hamba-Nya yang keluar dari kepemilikan-Nya dan tidak pula dari hukum-Nya.
Mereka (Ahlus-Sunnah) beriman kepada apa saja yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an dan segala yang mutawatir yang terdapat dalam As-Sunnah, bahwasanya orang-orang beriman akan melihat Rabb-Nya (Allah Ta’ala) dengan jelas dengan mata telanjang (Q.S (75) : 23), (Q.S (10) : 26), dan sesungguhnya kenikmatan melihat-Nya dan berhasil mendapatkan ridha-Nya adalah kenikmatan dan kelezatan yang paling besar.
Sesungguhnya orang yang mati diatas selain Iman dan Tauhid, maka ia akan kekal dalam neraka Jahannam selama-selamanya. Adapun orang-orang yang berdosa dengan dosa-dosa besar jika mereka mati dan belum bertaubat dan tidak terhadpuskan dosa-dosanya dan tidak pula mendapatkan syariat, maka sesungguhnya mereka meskipun masuk neraka, tidak kekal di dalamnya dan tidak ada seorangpun yang tinggal di neraka sedangkan masih ada iman dalam hatinya walaupun hanya sebesar biji Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, melainkan ia akan keluar dari neraka.
Sesungguhnya iman itu meliputi atau mengandungi keyakinan yang ada dalam hati dan mengamalkannya termasuk amalan anggota badan dan ucapan lisan, maka barangsiapa yang menunaikan imannya dengan sempurna, dialah orang yang beriman yang sebenar-benarnya, yang berhak mendapatkan pahaa dan selamat dari siksa, barangsiapa yang mengurangi sesuatu darinya, maka imannya pun berkurang seukuran dnegan yang demikian itu, oleh karena itu iman adalah bertambah dengan keta’atan dan amal kebaikan serta berkurang dengan maksiat dan kejahatan.
Termasuk  pokok dan prinsip Ahlus-Sunnah adalah  beusaha dan bersungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baik urusan dien maupun keduniaan, disertai dengan meminta pertolongan kepada Allah, mereka tamak terhadap apa yang bermanfaat bagi mereka dan memohon pertolongan kepada Allah.
Mereka menyatakan keikhlasannya untuk Allah dalam setiap gerak-gerik mereka, mereka mengikuti Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dalam mengikhlaskan diri untuk ma’bud (Dzat yang disembah) danjuga mengikhlaskan dalam mutaba’ah (mengikuti) hanya kepada Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam semata, serta menasehati orang-orang yang beriman dan para pengikut di jalan mereka.
Mereka (Ahlus-Sunnah) bersaksi bahwa Muhammad  Sholalloohu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, Allah mengutusnya denganmembawa petunjuk dan dienul haq (agama yang benar yaitu Islam), agar dimenangkan-Nya atas seluruh agama, system dan idiologi yang ada, dan bahwasanya Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam itu lebih utama dari orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, beliau adalah penutup nabi-nabi, diutus kepad manusia dan jin dengan membawa berita gembira dan memberi peringatan serta menyeru kepada Allah dengan seizing-Nya serta sebagai pelita yang menerangi. Dia mengutusnya demi kebaikan atau kemaslahatan dien dan dunia agar manusia beribadah kepada Allah dan meminta pertolongan dengan rizki-Nya dalam hal itu.
Mereka mengetahui bahwa Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling berilmu, paling jujur, paling memberi nasehat dan yang paling besar dalam memberi keterangan serta penjelasan, maka mereka mengagungkannya dan mencontohnya, mendahulukan cinta mereka kepadanya diatas cinta mereka terhadap seluruh manusia, danmereka mengikutinya dalam masalah pokok dien mereka dan cabang-cabangnya.
Mereka (Ahlus-Sunnah), mendahulukan sabdan abi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dan petunjuknya diatas ucapan atau pendapat seluruh manusia. Mereka berkeyakinan bahwasanya Allah telah mengumpulkan untuknya (Nabi Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam) dari keutamaan-keutamaan dan keistimewaan serta kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak ada pada orang lain, beliau adalah manusia yang paling tinggi kedudukannya dan yang paling banyak pengikutnya serta yang paling sempurna dalam setiap kesempurnaanya, tidak ada suatu kebaikan melainkan telah ditunjukkan kepada ummatnya dan tidak ada kejahatan kecuali telah beliau peringatkan mereka  untuk mewaspadai terhadapnya.
Mereka (Ahlus-sunnah) mengimani terhadap takdir seluruhnya dan bahwasanya seluruh perbuatan manusia yang baik dan yang buruk –Ilmu Allah telah meliputinya, telah berjalan dengannya qolam (pena)-Nya, telah terlaksana padanya kehendak-Nya dan telahtergantung dengan-Nya hikmah-Nya yang mana dia telah menciptakan bagi manusia Qudrah (kemampuan) dan Iradah (kehendak), terjadi dengannya ucapan dan perbuatan mereka sesuai dengan kehendak-Nya. Dia tidak memaksa manusia terhadap sesuatu tetapi diberi pilihan atau diberi kebebasan untuk memilih. Khusus bagi hamba-hambanya yang beriman, Allah menjadikan mereka cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati mereka, serta menjadikan mereka benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan dengan keadilan-Nya dan hikmah-Nya.
Termasuk prinsip pokok Ahlus-Sunnah bahwa mereka berdien atau beragama atau berprinsip bahwa nasehat itu bagi Allah, kitab-Nya  dan Rasul-Nya, serta bagi para pemimpin kaum muslimin dan awam mereka. Mereka (Ahlus-Sunnah) menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar sebagaimana yang diwajibkan oleh syariat dan mereka menyuruh berbuat baik kepada tetangga, para penguasa berbuat baik kepada siapa saja yangmempunyai hak dan berbuat baik kepada seluruh manusia atau makhluk.
Ahlus-Sunnah menyeru kepada akhlak yang mulia dan yang baik serta melarang dari akhlak-akhlak yang buruk dan rendah.
Mereka meyakini bahwa orang yang memiliki kesempurnaan dalam keimanan dan keyakinannya adalah yang paling baik amalnya dan akhlaknya, serta paling jujur ucapannya dan yang paling menunjukkan kepada kebaikan dan keutamaan  serta paling jauh dari setiap kejelekan.
Mereka (Ahlus-Sunnah) menyuruh untuk menegakkan syariat agama sebagaimana yang datang dari Nabi mereka baik sifatnya ataupun kesempurnaan syariat tersebut tanpa menambahkan dan waspada dari hal-hal yang merusakkannya dan berlawanan dengannya.
Mereka (Ahlus-sunnah) berpendapat bahwa Jihad Fie Sabilillah berlangsung hingga hari kiamat baik dipimpin oleh orang yang baik maupun orang yang fajir (tidak baik) dan bahwa jihad adalah puncaknya dien (agama), artinya amal ibadah yang paling utama sesudah iman dan wajib atas setiap muslim mempertahankan agamanya dengan segala yang mungkin dan sekuat tenaga.[2]
Dan termasuk bagian-bagian dari prinsip mereka adalah menghasung agar kaum muslimin bersatu atau kalimat mereka menjadi satu dan berusaha mendekatkan hati-hati mereka dan mempersatukannya…dan memperingatkan agar menjauhi dari berpecah belah, salng bermusuhan dan saling membenci dan beramal dengannya segala sarana yang dapat menghantarkan sampai kepada yang dimaksudkan.
Dan termasuk dari prinsip mereka dadalah  dilarnag menyakiti manusia pada darah mereka, harta mereka, harga diri mereka dan hak-hak mereka, serta menyuruh supaya berbuat adil dan insaf dalam seluruh muamalah (pergaulan) dan menggalakkan perbuatan baik dan mengejar keutamaan dalam bermu’amalah.
Mereka mengimana bahwasanya umat yang paling afdhal atau paling utama adalah umat Muhammad Sholalloohu ‘alaihi wa sallam dan yang paling utama dari umat beliau adalah sahabat Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, khususnya Khulafaur Rasyidin dan 10 sahabat yang dijamin masuk surga, serta Ahlul Badar (yang ikut perang Badar) dan As-Sabiqunal-Awwalun (para sahabat yang paling dahulu masuk Islam), mencintai para sahabat dan menjadikan hal ini sebagai prinsip mereka.
Mereka menyebarkan kebaikan para sahabat dan mendiamkan sesuatu yang dikatakan oleh orang-orang dari kejelekan mereka.
Mereka beragama untuk Allah dengan menghormati para ulama’ yang menunjukkan ilmu, para imam-imam yang adil dan siapa saja yang mempunyai kedudukan tinggi dalam urusan agama dan keutamaan yang beranekaragam keatas kaum muslimin dan mereka memohon kepada Allah agar melindungi mereka dari syirik, permusuhan yang sengit diantara mereka, nifaq dan akhlak tercela dan meneguhkan mereka diatas dien (agama) mereka sampai mati.
Demikianlah prinsip pokok mereka secara garis besar bagi Ahlus-Sunnah dengannya mereka beriman dan beraqidah serta dengannya mereka menyeru.

2.Ada tujuh ‘Aqobah atau ‘Aqoobah (obstacles, mines, ranjau, periuk api, penghalang, rintangan, dan sebagainya) yang dipasang oleh Iblis dan syaitan untuk menyesatkan dan menghalangi kita dari kebenaran yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dari surga-Nya, penghalang atau ranjau ini sebagiannya lebih sakit atau lebih sukar dari sebagian yang lain.
Iblis dan syaitan akan menyesatkan manusia bermula dari ranjau yang paling besar dosanya danakibatnya jika tidak berhasil ia akan menggoda dan menyesatkan pada ranjau yang berikutnya kemudian berikutnya dan berikutnya.
Marilah kita ikuti satu persatu secara tertib.
Khot arab.
1.      Ranjau pertama : adalah ranjau mengkufuri (kufur) terhadap Allah, dien (agama)-Nya, pertemuan dengan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan-Nya,  dan dengan apa-apa yang telah diberitakan oleh Rasul-Rasul-Nya tentang-Nya.
Jika syetan telah menang dan berhasil dalam menyesatkan pada ranjau pertama ini, menjadi dinginlah api permusuhannya dan santai serta istirahatlah ia, sebab jika seseorang  telah kufur (kafir) beramal kebaikan sebesar gunung Lawu, (Tahukah kalian wahai anak-anakku, itu gunung yang Ammi Muhammad Amin Jabir rahimahullahu , meninggal disana bersama-sama teman-temannya rahimahullahu , semasa camping, kita do’akan semoga beliau dan semua teman-temannya meninggal dalam keadaan “Husnul Khotimah” dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenan meridhainya danmemasukkannya ke dalam syurga –amin-) pun amal itu tidak berguna sama sekali bagi dirinya, maka Iblis dan syetan telah mencapnya sebagai kawan setianya.
Jika seseorang  dapat melewati ranjau ini dan selamat darinya dengan bashirah petunjuk  dancahaya iman, maka syetan menjebaknya pada ranjau berikutnya yaitu yang kedua :
2.      Ranjau Kedua.yaitu ranjau bid’ah.
Bid’ah bisa terjadi dengan dua macam :
a.Meyakini bahwa kebenaran itu bertentangan dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sampaikan kepada Rasul-Nya dan yang telah ia turunkan dalam Kitab-Nya, dengan kata lain yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu tidak benar, yang benar adalah yang direka-reka sendiri, yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.  Melakukan bentuk ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah seperti macam-macam dan bentuk-bentuk ibadah yang baru dan yang direka-reka dalam urusan dien (agama) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak akan menerimanya.
Dan dua bentuk bid’ah ini selalunya berjalan sejoli atau seiring jarang sekali terpisah satu dengan yang lainnya, ada sebagian orang yang mengatakan “khot arab Tazawwajat bid’atul aqwaali bi bid’atil a’maali” artinya : telah menikah (kawin) bid’ah ucapan (point a.) dengan bid’ah amalan  (point b).
Jika seseorang  dapat memotong ranjau ini danmembebaskandarinya dengan cahaya As-Sunnah lantas berpegang teguh dengannya sebenarnya yaitu dengan mengikuti sunnah dan mengikuti apa yang telah dipegangi oleh ulama salaf ash-sholihin dari para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka iblis dan syetan akan menjebaknya dengan ranjau berikutnya
3.      Ranjau Ketiga. Yaitu ranjau Al-Kaba’ir (dosa-dosa besar).
Bila seseorang  telah selamat dari ranjau ini, maknanya telah menjauhi dari sgala jenis dosa-dosa besar, syetan tidak putus asa sebelum menjebak dengan ranjau berikutnya, ia bisikkan ke dalam fikiran manusia tentang kedudukan dosa-dosa besar itu serta keindahan dan kecantikannya, syetan berkata : kamu jangan terlalu benci danmenjauhi dosa-dosa itu, ingat! kalau toh kamu melakukannya tidak akan memberi madharat apa-apa terhadap imanmu, sebab iman kan sama saja dengan membenarkan jadi tidak cacat dan cidera karena perbuatan.
Katanya menambahkan : khot arab.
Dosa tidaklah memberi madharat kepada tauhid, sebagaimana kebaikan tidak bermanfaat terhadap syirik.
Syetan menghendaki agar orang tersebut terkena fitnah “Al Irja’i” atau Al-Murji’ah, yang menganggap bahwa dosa tidak memberikan madharat terhadap iman seseorang  sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, jika ia telah teracuni dengan fikiran ini, maka dengansendirinya pada suatu siaat akan mencoba untuk melanggar dosa-dosa tersebut. –Al ‘Iyadzubillah-.
Keterangan :
Syetan lebih suka seseorang  terjebak dalam ranjau bid’ah daripada terjebak dalam ranjau Al-Kabair (dosa-dosa besar), sebab pelaku bid’ah tidak pernah merasa dirinya salah dan dosa, maka tidak terlintas dalam dirinya untuk bertaubat bahkan merasa selalu benar, dan mengajak orang lain untuk mengamalkan bid’ah itu.
Perbuatan ini adalah termasuk Al qoulu ‘alallaahi bilaa ‘ilman (khot arab)” seperti yang telah diterangkan sebelumnya, jelas-jelas menentang dan memusuhi sunnah, memusuhi pengikut sunnah dan berusaha mematikan cahaya sunnah, menjadikan wali orang yang telah diusir oleh Allah dan Rasul-Nya, menjadikan I’tibar atau menganggap bernilai sesuatu yang ditolak oleh Allah dan Rasul-Nya, dan menolak sesuatu yang dianggap bernilai oleh-Nya, mendustakan orang yang benar dan membenarkan orang yang dusta, dan menentang kebenaran dengan kebatilan, membalikkan fakta dan kebenaran, yang haq dianggap batil dan yang batil dianggap yang haq, serta berbuat “Ilhad” pada Dienullah, berusaha membutakan hati manusia dari kebenaran dan berupaya membengkokkan jalan Allah yang lurus serta membuka pintu untuk merubah dien (agama) secara menyeluruh.
Sedangkan pelaku dosa-dosa besar mayoritasnya merasa dirinya salah dan berdosa, oleh karena itu mereka masih memiliki kemungkinan besar akan bertaubat, sedangkan syetan sebagaimana yang dimaklumi sangat tidak suka kepada orang yang bertaubat.
4.      Ranjau Keempat. Yaitu ranjau As-Shaghair. (dosa-dosa kecil).
Iblis dan syetan memperdaya manusia agar memandang enteng dan remeh terhadap dosa-dosa kecil, katanya yang penting anda tidak melakukan dosa-dosa besar untuk dosa-dosa kecil Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pengampun, dengan demikian seseorang  menganggap enteng dan terus menerus tercebur ke dalam dosa-dosa kecil itu, sehingga lama-kelamaan tanpa disadari dosa-dosa tersebut bertumpuk-tumpuk menjadi sebesar gunung –Al ‘Iyadzubillah-.
Rasulullah Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, bersabda “Iyyakum wa Muhaqqiraati Adz-Dzunuub khat arab” artinya : “Jauhilah olehmu dosa-dosa kecil”, kemudian beliau memberikan permisalan, bagaikan suatu kaum yang sedang berada di suatu tempat yang lapang lalu masing-masing dari mereka mengambil kayu bakar yang banyak kemudian mereka membakarnya dan memasak roti mereka, maka demikian jugalah dosa-dosa kecil yang terkumpul pada diri seseorang  sedang ia memandang remeh dan enteng sehingga dosa-dosa kecil itu membinasakan dirinya.
Apabila seseorang  telah terselamatkan dari ranjau ini karena selalu berjaga-jaga dan memelihara diri serta terus-menerus bertaubat dan beristighfar serta mengikutkan kebaikan pada setiap keburukan sehingga yang baik menghapus yang buruk (Attabi’a As-sayyi’ata Al Hasanata tamhuhaa khot arab).
5.      Ranjau Kelima. Adalah ranjau Al Mubahat (hal-hal yang diperbolehkan yang tidak ada dosa bagi pelakunya).
Iblis dan syetan akan selalu berusaha menjerat seseorang  ada ranjau ini, maka ia menghabiskan masa dan hidupnya dalam hal-hal ini sehingga lupa memperbanyak keta’atan dan membekali diri untuk hari kematiannya, seterusnya mulai cenderung untuk meninggalkan sunnah-sunnah (mandub), kemudian dari meninggalkan yang sunnah, meningkat menjadi meninggalkan yang wajib.
Dan minimal orang yang terjebak dalam ranjau ini akan kehilangan hal-hal yang menguntungkan bagi dirinya, kehilangan pekerjaan (nilai) yang besar dan keduduka yang tinggi, andaikata ia mengerti dan menyadari akan besarnya harga dan nilai sesuatu yang ia tinggalkan niscaya tidak akan hilang dan luput hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah (Al-Muqorobaat) dari dirinya, akan tetapi ia jahil dari harga dan nilainya.
Apabila ia lulus dari ranjau ini, dengan bashirah yang sempurna dan cahaya petunjuk dan mengerti benar akan nilai ketaatan, sehingga banyak melakukan keta’atan itu maka syetan akan menjebaknya pada ranjau berikutnya.
6.      Ranjau Keenam. Adalah ranjau amalan-amalan yang tidak afdhal atau kurang utama dari keta’atan-keta’atan, (khot arab)
Apabila seseorang  telah lulus dan terselamatkan dari jebakan ranjau pertama hingga ranjau  kelima dan orang yang seperti ini jumlahnya sangat sedikit mungkin satu dalam seribu, sebab mayoritasnya telah tersungkur dalam ranjau pertama dan berikutnya. Maka Iblis dan syetan senantiasa mencari jalan bagaimana dapat berhasil menjebaknya pada ranjau yang lain.
Oleh karena itu ia menjebaknya dalam menekankan beramal dengan amalan-amalan yang tidak utama dan tidak afdhal, dibandingkan dengan amal-amal yang telah ia tinggalkan, tetapi menurut pemikirannya karena diperindah dan diperbagus oleh syetan amal yang dia kerjakan itulah yag paling afdhal atas segalanya, sebagai contoh misalnya ada seseorang  bahkan sekelompok dari kalangan kaum muslimin yang menumpukan perhatiannya kepada wirid dan dzikir saja sedangkan meninggalkan atau mengabaikan amal-amal yang lebih afdhal daripada itu, misalnya : menuntut ilmu, mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah, berdakwah, berjihad dan sebagainya.
Khot arab sangat panjang dan saya tidak bisa membacanya secara utuh apalagi menerjemahkannya –mohon maaf,  silahkan rujuk kembali tulisan aslinya-.
Apabila seseorang  dapat lolos dari enam ranjau yang telah disebutkan termasuk yang terakhir yaitu ranjau keenam dimana lulusnya adalah sebagaimana yang diterangkan dengan bahasa arab tersebut, -silahkan anak-anakku berusaha menerjemahkan sendiri- maka musuh (Iblis dan syetan), tidak akan mempunyai ranjau lagi kecuali satu saja dan ranjau yang satu ini tidak ada seorang pun yang bisa menghindarinya.
Seandainya ada seseorang  yang bisa menyelamatkan dirinya dari ranjau ini, niscaya para nabi dan Rasul a.s lebih berhak dan lebih patut untuk selamat darinya, sebab mereka manusia yang paling mulia, adapun ranjau tersebut adalah :
7.      Ranjau Ketujuh
Khot arab sangat panjang dan saya tidak bisa membacanya secara utuh apalagi menerjemahkannya -mohon maaf, silahkan rujuk kembali tulisan aslinya-.
Yaitu ranjau dimana tentara Iblis dan syetan sedang berkuasa, maka tentara-tentara itu akan menyiksa siapa saja yang tidak sehaluan dengannya dengan berbagai siksaan yang menyakitkan baik dilakukan dengan tangan, lisan maupun hati, sepadan dengan derajat kesalihan yang ada pada orang tersebut, semakin tinggi derajat kebaikannya akan semakin hebat pengerahan tentaranya, baik pasukan kavalerinya (berkuda), maupun infanterinya (pasukan jalan kaki).
Orang tersebut akan diserang habis-habisan oleh pasukan syetan (dari golongan manusia) dan akan ditekan dan disiksa oleh partainya dan ganknya dengan berbagai tekanan dan siksaan.
Ranjau jenis ini tidak ada seorang pun yang beriman yang dapat meloloskan diri dan menghindari darinya.
Maka sesungguhnya tatkala seseorang  itu semakin bersungguh-sungguh dalam istiqomahnya dandakwahnyakepada allah danmelaksanakan perintah-Nya, musuh juga semakin bersungguh-sungguh dalam memperdayakan atau menipu orang-orang yang bodoh agar meningkatka permusuhan terhadapnya.
Oleh karena itu ranjau ini bisa dibilang ranjau pergolakan dan peperangan, maka dalam hal ini orang-orang yang beriman mestilah menjadikan peperangan melawan musuh ini adalah karena Allah, dan denga Allah, ini merupakan ubudiyah orang-orang khusus dari kalangan Al ‘Arifin.
Ubudiyah jenis ini dinamakan ubudiyah “muraghamah” (membuat atau menjadikan musuh benci dan tidak suka), tidak ada yang ambil peduli dan perhatian terhadap-Nya melainkan “Ulul Basha’iru At-Tammaat” (orang-orang yang memiliki bashirah yang sempurna). Dan tidak ada sesuatu yang lebih Allah sukai daripada “muraghamah” wali-Nya terhadap musuh-Nya dan membuat marah terhadap musuh-Nya.  
Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah mengisyarakatkan jenis ibadah ini di beberapa ayat dalam Al-Qur’an antara lain :
1.   Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) : 100.
2.   Al-Qur’an surat At-Taubah (9) : 120.
3.   Al-Qur’an surat Al-Fath (48) : 29.
(Silahkan lihat ayat-ayat ini dalam tafsir maupun terjemah, sungguh-sungguh penting jika anak-anak sekalian memahaminya).
Anak-anakku, cucu-cucuku dan generasi penerusku sesudahnya yang kukasihi –Yahfadzukumullahu wa yar’aakum-
Maka membuat kemarahan orang-orang kafir adalah sesuatu yang sangat-sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sesuatu yang di tuntut bagi-Nya, oleh karena itu jika bersesuaian dalam hal ini berarti termasuk kesempurnaan ubudiyah.
Nabi Sholalloohu ‘alaihi wa sallam, telah mensyari’atkan bagi seseorang  yang lupa dalam shalatnya agar sujud dua kali (sujud dua kali/ sujud karena lupa) dan beliau bersabda, “Jika shalatnya sempurna dua sujud itu adalah untuk menjadikan tidak sukanya atau bencinya (hidung) syetan” dan dalam riwayat lain dinyatakan “khot arab (tidak jelas)” (untuk menjadikan syetan benci dan tidak suka), dan beliau menamakan “Al Muroghomatain-khot arab-” (dua hal yang menyebabkan benci dan tidak sukanya syetan) –wallahu a’lam-.
Maka barangsiapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan membuat tidak sukanya musuh Allah, berarti ia telah mengambil sifat shiddiq (kejujuran) dengan anak panah yang banyak (dengan sempurna), dan seberapa ukuran cinta seseorang  hamba kepada Rabb-nya dan para walinya atau perwaliannya serta permusuhannya terhadap musuh-Nya, maka itulah nasib atau bagiannya daripada “Muraghamah” ini.
Dan karena Muraghamah inilah berlaku sombong diantara dua shaf (barisan orang mukmin dan barisan orang kafir), yang dilakukan oleh seorang  mujahid adalah perbuatan terpuji, demikian juga sombong dan bangga dengan shodaqoh sirri (infaq yang diberikan dengan sembunyi-sembunyi), karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah , sebab yang demikian ini adalah perbuatan yang mengakibatkan tidak sukanya musuh, dan mencurahkan susuatu yang dicintainya baik jiwa dan hartanya semata-mata hanya untuk Allah Azza wa Jalla.
Hal ini termasuk salah satu bab dari Ubudiyah yang tidak mengetahuinya melainkan sedikit dari manusia, dan barangsiapa yang merasakan rasa lezatnya ia akan menangisi hari-harinya yang telah berlalu begitu saja.
“Wabillahil musta’aan, wa ‘alaihit taklaan, walaa haula wa laa quwwata illa billah”
Demikianlah penjelasan mengenai Tujuh Ranjau (penghalang atau rintangan) yang dipasang oleh Iblis dan syetan, berusahalah dengan sungguh-sungguh wahai anak-anakku agar antum selamat dari jebakan enam ranjau (ranjau pertama hingga keenam). Adapun yang ke tujuh maka tak mau tak mau antum mesti menghadapinya, jika tidak justru kualitas iman antum perlu dipersoalkan.
Panduan singkat ini dari Abi untuk menghadapinya amalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3) : 200.
Khot arab
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan berjaga-jagalah (diperbatasan) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung
Mudah-mudahan kalian berhasil selamat



[1] Jika saudara ada kesempatan silahkan buka 20 petunjuk praktis bagi suami, disana ada penjelasan singkat mengenai Islam mudah-mudahan bermanfaat.
[2] Sengaja bentuk jihad yang lain (ilmu, hujjah dan sebagainya) tidak disertakan dalam risalah ini, karena khawatir bila disalah mengerti harap maklum –Ali Ghufron-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar